Jumat, 10 April 2020

Curhatan di Hari Jumat

Saya sebenarnya tidak tau mau nulis apa, tapi hanya ingin, ya katakan, curhat saja.

Ingin sekali rasanya membuat sebuah buku... buku nikah, hilih! Bercanda, tepi serius, eh.

Saya sebenarnya ingin menulis sebuah buku tentang apa-apa yang sudah saya jalani selama ini, tidak soal apakah ada yang mau membaca atau tidak, saya hanya ingin saja, entah kenapa, tapi bingung harus memulai dari mana... oh dari mana... dari matamu, matamu, matamu, hilih!

Terlalu banyak rasanya hal-hal yang ingin dituliskan. Begitu banyak kenangan yang tersimpan dan teringat, tapi terkadang juga bisa lupa, mengingat saya hanya manusia biasa yang suka lupa. Dan, saya yakin pembaca tentu memiliki banyak hal yang ingin dituliskan, tapi saking banyaknya, jadi bingung gimana mau mulai. Sama-sama bingung? Kuy pelukan tiang listrik, apa tembok rumah atau kos masing-masing, wkwk.

Kali ini saya ingin curhat sedikit, tapi panjang (lah piye tho, mbingungi?!) terkait pengalaman hidup di tengah COVID-19 ini.

Syukur, sampai saat ini saya tidak kena gejala dan semoga tidak ada memang tidak ada COVID-19 di dalam tubuh saya. Satu sisi, ini benar-benar saya syukuri. Saya sehat, bisa stay at home kendati tidak bersama kelaurga, karena saya takut ternyata carrier, siapa tempe kan? Bisa stay at home, jadinya tidak perlu repot-repot physical distancing ke luar rumah atau ke tempat publik.

Namun, kadang saya suka kepikiran, menjadi suatu hal yang aneh, yang tadinya sehari-hari ke kantor, balik, kos, ke kantor, balik kos. Ketemu bos-bos, ketemu teman-teman, diskusi, gojekan, atau apalah rutinitas semua itu yang tetiba terhenti begitu saja. Dan, saya yakin pembaca tentu merasakan hal yang sama.

Tidak hanya itu, kali ini yang saya tulis secara khusus, saya kepikiran seorang ibu yang jualan makanan di depan kantor dan para abang ojol.

Kami manggilnya emak, panggilan untuk ibu-ibu dalam Bahasa Jawa. Emak ini -saya lupa namanya, sehari-hari jualan di jalan depan kantor saya persis. Tiap pagi banyak yang beli makan di situ, tak terkecuali saya, teman-teman, dan orang-orang se-kantor lainnya.

Emak itu baik banget orangnya, malah kadang suka kasih harga murah kalau saya beli makanan. Saking baiknya. Bayangkan, orang yang secara pandangan mata kemampuan ekonominya mungkin tak seberapa, tapi bisa berbagi. Itu salah kekayaan sesungguhnya dalam hidup!

Sedikit jeda saja. Saya jadi ingat warung Bu Egar, saat saya masih nge-kos 4 bulan di NTB. Suatu hari, saya pernah tanya, kenapa uang 2 ribu-an dan 5 ribu-an yang masih kincling/baru disishkan? Jawabannya sederhana, tapi sungguh menyentuh. Di dekat tempat beliau tinggal, ada anak-anak yatim. Mereka senang sekali dikasih uang baru, ya berbagi sedikit, katanya. Sekali lagi, itu salah kekayaan sesungguhnya dalam hidup!

Kembali ke cerita Emak. Emak, orang yang kerap negur saya, "Anak kok cuman makan daun?!"

Saya itu kerap diprotes sama Emak, karena beli nasi dikit, minta pecel tapi tanpa bumbu, sudah gitu lauk telor satu, atau kadang gorengan. Katanya, gimana saya mau gemuk, wong makan dikit. Ya, saya memang kerempeng, ceking, tinggi pun tidak, hha!

Kadang kita suka kecelik, bingung, kalau Emak pas nggak jualan. Pernah kita ikut sedih juga, suatu hari Emak nggak jualan, karena suaminya sakit. Padahal, suaminya sehari-hari mbantu beli bahan-bahan di pasar tiap pagi. Jadi pernah, pada waktu tertentu, Emak "sendiri" di tendanya. Terus ada salah satu dari teman kami yang inisiasi mbantu Emak, kasih sedikit sebisanya dari kami. Berbagi sebisanya dari kemampuan kami, sambil tetap beli makanan Emak.

Beli makanan ke Emak kadang bareng teman se-ruangan, kadang sendiri. Begitu datang, diomelin mulu. What a nice moment! Kita bisa ledek-ledekan dan cengkrama satu sama lain, sekalipun saya cenderung pendiam. Kemudian, cerita-cerita itu seketika menjadi kenangan, setidaknya sampai ditulisnya tulisan ini.

Selain itu, saya juga teringat para abang ojol. Mereka itu sampai hafal satu-satu penumpangnya, jadi kayak saudara sendiri saja. Hafal nama saya, hafal kos-an saya, tapi saya nggak hafal juga nama, motor, dan nomor plat-nya. Apakah mereka ojol yang dekat kos ataupun dekat kantor, mereka hafal kita. Kalau perlu, beberapa di antara mereka ada yang inisiatif manggil terlebih dulu, "Pak Karim ya?", misalnya seperti itu.

Pernah suatu waktu, pas akhir tahun 2019, saya sakit cukup lama, sampai satu bulan. Masuk kantor lagi, mereka masih ingat saya dan kos saya.

Kadang suka sambil ngobrol kalau nge-ride. Kadang saya minta mampir bbeli makan malam ke warung yang kelewat satu jalan menuju kos-an. Malah, pernah beberapa kali saya minta mampir modern mart, nggak au diganti ang parkirnya. Itupun nggak mau bilang kalau tadi mbayar parkir.

Pernah ada satu atau dua driver ojol yang bilang alasan nggak mau diganti uang parkir. Katanya cuman 2 ribu-an, 5 ribu-an, wong berbagi dikit aja mas, katanya. Lagi-lagi, itu salah kekayaan sesungguhnya dalam hidup! Kemudian, cerita-cerita itu seketika menjadi kenangan.

Saya kepikiran dengan Emak, para abang ojol, maupun orang-orang seperti mereka, bagaimana mereka harus hidup sehari-hari. Apalagi, di tengah pandemi global ini.

Sebelum kantor menerapkan WFH secara full, menjadi awal kehilangan kenangan-kenangan itu dengan cepat. Demi menjaga kondisi, pada saat itu kami tidak mungkin beli makanan lagi ke Emak. Seketika kami berpikir, siapa yang beli makanan Emak? Masih ada nggak yang lain yang beli makanan ke Emak? Terus nanti gimana?

"Mesakno yo mas?", kata salah satu teman saya. Artinya, kasihan ya mas.

Bahkan sampai sekarang, kami se-ruangan suka kepikiran Emak. Dan, saya yakin tidak hanya saya atau kami se-ruangan saja yang kepikiran Emak... se-kantor, bahwa se-kawasan mungkin!

Cerita kenangan pun tidak hanya dengan Emak. Pada saat sebelum diterapkan WFH secara full, orderan para abang ojol pun berubah, tentu saja menurun. Kadang beberapa dari mereka ada yang cerita, bingung, kok jadi sepi, tapi mau gimana lagi.

Mereka yang harus bertahan di luar, demi mengisi kebutuhan di dalam rumah atau tempat mereka masing-masing.

Sampai suatu hari, ketika WFH secara full benar-benar diterapkan mulai hari ini, semua cerita itu benar-benar menjadi kenangan. Ini bukan saja soal kenangan cerita itu semua semata, melainkan kepikiran bagaimana mereka harus bertahan di tengah pandemi ini. Tentu, orang-orang seperti mereka mengalami kesulitan yang lebih dibandingkan hari-hari sebelum sebuah pandemi global terjadi.

Jadi, saya kebayang, andaikata seseorang harus ingin menulis sebuah buku seperti saya, saya mungkin harus berpikir ulang.

Ada orang-orang seperti mereka yang benar-benar butuh menulis sebuah buku. Sebuah buku bukan untuk mengenang cerita semata, melainkan menuliskan hidup-hidup mereka di tengah bencana yang entah-berantah kok bisa muncul dan dari mana mulanya dibuat. Andai orang-orang seperti mereka punya kesempatan dan kemampuan untuk menulis buku, nggak kebayang seberapa banyak yang bisa dan harus mereka tulis.

Mereka, yang menjadi salah satu pihak yang begitu terdampak dari adanya situasi yang tidak mudah ini.

Mereka sendirian? Tidak! Ada dokter, tenaga medis, maupun yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Sekali lagi, andai punya kesempatan dan kemampuan untuk menulis buku, nggak kebayang seberapa banyak yang bisa dan harus mereka tulis.

Tulisan ini, bukan maksud saya untuk bersedih. Bukan! Semata-mata, tulisan sederhana ini hanya ingin sedikit memberikan kepedulian kepada mereka-mereka yang mungkin tidak seberuntung kita, yang masih bisa stay at home, atau physical distancing saat bepergian seperlunya.

Jadi, para pembaca yang baik hatinya, yang masih beruntung bisa menerapkan stay at home, kiranya mensyukuri hal ini baik-baik dan jangan menyepelekan status PSBB yang sudah ditetapkan dan tengah berlangsung hingga saat tulisan ini dibuat.

Bagi para pembaca yang ingin bisa memahami sekilas saja mengenai PSBB, bisa membaca tulisan saya di link http://karim-muhamr.blogspot.com/2020/04/sanksi-penerapan-psbb-dan.html dengan harapan para pembaca yang sebelumnya kurang paham, dapat menjadi paham, sebagai bentuk meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan kita, tapi dengan tidak melakukan tindakan panik.

Saya, saat ini, tidak bisa memberikan apa-apa kepada mereka, tidak bisa bercengkrama seperti rutinitas biasanya. Saya hanya bisa menuliskan tulisan sederhana ini. Saya hanya bisa berdoa, semoga mereka kuat! Saya yakin mereka kuat!

Kita tentu mendoa, berharap, semoga pandemi ini segera berakhir dan kita dapat beraktivitas lagi seperti biasanya. Kembali melanjutkan cerita, perjuangan, dan cita-cita masing-masing. Kembali bercengkrama satu sama lain. Dan, suatu saat kita bisa menceritakan kepada generasi selanjutnya, bahwa kita semua orang-orang kuat!

Semoga, hari ini sebagai salah satu hari-hari yang kita lalui bersama, menjadi saksi bahwa kita semua orang-orang kuat!

Semoga!

Jumat, 10 April 2020

Muhammad Karim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar