Sebenarnya ini masih cerita yang sama, tentang mereka, yang berjuang di tengah pandemi COVID-19 ini. Kalau pembaca pernah membaca cerita http://karim-muhamr.blogspot.com/2020/04/curhatan-di-hari-jumat.html pasti akan tahu siapa itu Emak, orang yang jualan makanan di jalanan depan kantor. Emak, sebagai salah seorang akar rumput yang harus terus hidup memenuhi kebutuhan sehari-hari, kendati di tengah pandemi global ini.
Hari ini, hari ini pake banget pokoknya, tanggal 17 April, berbeda tujuh hari dari tanggal pertama kali saya menulis "Curhatan di Hari Jumat" tanggal 10 April yang lalu, saya mendapatkan kabar dari seseorang, salah seorang akar rumput di suatu tempat dimana saya dilahirkan dan dibesarkan, tidak lain ialah Yogyakarta, atau banyak yang menyebut dengan singkat Jogja.
Pulang ke kotamu... eh, jangan mudik dulu...
Orang ini, sebut saja Yu, cerita ke saya. Intinya, pedagang pasar kebingungan mesti jual kemana dagangan mereka. Katanya, pasar sangat dibatasi atau ditutup, saya kurang copy untuk hal ini. Yang jelas, karena pandemi global ini, mereka sangat sulit berjualan dagangan. Biasanya, menjual dagangan lebih mudah mereka lakukan dengan para pembeli setia yang langsung datang ke pasar, terutama dari hotel-hotel di Jogja yang biasa memasak makanan dalam jumlah banyak.
Keadaan kemudian menjadi berbalik. Tidak ada wisatawan, tidak ada hotel yang beroperasi. Tidak ada hotel yang beroperasi, memang bukan berarti tidak akan ada yang mau membeli dagangan, tetapi siapa yang mau membeli dagangan dengan jumlah banyak seperti hotel-hotel itu, sementara para pedagang pasar sudah terlanjur siap stok dagangan dengan jumlah yang banyak.
Sementara, roda harus terus berputar.
Jadi, apa yang mereka, para pedagang pasar, lakukan demi tetap terjualnya dagangan mereka? "Mereka jadinya jemput bola", kata Yu melanjutkan cerita. Sebagian dari mereka harus jemput bola, entah sebagian kecil atau sebagian besar dari mereka, lagi-lagi saya kurang copy untuk hal ini. Mereka mendatangi satu-satu, dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu, dari orang ke orang di tempat orang itu berada dimana biasanya orang-orang itu yang datang, mendatangi mereka ke pasar.
Anda bayangkan, mereka harus jemput bola. Artinya, mereka harus melakukan more effort dari biasanya. Apakah berlaku, yang katanya hukum ekonomi, hukum bisnis, hukum dagang, atau apalah, kalau more effort berarti mesti meraup keuntungan yang lebih besar, untuk menutupi more effort tersebut agar tidak mengelami kerugian dan agar dapat kembali berjualan di lain hari?
Jangankan mengambil kuntungan seperti sebelumnya. Ingat concern-nya yang telah saya tulis sebelumnya: demi tetap terjualnya dagangan. Jadi, apa mereka akan berpikir untung-rugi? Berpikir sama seperti halnya pihak-pihak yang sangat, sangat sibuk berpikir mengenai force majeure atau keadaan kahar untuk mengantisipasi menghindari kewajiban berdasarkan kontrak, setidaknya untuk sementara waktu, atau, mengantisipasi counterpart-nya yang bakal nge-les bahwa COVID-19 menjadi alasan keadaan kahar. Pihak-pihak yang lebih memiliki power and knowledge daripada para pedagang pasar.
Bukannya saya menyalahkan, toh saya juga menyimak pembahasan mengenai apakah COVID-19 menjadi alasan keadaan kahar serta merta? Ingat concern-nya yang telah saya tulis sebelumnya: lebih memiliki power and knowledge. Sebuah perbandingan, pihak-pihak yang lebih memiliki power and knowledge, setidaknya tidak terlalu tergilas daripada para pedagang pasar, maupun para akar rumput lainnya.
Sementara, roda harus terus berputar.
Yu mencontohkan harga daging ayam. Kata Yu, di Kodya, sebutan lain Kota Jogja, ayam kampung 1 kg harganya 80 ribu, ayam broiler 1 kg harganya 20 ribu. Bergeser sedikit ke suatu daerah, kataya Turi, dimana sudah termasuk Kabupaten Sleman tetapi tidak jauh juga dari Kodya, ayam broiler 1 kg harganya 15 ribu. Dengan more effort yang sama, jemput bola, dengan harga yang lebih murah. Demi tetap terjualnya dagangan. Itu cerita Yu pagi hari.
Belum yang lain. Sore hari, saya dapat kabar lain. Kabar yang ber-sliwer-an di sosmed dengan judul "Ratusan Ribu Petani Ikan Terancam Gagal Panen" dengan location tagged di Pasar Ikan Nogotirto, Kabupaten Sleman. Sama seperti halnya para pedagang pasar, mereka kesulitan untuk menjual dagangan daging ikan mentah segar, sebagai dampak luas dari penyebaran corona virus.
Bayangkan, katanya, ada puluhan-ratusan ton yang belum terpanen. Ingat concern-nya yang telah saya tulis sebelumnya: demi tetap terjualnya dagangan. Sama seperti halnya para pedagang pasar, sudah terlanjur siap stok dagangan dengan jumlah yang banyak. Untuk itu mereka harus jemput bola, persis sama seperti para pedagang pasar, more effort.
Mereka, para petani ikan dan Jaringan Mitra Perikanan Sleman (JMP) sesuai yang tertulis dalam pesan berantai itu, menawarkan untuk mengantar langsung daging ikan mentah segar ke ke orang di tempat orang itu berada dimana biasanya orang-orang itu yang mendatangi mereka. Bahkan, selain menerima pengiriman ikan dengan kondisi sudah hidup atau sudah mati dengan jeroan bersih, mereka juga menerima pesanan ikan bakar dan menu lainnya. Demi tetap terjualnya dagangan. Cerita lain yang saya dapat sore hari.
Sedikit jeda saja. Saya jadi ingat cerita gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 silam. Saya ingat betul, saya masih SD saat itu. Suatu pagi, lagi tengah sarapan, tetiba muncul suara yang amat berisik. Awalnya saya yang masih ingusan, nggak ngeh kalau ada gempa, hanya fokus pada tivi yang tadinya menayangkan kartun favorit, berubah menjadi bergoyang ke kiri-ke kanan dengan layar berwarna biru.
Semua terjadi begitu cepat. Begitu pula pemberitaan korban jiwa dan segala kerugian yang timbul karenanya, tersebar begitu cepat. Namun, warga Yogyakarta memberikan suatu keteladanan yang baik di tengah bencana alam tersebut. Persisnya di Kabupaten Bantul, yang memiliki cerita tersendiri, dimana warganya saling bahu-membahu membangun kembali rumah-rumah yang telah hancur bahkan roboh rata dengan tanah. Padahal, tempat itu menjadi salah satu tempat terparah yang terdampak gempa.
Begitulah cerminan warga Jogja, saling tolong-menolong, saling bahu-membahu. Dulu, warga Jogja berhasil membuktikan bahwa mereka kuat di tengah bencana alam. Belum yang lain. Sebut saja Erupsi Gunung Merapi pada 8 November 2010 silam. Mereka tetap membuktikan bahwa mereka, warga Jogja, adalah orang-orang yang kuat!
Di tengah COVID-19 ini sebagai bencana non-alam, boleh jadi para pedagang pasar, para petani ikan, maupun lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan satu-per-satu, tidak bisa mendapatkan keuntungan sama seperti biasanya. Namun, sekali lagi, warga Jogja kembali mencerminkan diri mereka, saling tolong-menolong, saling bahu-membahu. Jual-beli tetaplah terlaksana, saling melengkapi kebutuhan masing-masing, antara penjual dengan pembeli.
Mereka, para akar rumput, tetap membuktikan bahwa mereka orang-orang yang kuat! Dan, saya yakin, inilah cerminan sesungguhnya kita, Indonesia. Seperti halnya yang dikatakan oleh Cak Nun atau Muhammad Ainun Nadjib, bahwa Indonesia dasarnya adalah orang-orang yang kuat!
Kita tentu mendoa, berharap, semoga pandemi ini segera berakhir dan kita dapat beraktivitas lagi seperti biasanya. Kembali melanjutkan cerita, perjuangan, dan cita-cita masing-masing. Kembali bercengkrama satu sama lain. Dan, suatu saat kita bisa menceritakan kepada generasi selanjutnya, bahwa kita semua orang-orang kuat!
Semoga, hari ini sebagai salah satu hari-hari yang kita lalui bersama, menjadi saksi bahwa kita semua orang-orang kuat!
Semoga!
Jumat, 17 April 2020
Muhammad Karim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar