BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia merupakan negara yang menganut
konsepsi negara kesejahteraan (welfare
state), hal ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bahwa “[...] melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
[...]”. Titik berat konsepsi welfare
state ialah adanya pemerataan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat,
sehingga negara dituntut untuk berperan aktif dalam menciptakan kesejahteraan
tersebut. Bentuk keaktifan negara melalui pengaturan dan kebijakan dalam
melaksanakan urusan pemerintahan agar penyelenggaraan pemerintahan mendorong
terwujudnya tujuan negara.
Dalam rangka menyokong keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan
tersebut, keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.[1] Oleh karenanya, dibutuhkan suatu sistem atau
mekanisme yang menjaga pelaksanaan atas pengelolaan keuangan negara sesuai
dengan koridor hukum yang berlaku. Kebutuhan ini kemudian melahirkan adanya
pengawasan pengelolaan keuangan oleh suatu badan tersendiri. Pengawasan menurut
Henry Fayol pada hakekatnya merupakan suatu tindakan
menilai atau menguji apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan.[2] Dengan demikian, pengawasan atas pengelolaan keuangan
negara memiliki acuan atau standar yang dijadikan penilaian.
Pengawasan
ini merupakan salah satu bentuk konsekuensi dari adanya pembatasan yang dianut
oleh negara hukum demokratis. Kekuasaan penyelenggaraan negara harus dibatasi,
hal ini tidak lain untuk mencegah kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah
satu cabang kekuasaan negara. Adanya pembatasan kekuasaan negara tersebut
sama-sama dianut oleh negara yang menganut rechstaat
maupun rule of law.[3] Pembatasan tersebut dilakukan dengan hukum dan
menjadi ide dasar konstitusionalisme,[4] mengingat salah satu isi konstitusi merupakan
pembatasan kekuasaan lembaga negara.
Dalam
konteks Indonesia, konstitusi telah menentukan adanya kewenangan atas
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara ada pada Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)[5]. Kedudukan BPK menjadi sangat penting dalam sistem
ketatanegaraan, mengingat perlu adanya pengawasan secara teknis atas
pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif, dalam hal ini
Presiden. Keuangan negara atau fiskal
nasional merupakan salah satu urusan pemerintahan absolut yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat, sehingga melaksanakan pengelolaan keuangan negara merupakan
salah satu bagian dari pelaksanaan kekuasaan pemerintahan.
Fungsi
pemeriksaan keuangan negara sejatinya telah ada sejak zaman hindia belanda,
yakni dilakukan oleh sebuah Raad van
Rekenkamer yang menjadi cikal bakal terbentuknya BPK. Pada perjalanannya,
kini BPK menjadi lembaga negara yang bersifat auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang pengawasan atas kinerja
pemerintahan. Baik pengawasan yang dilakukan oleh DPR maupun BPK terhadap
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan merupakan bentuk pengawasan eksternal.
Namun, pengawasan yang dilakukan oleh DPR merupakan pengawasan politis,
sehingga tidak tepat jika pemeriksaan keuangan hanya dilakukan (financial audit) hanya dilakukan oleh
DPR saja, oleh karena itu dibutuhkan lembaga lain yang merdeka dan lepas dari
pengaruh lembaga lain.
Konsepsi
pemeriksaan keuangan negara telah mengalami banyak perkembangan, diantaranya
ialah lingkup definisi dari keuangan negara. Sebelumnya, uang negara terbatas
pada uang negara dalam konteks APBN, akan tetapi hukum positif yang ada saat
ini memperluas lingkup pengertian keuangan negara sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun
2003). Atas kondisi tersebut, muncul berbagai perkembangan mengenai pelaksanaan
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Berdasarkan
uraian tersebut, penting untuk dikaji lebih lanjut mengenai pemeriksaan
pengelolaan keuangan negara oleh BPK.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pelaksanaan pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
Badan Pemeriksa Keuangan dalam Ketatanegaraan Indonesia
1.
Sejarah Terbentuknya Badan Pemeriksa Keuangan
Pendapat
mengenai pembentukan BPK dikemukakan oleh Supomo pada awal perumusan UUD 1945
dalam rapat besar BPUPK, 15 Juli 1949.[6] Supomo menjelaskan, bahwa untuk memeriksa
tanggung-jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan,
yang dulu dinamakan Rekenkamer, yang
peraturannya ditetapkan dengan undang-undang, itulah garis-garis besar tentang
kekuasaan negara.[7] Ide pemeriksaan keuangan negara dipahami dalam empat
hal. Pertama, terkait pengertian pemeriksaan.
Pemeriksaan merupakan terjemahan dari auditing yang lazim digunakan dalam
sistem administrasi dan manajemen keuangan modern. Keharusan auditing menjadi
jaminan bahwa pengelolaan keuangan itu memang harus sesuai dengan norma-norma
yang berlaku (rule of the games).
Kedua,
terkait apa yang dimaksud keuangan negara. Dapat ditegaskan bahwa dalam
konsepsi asli UUD 1945 telah membedakan secara jelas antara pengertian keuangan
negara dan keuangan daerah. UUD 1945 tidak mendefinisikan secara rinci mengenai
pengertian keuangan negara. Namun, keuangan negara dapat dimaknai sebagai
keuangan yang digunakan di dalam penyelenggaraan negara. Artinya, anggaran yang
digunakan bagi penyelenggaraan negara baik di tingkat pusat maupun daerah.[8] Keuangan yang dimaksud tersebut ialah yang bukan
keuangan swasta maupun pribadi. Sebaliknya, uang daerah ialah uang milik negara
yang bukan milik pribadi siapa-siapa yang terkait dengan anggaran pendapatan
dan belanja daerah sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal
23 ayat (5) UUD 1945 menegaskan, bahwa “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya
ditetapkan dengan undang-undang”. Penjelasannya menyebutkan bahwa: “[...] untuk
memeriksa tanggung jawab pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas
dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada
pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya, badan
itu bukanlah pula badan yang berdiri di atas pemerintah. Sebab itu kekuasaan
dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan undang-undang.[9]
Berdasarkan
uraian tersebut terlihat bahwa sebagai badan pemeriksa, BPK dapat dilihat
sebagai instrumen kekuasaan rakyat dalam menentukan sendiri nasibnya melalui
penentuan dan persetujuan APBN yang diberikan DPR sebagai acuan atau rujukan
bagi pemerintah untuk bekerja dalam melayani kebutuhan rakyat. Hasil
pemeriksaan keuangan tersebut kemudian disampaikan kepada DPR untuk
ditindaklanjuti sebagaimana mestinya dalam rangka fungsi pengawasan terhadap
kinerja pemerintah.
Uang
merupakan alat tukar yang bernilai ekonomis dan juga politis, dimana uang dapat
menjadi sumber kekuatan dan kekuasaan yang riil. Power is money, and money means power, kekuasaan adalah uang dan
uang berarti kekuasaan. Selain dapat membawa kebaikan, uang juga dapat
menjerumuskan orang pada penyalahgunaan wewenang Jika tidak diimbangi dengan
keyakinan akan nilai-nilai moral, etika, dan agama.[10] Oleh karena itu, poin ketiga ialah terkait pemeriksaan atau penilaian.[11] Setiap pengelolaan keuangan harus dilakukan sesuai
aturan dan memerlukan mekanisme yang disebut financial audit.[12] Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan
keuangan negara tersebut, dibutuhkan lembaga negara tersendiri yang menjalankan
tugasnya tanpa intervensi lembaga lain.
Keempat,
bahwa pengawasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan
(controll) atas kinerja pemerintahan
secara umum[13]. Adapun pengawasan tersebut harus dilakukan dengan suatu
sistem yang terpadu dan dilaksanakan secara menyeluruh dari perencanaan sampai
pada tahap evaluasi dan penilaian. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari konsepsi
pengawasan ialah untuk menjaga pelaksanaan sesuai perencanaan sehingga sesuai
dengan tujuan utama kegiatan tersebut.
Setelah
UUD 1945 disahkan oleh PPKI, BPK dibentuk pertama kali pada 1 Januari 1947
berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM, 28 Desember 1946 tentang
Pembentukan BPK.[14] Mengingat baru dibentuk, untuk sementara BPK masih
menggunakan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang menjadi dasar
hukum pelaksanaan tugas Algemene
Rekenkamer (BPK Hindia Belanda), yaitu Indische
Comptabiliteits Wet (ICW) dan Instructie
en verdere bepalingen voor de Algemeene Rakenkamer (IAR).[15]
Perkembangan
BPK dari masa ke masa semakin dinamis. Pada masa Konstitusi RIS, BPK berubah
nama menjadi DKP atau Dewan Pengawas Keuangan, yang merupakan salah satu alat
perlengkapan negara RIS dan dipimpin oleh R. Soerasno yang sebelumnya merupakan
ketua BPK di Yogyakarta. Adapun keanggotaan DKP diangkat oleh Presiden setelah
mendengarkan Senat, dan keanggotaan tersebut untuk seumur hidup.
Menginjak
pada masa UUDS 1950, DPK RIS kembali menjadi BPK berdasarkan UUD 1945 meski
dalam pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR. BPK
diharapkan menjadi alat kontrol keuangan yang efektif, sehingga dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 yang kemudian
diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Gaya Baru.[16] Di dalamnya menetapkan bahwa Presiden sebagai
pemimpin besar revolusi, pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian
tertinggi atas penyusunan dan pengurusan keuangan negara. Ketua BPK
berkedudukan sebagai Menteri Koordinator, sedangkan wakil ketua BPK
berkedudukan sebagai Menteri.
Selanjutnya,
pada masa UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada awal orde baru, MPRS
menerbitkan ketetapan No. X/MPRS/1966 tentang kedudukan semua lembaga-lembaga
negara tingkat pusat dan daerah yang menetapkan pengembalian kedudukan BPK
kepada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Dnegan demikian,
undang-undang yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan baru direalisasikan
pada 1973 degan terbitnya undang-undang nomor 5 tahun 1973 tentang BPK.
Kedudukan
BPK dalam struktur kelembagaan negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
fungsi DPR di bidang pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Kontrol atau
pengawasan atas kinerja pemerintahan harus dilaksanakan secara simultan dan menyeluruh
sejak dari tahap perencanaan sampai pada tahap evaluasi dan penilaian. Fungsi
pengawasan yang dimiliki DPR bersifat politis, sehingga diperlukan lembaga
khusus yang dapat melakukan pemeriksaan keuangan (financial audit) secara lebih teknis. Belanda memiliki lembaga
dengan fungsi pemeriksaan keuangan yang disebut Raad van Rekenkamer. Sedangkan di Perancis disebut dengan cour des Comptes, yang merupakan forum
yudisial bagi pemeriksaan mengenai penyimpangan yang terjadi dalam tanggung
jawab keuangan negara.[17]
Auditing
atau pemeriksaan yang dilakukan BPK tersebut bertujuan untuk meluruskan hal-hal
yang melenceng dan memberikan arah serta bibingan agar pelaksanaan tugas dan
fungsi kelembagaan berada pada koridor aturan yang beralku. Dengan demikian,
pemeriksaan keuangan dapat berfungsi preventif maupun korektif.
2.
Kedudukan Kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan salah satu lembaga negara yang diatur dalam
UUD 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara
bebas dan mandiri. Pemeriksaan dan kelembagaan BPK tersebut diatur dalam Pasal
23E, 23F, dan 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK mengatur lebih lanjut
pemeriksaan dan kelembagaan BPK.
BPK
merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai peran yang strategis dalam
mendorong pemerintah melaksanakan kebijakan dan strategi pembangunan. Kegiatan
pemeriksaan BPK akan mengawal dan memastikan program-program prioritas
pembangunan nasional yang direncanakan, dilaksanakan dan dilaporkan secara
transparan dan akuntabel serta dapat memberikan manfaat pada kesejahteraan
rakyat Indonesia. Selain itu, pemeriksaan BPK akan memberikan berkontribusi
positif dalam perbaikan tata kelola dan reformasi birokrasi pemerintah,
sehingga sasaran prioritas pembangunan terkait tata kelola dan reformasi
birokrasi pada pemerintah pusat dan daerah dapat diwujudkan[18].
Apabila
dikaitkan dengan tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam Alinea IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, tujuan dari
pemeriksaan BPK dimaksudkan agar dapat mendorong pengelolaan keuangan negara
untuk mencapai tujuan negara. Oleh karena itu dalam hal pemeriksaan yang
dilakukan oleh BPK tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
dibentuk satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri[19].
Lebih lanjut dapat digambarkan bahwa kedudukan BPK adalah sejajar dengan
lembaga negara lain yang diberi kewenangan langsung oleh konstitusi
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seperti Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), Presiden, BPK, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi
Yudisial (KY).

Gambar 1 Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Menurut UUD NRI Tahun 1945[20]
3.
Tugas, Fungsi, dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan
Ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Ketentuan ini menegaskan dua aspek dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPK,
yaitu bebas dan mandiri. Dengan adanya dua kata ini diharapkan BPK dapat
menjadi lembaga negara yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, objektif,
dan kritis serta berpihak pada kebenaran dan fakta[21].
Rumusan kata “bebas”
dimaksudkan bahwa BPK dalam menjalankan tugas dan wewenanganya bebas dari
tekanan dan ancaman dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Tidak ada
pembatasan dan halangan, tekanan atau ancaman dari pihak manapun, sedangkan
rumusan kata “mandiri” memiliki
pengertian bahwa BPK dalam melaksanakan tugasnya tidak tergantung atau
digantungkan pada sikap dan langkah atau respon lembaga atau pihak di luar
dirinya. Hal ini juga berlaku pada proses dan hasil kerja BPK. Melekatnya sifat bebas dan mandiri dalam
tubuh BPK merupakan salah satu usaha untuk memperkuat dalam perwujudan
penerapan mekanisme sistem saling control dan saling mengimbangi (checks and balances) antarcabang
kekuasaan negara[22].
Lebih lanjut dapat
dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, BPK memiliki 3 fungsi
pokok sebagai berikut:
a)
Fungsi operatif: fungsi operatif adalah fungsi berupa pemeriksaan,
pengawasan, dan penyelidikan atas penguasaan, pengurusan, dan penyelidikan atas
penguasaan, pengurusan, dan pengelolaan kekayaan negara.
b)
Fungsi yudikatif: fungsi yudikatif adalah fungsi yang berupa kewenangan
menuntut perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan
pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hukum atau
melalaikan perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang
menimbulkan kerugian keuangan dan kekayaan negara.
c)
Fungsi rekomendasi/advisory:
fungsi rekomendasi adalah fungsi memberikan pertimbangan kepada pemerintah
mengenai pengurusan dan pengelolaan keuangan negara[23].
Sedangkan penjabaran mengenai tugas
Badan Pemeriksa Keuangan dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah sebagai berikut:
a)
Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank
Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik
daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara[24]
b)
Melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan
objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara[25].
c)
Menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan Negara kepada lembaga perwakilan seperti DPR, DPD, dan
DPRD serta Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota untuk digunakan sesuai tugas dan
kewenangannya[26].
d)
Menyerahkan hasil pemeriksaan secara tertulis kepada
Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk keperluan
tindak lanjut hasil pemeriksaan[27].
e)
Melaporkan unsur pidana yang ditemukan dalam pemeriksaan
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur
pidana tersebut[28].
f)
Memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan
yang dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
memberitahukan hasilnya secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta
Pemerintah[29]
Dalam
melaksanakan tugas-tugas tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan memiliki berbagai
macam wewenang yang dirumuskan pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai berikut:
a)
Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan
melaksanakan pemeriksaan, dan menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta
menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan.
b)
Meminta keterangan
dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi
pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia,
badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara.
c)
melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan
barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha
keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan,
surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.
d)
menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi
mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan
kepada BPK.
e)
menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah
berkonsultasi dengan pemerintah pusat/daerah yang wajib digunakan dalam
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
f)
menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.
g)
menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di
luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK;
h)
membina jabatan fungsional pemeriksa;
i)
memberi pertimbangan atas standar akuntansi
pemerintahan; dan
j)
memberi pertimbangan atas rancangan sistem
pengendalian intern pemerintah pusat/daerah sebelum ditetapkan oleh pemerintah
pusat/daerah.
Lebih lanjut BPK juga memiliki
wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara[30]. Dalam
hal untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti rugi kerugian, BPK memiliki
wewenang untuk memantau; a) penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang
ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendagara dan pejabat
lain, b) pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara
yang telah ditetapkan oleh BPK, c) pelaksanaan pengenaan ganti kerugian
negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap[31].
Selain itu, BPK juga memiliki
wewenang untuk memberikan; a) pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau
badan lain yang diperlukan karena sifat pekerjaannya, b) pertimbangan atas
penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau, c) keterangan ahli dalam proses peradilan
mengenai kerugian negara/daerah.
Berdasarkan paparan tugas dan
wewenangnya, BPK sangat terkait erat dengan lembaga-lembaga lain. BPK tidak
dapat menindaklanjuti hasil kerjanya sendiri tetapi menyerahkan hasil kerja
tersebut kepada lembaga lain. Mekanisme ini sengaja disusun para perumus
rancangan perubahan UUD NRI Tahun 1945 sebagai bagian dari integral sistem
saling kontrol dan saling mengimbangi (checks
and balances) antarlembaga negara agar tidak ada lembaga yang terlalu
dominan berkuasa. Hasil pemeriksaan BPK dapat saja menyimpulkan dugaan
terjadinya ketidaktepatan pengelolaan keuangan negara atau bahkan tindak pidana
dalam pengelolaan keuangan negara. Apabila hal ini terjadi maka hasil
pemeriksaan tersebut akan ditindaklanjuti oleh DPR, DPD, atau DPRD dalam
perspektif politik dan Kepolisian dan Kejaksaan atau KPK dalam perspektif hukum
hukum pidana[32].
B.
Pelaksanaan
Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah, lembaga negara lainnya, bank Indonesia, BUMN, BLU, BUMD, dan lembaga
atau badan lain yang mengelola keuangan negara pada akhirnya akan diperiksa
oleh BPK.[33]
Adapun pemeriksaan BPK tersebut meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan
kinerja, serta pemeriksaan dengan tujuan tertentu.[34]
Pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan,[35]
sedangkan pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan
negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta
pemeriksaan aspek efektivitas.[36]
Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu merupakan pemeriksaan yang tidak
termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja.[37]
Namun, dalam konteks pembahasan makalah ini akan lebih fokus pada pemeriksaan
yang pertama, yakni pemeriksaan keuangan.
Lebih lanjut, Menurut Theodorus M. Tuanakotta, pemeriksaan
keuangan setara dengan general audit,
opinion audit, atau independent audit. Pemeriksaan kinerja (performance audit) adalah pemeriksaan
yang bertujuan untuk melihat apakah pelaksanaan (suatu program misalnya)
memenuhi kriteria efisiensi, efektivitas, dan ekonomis. Sedangkan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu mencakup segala macam pemeriksaan pemberian jasa-jasa
atestasi seperti due diligence, agreed-upon procedures, dan review yang diberikan oleh kantor-kantor
akuntan publik. Dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu biasanya juga
dimasukan audit investigatif.[38]
1.
Konsepsi
Pemeriksaan Keuangan Negara
Keuangan
Negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara. Untuk mencapai tujuan bernegara, Keuangan Negara wajib dikelola secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efsien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan. Terkait definisi keuangan negara, Seminar Indonesische Comptabiliteits Wet (ICW) pada tanggal 30 Agustus – 5
September 1970 di Jakarta merekomendasikan pengertian keuangan negara sebagai
semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu aik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut[39].
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
definisi Keuangan Negara adalah Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut[40].
Pendekatan
yang digunakan untuk merumuskan definisi keuangan negara yang digunakan dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah dari sisi
obyek, sisi subyek, dan sisi proses dan tujuan. Penjelasan dari
pendekatan-pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
- Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang,
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
- Dari
sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan
lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
- Dari
sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di
atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan pertanggunggjawaban.
- Dari
sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan,
kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara[41].
Definisi yang digunakan dan dianut oleh Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menggunakan pendekatan luas, hal
ini bertujuan; (1) terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat
dan teliti untuk mencegah terjadinya multi-interpretasi dalam segi pelaksanaan
anggaran, (2) agar tidak terjadi kerugian negara akibat kelemahan dalam
perumusan undang-undang, (3) memperjelas proses penegakan hukum apabila terjadi
mal administrasi dalam pengelolaan keuangan negara[42].
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa
yang termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara antara lain meliputi: (a) hak
negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman; (b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; (c) Penerimaan
Negara; (d) Pengeluaran Negara; (d)
Penerimaan Daerah; (e) Pengeluaran Daerah; (g) kekayaan negara/kekayaan daerah
yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; (h)
kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; (i) kekayaan pihak lain yang
diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah[43].
Keuangan
negara, seperti yang telah disinggung di awal pemaparan, merupakan unsur pokok
dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai tujuan negara sehingga dalam
pengelolaannya harus taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan
suatu pemeriksaan keuangan negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara merumuskan bahwa
yang dimaksud dengan Pemeriksaan Keuangan Negara adalah proses identifikasi
masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan,
kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara[44].
Ruang lingkup pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara[45].
Pengelolaan keuangan negara
merupakan keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan
kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanan, pelaksanaan, pengawasan,
dan pertanggungjawaban.[46] Sedangkan
tanggung jawab keuangan negara adalah kewajiban pemerintah untuk melaksanakan
pengelolaan keuanan negara secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan tetap
memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.[47]
Dalam
pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara tersebut terdapat beberapa unsur yang
terkandung di dalamnya, unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Hubungan
tiga pihak, yang terdiri atas:
a)
Pemeriksa keuangan negara; adalah BPK dan/atau akuntan
publik yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan pada Standar Profesional
Akuntan Publik dan Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara
b)
Pihak yang bertanggungjawab; antara lain adalah pihak
yang bertanggungjawab mengelola hal pokok, dan/atau bertanggungjawab
menindaklanjuti hasil pemeriksaan antara lain Presiden, Menteri, dan Kepala
Daerah
c)
Pengguna Laporan Hasil Pemeriksaan; adalah lembaga
perwakilan (DPR, DPD, DPRD), pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah), serta pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap Laporan Hasil
Pemeriksaan (masyarakat, instansi penegak hukum, dan lembaga yang
berkepentingan)
- Hal
pokok (subject matter) dan
informasi hal pokok (subject matter
information); Hal pokok hal-hal
yang diperiksa dan/atau hal-hal yang menjadi perhatian dalam suatu
penugasan pemeriksaan, yang dapat berupa informasi, kondisi, atau
aktivitas yang dapat diukur/dievaluasi berdasarkan kriteria tertentu. Sedangkan informasi hal pokok adalah hasil evaluasi atau hasil
pengukuran hal pokok terhadap kriteria. Hal pokok dan informasi hal pokok
dapat berupa, tetapi tidak terbatas pada, sebagai berikut:
a)
kinerja atau kondisi keuangan, dalam hal ini informas
hal pokok dapat berupa pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan yang
tercermin dalam laporan keuangan;
b)
kinerja atau kondisi nonkeuangan (sebagai contoh:
kinerja suatu entitas), dalam hal ini informasi hal pokok mungkin merupakan
indikator utama efsiensi dan efektivitas;
c)
karakteristik fsik (sebagai contoh: kapasitas suatu
fasilitas), dalam hal ini informasi hal pokok dapat berupa dokumen tentang
spesifkasi;
d)
sistem dan proses (sebagai contoh: pengendalian
internal atau sistem teknologi informasi atau entitas), dalam hal ini informasi
hal pokok dapat berupa asersi tentang efektivitas;
e)
perilaku (sebagai contoh: praktik tata kelola
korporasi, kepatuhan, terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, sumber
daya manusia), dalam hal ini informasi hal pokok dapat berupa suatu pernyataan
kepatuhan atau suatu pernyataan efektivitas
- Kriteria
pemeriksaan; adalah tolok ukur yang digunakan dalam memeriksa dan menilai
hal pokok, dalam hal ini informasi yang diungkapkan dalam pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk tolok ukur penyajian dan
pengungkapan yang relevan. Kriteria pemeriksaan yang digunakan bergantung
pada sejumlah faktor, antara lain tujuan dan jenis pemeriksaan. Kriteria
pemeriksaan dapat bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan,
standar yang diterbitkan organisasi profesi tertentu, kontrak, kebijakan dan
prosedur yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa, atau kriteria yang
dikomunikasikan oleh Pemeriksa kepada pihak yang bertanggung jawab.
Kriteria pemeriksaan yang sesuai menggambarkan
karakteristik sebagai berikut:
a)
Relevan, memberikan kontribusi kepada kesimpulan guna
membantu pengambilan keputusan oleh pengguna;
b)
Lengkap, faktor-faktor relevan yang dapat memengaruhi
kesimpulan tidak ada yang diabaikan;
c)
Andal, memungkinkan pengevaluasian dan pengukuran yang
konsisten terhadap hal pokok oleh pemeriksa lain yang mempunyai kualifkasi yang
sama;
d)
Netral, memberikan kontribusi kepada kesimpulan yang
bebas dari keberpihakan; dan
e)
Dapat dipahami, mudah dipahami oleh pengguna sehingga
pembuatan kesimpulan menjadi jelas, komprehensif, dan tidak rentan terhadap penafsiran
yang berbeda-beda.
- Bukti
pemeriksaan; adalah informasi yang digunakan oleh Pemeriksa dalam
menentukan kesesuaian hal pokok dengan kriteria pemeriksaan. Pemeriksa
mempertimbangkan kecukupan dan ketepatan bukti yang diperoleh. Bentuk
bukti pemeriksaan bermacam-macam, seperti catatan transaksi
elektronis/fsik, komunikasi tertulis atau elektronis dengan pihak di luar
entitas yang diperiksa, hasil observasi Pemeriksa, maupun keterangan
lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa. Metode yang digunakan dalam
pemerolehan bukti bisa termasuk inspeksi, observasi, permintaan
keterangan, konfrmasi, rekalkulasi, prosedur analitis, dan/atau teknik
lainnya
- Laporan
hasil pemeriksaan; laporan tertulis yang berisi suatu kesimpulan yang
diperoleh tentang informasi hal pokok. LHP berisi hasil analisis atas
pengujian bukti yang diperoleh saat pelaksanaan pemeriksaan. Struktur dan
format LHP ditetapkan lebih lanjut dalam standar pelaporan. LHP digunakan
oleh pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara.
- Pemantauan
tindak lanjut hasil pemeriksaan; LHP ditindaklanjuti oleh pejabat
pengelola keuangan negara selaku pihak yang bertanggung jawab sesuai
kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan[48].
Secara khususnya, pemeriksaan keuangan negara memiliki
arti penting dalam rangka untuk mendorong tata kelola keuangan negara yang baik
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan untuk
memperoleh keyakinan bahwa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau prinsip-prinsip
tata kelola yang baik[49].
Selain itu dapat dijelaskan pula bahwa pemeriksaan keuangan negara juga
memiliki arti penting sebagai berikut;
a)
Untuk menguatkan upaya pemberantasan korupsi serta
upaya pencegahan dengan sistem penguatan sistem pengelolaan keuangan negara.
b)
Untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi,
keekonomian, efisiensi, dan efektivitas dalam pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara dalam bentuk pemeriksaan yang konstruktif dan tindak lanjut
yang efektif
c)
Untuk meningkatkan kepatuhan pengelolaan dan
pertanggunjawaban keuangan negara terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan
d)
Untuk meningkatkan kepercayaan publik dalam
pengelolaan keuangan negara[50].
2.
Pelaksanaan
Pemeriksaaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa BPK sebagai lembaga
yang mandiri memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan ketiga tahap
pemeriksaan, yakni tahap perencanaan, pelaksanaan, serta pelaporan hasil
pemeriksaan. Kebebasan dan kemanadirian tersebut juga mencakup atas penentuan
objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, kapan waktu dan
metode pemeriksaan, serta terkait penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan.[51] Namun, meskipun bersifat mandiri
dan bebas, dalam pelaksanaan tugasnya, BPK memiliki kewajiban berpedoman pada
standar pemeriksaan keuangan negara, kode etik pemeriksa, sistem pengendalian
mutu.[52] Hal ini menunjukkan bahwa
independensi yang dimiliki oleh suatu kelembagaan tidak bisa dipisahkan dari
konsepsi akuntabilitas atau pertanggungjawaban.
Berpijak pada konteks pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara sesuai Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003, yang masing-masing
memiliki mekanisme pengawasan internal sendiri, maka BPK memiliki kewenangan
untuk meminta berbagai keterangan dan/atau dokumen dari tiap orang, unit
organisasi, lembaga, atau badan yang mengelola keuangan negara. Sehingga dalam
rangka pengefektifan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan
aparat pengawasan intern pemerintah. Di sisi lain, BPK juga memiliki kewenangan
untuk melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian
intern pemerintah.
Selanjutnya, BPK kemudian menyusun hasil pemeriksaan dalam
sebuah laporan hasil pemeriksaan untuk diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.[53] Adapun hasil pemeriksaan tersebut
dinyatakan terbuka untuk umum. Laporan hasil pemeriksaan tersebut terdiri atas
dua laporan: (a) laporan keuangan pemerintah pusat; dan (b) laporan keuangan
pemerintah daerah. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah
pusat disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden.[54] Serta laporan hasil pemeriksaan
keuangan pemerintah daerah disampaikan kepada DPRD, gubernur/bupati/walikota
sesuai kewenangannya.[55] Laporan hasil pemeriksaan keuangan
tersebut memuat opini, yakni pernyataan profesional pemeriksa mengenai
kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang
didasarkan pada kriteria: (i) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan,
(ii) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (iii) kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas sistem pengendalian
intern.[56] Terdapat 4 (empat) jenis opini yang
dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini wajar
dengan pengecualian (qualified opinion),
(iii) opini tidak wajar (adversed
opinion), dan (iv) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion ).[57]
Opini wajar tanpa pengecualian (WTP) merupakan opini yang
menyatakan bahwa laporan keuangan pihak yang diperiksa telah disajikan dengan
wajar, atau pelaporan dinilai telah disusun dengan memuaskan.[58] Sedangkan opini wajar dengan
pengecualian (WDP) ialah opini bahwa pada umumnya laporan keuangan telah
disajikan secara wajar meskipun terdapat sejumlah bagian tertentu yang belum
memenuhi standar.[59] Opini tidak wajar (TW) adalah opini
bahwa laporan keuangan disusun tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan dan penyusun laporan keuangan tidak mau melakukan perbaikan meskipun
sudah ada koreksi yang diajukan auditor dalam pemeriksaan.[60] Serta menolak memberikan opini
merupakan suatu opini bahwa auditor tidak dapat memberikan kesimpulan atau
pendapat atas laporan keuangan, karena berbagai hal, misalnya karena pihak yang
diperiksa membatasi ruang lingkup pemeriksaan.[61]
Atas hasil pemeriksaan tersebut,
jika ditemukan unsur pidana, maka BPK berwenang melaporkan hal tersebut kepada
instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[62] Di sisi lain, BPK menilai dan/atau
menetapkan jumlah kerugian negara yang berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut. Secara
konseptual, Theodorus M. Tuanakotta
membagi seluruh proses berkenaan dengan kerugian keuangan negara ke dalam 3
(tiga) tahap:
1.
Menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan
negara;
2.
Menghitung besarnya kerugian keuangan negara
tersebut (jika ada);
3.
Menetapkan kerugian keuangan negara.[63]
Dalam tahap pertama, penegak hukum (penyelidik,
penyidik dan penuntut umum) merumuskan perbuatan melawan hukumnya. Dalam tahap
ini pertanyaan utamanya adalah apa fakta hukumnya, di mana dengan fakta hukum
itu penegak hukum merumuskan tindak pidananya, menentukan ada atau tidaknya
kerugian keuangan negara, dan bentuk kerugian keuangan negara tersebut.[64] Adapun
produk akhir dari tahap ini adalah menentukan apakah ada kerugian keuangan
negara. Ini merupakan wilayah para ahli hukum.[65]
Berbeda dengan tahap pertama yang merupakan
wilayah para ahli hukum, tahap kedua merupakan wilayah seorang ahli yang harus
memiliki keahllian khusus tentang kerugian keuangan negara, sehingga dapat
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam
perkembangan disiplin ilmu akuntansi, ahli semacam ini dikenal sebagai akuntan
forensik.[66] Untuk
membatasi pembahasan, maka yang akan dibahas lebih lanjut adalah ahli dari BPK.
Adapun dasar hukum ahli dari BPK adalah Pasal 11 huruf c yang menyatakan bahwa
“BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian
negara/daerah”. Perlu diketahui bahwa ahli di sini bukan selaku pribadi,
melainkan selaku lembaga BPK.[67]
Proses dari tahap pertama ke tahap kedua bersifat
interaktif, bolak-balik berulang kali (reinterative),
dan tidak bersifat discrete.[68] Dari
akhir tahap pertama dan tahap kedua ini, bermacam-macam kemungkinan dapat
terjadi, yaitu:
1.
Tuntutan pidana (dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana
perbankan, atau tindak pidana perpajakan)
2.
Gugatan perdata (oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan);
3.
Perkara dihentikan (penghentian penyelidikan, penghentian penyidikan, atau
penghentian penuntutan).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika
terdapat kerugian keuangan negara, maka harus dianalisis lebih lanjut apakah
masuk dalam ranah pidana atau masuk dalam ranah perdata. Jika masuk dalam ranah
pidana, maka juga harus dianalisis lebih lanjut apakah akan dijerat dengan
pasal-pasal tindak pidana korupsi, pasal-pasal tindak pidana perbankan, atau
pasal-pasal tindak pidana perpajakan. Hal ini akan dijawab kasus per kasus
dengan menggunakan asas lex specialis
sistematis atau lex consumen derogat
legi consumte. Untuk membatasi pembahasan, maka yang akan dibahas lebih
lanjut adalah kerugian keuangan negara sebagai tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Dalam UU PTPK itu sendiri terdapat 30 (tiga
puluh) jenis tindak pidana korupsi yang dibagi menjadi 7 (tujuh) dengan rincian
sebagai berikut:
1.
Berkaitan dengan kerugian keuangan negara à 2 pasal;
2.
Berkaitan dengan suap menyuap à 12 pasal;
3.
Berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan à 5 pasal;
4.
Berkaitan dengan pemerasan à 3 pasal;
5.
Berkaitan dengan perbuatan curang à 6 pasal;
6.
Benturan kepentingan dalam pengadaan barang à 1 pasal;
7.
Gratifikasi à 1 pasal.
Dengan melihat rincian di atas, maka yang akan
dibahas lebih lanjut adalah tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan
kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU PTPK. Agar tidak bias, kiranya kedua pasal tersebut perlu dikutip terlebih
dahulu:
Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Kaitannya dengan BPK, kedua pasal tersebut
terdapat unsur “dapat merugikan keuangan negara” di mana dengan adanya kata
“dapat”, menandakan bahwa delik tersebut dikonstruksi secara formal (delik
formal) lebih menitikberatkan pada perbuatan dan bukan akibat. Artinya, tidak
perlu ada kerugian negara secara nyata, tetapi cukup adanya potensi kerugian
keuangan negara.[69] Artinya
terkait kerugian negara dan/atau kerugian perekonomian negara tidak selalu
perlu menjadi material loss, tetapi juga cukup menjadi potential loss karena terdapat unsur kata ”dapat” sebelum kerugian tersebut.
Namun pada awal 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 menjadikan
Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU PTPK sebagai delik materiil di mana menitikberatkan
pada akibat, di mana sejak kata ”dapat” dihapus maka kerugian keuangan negara
dan/atau perekonomian negara harus berupa material
loss sehingga pada praktiknya hal ini
dapat berbahaya. Kerugian negara tersebut harus telah terjadi dan pengembalian
atau proses recovery dalam hal ini akan lebih sulit daripada ketika masih
berupa potential loss.[70]
Masih kaitannya dengan
BPK, sebagaimana sudah dibahas di atas, jika terdapat kerugian keuangan negara,
maka harus dianalisis lebih lanjut apakah masuk dalam ranah pidana atau masuk
dalam ranah perdata. Tidak selamanya adanya
kerugian keuangan negara harus ada tindak pidana korupsi. Dapat saja terjadi
kerugian keuangan negara, tetapi dalam konteks administrasi atau perdata.
Sebenarnya pembentuk UU PTPK sudah mengantisipasi kerugian keuangan negara yang
bukan korupsi dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU PTPK.[71]
Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat
bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Apabila berdasarkan
proses tahap pertama dan tahap kedua tidak memungkinkan untuk diajukan tuntutan
pidana maupun gugatan perdata, maka perkara tersebut dihentikan, apakah melalui
penghentian penyelidikan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Terakhir, tahap tiga merupakan putusan hakim, di mana putusan ini dilakukan
oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung[72] dalam hal
tuntutan pidana atau gugutan perdata sebagaimana dibahas di atas dikabulkan.
3.
Mekanisme Ganti
Kerugian
Theodorus M. Tuanakotta memberikan penjelasan mengenai metode
penghitungan kerugian keuangan negara terbagi menjadi enam bagian, yaitu:[73]
a.
Kerugian Total (Total Loss)
Metode ini menghitung
kerugian keuangan negara dengan cara seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan
sebagai kerugian keuangan negara. Metode penghitungan kerugian negara kerugian
total juga diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik
sebagian maupun seluruhnya. Bagian yang tidak disetorkan merupakan kerugian
total.
b.
Kerugian Total dengan Penyesuaian
Metode
kerugian total dengan penyesuaian seperti dalam metode Kerugian Total, hanya
saja dengan penyesuaian ke atas. Penyesuaian diperlukan apabila barang yang
dibeli harus dimusnahkan dan pemusnahannya memakan biaya. Kerugian keuangan
negara tidak hanya berupa pengeluaran untuk pengadaan barang tersebut, tetapi
juga biaya yang diperlukan maupun dikeluarkan untuk memusnahkan barang tersebut.
c.
Kerugian Bersih (Net Loss)
Dalam metode kerugian bersih,
metode nya sama dengan metode kerugian total. Hanya saja dengan penyesuaian ke
bawah. Kerugian bersih adalah kerugian total dikurangi dengan nilai bersih
barang yang dianggap masih ada nilainya. Nilai bersih merupakan selisih yang
bias diperoleh dikurangi salvaging cost.
d.
Harga wajar
Pada metode penghitungan
kerugian keuangan negara ini, harga wajar menjadi pembanding untuk harga
realisasi. Kerugian keuangan negara dimana transaksinya tidak wajar berupa
selisih antara harga wajar dengan harga realisasi. Metode penghitungan kerugian
keuangan negara harga wajar digunakan dalam kasus pengadaan barang maupun
transaksi pelepasan dan pemanfaatan barang.
e.
Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)
Dalam metode biaya kesempatan, apabila ada kesempatan atau peluang
untuk memperoleh yang terbaik, akan tetapi justru peluang ini yang dikorbankan,
maka pengorbanan ini merupakan kerugian, dalam arti opportunity cost.
f.
Bunga (Interest)
Bunga termasuk unsur kerugian
negara yang penting, terutama pada transaksi-transaksi keuangan yang seperti
dalam penempatan aset. Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan konsep
nilai waktu dari uang. Bunga perlu dimasukkan dalam penghitungan kerugian
keuangan negara. Dalam sengketa perdata, kerugian bunga dihitung berdasarkan
jangka waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku.
Selanjutnya, sebagai tindak lanjut atas temuan kerugian
negara ataupun daerah, BPK memiliki kewenangan untuk menetapkan dan/atau
menilai jumlah kerugian negara, dan pihak yang ditetapkan tersebut wajib
membayar ganti kerugian.[74] Sebagai
pelaksana atas ketentuan-ketentuan tersebut, maka terbitlah Peraturan BPK RI
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara
terhadap Bendahara. Peraturan BPK RI ini dapat menjadi dasar bagi pemerintah
daerah untuk menyelesaikan kerugian Negara/daerah terhadap bendahara yang
diproses melalui TPKN/D (Tim Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah). Proses
penyelesaian kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara
melalui MP-TGR, dan penyelesaian kerugian negara/daerah terhadap bendahara
melalui TPKN/D ini dapat memulihkan/mengembalikan kerugian negara/daerah secara
signifikan.
Lebih lanjut, masing-masing
ranah yang dapat diperiksa oleh BPK terdapat pengaturan lebih rinci. Terkait
pemeriksaan BPK atas bukan bendahara, Pasal 63 ayat (1) dalam UU 1/2004
berbunyi, “Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan
bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga atau gubernur/bupati/walikota”
dan ayat (2) berbunyi, “Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur
dengan peraturan pemerintah”. Ketentuan Pasal 63 ayat (1) UU 1/2004 mempertegas
bahwa pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan
bendahara, ditetapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga, atau kepala daerah
baik gubernur maupun bupati atau walikota.
Terkait pada level daerah,
hal ini memberi penegasan bahwa perlu diatur melalui peraturan daerah baik
provinsi ditetapkan oleh gubernur dan kabupaten/kota ditetapkan oleh
bupati/walikota. Kemudian Pasal 63 ayat (2) dalam UU yang sama mempertegas
bahwa tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri
bukan bendahara akan diatur dengan peraturan pemerintah. Hanya saja belum ada
PP yang secara khusus mengatur mengenai hal tersebut. Merujuk pada Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
penyelesaian kerugian Negara pada level daerah perlu diatur di dalam peraturan
daerah. Di dalam Pasal 144 PP 58/2005 berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang
tata cara tuntutan ganti kerugian daerah diatur dengan peraturan daerah dan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan”. Ketentuan pasal tersebut memberi
jalan bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota oleh kepala
daerah untuk membentuk peraturan kepala daerah. Sebagaimana amanat dari Pasal
144 PP 58/2005 bahwa peraturan yang dimaksud adalah dalam bentuk peraturan
daerah.
Tatacara tuntutan ganti
kerugian negara/daerah maupun pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap
pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain diatur dengan peraturan
pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan atas UU 17/2003 tentang Keuangan
Negara, UU 1/2004 tentang Perbehandaraan Negara, UU 15/2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, selain UU 15/2006 tentang BPK.
Ketentuan-ketentuan tersebut diharapkan dapat digunakan oleh pihak-pihak yang
terkait dalam mengantisipasi dan menangani, sekaligus menyelesaikan kerugian
negara/daerah yang semakin bertambah besar, sehingga dapat memperlancar proses
pemulihan kerugian daerah maupun diperkecil terjadinya kerugian daerah. Dalam
hal ini, BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian daerah terhadap
pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian/lembaga/pemerintah
daerah.
Sedangkan penyelesaian
menurut mekanisme yang diatur dalam hukum pidana, kewenangan untuk menetapkan
pengenaan ganti kerugian negara/daerah adalah hakim pengadilan pidana. Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (3) dan (4) UU
15/2006 secara khusus mendasari BPK jika kerugian yang ditemukan dinilai
sebagai adanya tindak pidana dalam pengelolaan keuangan Negara. Pada intinya,
terdapat tahap dalam upaya represif ini. Pertama, BPK melaporkan dugaan tindak
pidana tersebut kepada instansi yang berwenang (kepolisian, kejaksaan, dan/atau
Komisi Pemberantasan Korupsi) paling lama satu bulan sejak diketahui adanya
unsur pidana tersebut. Laporan tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai bahan
awal untuk dasar penyelidikan atau penyidikan oleh pejabat penyidik yang
berwenang.
Pengertian kerugian
negara/daerah berdasarkan Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah “Berkurangnya kekayaan negara/daerah yang
disebabkan oleh suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan
wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau
kedudukan, kelalaian seseorang dan atau disebabkan oleh keadaan di luar
kemampuan manusia (force majeure)”. Pasal 4 UU TPK berbunyi, “Pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3.” Kemudian pada Pasal 32 undang-undang yang sama berbunyi, “Dalam hal
penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana
korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan
perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
gugatan.” Ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kerugian keuangan negara yang
secara nyata dan telah ada adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk. Berdasarkan ketentuan tersebut maka informasi mengenai jumlah/nilai
kerugian negara dapat diperoleh berdasarkan hasil temuan instansi berwenang
atau akuntan publik yang ditunjuk.
Ketentuan-ketentuan tersebut
dapat dipahami bahwa putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
Sekalipun putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan
hak BPK untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Besarnya kerugian
negara dalam hukum pidana besarnya kerugian dapat merujuk pada kerugian negara
yang telah terjadi maupun berpotensi terjadi. Dalam hukum pidana pula, besarnya
nilai kerugian yang dibebankan kepada terdakwa berupa uang pengganti bisa sama
atau kurang dari kerugian yang terjadi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kedudukan BPK dalam
pengelolaan keuangan negara sangat krusial, karena BPK menjadi lembaga auxiliary atas fungsi pengawasan yang
dimiliki oleh DPR terhadap pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, yaitu
pengelolaan keuangan. Tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK dapat menjadi
gambaran seberapa tingkat good governance
pelaksanaan kekuasaan negara dalam mengelola keuangan. Sehingga hal tersebut
dapat menjadi acuan untuk perbaikan pengelolaan keuangan negara agar dapat
digunakan secara maksimal untuk pembiayaan kebutuhan pembangunan nasional.
B.
Saran
1. Memperkuat integritas sumber daya
manusia di BPK
2. Memperbaiki kinerja kelembagaan
3. Mengawasi dengan ketat proses ganti
rugi keuangan
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Akbar,
Patrialis, 2013, Lembaga-Lembaga Negara
Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly,
2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
Raja Grafindo, Jakarta.
Badan
Pemeriksa Keuangan, 2015, Rencana
Strategis Badan Pemeriksa Keuangan 2016-2020, Badan Pemeriksa Keuangan,
Jakarta.
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2010, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku Ketujuh:
Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan), Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta.
Tjandra,
Riawan, 2013, Hukum
Keuangan Negara, Kompas Gramedia, Jakarta.
Tuanakotta, Theodorus M., 2014, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam
Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Salemba Empat, Jakarta.
Yamin, Muhammad, 1972,
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Yayasan Prapanca,
Jakarta.
Artikel, Koran,
Internet:
Akbar, M. Fatahillah, “Sulitnya untuk Korupsi”,
Tersedia: http://www.jawapos.com/read/2017/02/12/109030/sulitnya-untuk-korupsi,
jawapos.com, diakses pada tanggal 15 Maret 2017.
Hiariej, Eddy O. S., “Pasal Keranjang Sampah”, KOMPAS, 7 Mei 2015.
Peraturan
Perundang-undangan:
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3874).
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksan Pengelolaan Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4400).
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4654).
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286.
Peraturan
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Putusan
Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.
[1] Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4400).
[6] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil
Pembahasan 1999-2002 (Buku Ketujuh: Keuangan, Perekonomian Nasional, dan
Kesejahteraan), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, hlm.
26.
[7] Muhammad Yamin, 1972, Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945, Djilid Pertama, Yayasan Prapanca, Jakarta, hlm. 311.
[18] Badan Pemeriksa Keuangan, 2015, Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan
2016-2020, Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, hlm.49.
[19] Pasal
23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[20] Patrialis Akbar, 2013, Lembaga-Lembaga
Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 35.
[21] Ibid, hlm. 193
[22] Ibid, hlm. 194.
[23] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 168.
[24] Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[25] Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[26] Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[27] Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[28] Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[29] Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[30] Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[31] Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[32] Patrialis Akbar, Op.cit, hlm. 195.
[33] Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[34] Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[35] Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4400).
[36] Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4400).
[37] Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4400).
[38] Theodorus M. Tuanakotta, 2014, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi,
Cetakan Kedua, Salemba Empat, Jakarta, hlm. 198.
[39] Riawan Tjandra, 2013, Hukum
Keuangan Negara, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm. 3.
[40] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286.
[41] Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286).
[42] Riawan Tjandra, op.cit, hlm.
4.
[43] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286).
[44] Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[45] Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[46] Pasal 1 angka
6 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4400).
[47] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[48] Lampiran 1 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, hlm. 14-15.
[49] Ibid, hlm.8
[50] Ibid, hlm. 9-10
[51] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[52] Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[53] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[54] Pasal 17 ayat (1) jo. Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[55] Pasal 17 ayat (2) jo. Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[56] Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[56] Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[57] Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[57] Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400).
[58] Tim Badan
Pemeriksa Keuangan, 2014, Mengenal
Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer, Biro Humas dan Luar Negeri BPK RI,
Jakarta, hlm. 98.
[62] Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
[64] Ibid., hlm. 132.
[65] Ibid., hlm. 133.
[66] Ibid., hlm. 193.
[67] Ibid., hlm. 194.
[68] Ibid., hlm. 131.
[69] Eddy O. S. Hiariej, “Pasal Keranjang Sampah”, KOMPAS, 7 Mei 2015, hlm. 7.
[70] M. Fatahillah Akbar, “Sulitnya untuk Korupsi”, http://www.jawapos.com/read/2017/02/12/109030/sulitnya-untuk-korupsi, jawapos.com, diakses pada
tanggal 15 Maret 2017.
[71] Eddy O. S. Hiariej, Loc.Cit.
[72] Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit., hlm. 138.
[74] Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar