Selasa, 12 Desember 2017

(Permasalahan) Disabilitas dalam Sosiologi Hukum: Sebuah Catatan Singkat

Kaum disabilitas atau difabel (different ability/berbeda kemampuan) yang disebut sebagai orang-orang dengan berkebutuhan khusus maupun kelainan fisik atau mental, kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan di tengah-tengah kehidupan demokrasi dan hiruk-pikuk memperjuangkan hak asasi manusia, mereka masih saja terlupakan dan terpinggirkan, menjadi isu klasik yang seolah sudah biasa.
Padahal, disabilitas bukan berarti bukan manusia. Semangat inilah yang dibawa oleh masyarakat internasional, yangmana kemudian dituanagkan di dalam United Nations Convention Rights of Person with Disabilities. Konvensi tersebut menggunakan istilah person with disabilities, bukan disabilities people, yang menempatkan dan mengakui tiap-tiap orang secara individu yang memiliki kelainan fisik tetaplah manusia sebagai subjek, sama seperti lainnya. Kelainan fisik maupun mental yang disandang oleh seseorang, bukan berarti menempatkan dirinya sebagai objek in society.
Menempatkan dan memandang disabilitas sebagai objek inilah yang menimbulkan diskriminasi negatif selama ini. Mereka dianggap tidak mampu, butuh dikasihani, bahkan terhina. Sehingga sebagai kelompok termarjinalkan atau minoritas, hak-hak setiap orang disabilitas perlu dilindungi.

Main Pim-pong
Pemerintah Indonesia memang telah meratifikasi UNCRPD melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Namun, implementasi negara dalam upaya untuk memenuhi hak-hak disabilitas di berbagai bidang belum sepenuhnya dilakukan, baik dari sector pendidikan, kesehatan, pekerjaan, kehidupan yang layak, dan lain sebagainya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 saja masih menggunakan istilah penyandang cacat, yangmana menimbulkan konsekuensi bahwa mereka yang berkelainan fisik atau mental ditempatkan sebagai subjek dalam kehidupan.
RUU Disabilitas yang baru digodok dan on progress menunjukkan disabilitas masih menjadi mainan pim-pong di dalam percaturan politik. Disabilitas bukanlah menjadi isu yang penting bagi para pembuat kebijakan maupun pemangku kepentingan. Kebijakan yang dikeluarkan pun cenderung tidak memihak, bahkan semakin menyudutkan.
Isu disabilitas bisa saja terangkat dalam sekejap dalam momen-momen tertentu, sebut saja pada akhir tahun ini bertepatan hari disabilitas internasional pada 3 Desember dan pilkada pada 9 Desember mendatang. Namun, apakah memperjuangkan isu disabilitas hanya sekedar euphoria semata? Tidak ada jaminan bahwa hari disabilitas dan momen pilkada yang kebetulan berdekatan itu, pasangan calon melalui janji kampanye akan benar-benar memperjuangkan isu disabilitas, selain setelah pasangan calon terpilih benar-benar merealisasikan melalui kebijakan yang nyata.
Ironisnya, pada saat yang sama, orang disabilitas masih saja terdikriminasi dalam menyampikan aspirasinya di dalam pesta demokrasi bernama pemilu, yang katanya pesta untuk semua rakyat dan dalam rangka menjamin hak asasi manusia. Para disabilitas kerap kesulitan dalam mengenal dan memilih pasangan calon, tersampaikan aspirasinya kepada pasangan calon saat masa kampanye, kesulitan akses secara fisik maupun akses informasi dalam pilkada, atau bahkan tidak dapat menyampikan maupun tersampaikan aspirasinya, baik pada masa kampanye maupun saat mencoblos. Lantas bagaimana hak-hak disabilitas dapat terpenuhi dengan baik, jika hak memilih saja tidak terlindungi dengan baik?

Regulasi
Karena dari hak memilih itulah ditentukan nasib banyak orang, karena calon terpilih nantinya mempunyai kuasa untuk mengeluarkan regulasi-regulasi yang tepat dan tidak menyudutkan disabilitas. Masyarakat DIY patut berbangga dengan adanya Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 yang menjamin hak-hak disabilitas, maupun adanya berbagai organisasi yang menyuarakan atau mewadahi aspirasi dan kemampuan disabilitas, baik dari pemeritnah maupun LSM. Sinkronisasi antara pemerintah dan masyarakat inilah yang seharunya tercipta dan terbangun di dalam upaya melindungi hak-hak disabilitas, karena tidak mungkin menjadi bangsa yang besar tanpa memeperhatikan mereka yang termarjinalkan termasuk disabilitas.
Momen hari disabilitas kiranya menjadi refleksi bagi kita semua untuk ngewongke wong disabilitas, baik bagi semua lapisan masyarakat, maupun bagi pemerintah yang berkuasa mengeluarkan kebijakan. Termasuk dalam momen pilkada ini, hendaknya para calon pasangan agar mengangkat isu disabilitas tidak sebatas untuk merebut hati disabilitas. Namun juga bagaimana setelah terpilih calon pasangan dapat mengeluarkan regulasi yang dapat melindungi hak-hak disabilitas pula.
(Dikutip dari tulisan opini “Disabilitas Bukan Sekadar Isu Pilkada” oleh Muhammad Karim Amrullah, yang dimuat Koran Kedaulatan Rakyat pada Rabu, 9 Desember 2015)

Angan Pendidikan Inklusif
Begitu pula difabel dalam menghadapi realita sulitnya mengakses ha katas pendidikan. Gong 2 Mei seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua, sejauh manakah keadilan dalam mengenyam pendidikan dapat dirasakan bagi setiap kalangan. Di tengah semaraknya Hari Pendidikan Nasional, kenyataan menunjukkan bahwa belum semua lapisan masyarakat telah meraih hak atas pendidikan di Indonesia. Terlebih, bagi mereka yang termarjinalkan seperti kaum difabel.
Di tengah upaya perbaikan akan kualitas pendidikan di Indonesia, semangat mewujudkan kondisi pendidikan yang inklusif terus digaungkan. Kondisi pendidikan dimana difabel dapat berbaur dengan non-difabel dan dianggap mampu mengikuti proses pembelajaran di sekolah sama seperti lainnya. Karena sejatinya, setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh hak atas pendidikan, agar setara dengan manusia lainnya. Namun, pendidikan inklusif masih sulit untuk diimplementasikan.
Kaum difabel masih saja terpojokkan untuk menimba ilmu. Perbedaan yang melekat secara fisik selalu menjadi penghalang bagi mereka untuk sekedar duduk di bangku sekolah, terlebih bermimpi hingga bangku kuliah. Kalaupun ada, jumlah mereka hanya sebanyak hitungan jari. Hal ini tidak dapat dielak lagi, mengingat sebagian kecil saja masyarakat yang dapat menempuh jalur pendidikan formal. Apalagi difabel sebagai kelompok minoritas secara umum.
Sebagai kelompok minoritas, difabel rentan terhadap tindakan diskriminasi yang negatif. Awal dari diskriminasi di bidang pendidikan, menjadi akar permasalahan yang serius bagi difabel. Ibarat bola salju, satu permasalahan yang mendasar akan menyebabkan berbagai permasalahan yang timbul di kemudian hari. Stigma-stigma negatif yang telanjur terbangun di tengah masyarakat dalam memandang orang yang memiliki keterbatasan, sesungguhnya pemicu awal mula dari rentetan yang logis pelanggaran hak asasi manusia yang “sudah biasa” terjadi.

Bermula dari Persepsi
Pandangan negatif inilah yang kemudian dapat memukul secara psikologis, baik bagi difabel secara individu, maupun bagi orang tua dan keluarganya. Belum lagi jika terdapat kasus di mana lingkungan keluarga tak mendukungnya untuk tumbuh seperti manusia lainnya. Orang yang memiliki kelainan pun menjadi canggung untuk sekedar berbaur dengan lingkungan sekitarnya sendiri. Pendidikan informal pun tak terpenuhi bagi difabel itu sendiri.
Ketidakmampuan seorang difabel untuk berbaur dengan masyarakat, melahirkan sebuah pembatas antara difabel dengan orang-orang yang dianggap normal. Padahal, orang difabel perlu untuk menyuarakan adanya pelanggaran HAM atas dirinya sendiri dan mereka yang bernasib sama di berbagai tempat. Permasalahan ini kemudian berlanjut pada sekat yang lebih besar, ketika difabel terhadang untuk menempuh jalur pendidikan formal.
Di lapangan menunjukkan akan terjadi setidaknya dua bentuk diskriminasi. Pertama, sekolah tak mau atau tak bisa menerima seseorang dengan ketunaannya untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kedua, kalaupun sekolah itu mau menerima, belum tentu sekolah itu mampu untuk memenuhi berbagai kebutuhan seorang yang berkebutuhan khusus untuk mendukung kegiatan dalam proses pembelajaran sesuai apa-apa yang dibutuhkannya.
Dari sini terlihat bahwa difabel tidak dapat menikmati bangku sekolah sebagaimana yang sepatutnya. Dalam berbagai kasus, ada diantara mereka yang akhirnya putus sekolah. Ada pula yang terus berjuang melanjutkannya, dengan konsekuensi mereka harus mampu memenuhi kebutuhannya yang khusus secara mandiri. Bertambah ruwet, jika kondisi sekolah yang bersangkutan tidak mau memperhatikan kondisi ketunaan yang ada pada salah satu atau dua dari sekian banyak muridnya.
Polemik tersebut menyebabkan seorang difabel tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai. Hal ini tentu saja membangun tembok penghalang yang lebih besar lagi. Ia justru bisa menjadi penghalang bagi dirinya sendiri untuk mendapat pekerjaan dengan upah yang layak. Di sinilah akar mulanya kemiskinan dan pengangguran kian hari kian membengkak jumlahnya, khususnya di kalangan difabel. Hal ini diperparah ketika seorang difabel tidak mendapatkan pendidikan non-formal seperti pelatihan, yang menjadikannya tertatih-tatih menyesuaikan tuntutan zaman yang terus berkembang.
Kenyataan memang masih jauh dari harapan. Membangun pendidikan inklusif bukanlah perkara mudah. Selain membutuhkan sumber daya manusia dan anggaran yang memadai, kesadaran masing-masing pihak menjadi kunci utama terwujudnya pendidikan inklusif. Sehingga dalam upaya mewujudkan pendidikan yang inklusif, perlu dibarengi dengan pemahaman bersama pula untuk meluruskan pandangan masyarakat yang salah terhadap difabel.

(Dikutip dari tulisan opini “Angan Pendidikan Inklusif” oleh Muhammad Karim Amrullah, yang dimuat Dekatsini pada Mei 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar