Oleh: Muhammad Karim Amrullah
Anggapan publik terhadap status tersangka selama ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Oleh masyarakat, pihak penyandang status yang baru diduga melakukan tindak pidana seakan-akan dicap sebagai ahli neraka .
Hal ini tidak terlepas dari peran media massa yang kurang objektif dalam menyajikan berita lantaran terlalu membesar-besarkan isu yang ada, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami kasus yang sedang diperbincangkan. Masyarakat menjadi salah mengkonsumsi berita. Yang terjadi kemudian, berbagai cacian dan hujatan diterima oleh seorang tersangka dalam hidup bermasyarakat.
Pihak-pihak yang punya hubungan erat dengan subjek yang sedang diperdebatkan itu pun turut merasakan dampak negatifnya, baik yang terlibat bahkan yang tidak sama sekali. Salah-salah justru mempersulit dalam upaya mengurai benang permasalahan dan memperkeruh suasana.
Dikatakan semua pihak harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Jika benar demikian, mengapa kita sebagai masyarakat tidak turut serta mengawasi upaya penegakan hukum dan menyikapinya dengan bijak?
Bukankah mencaci dan menghujat seorang tersangka sekalipun benar-benar terbukti melakukan tindak pidana di sidang pengadilan nantinya tidak akan menyelesaikan masalah? Apalagi Indonesia merupaka negara yang menganut prinsip presumption of innocence (asas praduga tak bersalah).
Jadi salah persepsi bila seseorang yang baru menyandang status tersangka sudah di-judgment telah melakukan suatu tindak pidana.
Seseorang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana, baik berupa pelanggaaran maupun kejahatan. Memang pada umumnya yang terjadi seorang tersangka akan naik tingkatnya menjadi terdakwa, terpidana hingga narapidana, jika ia benar-benar terbukti melakukannya.
Misalnya saja seseorang yang ditetapkan statusnya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), biasanya yang bersangkutan akan terbukti bahwa ia benar-benar melakukan suatu tindak pidana dan akan diproses lebih lanjut. Namun, tidak semua tersangka terbukti telah melakukan tindak pidana karena tidak ada bukti yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa ia telah melakukan tindak pidana atau karena adanya pengecualian.
Peristiwa Hukum
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai peristiwa hukum. Sudikno Mertokusumo mencatat, bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa yang mempunyai akibat hukum serta menimbulkan hak dan kewajiban.
Tidak semua peristiwa konkrit mempunyai akibat hukum. Namun, peristiwa-peristiwa yang bukan peristiwa hukum juga penting jika relevan bagi hukum, meskipun bukan syarat terjadinya hubungan hukum.
Contoh sederhananya, merokok bukan merupakan peristiwa hukum, tetapi jika dilakukan di tempat no smoking area, pelakunya dapat dihukum. Pelaku dalam kasus ini dihukum bukan karena ia merokok, melainkan karena ia merokok di tempat yang terdapat ketentuan larangan merokok.
Peristiwa hukum inilah yang nantinya dapat diajukan ke pengadilan, itupun bila terdapat cukup bukti yang kuat. Selanjutnya terdapat proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga putusan. Putusan hakim dianggap benar selama tidak dibuktikan sebaliknya, atau yang lebih dikenal dengan istilah res judicata pro veritate habetur.
Perlu dicatat bahwa tidak semua subjek hukum, baik seseorang maupun badan hukum, yang terbukti melakukan penyimpngan hukum dapat dihukum karena adanya uitzonderingsgevallen, yakni pengecualian atas suatu pelanggaran hukum yang terjadi karena undang-undang yang berlaku memaafkan dan/atau membenarkan pelanggaran tersebut.
Alasan pemaaf atau schuldopheffingsgrond tercantum pada Pasal 44, 45, dan 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan alasan pembenar atau rechtvaardigingsgrond terdapat pada Pasal 49 ayat (1), 50, dan 51 ayat (1) KUHP.
Salah satu contoh yang paling terkenal yaitu Putusan Pengadilan Amsterdam tanggal 15 Oktober 1923. Dikisahkan seorang bernama de Grooth, yang mana kacamatanya rusak karena tertiup angin badai. Kemudian seorang pemilik toko menjualkan kacamata kepada de Grooth yang tidak dapat melihat tanpa kacamata. Padahal pada sore semua toko harus tutup menurut peraturan yang berlaku di Amsterdam, sehingga pemilik toko dilarang melakukan penjualan.
Namun de Grooth sangat memerlukan pertolongan pada saat itu juga. Yang menjadi catatan di sini bahwa tindakan pemilik toko tersebut dilakukan dalam keadaan memaksa khususnya darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa (opticien) lepas dari segala tuntutan hukum. Alasannya, karena dalam keadaan seperti itu timbul kewajiban untuk menolong sesama atau arrest optician.
Tersangka dan Kelanjutannya
Pasal 1 KUHAP menentukan bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Definisi tersebut dari segi etimologi berasal dari kata “sangka” yang berarti kemungkinan atau diduga, kemudian mendapat imbuhan awalan “ter-“ yang bermakna sengaja.
Jadi memang sengaja disangka karena ada dugaan yang kuat, tetapi belum diputuskan apakah benar atau tidak. Meskipun baru dalam tahap menduga, tidak boleh sedikitpun mengabaikan bahkan menyimpang dari bukti-bukti yang ada karena akan menentukan seorang tersangka naik tingkat maupun tidak.
Jika tidak ada bukti yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa seorang tersangka telah melakukan tindak pidana, maka ia terbebas dari tuntutan maupun gugatan. Bagaimana jika terdapat bukti yang cukup kuat bahwa seorang tersangka melakukan tindak pidana?
Seorang tersangka yang kemudian dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan, maka disebut terdakwa. Seorang terdakwa naik tingkatnya menjadi terpidana apabila telah jatuh putusan hakim berupa hukuman terhadapnya di sidang pengadilan dan saat menjalankan hukuman itulah seseorang disebut narapidana.
Penuntutan dan Putusan
Pada tahap penuntutan dan putusan justru lebih penting untuk diketahui. Karena pada kedua tahap ini paling riskan diselewengkan, tetapi kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun sorotan dari media massa (jika pengadilan bersifat terbuka untuk umum). Kerap terjadi penyelewengan pada tahap penuntutan di sidang pengadilan yang dapat memengaruhi putusan hakim nantinya.
Misalnya, seorang pelaku tindak pidana yang seharusnya dihukum penjara 10 tahun mendapat keringanan menjadi empat tahun atau dua tahun, bahkan dibebaskan dari hukuman. Kalaupun ada yang mendapat sorotan media massa, mereka yang dianggap heboh oleh publik seperti para elite politik dan artis terkemuka atau mungkin yang memang dianggap keterlaluan, seperti kasus pencurian sandal atau kasus pencurian buah kakao yang diseret ke pengadilan.
Seorang hakim dituntut untuk mampu mencerminkan tiga hal dalam mengeluarkan putusan, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan secara proporsional. Memang tidaklah mudah untuk menerapkannya.
Namun, yang sangat disayangkan apabila seorang hakim dengan sengaja menyimpang dari tiga hal tersebut dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai salah satu profesi yang paling dihormati, seperti menerima suap dari pihak berperkara, baik melalui pengacara, jaksa, maupun terdakwa. Nah!
*Muhammad Karim Amrullah, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada.
15 November 2015
https://kmmih.law.ugm.ac.id/meluruskan-persepsi-status-tersangka/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar