Jumat, 10 April 2020

Sanksi Penerapan PSBB dan Pengecualiannya Saat Pandemi COVID-19

Para pembaca yang saya hormati di seluruh Indonesia.

Mungkin para pembaca masih agak kesulitan bagaimana PSBB bisa diterapkan? Kenapa harus PSBB? Apa itu PSBB singkat saja sesuai regulasi yang berlaku?

Bagaimana sanski dapat dijatuhkan kepada orang, baik perorangan maupun badan hukum, yang melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar ("PSBB") di tengah pandemi global COVID-19 atau corona virus atau virus korona?

Kemudian, apakah terdapat pengecualiannya atas sanksi tersebut? Diatur di mana sanksi dan pengecualiannya?

Melalui tulisan ini, saya jelaskan singkat saja.

SKALA NASIONAL

Dikatakan terdapat sanksi pidana bagi yang melanggar PSBB? Nah, sanksi yang dimaksud pada pemberitan media massa adalah Pasal 93 UU 6/2018, dimana terdapat sanksi pidana, baik (maksimal) penjara 1 tahun dan/atau denda Rp 100 juta, bagi yang melanggar PSBB.

Kalaupun nantinya ada Peraturan Gubernur ("Pergub") di masing-masing daerah, Pergub tidak bisa mengatur sanksi pidana. Pergub hanya bisa merujuk sanksi pidana di suatu UU.

Sebelum masuk membahas, PSBB, saya jelaskan terlebih dahulu Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (saya singkat "KKM") sesuai Pasal 10 UU 6/2018, hanya pemerintah pusat ("Pempus") yang bisa menetapkan atau mencabutnya. Dalam kasus pandemi COVID-19 ini, ditetapkan KKM oleh Pempus secara nasional, sebagaimana dituangkan dalam Keppres 11/2020.

Nah, kemudian sesuai Pasal 59 ayat 1 UU 6/2018 (dan sesuai definisi Pasal 1 angka 2 UU 6/2018), ketika Pempus menetapkan KKM, maka harus dilakukan PSBB. Ketika PSBB, memang diharuskan sekolah, tempat kerja libur, dan ibadah di rumah sesuai Pasal 59 ayat 3 UU 6/2018.

Perlu menjadi catatan, PSBB berbeda dengan Karantina Wilayah atau dikenal dengan istilah Lock Down. Kenapa Pempus tidak menetapkan Lockdown, sementara banyak pihak yang menginginkannya? Bahkan, terdapat tempat-tempat tertentu dimana warganya inisiatif sendiri untuk melakukan Lock Down, katakanlah dusun atau desa.

Pembaca harus memahami, Lockdown itu tidak mudah. Ketika pemerintah mau menerapkan Lockdown sesuai Pasal 53 UU 6/2018, ada hal-hal yang dipertimbangkan:

1. Takutnya masyarakat pada panik seperti di India, tidak siap secara sosial dan budaya. Mungkin saja, itu alasan Pak Jokowi bilang kita punya kondisi masyarakat yang berbeda. Terlepas dari itu, yang terjadi di India menjadi pelajaran penting bahwa Lockdown tidak main-main, harus ada persiapan sangat, sangat matang, dan boleh jadi menjadi opsi terkahir saja.

2. Harus ada penelitian yang menjadi rujukan, bahwa memang harus ada Lockdown. Sementara, COVID-19 masih diteliti, termasuk yang masih jadi perdebatan apakah airbone atau tidak. Karenanya, Pasal 53 ayat 2 UU 6/2018, riset sebagai salah satu syarat untuk dilakukan Lockdown belum dianggap memenuhi.

3. Konsekuensi lainnya kalau Lockdown, harus ada pengamanan ketat sesuai Pasal 54 UU 6/2018 dan Pempus wajib menyiapkan segala logistik sesuai Pasal 55 UU 6/2018 .Boleh jadi, Pempus belum siap kalau memang harus Lockdown khusus untuk hal ini.

Nah, karena PSBB sebagai salah satu opsi Kekarantiaan Kesehatan, maka yang menghalangi Pempus bisa kena/ diancam Pasal 93 UU 6/2018, tidak lain adalah sanksi pidana, (saya tulis kembali) baik (maksimal) penjara 1 tahun dan/atau denda Rp 100 juta (dengan catatan, sanksi dalam Pasal ini tidak diatur secara khusus apabila dilakukan oleh korporasi).

Pada saat yang sama, mengingat UU 6/2018 masuk pada ranah kesehatan yang berarti Menteri yang dimaksud di UU a quo adalah Menteri Kesehatan ("Menkes"), maka perlu adanya suatu Peraturan Menteri Kesehatan ("Permenkes"). Dalam menangani COVID-19, dikeluarkanlah Permenkes 9/2020.

Pasal 18 Permenkes 9/2020, menentukan bahwa dalam rangka pengawasan pelaksanaan PSBB, instansi berwenang melakukan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, jangan main-main terhadap ancaman sanksi pidana Pasal 93 UU 6/2018.

Namun, pada saat yang sama, ada pengecualian terhadap pelaksanaan PSBB sesuai Lampiran Permenkes 9/2020, sebut saja perbankan, industri tertentu, usaha sektor energi, bahan pokok makanan, dsb.

SKALA DAERAH DAN SEKTOR TERTENTU

Nah, bagaimana dengan penerapan di daerah dan/atau sektor tertentu? Saya tidak mungkin menjelaskan setiap daerah, atau setiap sektor bidang usaha. Saya ambil contoh di DKI Jakarta, ini mumpung saya masih melek, Gubernur DKI Jakarta Pak Anies Baswedan mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 (saya singkat Pergub 33/2020) kabarnya keluar resmi Kamis, 9 April malam hari dan berlaku mulai Jumat, 10 April jam 00:00 WIB.

Pasal 9 ayat 3 huruf a Pergub 33/2020 menetukan, bahwa seharusnya untuk kegiatan tertentu demi menjaga aktivitas usaha, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan PSBB, sehingga dapat dipahami karyawan-karyawan tertentu tetap bisa masuk kantor.

Secara khusus, Pasal 10 ayat 1 huruf d angka 3 jo Pasal 9 ayat 3 huruf a Pergub 33/2020, menegaskan pengecualian PSBB bagi pelaku usaha sektor energi. Artinya, perusahaan yang bergerak di sektor energi (sebut saja minyak, bumi, gas, listrik), mendapatkan pengecualian atas kewajiban peliburan tempat kerja di tengah status PSBB yang masih diterapkan.

Pengecualian dimaksud, boleh dilakukan dengan syarat, Pasal 10 ayat 2 huruf b Pergub 33/2020, karyawan yang masuk tidak menderita penyakit tertentu atau kondisi tertentu, sebagai berikut:

a. penderita tekanan darah tinggi;
b. pengidap penyakit jantung;
c. pengidap diabetes;
d. penderita penyakit paru-paru;
e. penderita kanker;
f. ibu hamil; dan/atau
g. usia lebih dari 60 (enam puluh) tahun.

Tidak hanya itu, terdapat ketentuan lain bahwa, kalau ada karyawan yang ke kantor, ternyata dengan atau menyandang status Pasien dalam Pengawasan ("PDP"), maka aktivitas di tempat kerja tersebut harus berhenti minimal 14 hari kerja, sesuai huruf Pasal 10 ayat 2 c angka 9 Pergub 33/2020.

Nah, mungkin terdapat pertanyaan lebih lanjut, apakah pengecualian PSBB bagi pelaku usaha sektor energi, hanya dapat diterapkan di tempat kegiatan produksi/kegiatan operasi, atau termasuk head office ("HO")?

Ini pertanyaan menarik sekali. Kalau saya memahami, mengingat ketentuan ini saling merujuk (Pasal 10 jo Pasal 9 Pergub 33/2020), berarti tidak kenal site atau HO, bisa mendapatkan pengecualian untuk tetap dapat beraktivitas dengan pembatasan atau jumlah karyawan minimal. Bagaimana dapat dipahami demikian?

Pasal 9 Pergub 33/2020 pada intinya membolehkan ada karyawan yang masuk kantor dengan terbatas kalau dengan tidak masuknya karyawan dimaksud, dapat berdampak/ menghambat aktivitas usaha, salah satunya usaha sektor energi atau industri tertentu yang dianggap penting, sebagaimana disebutkan Pasal 10, tanpa kenal HO atau site.

Bagaimana dengan ketentuan pengecualian PSBB di site? Kenyataannya, sesuai peraturan yang ada, perusahaan tambang dapat pengecualian dari peliburan tempat kerja selama PSBB, dengan catatan harus minimum jumlah karyawan bekerja, artinya bisa bebas dari sanksi PSBB jika tetap beroperasi.

Oh iya benar, itu diatur sesuai Permenkes 9/2020, dapat dilihat di Lampiran huruf D memang untuk sektor tertentu perbankan dsb, terdapat pengecualian. Khusus pengecualian bagi pertambangan batubara site ada di D. 2. 3) c) Lampiran Permenkes Nomor 9 Tahun 2020.

Selain itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 PP 21/2020, bahwa Pemda dapat melakukan PSBB terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu Provinsi atau Kabupaten/Kota berdasarkan persetujuan Menkes. Jadi, sebenarnya tidak bisa satu daerah serta-merta lockdown tanpa ada koordinasi terlebih dahulu secara vertikal.

REGULASI WAJIB PAHAM

Jadi, regulasi apa saja yang setidaknya harus dipahami, untuk mengetahui penerapan PSBB dan pengecualian sanksinya?

1. [WAJIB] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Desease 2019 (COVID- 19);

4. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);

5. [WAJIB] Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan

6. Peraturan Daerah masing-masing.

*yang saya tandai [WAJIB] artinya, kiranya para pembaca memahami betul peraturan dimaksud, agar paham alur penanganan di tengah sebuah pandemi dan segala konsekuensinya.

PENUTUP

Tetap kita hormati dan ikuti arahan Pempus. Saran saya kepada para pembaca, tetap stay at home semaksimal mungkin bagi yang bisa melaksanakannya, juga physical distancing jangan lupa. Selain itu, jangan panik, tetap tenang dalam menghadapi pandemi ini.

Dengan segala keterbatasan, saya tidak bisa menjelaskan segala hal terkait penanganan pandemi corona virus ini. Tentu ada banya hal yang seharusnya penting dibahas.

Sekali lagi, saya tegaskan tulisan ini hanya membahas regulasi sanksi dalam penerapan PSBB dan pengecualiannya, termasuk penerapan di Jakarta dan sektor pertambangan, mengingat kebetulan saya saat ini bekerja sebagai in-house lawyer dan background knwoledge saya adalah hukum tata negara (S1 dan S2).

Semoga dapat dipahami dan bermanfaat. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam memahami suatu hal, ada bahasa yang sulit dipahami, kesalahan penulisan, dan kurang lengkap tanda baca.

Terima kasih.

Jumat, 10 April 2020, jam 00:02 WIB

Muhammad Karim A

Tambahan: Saya mengucapkan terima kasih kepada para pembaca yang mengapresiasi tulisan sederhana ini sejak pagi hingga siang, termasuk beberapa diantaranya memberi masukan dan saran, sehingga pada sore hari, tepatnya jam 17.30 WIB di hari dan tanggal yang sama, dapat saya perbaiki sebagaimana seharusnya. Sekali lagi, terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar