Rabu, 03 Mei 2017

Pengawasan Keuangan Negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang menganut konsepsi negara kesejahteraan (welfare state), hal ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bahwa “[...] melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia [...]”. Titik berat konsepsi welfare state ialah adanya pemerataan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat, sehingga negara dituntut untuk berperan aktif dalam menciptakan kesejahteraan tersebut. Bentuk keaktifan negara melalui pengaturan dan kebijakan dalam melaksanakan urusan pemerintahan agar penyelenggaraan pemerintahan mendorong terwujudnya tujuan negara.
Dalam rangka menyokong keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan tersebut, keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.[1] Oleh karenanya, dibutuhkan suatu sistem atau mekanisme yang menjaga pelaksanaan atas pengelolaan keuangan negara sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Kebutuhan ini kemudian melahirkan adanya pengawasan pengelolaan keuangan oleh suatu badan tersendiri. Pengawasan menurut Henry Fayol pada hakekatnya merupakan suatu tindakan menilai atau menguji apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.[2] Dengan demikian, pengawasan atas pengelolaan keuangan negara memiliki acuan atau standar yang dijadikan penilaian.
Pengawasan ini merupakan salah satu bentuk konsekuensi dari adanya pembatasan yang dianut oleh negara hukum demokratis. Kekuasaan penyelenggaraan negara harus dibatasi, hal ini tidak lain untuk mencegah kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan negara. Adanya pembatasan kekuasaan negara tersebut sama-sama dianut oleh negara yang menganut rechstaat maupun rule of law.[3] Pembatasan tersebut dilakukan dengan hukum dan menjadi ide dasar konstitusionalisme,[4] mengingat salah satu isi konstitusi merupakan pembatasan kekuasaan lembaga negara.
Dalam konteks Indonesia, konstitusi telah menentukan adanya kewenangan atas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara ada pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)[5]. Kedudukan BPK menjadi sangat penting dalam sistem ketatanegaraan, mengingat perlu adanya pengawasan secara teknis atas pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif, dalam hal ini Presiden.  Keuangan negara atau fiskal nasional merupakan salah satu urusan pemerintahan absolut yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, sehingga melaksanakan pengelolaan keuangan negara merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan kekuasaan pemerintahan.
Fungsi pemeriksaan keuangan negara sejatinya telah ada sejak zaman hindia belanda, yakni dilakukan oleh sebuah Raad van Rekenkamer yang menjadi cikal bakal terbentuknya BPK. Pada perjalanannya, kini BPK menjadi lembaga negara yang bersifat auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang pengawasan atas kinerja pemerintahan. Baik pengawasan yang dilakukan oleh DPR maupun BPK terhadap pelaksanaan kekuasaan pemerintahan merupakan bentuk pengawasan eksternal. Namun, pengawasan yang dilakukan oleh DPR merupakan pengawasan politis, sehingga tidak tepat jika pemeriksaan keuangan hanya dilakukan (financial audit) hanya dilakukan oleh DPR saja, oleh karena itu dibutuhkan lembaga lain yang merdeka dan lepas dari pengaruh lembaga lain.
Konsepsi pemeriksaan keuangan negara telah mengalami banyak perkembangan, diantaranya ialah lingkup definisi dari keuangan negara. Sebelumnya, uang negara terbatas pada uang negara dalam konteks APBN, akan tetapi hukum positif yang ada saat ini memperluas lingkup pengertian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003). Atas kondisi tersebut, muncul berbagai perkembangan mengenai pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Berdasarkan uraian tersebut, penting untuk dikaji lebih lanjut mengenai pemeriksaan pengelolaan keuangan negara oleh BPK.

B.                 Rumusan Masalah

1.                  Bagaimana pelaksanaan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan?


BAB II
PEMBAHASAN

A.                Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Ketatanegaraan Indonesia

1.                  Sejarah Terbentuknya Badan Pemeriksa Keuangan

Pendapat mengenai pembentukan BPK dikemukakan oleh Supomo pada awal perumusan UUD 1945 dalam rapat besar BPUPK, 15 Juli 1949.[6] Supomo menjelaskan, bahwa untuk memeriksa tanggung-jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan, yang dulu dinamakan Rekenkamer, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang, itulah garis-garis besar tentang kekuasaan negara.[7] Ide pemeriksaan keuangan negara dipahami dalam empat hal. Pertama, terkait pengertian pemeriksaan. Pemeriksaan merupakan terjemahan dari auditing yang lazim digunakan dalam sistem administrasi dan manajemen keuangan modern. Keharusan auditing menjadi jaminan bahwa pengelolaan keuangan itu memang harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku (rule of the games).
Kedua, terkait apa yang dimaksud keuangan negara. Dapat ditegaskan bahwa dalam konsepsi asli UUD 1945 telah membedakan secara jelas antara pengertian keuangan negara dan keuangan daerah. UUD 1945 tidak mendefinisikan secara rinci mengenai pengertian keuangan negara. Namun, keuangan negara dapat dimaknai sebagai keuangan yang digunakan di dalam penyelenggaraan negara. Artinya, anggaran yang digunakan bagi penyelenggaraan negara baik di tingkat pusat maupun daerah.[8] Keuangan yang dimaksud tersebut ialah yang bukan keuangan swasta maupun pribadi. Sebaliknya, uang daerah ialah uang milik negara yang bukan milik pribadi siapa-siapa yang terkait dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 menegaskan, bahwa “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang”. Penjelasannya menyebutkan bahwa: “[...] untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya, badan itu bukanlah pula badan yang berdiri di atas pemerintah. Sebab itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan undang-undang.[9]
Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa sebagai badan pemeriksa, BPK dapat dilihat sebagai instrumen kekuasaan rakyat dalam menentukan sendiri nasibnya melalui penentuan dan persetujuan APBN yang diberikan DPR sebagai acuan atau rujukan bagi pemerintah untuk bekerja dalam melayani kebutuhan rakyat. Hasil pemeriksaan keuangan tersebut kemudian disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya dalam rangka fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
Uang merupakan alat tukar yang bernilai ekonomis dan juga politis, dimana uang dapat menjadi sumber kekuatan dan kekuasaan yang riil. Power is money, and money means power, kekuasaan adalah uang dan uang berarti kekuasaan. Selain dapat membawa kebaikan, uang juga dapat menjerumuskan orang pada penyalahgunaan wewenang Jika tidak diimbangi dengan keyakinan akan nilai-nilai moral, etika, dan agama.[10] Oleh karena itu, poin ketiga ialah terkait pemeriksaan atau penilaian.[11] Setiap pengelolaan keuangan harus dilakukan sesuai aturan dan memerlukan mekanisme yang disebut financial audit.[12] Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara tersebut, dibutuhkan lembaga negara tersendiri yang menjalankan tugasnya tanpa intervensi lembaga lain.
Keempat, bahwa pengawasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan (controll) atas kinerja pemerintahan secara umum[13]. Adapun pengawasan tersebut harus dilakukan dengan suatu sistem yang terpadu dan dilaksanakan secara menyeluruh dari perencanaan sampai pada tahap evaluasi dan penilaian. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari konsepsi pengawasan ialah untuk menjaga pelaksanaan sesuai perencanaan sehingga sesuai dengan tujuan utama kegiatan tersebut.
Setelah UUD 1945 disahkan oleh PPKI, BPK dibentuk pertama kali pada 1 Januari 1947 berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM, 28 Desember 1946 tentang Pembentukan BPK.[14] Mengingat baru dibentuk, untuk sementara BPK masih menggunakan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (BPK Hindia Belanda), yaitu Indische Comptabiliteits Wet (ICW) dan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rakenkamer (IAR).[15]
Perkembangan BPK dari masa ke masa semakin dinamis. Pada masa Konstitusi RIS, BPK berubah nama menjadi DKP atau Dewan Pengawas Keuangan, yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS dan dipimpin oleh R. Soerasno yang sebelumnya merupakan ketua BPK di Yogyakarta. Adapun keanggotaan DKP diangkat oleh Presiden setelah mendengarkan Senat, dan keanggotaan tersebut untuk seumur hidup.
Menginjak pada masa UUDS 1950, DPK RIS kembali menjadi BPK berdasarkan UUD 1945 meski dalam pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR. BPK diharapkan menjadi alat kontrol keuangan yang efektif, sehingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.[16] Di dalamnya menetapkan bahwa Presiden sebagai pemimpin besar revolusi, pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan keuangan negara. Ketua BPK berkedudukan sebagai Menteri Koordinator, sedangkan wakil ketua BPK berkedudukan sebagai Menteri.
Selanjutnya, pada masa UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada awal orde baru, MPRS menerbitkan ketetapan No. X/MPRS/1966 tentang kedudukan semua lembaga-lembaga negara tingkat pusat dan daerah yang menetapkan pengembalian kedudukan BPK kepada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Dnegan demikian, undang-undang yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan baru direalisasikan pada 1973 degan terbitnya undang-undang nomor 5 tahun 1973 tentang BPK.
Kedudukan BPK dalam struktur kelembagaan negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari fungsi DPR di bidang pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Kontrol atau pengawasan atas kinerja pemerintahan harus dilaksanakan secara simultan dan menyeluruh sejak dari tahap perencanaan sampai pada tahap evaluasi dan penilaian. Fungsi pengawasan yang dimiliki DPR bersifat politis, sehingga diperlukan lembaga khusus yang dapat melakukan pemeriksaan keuangan (financial audit) secara lebih teknis. Belanda memiliki lembaga dengan fungsi pemeriksaan keuangan yang disebut Raad van Rekenkamer. Sedangkan di Perancis disebut dengan cour des Comptes, yang merupakan forum yudisial bagi pemeriksaan mengenai penyimpangan yang terjadi dalam tanggung jawab keuangan negara.[17]
Auditing atau pemeriksaan yang dilakukan BPK tersebut bertujuan untuk meluruskan hal-hal yang melenceng dan memberikan arah serta bibingan agar pelaksanaan tugas dan fungsi kelembagaan berada pada koridor aturan yang beralku. Dengan demikian, pemeriksaan keuangan dapat berfungsi preventif maupun korektif.

2.                  Kedudukan Kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan salah satu lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri. Pemeriksaan dan kelembagaan BPK tersebut diatur dalam Pasal 23E, 23F, dan 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK mengatur lebih lanjut pemeriksaan dan kelembagaan BPK.
BPK merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai peran yang strategis dalam mendorong pemerintah melaksanakan kebijakan dan strategi pembangunan. Kegiatan pemeriksaan BPK akan mengawal dan memastikan program-program prioritas pembangunan nasional yang direncanakan, dilaksanakan dan dilaporkan secara transparan dan akuntabel serta dapat memberikan manfaat pada kesejahteraan rakyat Indonesia. Selain itu, pemeriksaan BPK akan memberikan berkontribusi positif dalam perbaikan tata kelola dan reformasi birokrasi pemerintah, sehingga sasaran prioritas pembangunan terkait tata kelola dan reformasi birokrasi pada pemerintah pusat dan daerah dapat diwujudkan[18].
Apabila dikaitkan dengan tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, tujuan dari pemeriksaan BPK dimaksudkan agar dapat mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara. Oleh karena itu dalam hal pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dibentuk satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri[19]. Lebih lanjut dapat digambarkan bahwa kedudukan BPK adalah sejajar dengan lembaga negara lain yang diberi kewenangan langsung oleh konstitusi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, BPK, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).



 







Gambar 1 Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Menurut UUD NRI Tahun 1945[20]

3.                  Tugas, Fungsi, dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan

Ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Ketentuan ini menegaskan dua aspek dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPK, yaitu bebas dan mandiri. Dengan adanya dua kata ini diharapkan BPK dapat menjadi lembaga negara yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, objektif, dan kritis serta berpihak pada kebenaran dan fakta[21].
            Rumusan kata “bebas” dimaksudkan bahwa BPK dalam menjalankan tugas dan wewenanganya bebas dari tekanan dan ancaman dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Tidak ada pembatasan dan halangan, tekanan atau ancaman dari pihak manapun, sedangkan rumusan kata “mandiri”  memiliki pengertian bahwa BPK dalam melaksanakan tugasnya tidak tergantung atau digantungkan pada sikap dan langkah atau respon lembaga atau pihak di luar dirinya. Hal ini juga berlaku pada proses dan hasil kerja  BPK. Melekatnya sifat bebas dan mandiri dalam tubuh BPK merupakan salah satu usaha untuk memperkuat dalam perwujudan penerapan mekanisme sistem saling control dan saling mengimbangi (checks and balances) antarcabang kekuasaan negara[22].
            Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, BPK memiliki 3 fungsi pokok sebagai berikut:
a)      Fungsi operatif: fungsi operatif adalah fungsi berupa pemeriksaan, pengawasan, dan penyelidikan atas penguasaan, pengurusan, dan penyelidikan atas penguasaan, pengurusan, dan pengelolaan kekayaan negara.
b)      Fungsi yudikatif: fungsi yudikatif adalah fungsi yang berupa kewenangan menuntut perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang menimbulkan kerugian keuangan dan kekayaan negara.
c)      Fungsi rekomendasi/advisory: fungsi rekomendasi adalah fungsi memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai pengurusan dan pengelolaan keuangan negara[23].
Sedangkan penjabaran mengenai tugas Badan Pemeriksa Keuangan dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah sebagai berikut:
a)      Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara[24]
b)      Melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara[25].
c)      Menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara kepada lembaga perwakilan seperti DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota untuk digunakan sesuai tugas dan kewenangannya[26].
d)     Menyerahkan hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan[27].
e)      Melaporkan unsur pidana yang ditemukan dalam pemeriksaan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut[28].
f)       Memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan memberitahukan hasilnya secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah[29]
            Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan memiliki berbagai macam wewenang yang dirumuskan pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai berikut:
a)      Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, dan menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan.
b)      Meminta  keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara.
c)      melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.
d)     menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK.
e)      menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah berkonsultasi dengan pemerintah pusat/daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
f)       menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
g)      menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK;
h)      membina jabatan fungsional pemeriksa;
i)        memberi pertimbangan atas standar akuntansi pemerintahan; dan
j)        memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern pemerintah pusat/daerah sebelum ditetapkan oleh pemerintah pusat/daerah.
Lebih lanjut BPK juga memiliki wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara[30]. Dalam hal untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti rugi kerugian, BPK memiliki wewenang untuk memantau; a) penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendagara dan pejabat lain, b) pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK, c) pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap[31].
Selain itu, BPK juga memiliki wewenang untuk memberikan; a) pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain yang diperlukan karena sifat pekerjaannya, b) pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau, c) keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Berdasarkan paparan tugas dan wewenangnya, BPK sangat terkait erat dengan lembaga-lembaga lain. BPK tidak dapat menindaklanjuti hasil kerjanya sendiri tetapi menyerahkan hasil kerja tersebut kepada lembaga lain. Mekanisme ini sengaja disusun para perumus rancangan perubahan UUD NRI Tahun 1945 sebagai bagian dari integral sistem saling kontrol dan saling mengimbangi (checks and balances) antarlembaga negara agar tidak ada lembaga yang terlalu dominan berkuasa. Hasil pemeriksaan BPK dapat saja menyimpulkan dugaan terjadinya ketidaktepatan pengelolaan keuangan negara atau bahkan tindak pidana dalam pengelolaan keuangan negara. Apabila hal ini terjadi maka hasil pemeriksaan tersebut akan ditindaklanjuti oleh DPR, DPD, atau DPRD dalam perspektif politik dan Kepolisian dan Kejaksaan atau KPK dalam perspektif hukum hukum pidana[32].

B.                 Pelaksanaan Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, bank Indonesia, BUMN, BLU, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara pada akhirnya akan diperiksa oleh BPK.[33] Adapun pemeriksaan BPK tersebut meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, serta pemeriksaan dengan tujuan tertentu.[34] Pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan,[35] sedangkan pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.[36] Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu merupakan pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja.[37] Namun, dalam konteks pembahasan makalah ini akan lebih fokus pada pemeriksaan yang pertama, yakni pemeriksaan keuangan.
Lebih lanjut, Menurut Theodorus M. Tuanakotta, pemeriksaan keuangan setara dengan general audit, opinion audit, atau independent audit. Pemeriksaan kinerja (performance audit) adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk melihat apakah pelaksanaan (suatu program misalnya) memenuhi kriteria efisiensi, efektivitas, dan ekonomis. Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu mencakup segala macam pemeriksaan pemberian jasa-jasa atestasi seperti due diligence, agreed-upon procedures, dan review yang diberikan oleh kantor-kantor akuntan publik. Dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu biasanya juga dimasukan audit investigatif.[38]

1.                  Konsepsi Pemeriksaan Keuangan Negara

            Keuangan Negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Untuk mencapai tujuan bernegara, Keuangan Negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efsien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Terkait definisi keuangan negara, Seminar Indonesische Comptabiliteits Wet (ICW) pada tanggal 30 Agustus – 5 September 1970 di Jakarta merekomendasikan pengertian keuangan negara sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu aik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut[39]. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, definisi Keuangan Negara adalah Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik  negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut[40].
            Pendekatan yang digunakan untuk merumuskan definisi keuangan negara yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, sisi subyek, dan sisi proses dan tujuan. Penjelasan dari pendekatan-pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung  dengan  pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
  2. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang  dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
  3. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
  4. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara[41].
Definisi yang digunakan dan dianut oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menggunakan pendekatan luas, hal ini bertujuan; (1) terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat dan teliti untuk mencegah terjadinya multi-interpretasi dalam segi pelaksanaan anggaran, (2) agar tidak terjadi kerugian negara akibat kelemahan dalam perumusan undang-undang, (3) memperjelas proses penegakan hukum apabila terjadi mal administrasi dalam pengelolaan keuangan negara[42].
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa yang termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara antara lain meliputi: (a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; (b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; (c) Penerimaan Negara;  (d) Pengeluaran Negara; (d) Penerimaan Daerah; (e) Pengeluaran Daerah; (g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; (h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; (i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah[43].
            Keuangan negara, seperti yang telah disinggung di awal pemaparan, merupakan unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai tujuan negara sehingga dalam pengelolaannya harus taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan suatu pemeriksaan keuangan negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara merumuskan bahwa yang dimaksud dengan Pemeriksaan Keuangan Negara adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara[44]. Ruang lingkup pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara[45].
Pengelolaan keuangan negara merupakan keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.[46] Sedangkan tanggung jawab keuangan negara adalah kewajiban pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuanan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.[47]
            Dalam pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara tersebut terdapat beberapa unsur yang terkandung di dalamnya, unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Hubungan tiga pihak, yang terdiri atas:
a)      Pemeriksa keuangan negara; adalah BPK dan/atau akuntan publik yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan pada Standar Profesional Akuntan Publik  dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
b)      Pihak yang bertanggungjawab; antara lain adalah pihak yang bertanggungjawab mengelola hal pokok, dan/atau bertanggungjawab menindaklanjuti hasil pemeriksaan antara lain Presiden, Menteri, dan Kepala Daerah
c)      Pengguna Laporan Hasil Pemeriksaan; adalah lembaga perwakilan (DPR, DPD, DPRD), pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), serta pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (masyarakat, instansi penegak hukum, dan lembaga yang berkepentingan)
  1. Hal pokok (subject matter) dan informasi hal pokok (subject matter information); Hal pokok hal-hal yang diperiksa dan/atau hal-hal yang menjadi perhatian dalam suatu penugasan pemeriksaan, yang dapat berupa informasi, kondisi, atau aktivitas yang dapat diukur/dievaluasi berdasarkan kriteria tertentu. Sedangkan informasi hal pokok adalah hasil evaluasi atau hasil pengukuran hal pokok terhadap kriteria. Hal pokok dan informasi hal pokok dapat berupa, tetapi tidak terbatas pada, sebagai berikut:
a)      kinerja atau kondisi keuangan, dalam hal ini informas hal pokok dapat berupa pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan yang tercermin dalam laporan keuangan;
b)      kinerja atau kondisi nonkeuangan (sebagai contoh: kinerja suatu entitas), dalam hal ini informasi hal pokok mungkin merupakan indikator utama efsiensi dan efektivitas;
c)      karakteristik fsik (sebagai contoh: kapasitas suatu fasilitas), dalam hal ini informasi hal pokok dapat berupa dokumen tentang spesifkasi;
d)     sistem dan proses (sebagai contoh: pengendalian internal atau sistem teknologi informasi atau entitas), dalam hal ini informasi hal pokok dapat berupa asersi tentang efektivitas;
e)      perilaku (sebagai contoh: praktik tata kelola korporasi, kepatuhan, terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia), dalam hal ini informasi hal pokok dapat berupa suatu pernyataan kepatuhan atau suatu pernyataan efektivitas
  1. Kriteria pemeriksaan; adalah tolok ukur yang digunakan dalam memeriksa dan menilai hal pokok, dalam hal ini informasi yang diungkapkan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk tolok ukur penyajian dan pengungkapan yang relevan. Kriteria pemeriksaan yang digunakan bergantung pada sejumlah faktor, antara lain tujuan dan jenis pemeriksaan. Kriteria pemeriksaan dapat bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan, standar yang diterbitkan organisasi profesi tertentu, kontrak, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa, atau kriteria yang dikomunikasikan oleh Pemeriksa kepada pihak yang bertanggung jawab.
Kriteria pemeriksaan yang sesuai menggambarkan karakteristik sebagai berikut:
a)      Relevan, memberikan kontribusi kepada kesimpulan guna membantu pengambilan keputusan oleh pengguna;
b)      Lengkap, faktor-faktor relevan yang dapat memengaruhi kesimpulan tidak ada yang diabaikan;
c)      Andal, memungkinkan pengevaluasian dan pengukuran yang konsisten terhadap hal pokok oleh pemeriksa lain yang mempunyai kualifkasi yang sama;
d)     Netral, memberikan kontribusi kepada kesimpulan yang bebas dari keberpihakan; dan
e)      Dapat dipahami, mudah dipahami oleh pengguna sehingga pembuatan kesimpulan menjadi jelas, komprehensif, dan tidak rentan terhadap penafsiran yang berbeda-beda.
  1. Bukti pemeriksaan; adalah informasi yang digunakan oleh Pemeriksa dalam menentukan kesesuaian hal pokok dengan kriteria pemeriksaan. Pemeriksa mempertimbangkan kecukupan dan ketepatan bukti yang diperoleh. Bentuk bukti pemeriksaan bermacam-macam, seperti catatan transaksi elektronis/fsik, komunikasi tertulis atau elektronis dengan pihak di luar entitas yang diperiksa, hasil observasi Pemeriksa, maupun keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa. Metode yang digunakan dalam pemerolehan bukti bisa termasuk inspeksi, observasi, permintaan keterangan, konfrmasi, rekalkulasi, prosedur analitis, dan/atau teknik lainnya
  2. Laporan hasil pemeriksaan; laporan tertulis yang berisi suatu kesimpulan yang diperoleh tentang informasi hal pokok. LHP berisi hasil analisis atas pengujian bukti yang diperoleh saat pelaksanaan pemeriksaan. Struktur dan format LHP ditetapkan lebih lanjut dalam standar pelaporan. LHP digunakan oleh pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
  3. Pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan; LHP ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola keuangan negara selaku pihak yang bertanggung jawab sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan[48].
Secara khususnya, pemeriksaan keuangan negara memiliki arti penting dalam rangka untuk mendorong tata kelola keuangan negara yang baik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan untuk memperoleh keyakinan bahwa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau prinsip-prinsip tata kelola yang baik[49]. Selain itu dapat dijelaskan pula bahwa pemeriksaan keuangan negara juga memiliki arti penting sebagai berikut;
a)      Untuk menguatkan upaya pemberantasan korupsi serta upaya pencegahan dengan sistem penguatan sistem pengelolaan keuangan negara.
b)      Untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi, keekonomian, efisiensi, dan efektivitas dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam bentuk pemeriksaan yang konstruktif dan tindak lanjut yang efektif
c)      Untuk meningkatkan kepatuhan pengelolaan dan pertanggunjawaban keuangan negara terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
d)     Untuk meningkatkan kepercayaan publik dalam pengelolaan keuangan negara[50].

2.                  Pelaksanaan Pemeriksaaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa BPK sebagai lembaga yang mandiri memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan ketiga tahap pemeriksaan, yakni tahap perencanaan, pelaksanaan, serta pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dan kemanadirian tersebut juga mencakup atas penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, kapan waktu dan metode pemeriksaan, serta terkait penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan.[51] Namun, meskipun bersifat mandiri dan bebas, dalam pelaksanaan tugasnya, BPK memiliki kewajiban berpedoman pada standar pemeriksaan keuangan negara, kode etik pemeriksa, sistem pengendalian mutu.[52] Hal ini menunjukkan bahwa independensi yang dimiliki oleh suatu kelembagaan tidak bisa dipisahkan dari konsepsi akuntabilitas atau pertanggungjawaban.
Berpijak pada konteks pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003, yang masing-masing memiliki mekanisme pengawasan internal sendiri, maka BPK memiliki kewenangan untuk meminta berbagai keterangan dan/atau dokumen dari tiap orang, unit organisasi, lembaga, atau badan yang mengelola keuangan negara. Sehingga dalam rangka pengefektifan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Di sisi lain, BPK juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah.
Selanjutnya, BPK kemudian menyusun hasil pemeriksaan dalam sebuah laporan hasil pemeriksaan untuk diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.[53] Adapun hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan terbuka untuk umum. Laporan hasil pemeriksaan tersebut terdiri atas dua laporan: (a) laporan keuangan pemerintah pusat; dan (b) laporan keuangan pemerintah daerah. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden.[54] Serta laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerah disampaikan kepada DPRD, gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya.[55] Laporan hasil pemeriksaan keuangan tersebut memuat opini, yakni pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria: (i) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, (ii) kecukupan pengungkapan   (adequate disclosures), (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas sistem pengendalian intern.[56] Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (iii) opini tidak wajar (adversed opinion), dan (iv) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion ).[57]
Opini wajar tanpa pengecualian (WTP) merupakan opini yang menyatakan bahwa laporan keuangan pihak yang diperiksa telah disajikan dengan wajar, atau pelaporan dinilai telah disusun dengan memuaskan.[58] Sedangkan opini wajar dengan pengecualian (WDP) ialah opini bahwa pada umumnya laporan keuangan telah disajikan secara wajar meskipun terdapat sejumlah bagian tertentu yang belum memenuhi standar.[59] Opini tidak wajar (TW) adalah opini bahwa laporan keuangan disusun tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan penyusun laporan keuangan tidak mau melakukan perbaikan meskipun sudah ada koreksi yang diajukan auditor dalam pemeriksaan.[60] Serta menolak memberikan opini merupakan suatu opini bahwa auditor tidak dapat memberikan kesimpulan atau pendapat atas laporan keuangan, karena berbagai hal, misalnya karena pihak yang diperiksa membatasi ruang lingkup pemeriksaan.[61]
Atas hasil pemeriksaan tersebut, jika ditemukan unsur pidana, maka BPK berwenang melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[62] Di sisi lain, BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut. Secara konseptual, Theodorus M. Tuanakotta membagi seluruh proses berkenaan dengan kerugian keuangan negara ke dalam 3 (tiga) tahap:
1.             Menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara;
2.             Menghitung besarnya kerugian keuangan negara tersebut (jika ada);
3.             Menetapkan kerugian keuangan negara.[63]
Dalam tahap pertama, penegak hukum (penyelidik, penyidik dan penuntut umum) merumuskan perbuatan melawan hukumnya. Dalam tahap ini pertanyaan utamanya adalah apa fakta hukumnya, di mana dengan fakta hukum itu penegak hukum merumuskan tindak pidananya, menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara, dan bentuk kerugian keuangan negara tersebut.[64] Adapun produk akhir dari tahap ini adalah menentukan apakah ada kerugian keuangan negara. Ini merupakan wilayah para ahli hukum.[65]
Berbeda dengan tahap pertama yang merupakan wilayah para ahli hukum, tahap kedua merupakan wilayah seorang ahli yang harus memiliki keahllian khusus tentang kerugian keuangan negara, sehingga dapat membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam perkembangan disiplin ilmu akuntansi, ahli semacam ini dikenal sebagai akuntan forensik.[66] Untuk membatasi pembahasan, maka yang akan dibahas lebih lanjut adalah ahli dari BPK. Adapun dasar hukum ahli dari BPK adalah Pasal 11 huruf c yang menyatakan bahwa “BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah”. Perlu diketahui bahwa ahli di sini bukan selaku pribadi, melainkan selaku lembaga BPK.[67]
Proses dari tahap pertama ke tahap kedua bersifat interaktif, bolak-balik berulang kali (reinterative), dan tidak bersifat discrete.[68] Dari akhir tahap pertama dan tahap kedua ini, bermacam-macam kemungkinan dapat terjadi, yaitu:
1.             Tuntutan pidana (dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, atau tindak pidana perpajakan)
2.             Gugatan perdata (oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan);
3.             Perkara dihentikan (penghentian penyelidikan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika terdapat kerugian keuangan negara, maka harus dianalisis lebih lanjut apakah masuk dalam ranah pidana atau masuk dalam ranah perdata. Jika masuk dalam ranah pidana, maka juga harus dianalisis lebih lanjut apakah akan dijerat dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi, pasal-pasal tindak pidana perbankan, atau pasal-pasal tindak pidana perpajakan. Hal ini akan dijawab kasus per kasus dengan menggunakan asas lex specialis sistematis atau lex consumen derogat legi consumte. Untuk membatasi pembahasan, maka yang akan dibahas lebih lanjut adalah kerugian keuangan negara sebagai tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Dalam UU PTPK itu sendiri terdapat 30 (tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi yang dibagi menjadi 7 (tujuh) dengan rincian sebagai berikut:
1.             Berkaitan dengan kerugian keuangan negara à 2 pasal;
2.             Berkaitan dengan suap menyuap à 12 pasal;
3.             Berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan à 5 pasal;
4.             Berkaitan dengan pemerasan à 3 pasal;
5.             Berkaitan dengan perbuatan curang à 6 pasal;
6.             Benturan kepentingan dalam pengadaan barang à 1 pasal;
7.             Gratifikasi à 1 pasal.
Dengan melihat rincian di atas, maka yang akan dibahas lebih lanjut adalah tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK. Agar tidak bias, kiranya kedua pasal tersebut perlu dikutip terlebih dahulu:
Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Kaitannya dengan BPK, kedua pasal tersebut terdapat unsur “dapat merugikan keuangan negara” di mana dengan adanya kata “dapat”, menandakan bahwa delik tersebut dikonstruksi secara formal (delik formal) lebih menitikberatkan pada perbuatan dan bukan akibat. Artinya, tidak perlu ada kerugian negara secara nyata, tetapi cukup adanya potensi kerugian keuangan negara.[69] Artinya terkait kerugian negara dan/atau kerugian perekonomian negara tidak selalu perlu menjadi material loss, tetapi juga cukup menjadi potential loss karena terdapat unsur kata ”dapat” sebelum kerugian tersebut. Namun pada awal 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui  Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 menjadikan Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU PTPK sebagai delik materiil di mana menitikberatkan pada akibat, di mana sejak kata ”dapat” dihapus maka kerugian keuangan negara dan/atau perekonomian negara harus berupa material loss sehingga pada praktiknya hal ini dapat berbahaya. Kerugian negara tersebut harus telah terjadi dan pengembalian atau proses recovery dalam hal ini akan lebih sulit daripada ketika masih berupa potential loss.[70]
Masih kaitannya dengan BPK, sebagaimana sudah dibahas di atas, jika terdapat kerugian keuangan negara, maka harus dianalisis lebih lanjut apakah masuk dalam ranah pidana atau masuk dalam ranah perdata. Tidak selamanya adanya kerugian keuangan negara harus ada tindak pidana korupsi. Dapat saja terjadi kerugian keuangan negara, tetapi dalam konteks administrasi atau perdata. Sebenarnya pembentuk UU PTPK sudah mengantisipasi kerugian keuangan negara yang bukan korupsi dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU PTPK.[71] Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

Apabila berdasarkan proses tahap pertama dan tahap kedua tidak memungkinkan untuk diajukan tuntutan pidana maupun gugatan perdata, maka perkara tersebut dihentikan, apakah melalui penghentian penyelidikan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan. Terakhir, tahap tiga merupakan putusan hakim, di mana putusan ini dilakukan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung[72] dalam hal tuntutan pidana atau gugutan perdata sebagaimana dibahas di atas dikabulkan.

3.                  Mekanisme Ganti Kerugian

Theodorus M. Tuanakotta memberikan penjelasan mengenai metode penghitungan kerugian keuangan negara terbagi menjadi enam bagian, yaitu:[73]
a.                   Kerugian Total (Total Loss)
Metode ini menghitung kerugian keuangan negara dengan cara seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugian keuangan negara. Metode penghitungan kerugian negara kerugian total juga diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Bagian yang tidak disetorkan merupakan kerugian total.
b.                  Kerugian Total dengan Penyesuaian
Metode kerugian total dengan penyesuaian seperti dalam metode Kerugian Total, hanya saja dengan penyesuaian ke atas. Penyesuaian diperlukan apabila barang yang dibeli harus dimusnahkan dan pemusnahannya memakan biaya. Kerugian keuangan negara tidak hanya berupa pengeluaran untuk pengadaan barang tersebut, tetapi juga biaya yang diperlukan maupun dikeluarkan untuk memusnahkan barang tersebut.
c.                   Kerugian Bersih (Net Loss)
Dalam metode kerugian bersih, metode nya sama dengan metode kerugian total. Hanya saja dengan penyesuaian ke bawah. Kerugian bersih adalah kerugian total dikurangi dengan nilai bersih barang yang dianggap masih ada nilainya. Nilai bersih merupakan selisih yang bias diperoleh dikurangi salvaging cost.
d.                  Harga wajar
Pada metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, harga wajar menjadi pembanding untuk harga realisasi. Kerugian keuangan negara dimana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara harga wajar dengan harga realisasi. Metode penghitungan kerugian keuangan negara harga wajar digunakan dalam kasus pengadaan barang maupun transaksi pelepasan dan pemanfaatan barang.
e.                   Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)
Dalam metode biaya kesempatan, apabila ada kesempatan atau peluang untuk memperoleh yang terbaik, akan tetapi justru peluang ini yang dikorbankan, maka pengorbanan ini merupakan kerugian, dalam arti opportunity cost.
f.                   Bunga (Interest)
Bunga termasuk unsur kerugian negara yang penting, terutama pada transaksi-transaksi keuangan yang seperti dalam penempatan aset. Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan konsep nilai waktu dari uang. Bunga perlu dimasukkan dalam penghitungan kerugian keuangan negara. Dalam sengketa perdata, kerugian bunga dihitung berdasarkan jangka waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku.
Selanjutnya, sebagai tindak lanjut atas temuan kerugian negara ataupun daerah, BPK memiliki kewenangan untuk menetapkan dan/atau menilai jumlah kerugian negara, dan pihak yang ditetapkan tersebut wajib membayar ganti kerugian.[74] Sebagai pelaksana atas ketentuan-ketentuan tersebut, maka terbitlah Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara. Peraturan BPK RI ini dapat menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menyelesaikan kerugian Negara/daerah terhadap bendahara yang diproses melalui TPKN/D (Tim Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah). Proses penyelesaian kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara melalui MP-TGR, dan penyelesaian kerugian negara/daerah terhadap bendahara melalui TPKN/D ini dapat memulihkan/mengembalikan kerugian negara/daerah secara signifikan.
Lebih lanjut, masing-masing ranah yang dapat diperiksa oleh BPK terdapat pengaturan lebih rinci. Terkait pemeriksaan BPK atas bukan bendahara, Pasal 63 ayat (1) dalam UU 1/2004 berbunyi, “Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga atau gubernur/bupati/walikota” dan ayat (2) berbunyi, “Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah”. Ketentuan Pasal 63 ayat (1) UU 1/2004 mempertegas bahwa pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, ditetapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga, atau kepala daerah baik gubernur maupun bupati atau walikota.
Terkait pada level daerah, hal ini memberi penegasan bahwa perlu diatur melalui peraturan daerah baik provinsi ditetapkan oleh gubernur dan kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota. Kemudian Pasal 63 ayat (2) dalam UU yang sama mempertegas bahwa tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara akan diatur dengan peraturan pemerintah. Hanya saja belum ada PP yang secara khusus mengatur mengenai hal tersebut. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, penyelesaian kerugian Negara pada level daerah perlu diatur di dalam peraturan daerah. Di dalam Pasal 144 PP 58/2005 berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara tuntutan ganti kerugian daerah diatur dengan peraturan daerah dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan”. Ketentuan pasal tersebut memberi jalan bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota oleh kepala daerah untuk membentuk peraturan kepala daerah. Sebagaimana amanat dari Pasal 144 PP 58/2005 bahwa peraturan yang dimaksud adalah dalam bentuk peraturan daerah.
Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain diatur dengan peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan atas UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbehandaraan Negara, UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, selain UU 15/2006 tentang BPK. Ketentuan-ketentuan tersebut diharapkan dapat digunakan oleh pihak-pihak yang terkait dalam mengantisipasi dan menangani, sekaligus menyelesaikan kerugian negara/daerah yang semakin bertambah besar, sehingga dapat memperlancar proses pemulihan kerugian daerah maupun diperkecil terjadinya kerugian daerah. Dalam hal ini, BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah.
Sedangkan penyelesaian menurut mekanisme yang diatur dalam hukum pidana, kewenangan untuk menetapkan pengenaan ganti kerugian negara/daerah adalah hakim pengadilan pidana.  Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (3) dan (4) UU 15/2006 secara khusus mendasari BPK jika kerugian yang ditemukan dinilai sebagai adanya tindak pidana dalam pengelolaan keuangan Negara. Pada intinya, terdapat tahap dalam upaya represif ini. Pertama, BPK melaporkan dugaan tindak pidana tersebut kepada instansi yang berwenang (kepolisian, kejaksaan, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi) paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Laporan tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai bahan awal untuk dasar penyelidikan atau penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang.
Pengertian kerugian negara/daerah berdasarkan Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “Berkurangnya kekayaan negara/daerah yang disebabkan oleh suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan, kelalaian seseorang dan atau disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia (force majeure)”. Pasal 4 UU TPK berbunyi, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.” Kemudian pada Pasal 32 undang-undang yang sama berbunyi, “Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.” Ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kerugian keuangan negara yang secara nyata dan telah ada adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Berdasarkan ketentuan tersebut maka informasi mengenai jumlah/nilai kerugian negara dapat diperoleh berdasarkan hasil temuan instansi berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Ketentuan-ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi. Sekalipun putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak BPK untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Besarnya kerugian negara dalam hukum pidana besarnya kerugian dapat merujuk pada kerugian negara yang telah terjadi maupun berpotensi terjadi. Dalam hukum pidana pula, besarnya nilai kerugian yang dibebankan kepada terdakwa berupa uang pengganti bisa sama atau kurang dari kerugian yang terjadi.




















BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan

Kedudukan BPK dalam pengelolaan keuangan negara sangat krusial, karena BPK menjadi lembaga auxiliary atas fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR terhadap pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, yaitu pengelolaan keuangan. Tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK dapat menjadi gambaran seberapa tingkat good governance pelaksanaan kekuasaan negara dalam mengelola keuangan. Sehingga hal tersebut dapat menjadi acuan untuk perbaikan pengelolaan keuangan negara agar dapat digunakan secara maksimal untuk pembiayaan kebutuhan pembangunan nasional.

B.                 Saran

1.      Memperkuat integritas sumber daya manusia di BPK
2.      Memperbaiki kinerja kelembagaan
3.      Mengawasi dengan ketat proses ganti rugi keuangan

















DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Akbar, Patrialis, 2013, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo, Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan, 2015, Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan 2016-2020, Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku Ketujuh: Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta.
Tjandra, Riawan, 2013, Hukum Keuangan Negara, Kompas Gramedia, Jakarta.
Tuanakotta, Theodorus M., 2014, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Salemba Empat, Jakarta.
Yamin, Muhammad, 1972, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Yayasan Prapanca, Jakarta.

Artikel, Koran, Internet:
Akbar, M. Fatahillah, “Sulitnya untuk Korupsi”, Tersedia: http://www.jawapos.com/read/2017/02/12/109030/sulitnya-untuk-korupsi, jawapos.com, diakses pada tanggal 15 Maret 2017.
Hiariej, Eddy O. S., “Pasal Keranjang Sampah”, KOMPAS, 7 Mei 2015.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksan Pengelolaan Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Lembaran Negara Republik   Indonesia Tahun 2007  Nomor  47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286.
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.



[1]       Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[2]       Ibid.
[3]       Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 281.
[4]       Ibid.
[5]       Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[6]       Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku Ketujuh: Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, hlm. 26.
[7]       Muhammad Yamin, 1972, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Yayasan Prapanca, Jakarta, hlm. 311.
[8]       Mahkamah Konstitusi, 2010, Op.cit, hlm. 32.
[9]       Ibid, hlm. 33
[10]     Ibid, hlm. 31.
[11]     Ibid.
[12]     Ibid.
[13]     Ibid.
[14]     Ibid, hlm. 26.
[15]     Ibid, hlm. 27.
[16]     Ibid.
[17]     Ibid, hlm. 30.
[18]     Badan Pemeriksa Keuangan, 2015, Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan 2016-2020, Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, hlm.49.
[19]     Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[20]     Patrialis Akbar, 2013, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 35.
[21] Ibid, hlm. 193
[22]     Ibid, hlm. 194.
[23]     Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 168.
[24]     Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[25]     Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[26]     Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[27]     Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[28]     Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[29]     Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[30]     Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[31]     Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006  Nomor  85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[32]    Patrialis Akbar, Op.cit, hlm. 195.
[33]     Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[34]     Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[35]     Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[36]     Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[37]     Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[38]     Theodorus M. Tuanakotta, 2014, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Salemba Empat, Jakarta, hlm. 198.
[39]     Riawan Tjandra, 2013, Hukum Keuangan Negara, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm. 3.
[40]     Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Lembaran Negara Republik   Indonesia Tahun 2007  Nomor  47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286.
[41]     Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik   Indonesia Tahun 2007  Nomor  47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286).
[42]     Riawan Tjandra, op.cit, hlm. 4.
[43]     Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik   Indonesia Tahun 2007  Nomor  47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286).
[44]     Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[45]     Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[46]     Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[47]     Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[48]     Lampiran 1 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, hlm. 14-15.
[49]     Ibid, hlm.8
[50]     Ibid, hlm. 9-10
[51]     Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[52]     Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[53]     Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[54]     Pasal 17 ayat (1) jo. Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[55]     Pasal 17 ayat (2) jo. Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[56]     Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[56]     Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[57]     Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[57]     Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[58]     Tim Badan Pemeriksa Keuangan, 2014, Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer, Biro Humas dan Luar Negeri BPK RI, Jakarta, hlm. 98.
[59]     Ibid, hlm. 99.
[60]     Ibid, hlm. 100.
[61]     Ibid.
[62]     Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[63]     Theodorus M. Tuanakotta, 2014, Op.cit, hlm. 132.
[64]     Ibid., hlm. 132.
[65]     Ibid., hlm. 133.
[66]     Ibid., hlm. 193.
[67]     Ibid., hlm. 194.
[68]     Ibid., hlm. 131.
[69]     Eddy O. S. Hiariej, “Pasal Keranjang Sampah”, KOMPAS, 7 Mei 2015, hlm. 7.
[70]     M. Fatahillah Akbar, “Sulitnya untuk Korupsi”, http://www.jawapos.com/read/2017/02/12/109030/sulitnya-untuk-korupsi, jawapos.com, diakses pada tanggal 15 Maret 2017.
[71]     Eddy O. S. Hiariej, Loc.Cit.
[72]     Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit., hlm. 138.
[73]     Ibid, hlm. 144.
[74]     Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar