BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, mengatur dan
memberikan kesempatan pemekaran daerah berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi,
potensi daerah, kawasan budaya, sosial politik, kependudukan, sosial, dan
pertimbangan lain yang memungkinkan pelaksanaan otonomi daerah yang secara
teknis diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah. Mendasarkan kebijakan desentralisasi politik otonomi
daerah yang melahirkan Daerah Otonomi Baru (DOB), pemekaran daerah pada awalnya
diharapkan dapat menciptakan demokratisasi, pertumbuhan pusat-pusat baru, menambah
kualitas dan kuantitas pelayanan publik, kemudahan pembangunan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana, pertumbuhan lapangan kerja baru, serta motivasi
pengembangan inovasi dan kreativitas daerah.
Seiring berjalannya waktu, impelentasi dari pemekaran
daerah justru menimbulkan dampak negatif dari sebagian besar daerah hasil
pemekaran tersebut. Hal ini dikarenakan pemekaran daerah didorong oleh
kepentingan politik para elit pada masing-masing daerah untuk dapat menduduki
jabatan dan memperkaya diri. Anggaran yang diberikan kepada daerah hasil
pemekaran hanya digunakan untuk belanja administrasi dan terbukti tidak mampu
menjawab pertanyaan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Di satu sisi, APBN dan
APBD tidak dapat disalurkan secara transparan dan akuntabel ke level terendah
di daerah secara adil dan proporsional, semakin menguatkan dan memperlihatkan
bahwa pemekaran daerah sebagai jalan membangun dinasti baru dan korupsi.
Reformasi pada Mei 1998 menggulingkan Presiden
Soeharto yang diktator dengan gaya militernya yang bercengkram kuat di setiap
daerah, Bangsa Indonesia berharap besar dengan adanya perubahan dalam sistem ketatanegaraan.
Terkait aspirasi bagi daerah misalnya, selain lahirnya Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dalam konteks sistem ketatanegaraan juga ditandai dengan gelombang
otonomi daerah secara besar-besaran. Otonomi daerah mulanya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai salah satu upaya
pemerintah untuk menjaga keutuhan NKRI mengingat banyak daerah pada saat itu
masih dalam situasi berkecamuk dan ingin memerdekakan diri. Maka tidaklah heran
jika undang-undang pertama tentang Pemerintahan Daerah memberikan kebebasan
yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah
dengan pemerintahannya sendiri demi kesejahteraan daerah masing-masing.
Mengingat pertumbuhan ekonomi dan pembangunannya yang terpusat di Pulau Jawa,
tidak merata hingga ke daerah di luar Jawa, mendorong daerah-daerah ingin
memerdekakan diri dan pemerintah harus bertindak segera dalam menjaga
stabilisasi politik dari euphoria reformasi.
Perubahan ketatanegaraan menyangkut permasalahan
daerah, juga terlihat dari paradigma desentralisasi, yangmana sebelumnya paradigma
sentralisasi berlaku pada masa Orde Baru. Desentralisasi, beserta situasi dan
kondisi yang terjadi pada masing-masing daerah, membawa konsekuensi pembentukan
Daerah Otonom Baru (DOB) atau yang dikenal dengan pemekaran daerah. Dengan
adanya pemekaran daerah diharapkan dalam penataan daerah akan menghasilkan kebijakan
yang memberikan prioritas pada peningkatan kesejahteraan rakyat, pelayanan yang
lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis, pertumbuhan ekonomi yang lebih
cepat, meningkatnya keamanan dan ketertiban, serta relasi-relasi yang harmonis
antar-daerah.
Jika dibandingkan pengaturan penataan daerah pada era
Orde Baru yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, kebijakan
pengaturan penataan daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam hal ini
khususnya menerapkan pemekaran daerah yang seluas-luasnya tentu mempunyai
perbedaan yang signifikan. Kebijakan pemekaran daerah pada Orde Baru yang
bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, memperlihatkan sistem top-down,
hingga pada akhirnya berubah menjadi partisipasi dari bawah buttom-up
yang dibangun dalam sistem ini.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (jo Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004) yang secara teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
129 Tahun 2000 (jo Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007) justru terlihat
menekankan pada proses-proses politik semata. Revisi
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2007 ditujukan untuk memperketat syarat administratif, teknis,
dan fisik kewilayahan. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB terbuka
lebar. Dengan demikian, kebijakan pemekaran daerah lebih didominasi oleh proses
politik daripada proses teknokratis dan administrasi sebagaimana seharusnya
diharapkan dan diterapkan. Sehingga dapat dipahami bahwa produk hukum ini
berdampak pada maraknya pemekaran daerah yang tidak terpadu dan tidak terkendali
di barbagai wilayah di Indonesia, terutama di luar Jawa.[1]
Derasnya gelombang pemekaran daerah ini kemudian juga berdampak pada timbulnya
berbagai problem di daerah yang baru hasil pemekaran tersebut.
Melihat persoalan pemekaran daerah yang justru menghambat
pembangunan dan kemajuan daerah, setelah konsultasi antara pimpinan DPR di
Istana Negara pada tanggal 14 Juli 2010, Presiden Keenam RI Susilo Bambang
Yudoyono meminta dilakukan moratorium pemekaran daerah. Dalam artian bahwa,
usulan pembentukan daerah otonom baru untuk sementara harus berhenti seiring
menunggu hasil evaluasi atas pemekaran daerah. Menurut Presiden SB Yodhoyono
selama 10 tahun terakhir, dari dari 205 daerah baru hasil pemekaran, 80
persennya gagal menjalankan tugasnya. Realita menunjukkan bahwa APBN yang
disalurkan ke daerah untuk pemekaran pun selama ini lebih digunakan untuk
membangun gedung-gedung atau untuk membeli mobil pejabat daerah.[2] Pernyataan
Presiden Keenam Indonesia tersebut memang didukung oleh fakta bahwa sebagian
besar daerah hasil pemekaran justru membebani keuangan Negara. Hasil survei
beberapa lembaga penelitian menunjukkan kesimpulan yang sama yakni lebih dari
80% daerah pemekaran belum dapat memperlihatkan peningkatan pembangunan daerah
setempat, yang menunjukkan bahwa pelaksanaan pemekaran daerah belum mencapai
tujuan otonomi daerah.[3]
Begitu pula pernyataan Presiden Joko Widodo saat
kunjungan kerja dalam rangka meresmikan pengembangan Bandar Udara Rembele, Bener
Meriah, Aceh, pada 2 Maret 2016 lalu. Presiden Jokowi menyatakan bahwa sampai saat
ini pemerintah masih melakukan penghentian sementara (moratorium) pemekaran
wilayah mengingat kondisi politik dan keuangan negara yang tidak mendukung.[4] Sementara
itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan secara rinci, bahwa dalam
periode DPR 2009-2014, masih ada 87 usulan DOB yang belum diproses, ditambah 199
usulan DOB sampai tahun 2016. Tjahjo memaparkan pengeluaran pemerintah sudah
cukup besar untuk mengurus daerah pemekaran yang jumlahnya sampai dua kali
lipat sejak tahun 1999. Dengan perincian, jumlah kecamatan yang dahulu 5.000
menjadi 8.000 dan desa yang dahulu sekitar 50.000 menjadi hampir 74.000.[5]
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana implikasi kebijakan moratorium pemekaran daerah oleh
pemerintah pusat terhadap hubungan pusat dan daerah di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Moratorium Pemekaran Daerah di Indonesia
1. Konsep Pemekaran Daerah di Indonesia
Pembentukan mengenai otonomi daerah di
Indonesia sudah dimulai sejak Indonesia merdeka tahun 1945, yangmana tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan
Komite Nasional Daerah, mengamanatakan pembentukan Komite Nasional Daerah di
berbagai daerah di Indonesia.[6]
Jika ditelusuri lebih jauh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1903 telah
mempelopori Undang-Undang tentang Desentralisasi.[7]
Selain yang telah disebutkan dan yang akan dijelaskan di bawah, setidaknya
tercatat terdapat sejumlah peraturan perundangan-undangan mengenai otonomi
daerah yang pernah berlaku di Indonesia, diantaranya:[8] Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang
5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Pemekaran daerah
menurut Gabrielle Ferrazzi dapat dilihat sebagai bagian dari proses penataan
daerah (territorial reform atau administrative reform) yaitu “management of the size, shape and hierarchy
of local government units for the purpose of achieving political and
administrative goals”.[9]
Penataan daerah umumnya mencakup pemekaran, penggabungan, dan penghapusan
daerah. Ferrazzi berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang
optimal tidak berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal
di suatu negara, akan tetapi lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan
apa sebenarnya hakekat otonomi daerah di negara bersangkutan. Baru setelah itu
mencari ‘jawaban’ untuk tujuan apa sebenarnya pemekaran daerah (dalam konteks territorial reform) tersebut.[10]
Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai
pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
menurut prakarsa dan aspirasinya dengan menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya.[11] Keberadaan
otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu, otonomi daerah
diorientasikan untuk menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat agar bisa
meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal.[12]
Istilah pemekaran lebih cocok untuk mengekspresikan proses terjadinya daerah-daerah
baru yang tidak lain adalah proses pemisahan diri dari suatu bagian wilayah
tertentu dari sebuah daerah otonom yang sudah ada dengan niat hendak mewujudkan
status administrasi baru daerah otonom.[13]
Selain di
Indonesia, pemekaran daerah juga terjadi di beberapa negara lain dengan alasan
yang berbeda-beda, dalam satu konsep menciptakan kehidupan bernegara yang
demokratis menekankan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat.[14]
Demikian pula dalam upaya mewujudkan negara hukum didukung dengan sistem
demokrasi, mengingat hubungan di antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.[15]
Sebagaimana ditegaskan Jimly Asshiddiqie, bahwa teori tentang negara hukum,
pada pokoknya tidak dapat dipisahkan dari teori tentang demokrasi, keduanya
harus dilihat sebagai dua sisi dari mata uang yang sama.[16]
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor
78 tahun 2007 disebutkan “Pemekaran derah
adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih”.
Pemekaran daerah dapat dipahami sebagai pembagian kewenangan administratif dari
satu wilayah menjadi dua atau beberapa wilayah. Pembagian tersebut juga
menyangkut luas wilayah maupun jumlah penduduk sehingga lebih mengecil. Pada
level provinsi menghasilkan satu pola yakni dari satu provinsi menjadi satu
provinsi baru dan satu provinsi induk. Sementara pada level kebupaten terdiri
dari beberapa pola yakni:[17] (1)
Pertama, dari satu kebupaten menjadi satu kabupaten baru (Daerah Otonom
Baru/DOB) dan kabupaten induk; (2) Kedua, dari satu kabupaten menjadi satu kota
baru dan kabupaten induk; dan (3) Ketiga, dari satu kabupaten menjadi dua
kabupaten baru dan satu kabupaten induk. Sementara menurut Siswanto Sunarno,
pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan
publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai
sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Pembentukan daerah pemerintahan
dapat dilakukan dalam dua tipe atau bentuk, yakni berupa penggabungan beberapa
daerah atau pemekaran daerah menjadi dua daerah atau lebih.[18]
Secara yuridis-konstitusional, landasan
yang memuat persoalan pemekaran daerah telah ada sejak lama sebelum reformasi.
Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur dengan undang-undang”. Menurut Pasal 18 UUD NRI 1945, saat ini pemerintahan
daerah juga berhak menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”
Adanya jalan bagi pemekaran
daerah di Indonesia tidak terlepas dari salah
satu perwujudan demokratisasi di Indonesia, dimana keberadaan konsep
desentralisasi pemerintahan sejak era reformasi sebagai anti tesis dari konsep
sentralisasi yang diterapkan Orde Baru. Implikasinya, terjadi pergeseran fokus
kekuasaan dari pusat ke daerah. Dengan semangat desentralisasi, daerah semakin
memiliki kewenangan berotonomi yang semakin luas.[19]
Desentralisasi secara umum dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni
perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Perspektif
desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; sedangkan perspektif
desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang
administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.[20]
Jika desentralisasi merupakan arena
hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat yang bertujuan untuk
memberikan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat lokal, memperkuat identitas
lokal, membangkitkan prakarsa dan inisiatif lokal, serta membagi kekuasaan dan
kekayaan kepada masyarakat lokal, dan mewujudkan otonomi luas;[21]
maka demokratisasi merupakan upaya untuk menjadikan penyelenggaraan
pemerintahan daerah menjadi lebih akuntabel, responsif, diakui oleh rakyat;
mendorong peran legislatif daerah berfungsi sebagai badan perwakilan dan intermediary
agent; serta memperkuat partisipasi masyarakat daerah dalam proses
pemerintahan dan pembangunan daerah. Partisipasi juga menandai keikutsertaan
kalangan marjinal yang selama ini disingkirkan dari proses politik dan ekonomi.[22]
Pandangan bahwa desentralisasi memiliki
korelasi dengan demokrasi didasarkan pada asumsi bahwa desentalisasi dapat
membuka ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk terlibat didalam proses
pembuatan keputusan-keputusan politik di daerah. Hal ini berkaitan dengan
realitas bahwa setelah ada desentralisasi, lembaga-lembaga yang memiliki
otoritas di dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik itu lebih
dekat dengan rakyat. Kedekatan itu juga memungkinkan rakyat melakukan kontrol
terhadap pemerintah daerah.[23]
Namun di satu sisi, faktor elit capture
dan old predatory relations merupakan
salah satu factor penyebab mengapa desentralisasi tidak menghasilkan demokrasi
dan gagal mendekatkan pemerintah dengan rakyat (to bring government close to the people).[24] Terdapat
tiga pelaksanaan asas desentralisasi, yakni sebagai berikut:[25]
1.
Desentralisasi
territorial yang dikenal sebagai pelaksanaan pemekaran daerah merupakan
“wewenang yang diberikan oleh pemerintah kepada suatu badan umum seperti suatu
persekutuan yang berpemerintahan sendiri, untuk membina keseluruhan kepentingan
yang saling berkaitan dari golongan-golongan penduduk dalam suatu wilayah
tertentu”.
2.
Desentralisasi fungsional
adalah “pelimpahan sebagian fungsi pemerintahan kepada organ atau badan asli
yang khusus dibentuk untuk itu.”
3.
Desentralisasi
administratif merupakan “pelimpahan wewenang yang semula dipusatkan pada
penguasa di pusat, kepada pejabat-pejabat bawahannya.” Desentralisasi
administratif atau dekonsentrasi dapat dianggap sebagai modifikasi atau
“penghalusan” dari sentralisasi”.
Pada
intinya bahwa pelaksanaan desentralisasi itu sendiri tergantung bagaimana
pemerintah pusat memberikan jalan kepada masing-masing daerah.
Pembentukan daerah otonom dalam rangka
desentralisasi di Indonesia menurut Suwandi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[26]
(1) daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di
negara federal; (2) desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan
atau pengakuan atas urusan pemerintahan; dan (3) penyerahan atau pengakuan
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ciri yang kedua tersebut di atas
utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat
setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
2. Perkembangan Pengaturan Pemekaran Daerah
di Indonesia
Pada era kolonial terdapat kebijakan pemekaran daerah
yang dilakukan oleh pemerintah belanda, meskipun pemekaran tersebut dilakukan
dalam rangka pengendalian dan pengawasan atas gerakan masyarakat yang ingin
melawan penjajah. Fakta sejarah membuktikan bahwa sejak pemerintahan kolonial
Belanda Indonesia terbagi dalam 4 konfederasi yakni Jawa dan Bali, Sumatera,
Sulawesi dan Kalimantan.[27]
Kemudian pada era Demokrasi Terpimpin dan Orde Lama,
pemekaran wilayah Indonesia pada kurun waktu 1950-1966 terdiri dari 24
Provinsi.[28]
Selama kepemimpinan Presiden Soekarno terjadi 16 kali pergantian kabinet. Yang
menarik dari proses tersebut adalah program-program kabinet yang menempatkan
“desentralisasi”, “otonomi daerah”, atau “memperbaiki hubungan pusat-daerah”
sebagai prioritas. Meskipun usaha tersebut mengalami kegagalan, realita
menunjukkan betapa penting dan mendesak mewujudkan hubungan pusat-daerah yang
seimbang dan proporsional.[29]
Di bawah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional
Daerah, dilakukan pembentukan daerah-daerah otonom yang masih terbatas di Jawa.
Jangkauan undang-undang ini sangat terbatas, mengingat sebagai negara baru
masih mencari-cari bentuk, termasuk susunan pemerintahan daerah yang
pluralistik sebagai warisan penjajahan.[30]
UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan
Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri menggatikan UU Nomor 1 Tahun 1945 memberikan
ruang gerak daerah yang lebih luas. Guna menghidupkan pemerintahan lokal dan
kesatuan sosial, dibentuk daerah Tingkat I, Tingkat II dan Tingkat III.
Akibatnya kontrol pusat terhadap daerah berkurang tajam. Tidak mengherankan
dibawah UU tersebut berbagai pemberontakan terjadi di daerah (DI, TII,
PERMESTA, RMS).[31]
Guna mencegah menguatnya daerahisme, provinsialisme, dan memperkuat kontrol pusat,
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah. Di bawah undang-undang tersebut, kandungan keseimbangan antara pusat
dan daerah lebih mengemuka. Kemudian UU Nomor 1 Tahun 1957 dilakukan perubahan
menjadi UU Nomor 18 Tahun 1965. Aturan ini tidak banyak mewarnai hubungan
pusat-daerah, sebab kekacauan segera terjadi.[32]
Di bawah kepemimpinan Soeharto, sentralisasi setengah
hatinya Soekarno dikonkritkan. Soeharto tanpa ragu-ragu melihat keanekaragaman
budaya, geopolitik kepulauan dan kemajemukan ideologi sebagai ancaman persatuan
dan kesatuan bangsa. Integrasi nasional dalam visi Soeharto harus dimulai dari
integrasi wilayah (keutuhan wilayah) dan merasuk ke integrasi bangsa. Dalam
visi demikian, perbedaan ideologi tidak dapat ditoleransi. Itulah sebabnya
mengapa kepemimpinan Soeharto anti partai, anti kemajemukan ideologi dan
menyatukan ideologi dalam asas tunggal. Kekhawatiran akan lahirnya daerahisme
dan provinsialisme, dipertegas dengan membatasi masa jabatan kepala daerah dan
mekanisme pemilihan. Kepala daerah tidak sepenuhnya dipilih oleh dewan. Secara
formal mekanismenya adalah perpaduan antara kehendak daerah (mengusulkan tiga
nama) dan kehendak pusat (menentukan/memilih satu dari tiga yang diusulkan dewan).
Tetapi secara substantif, kepala daerah adalah orang pusat yang ditempatkan di
daerah. Selain didesain untuk mengendalikan daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tidak memberi ruang gerak yang
memadai bagi tokoh-tokoh Daerah untuk membangun kekuatan dengan identitas daerah.[33]
Kondisi-kondisi tersebut di atas merupakan kendala struktural bagi kekuatan
masyarakat termasuk kekuatan-kekuatan di daerah untuk melakukan usulan
pemekaran daerah.
Kebijakan-kebijakan pemerintahan presiden Soeharto
lebih berdimensi pada pembangunan ekonomi, termasuk kebijakan pelaksanaan
otonomi daerah. Secara kontekstual, selama penerapan UU Nomor 5 Tahun 1974
diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab. Sebagai undang-undang produk era baru, yang pada
prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak bisa
terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogi
pembangunan, yaitu: stabilitas yang makin mantap, pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.[34]
Sehingga pada era pemerintahan Orde Baru ini paling tidak terbentuk 5 Provinsi
baru yaitu, Provinsi Sumatera Selatan,
Provinsi Bengkulu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Timur Timor, dan Irian
Jaya.
Pembangunan Indonesia pada masa orde baru yang tidak
merata dan menimbulkan kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah,
disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar ditarik ke pusat membawa
kearah disintergrasi bangsa. Pemerintahan B.J. Habibie menghadapi tantangan
untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan
yaitu:[35]
1)
Mengurangi peran
pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2)
Pembentukan negara
federal; atau
3)
Membuat pemerintah
provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai
presiden pasca-Orde Baru membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan
kekuasaan antara pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dengan terbitnya undang-undang tersebut, daerah tidak lagi sepenuhnya
bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa
daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari
Republik Indonesia.
Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 1999 menandakan paket
kebijakan otonomi menjadi titik balik pelaksanaan otonomi daerah yang lebih
demokratis dibandingkan dengan kebijakan otonomi daerah sebelumnya (melalui UU Nomor
5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah) yang dinilai
sentralistik. UU ini mengorientasikan pembangunan dari prinsip efisiensi dan
pertumbuhan menjadi prinsip kemandirian dan keadilan. Dalam kondisi orientasi
pembangunan yang demikian, maka orientasi penyelenggaraan pembangunan bergeser
ke arah desentralisasi. Salah satu implikasi dari perubahan paradigma
penyelenggaraan pembangunan tersebut adalah timbulnya fenomena pemekaran di
setiap daerah.[36]
Semangat otonomi daerah dan desentralisasi diatas
akhirnya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian
diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan
Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam
PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya
selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik.[37]
Dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun
1999 menggariskan soal pembentukan daerah. “Daerah
dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi Daerah”. Lebih lanjut dalam ketentuan
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan bahwa daerah dapat dihapus atau digabung dengan daerah lain,
dan daerah otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika
dipandang sesuai dengan perkembangan daerah.[38]
Regulasi tersebut memang memberi ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya
daerah otonom baru. Dengan kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran
daerah lebih didominasi oleh proses politik daripada proses teknokratis.
Sehingga dapat dipahami bahwa produk hukum ini berdampak pada maraknya
pemekaran daerah yang tidak terbendung di seluruh Indonesia, terutama di luar
Jawa. Derasnya gelombang pemekaran daerah ini kemudian juga berdampak pada
timbulnya berbagai problem di daerah yang baru dimekarkan tersebut.
Pada masa awal reformasi ini, bermunculan aspirasi
dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran daerah provinsi
atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan daerah provinsi dan kabupaten baru ini,
tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran
daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal.
Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari masing-masing kelompok yang
pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan
sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan[39].
Kondisi tersebut mebawa pemekaran daerah menjadi cenderung bersifat politis
yang berdampak pada pembagian jabatan dan kekuasaan di kalangan elit lokal.
Pemekaran daerah dijadikan bisnis dari kelompok elit politik di daerah yang
sekedar menginginkan jabatan dan posisi dalam pemerintahan. Euforia demokrasi
dan tumbuhnya partai-partai politik dimanfaatkan oleh kelompok elit ini untuk
menyuarakan aspirasinya yaitu mendorong terjadinya pemekaran.[40]
Dengan demikian sejak kemerdekaan hingga tahun 1999,
Indonesia memiliki 319 daerah otonom. Artinya, selama 54 tahun pemerintah telah
berhasil menekan laju pembentukan daerah otonom baru. Sistem sentralisasi yang
diterapkan juga membuat aspirasi pemekaran daerah menjadi tersumbat, karena
semua urusan pemerintahan didominasi oleh kepentingan pusat.
Pada Oktober 1999,
MPR melantik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden dan Megawati sebagai
wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Gus Dur membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional
pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Gus Dur meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan
ekonomi yang sudah dijalankan kepemimpinan sebelumnya. Dengan kondisi
ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahan Gus Dur juga
menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh,
Maluku,
dan Papua.
Namun masa kepemimpinan Gus Dur yang kurang dari dua tahun tidak memberikan
perkembangan yang signifikan terhadap otonomi daerah. Setidaknya terbentuk 3
Provinsi baru yaitu Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Pada Januari 2001
Presiden Gus Dur digantikan oleh Megawati.
Bentuk upaya konkret yang terlihat dalam pelaksanaan
otonomi daerah di era Megawati berupa penggantian kedua perundangan yakni UU Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menjadi UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pmerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Kebijakan terkait pemekaran daerah tetap mengacu pada PP Nomor 129 tahun 2000
tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dari pemerintahan
Gus Dur dan Megawati terjadi 103 pemekaran daerah provinsi, kabupaten dan kota.[41]
Politik kebijkan pemerintah Presiden Susilo Bambang
Yudoyono memperioritaskan program penataan DOB. Program ini bertujuan untuk
menata dan melaksanakan kebijakan pembentukan DOB agar pembentukannya tidak
memberikan beban pada keuangan negara. Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkan revitalisasi proses
desentralisasi dan otonomi daerah sebagai satu prioritas dalam pembangunan
nasional. Revitalisasi tersebut diarahkan untuk:[42]
(1) memperjelas pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan; (2) mendorong
kerjasama antar pemerintah daerah; (3) menata kelembagaan pemerintah daerah
agar lebih efektif dan efisien; (4) meningkatkan kualitas aparatur pemerintah
daerah; (5) meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah; serta (6) menata
daerah otonom baru (DOB). Fokus
kebijakan tersebut terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 78 Tahun 2007 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun
2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut langkah bagi suatu daerah untuk
memekarkan daerah semakin terbuka lebar. Sebagian daerah justru berlomba-lomba
melakukan pemekaran daerah dengan tujuan agar dapat mengatur rumah tangga
daerah itu sendiri.
Akan tetapi sampai saat ini sebagian besar daerah
otonom baru masih mengalami kesulitan dalam membiayai penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan karena minimnya sumber daya atau belum tergalinya
potensi pendapatan. Untuk masalah keuangan, daerah otonom baru masih bergantung
pada bantuan keuangan dari daerah induk dan alokasi anggaran dari pemerintah
pusat. Dengan demikian, praktis penambahan daerah otonom baru justru membebani
APBN. Menurut data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian
Keuangan, pada tahun 1999 total DAU yang ditransfer ke daerah baru Rp 54,31
triliun. Pada tahun 2009, jumlah itu melonjak menjadi Rp 167 triliun.[43]
Terkait persoalan tersebut, kemudian dalam konsultasi
antara pimpinan DPR dan presiden di Istana negara tanggal 14 Juli 2010,
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) kembali meminta dilakukan moratorium
pemekaran daerah. Artinya, usulan pembentukan daerah otonom baru untuk
sementara harus dihentikan sambil menunggu evaluasi lebih lanjut. Menurut
presiden, selama 10 tahun terakhir, dari dari 205 daerah baru hasil pemekaran,
80 persennya gagal menjalankan tugasnya. APBN yang disalurkan ke daerah untuk
pemekaran pun selama ini lebih digunakan untuk membangun gedung-gedung atau
untuk membeli mobil pejabat daerah.[44]
Inilah konsekuensi penerapan Undang-Undang Otonomi
Daerah yang menimbulkan persoalan maraknya wacana pemekaran daerah yang terjadi
baik ditingkatan provinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota. Maka peranan hukum
yang tegas dan konsisten sangat diperlukan seiring dengan munculnya tuntutan
pemekaran daerah otonom tersebut yang cenderung subjektivitas dan irasional.
Pemekaran daerah pada saat ini menunjukkan hasil yang signifikan dalam kurun
waktu 14 tahun penerapan sistem otonomi daerah, dimana telah terbentuk 542
daerah otonomi di indonesia, terdiri dari 34 Provinsi, 415 kabupaten (tidak
termasuk 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta) dan 93 kota (tidak
termasuk 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta)[45].
Pada awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Kebijakan
pemekaran daerah dilakukan dengan mengundangkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Dimana UU Nomor 23 tahun 2014 mengatur bahwa usulan
pemekaran daerah hanya bisa dilakukan melalui pemerintah pusat, bukan DPD dan
DPR. Oleh Kemendagri akan dikaji tentang aspek administrasi, fisik wilayah,
syarat teknis, cakupan wilayah dan sengketa batas, kelembagaan, kepegawaian dan
keuangan. Kebijakan pemekaran daerah diarahkan pada upaya strategis pemerintah
untuk memperkuat tata kelola pemekaran daerah otonom baru.
Dalam UU 23 Tahun 2014, pembentukan daerah otonom baru
merupakan bagian dari penataan daerah sebagai bentuk pelaksanaan
desentralisasi.[46]
Melalui undang-undang tersebut adanya perubahan mekanisme dalam pembentukan
daerah otonom baru yang bersifat limitatif. Perubahan yang dimaksud diantaranya
ialah adanya tahapan yang disebut Daerah Persiapan dalam proses pemekaran
daerah.[47]
Pada pengajuan usulan daerah persiapan ini dilakukan oleh Gubernur kepada
Pemerintah Pusat, DPR, atau DPD.[48]
Pengajuan usulan ini dapat diajukan apabila telah memenuhi persyaratan dasar
kewilayahan dan persyaratan administratif.[49]
Dalam Pasal 33 UU Nomor 23 Tahun 2014 menggantikan
syarat pembentukan daerah menjadi syarat pembentukan daerah persiapan meliputi
persyaratan dasar dan persyaratan administrasi.[50]
Sedangkan persyaratan administratif untuk Daerah provinsi dan untuk Daerah
kabupaten memiliki susunan yang berbeda.[51]
Dengan demikian berlakunya UU 23 tahun 2014 maka pemekaran daerah tidak bisa
dilakukan secara otomatis. Hal ini dikarenakan jeda waktu persiapan untuk
daerah yang akan melakukan pemekaran sebelum daerah tersebut menjadi Daerah
Otonomi Baru (DOB). Persyaratan pemekaran daerah menjadi semakin ketat diakibatkan
karena banyak fakta bahwa banyak daerah otonomi baru yang yang tidak layak
dalam arti kinerja dan pemerintahan yang buruk.
Dengan melihat perkembangan kebijakan pemerintah
terhadap pemekaran daerah yang terjadi memberikan gambaran bahwa sejak sebelum Tahun 1998 kekuasaan Pemerintah Pusat sangat
sentralistik dan semua daerah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah
pusat. Dengan kata lain, rezim Orde Baru dan Orde Lama mewujudkan kekuasaan
sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan daerah. Dengan kondisi
yang demikian pemerintah pusat mendominasi segala aspek pembangunan di daerah.
Progresifitas pembangunan terkonsentrasi di pulau jawa sementara daerah-daerah
diluar itu sumber daya alamnya dieksploitasi sedemikian rupa tanpa memperhatikan
kesejahteraan rakyat setempat.
Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat di era
reformasi, muncul keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk
suatu daerah otonom baru baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Keinginan
seperti itu didasarkan pada berbagai dinamika yang terjadi di daerah baik
dinamika politik, ekonomi sosial maupun budaya.[52]
Pembentukan daerah otonom baru diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih
besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan
sumber-sumber pendapatan asli daerah. Pengelolaan sumber daya alam lebih
maksimal dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang
lebih baik.
Para penggagas dan aktivis pemekaran mengatakan bahwa
perjuangan pemekaran daerah ialah upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan kesejateraan itu untuk mewujudkan peningkatan pelayanan dan
kualitas pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan
demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah terutama
daerah-daerah pinggiran. Terlebih lagi otonomi daerah dapat dijadikan sebagai
alat percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban,
pertumbuhan kehidupan demokrasi di daerah, dan kontribusi bagi persatuan dan
kebangsaan (nation building).[53]
Untuk itu usulan pemekaran daerah hendaknya merupakan aspirasi masyarakat
daerah itu sendiri. Aspirasi itu menjadi dasar dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Namun pada praktiknya usulan ini sering kali dikuasai oleh
kepentingan elit politik yang ingin mendapatkan status kekuasaan atas
pembentukan daerah otonom baru tersebut.[54]
Dilihat dari segi regulasi, pemekaran daerah diberi
peluang oleh pemerintahan Orde Baru dan masa reformasi. Perbedaannya terletak
pada proses pengusulan pemekaran. Di masa Orde Baru pemerintah pusat mempunyai
peran yang besar untuk menyiapkan pembentukan daerah otonom (dari ibukota
Kecamatan, menjadi Kota Administratif lalu Kotamadya) dan menginisiasi
pembentukannya. Di masa reformasi, regulasi yang ada menekankan pada usulan
daerah untuk memekarkan diri dalam rangka membentuk daerah otonom baru. Namun
demikian, regulasi yang ada berusaha untuk menyaring usulan pemekaran dengan
mempertimbangkan kapasitas daerah yang akan dibentuk. Selain itu, bukan hanya
pemekaran yang dimungkinkan. Tetapi penggabungan beberapa daerah menjadi satu
daerah otonompun diberi peluang.
3. Moratorium Pemekaran Daerah sebagai
Kebijakan Pemerintah
Untuk dapat
memahami kebijakan moratorium pemekaran daerah oleh pemerintah pusat, terlebih
dahulu memahami pengertian kewenangan sebagai kekuasaan yang dibatasi oleh
peraturan. Secara teoretis kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan ini diperoleh melalui tiga cara, yakni atribusi, delegasi
dan mandat. Atribusi wewenang yang diperoleh secara atribusi dan berasal dari
peraturan perundang-undangan adalah wewenang yang bersifat asli, Delegasi
Pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainya sehingga
tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans)
tetapi telah beralih kepada penerima delegasi (delegataris), Mandat pada
wewenang mandat, maka penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan
atas nama pemberi mandat (mandans) sedangkan tanggung jawab akhir dari
keputusan yang diambil oleh penerima
mandat atau mandataris tetap berada pada pemberi mandat atau mandans.[55]
Kewenangan yang diberikan oleh hukum tersebut kepada pemerintah dalam melakukan
suatu tindakan dan perbuatan, diharapkan tidak merugikan kepentingan rakyat dan
harus terbebas dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Pada Bab I tentang
Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 ayat (1) Negara Indonesia ialah
Negara kesatuan,yang berbentuk republik, Ayat (2) Kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ayat (3) Negara Indonesia
adalah negara hukum. Ada dua kerangka landasan penyelengaraan pemerintahan yang
dapat menjadi dasar, yaitu sebuah konsepsi negara hukum yang demokratis atau
negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Kedua konsepsi bernegara tersebut
dapat memberi pijakan dasar yang utuh dan komprehensif dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang bertumpu pada aturan hukum dan berdasar kepada kepentingan
rakyat.[56]
Dengan kata lain konsepsi negara hukum, tindakan atau perbuatan hukum
pemerintahan haruslah senantiasa didasarkan pada aturan hukum yang menjadi
landasan operasionalnya.
Selanjutnya di
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Prinsip dasar dalam sebuah
konsepsi negara hukum mentapkan, bahwa setiap tindakan atau perbuatan
pemerintah dilakukan oleh pemerintah (bestuurshandelingen)
haruslah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada
adanya suatu legitimasi atau kewenangan, sehingga tindakan atau perbuatan
pemerintah tersebut dipandang absah adanya.[57]
Istilah tindakan
atau perbuatan pemerintah itu sendiri terambil dari kata “tindak” atau
“berbuat” (handeling, act). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata tindakan atau perbuatan (hendelingen, action) dimaksudkan sebagai
suatu bentuk prilaku kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan (organ)
yang membawa pada akibat tertentu. Sedangkan dalam kepustakaan hukum
administrasi dijelaskan bahwa sebagai subjek hukum, maka tindakan atau
perbuatan pemerintahan sama seperti subjek hukum lainnya yakni, dapat melakukan
berbagai tindakan atau perbuatan baik
berupa tindakan atau perbutan nyata pemerintahan (feitelijke hendelingen) maupun berupa tindakan atau perbuatan hukum
pemerintahan (recthshandelingen),
sebagai pendukung hak dan kewajiban (drager
van de rechten en plichten), maka setiap tindakan atau perbuatan pemerintah
memiliki konsekuensi atau akibat dari tindakan atau perbuatan yang dilakukannya.[58]
Muchsan
mengemukakan bahwa terdapat beberapa unsur dari tindakan atau perbuatan hukum
pemerintahan, yaitu:[59]
1.
Tindakan atau perbuatan
hukum itu dilakukan oleh organ atau badan pemerintahan (aparat pemerintah)
dalam kedudukannya sebagai penguasa (overheid) maupun sebagai alat perlengkapan
pemerintahan (betuursorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri.
2.
Tindakan atau perbuatan
hukum tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.
3.
Tindakan atau perbuatan
hukum tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di
bidang hukum administrasi.
4.
Tindakan atau perbuatan
hukum yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara
dan rakyat.
Menurut C.J.N.
Versteden bahwa ketika pemerintah terlibat dalam pergaulan keperdataan dan
bukan dalam kedudukannya sebagai pihak yang memelihara kepentingan umum, maka jelas
pemerintah tidak berbeda dengan pihak swasta yang harus tunduk dan patuh pada
hukum privat. Sedangkan menurut Bagir Manan bahwa cara lain untuk melakukan
pembedaan antara tindakan atau perbuatan hukum pemerintahan yang berlandas pada
hukum publik ataukah hukum privat, yakni dengan melihat tindakan atau perbuatan
hukum pemerintahan tersebut sebagai penguasa yang memiliki kewenangan
pemerintahan dan sebagai badan hukum yang semata-mata bertindak sebagai
pendukung hak dan kewajiban.[60]
Untuk
mengidentifikasi apakah perbuatan atau tindakan tersebut melawan hukum atau
tidak, sudah sepatutnya diadakan kriterium atau ukuran-ukuran dalam
menentukannya. Sudikno Mertokusumo mengemukakan keseimbangan masyarakat antara
penguasa dan perseorangan dan antara perseorangan sendiri itu berbeda,
menurutnya perbedaan kriterium itu dapat dilihat dari sifatnya yakni perbuatan
perseorangan digerakkan oleh kepentingan diri sendiri, sedangkan tindakan
pemerintah itu berlatar belakang kepentingan umum.[61]
Dari pemahaman
mengenai kewenangan dan tindakan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
selanjutnya memahami kebijakan moratorium pemekaran daerah oleh pemerintah
pusat. Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara Indonesia
diberikan kewenangan oleh negara melalui konstitusi Pasal 4 (1) Undang-undang
Dasar Negara tahun 1945. Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden pada
Pasal 4 (2) Undang-undang Dasar tahun 1945, kemudian Presiden juga dibantu oleh
Menteri-Menteri negara pada Pasal 17 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menteri
dalam negeri sebagai pejabat yang kewenangannya diberikan oleh Presiden, untuk
melaksanakan tugasnya sebagai pembantu presiden kewenangan diberikan melalui
Undang-undang Dasar 1945 dan lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Pemerintah melaksanakan tugasnya tetap diawasi oleh lembaga legislatif yakni
dewan perwakilan rakyat agar pemerintahan stabil dan dijamin oleh Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
Moratorium
pemekaran daerah adalah bentuk tindakan pemerintah untuk mengendalikan sistem
prekonomian daerah dan peningkatan daerah yang mengajukan usul pemekaran
daerah. Wakil presiden Jusuf Kalla
menegaskan kembali sikap pemerintah soal moratorium pemekaran wilayah
“Pembentukan wilayah baru bisa dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi sudah
mencapai tujuh pesen” dan selanjutnya Kementerian Dalam Negeri mencatat selama
periode 2009-2014, masih ada 87 usulan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang belum
diproses di DPR. Namun kemudian masuk lagi usulan DOB sebanyak 199. Namun
belakangan, pemerintah menegaskan sikap untuk malakukan moratorium pemekaran
wilayah atau DOB.[62]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwasanya kebijakan moratorium pemekaran daerah tidak diatur secara rinci
dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, moratorium tersebut adalah
suatu tindakan atau perbuatan yang dikemas dalam bentuk kebijakan yang diambil
oleh pemerintah sebagai pengendalian secara nasional dan sah menurut hukum
sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan
lainya untuk kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat.
4. Perkembangan Kebijakan Moratorium
Pemekaran Daerah di Indonesia
Sejak bergulirnya era
reformasi 1998, bangsa Indonesia menaruh harapan
besar terhadap perubahan-perubahan sistem bernegara. Dalam konteks
sistem ketatanegaraan Indonesia, euforia reformasi juga ditandai dengan
gelombang otonomi daerah secara besar-besaran. Undang-Undang Pemerintahan
Daerah yang lahir pada kondisi tersebut merupakan salah satu
upaya pemerintah “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak
untuk menjaga keutuhan NKRI. Maka tidak salah jika UU Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kebebasan
yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri (otonomi) demi kesejahteraan daerah.
Prinsip kebebasan, demokrasi, dan partisipasi publik juga sangat menonjol
dalam produk hukum tersebut.[63]
Fenomena pemekaran
daerah atau pembentukan daerah otonom baru (DOB) kemudian menjadi
konsekuensi logis kebijakan desentralisasi politik tersebut.
Kebijakan pemekaran daerah, sejatinya memberikan harapan bahwa penataan
daerah (teritorial reform) akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan
rakyat, pelayanan yang lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis,
pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, meningkatnya keamanan dan ketertiban, serta
relasi-relasi yang harmonis antar-daerah.[64]
Jika dibandingkan pengaturan penataan daerah pada era Orde Baru yang
merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya
UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah mempunyai
perbedaan yang signifikan. Kebijakan pemekaran daerah pada
Orde Baru memang bersifat elitis dan memiliki karakter
sentralistis, yang perencanaan dan implementasi
pemekaran lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat (topdown) daripada
partisipasi dari bawah (buttom-up). Sehingga, proses pemekaran
daerah selain jarang terjadi juga seringkali menjadi proses yang tertutup
dan menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.[65]
Sedangkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah[66] jo. UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah[67] yang secara teknis diatur dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah[68] jo. PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan
dan Penggabungan Daerah,[69] justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang
bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar. Dengan
kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran daerah lebih didominasi
oleh proses politik daripada proses teknokratis. Sehingga dapat dipahami
bahwa produk hukum ini berdampak pada maraknya pemekaran daerah
yang tidak terbendung di seluruh Indonesia, terutama di luar Jawa. Derasnya
gelombang pemekaran daerah ini kemudian juga berdampak pada
timbulnya berbagai problem di daerah yang baru dimekarkan tersebut.
Untuk membendung aras keinginan daerah-daerah
melakukan pemekaran, pemerintah selanjutnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah[70]
untuk memperketat kehendak daerah-daerah yang ingin mekar. Pengesahan
undang-undang a quo juga sebagai
bentuk evaluasi pemerintah atas kebijakan sebelumnya yang dinilai kurang
efektif akibat lahirnya daerah-daerah baru akan tetapi tidak berjalan sesuai
dengan kehendak awal pembentukannya.
Maraknya
pemekaran wilayah ini di satu pihak perlu disyukuri karena memberikan
tempat bagi aspirasi, keberagaman dan otonomi lokal sesuatu hal yang
diabaikan di masa orde baru. Jika dilihat dari konsep tata pemerintahan (governance),
sebenarnya pemekaran daerah ditujukan untuk memperbaiki kualitas
pelayanan publik dengan asumsi administrasi pemerintahan akan lebih
dekat dengan masyarakat di daerah. Sayangnya, dalam praktek di negara
kita justru yang lebih mengemuka adalah sentimen primordial, kepentingan
elit lokal yang menginginkan jabatan baru, keuntungan politis maupun
keuntungan materi yang berkaitan juga dengan kepentingan para perumus
kebijakan di pusat. Kepentingan pribadi elit lokal ini tercermin nyata dari
keinginan untuk menjabat di birokrasi lokal atau DPRD, ingin lepas dari himpitan
”penindasan” kelompok etnis atau agama lain, ingin membangun kembali
sejarah kekuasaan aristrokrasi lama yang pernah pudar di masa orde baru,
sehingga seringkali mereka pun kurang tegas untuk melakukan moratorium
pemekaran.[71]
Kondisi di atas sebagaimana dikemukakan Peneliti Utama Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) R
Siti Zuhro yang membenarkan bahwa pembentukan daerah otonom baru umumnya
mengalami kegagalan dan hanya menguntungkan segelintir elite lokal. Kegagalan itu juga terjadi karena sebenarnya alasan politis lebih dominan ketimbang
alasan lain. Terbukti bahwa elitelah yang mendorong pemekaran daerah. Namun,
orientasinya untuk mengejar keuntungan politik dan ekonomi. Keuntungan politik dengan
menguasai pemerintahan dan keuntungan ekonomi dengan menguasai proyek-proyek pembangunan
di daerah.[72]
Hasil
survey beberapa lembaga penelitian (seperti Bapenas-2005, DRSP-USAID-2007,
UNDP-2007) juga menunjukkan kesimpulan yang sama, yakni
lebih dari 80% daerah pemekaran belum dapat memperlihatkan
peningkatan pembangunan daerah setempat sehingga disimpulkan
bahwa pelaksanaan pemekaran daerah belum mencapai tujuan
otonomi daerah.[73]
Hasil penelitian Balitbang Depdagri pada
tahun 2005 juga menunjukkan dari 98 daerah baru, 76 di antaranya bermasalah.
Permasalahan tersebut antara lain terdapat 87,71% daerah induk yang belum
menyelesaikan penyerahan personal, perlengkapan, pembiayaan, dan dokumentasi
(P3D), 84, 2% PNS sulit dimutasi dari daerah induk ke DOB, 89,94% daerah induk
belum memberikan dukungan dana kepada DOB, serta 79% DOB belum memiliki batas
wilayah yang jelas.[74]
Pemekaran daerah juga berdampak pada keuangan
negara. Dari aspek keuangan negara, evaluasi pemekaran daerah selama 6 tahun
menunjukkan bahwa terdapat 94% daerah yang mengandalkan dana dari pusat, yaitu
dana alokasi umum (DAU) dana dana perimbangan. Pengalokasian dana bagi daerah
baru hasil pemekaran sebagian besar anggaran justru tidak digunakan untuk
pelayanan publik, sebagian besar anggaran justru dialokasikan untuk belanja
rutin pegawai. Alokasi dana untuk publik hanya sebesar 30%, inftrastruktur
berupa perkantoran sebesar 20%, untuk belanja rutin gaji pegawai sebesar 42%
dan 20% dana dilokasikan untuk belanja lain-lain.[75]
Banyaknya permasalahan yang dihadapi daerah
akibat banyaknya jumlah pembentukan DOB hasil pemekaram ditengarai oleh banyak
pihak dikarenakan pengaturan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 129
Tahun 2000 yang terlalu longgar dalam mengatur prosedur pemekaran daerah. Kedua
peraturan tersebut terlalu memprioritaskan prosedur administratif dalam proses
pengusulan dan penetapan usul pemekaran. Penekanan terhadap syarat
administratif tersebut belum dapat menjadi DOB yang terbentuk dapat
melaksanakan fungsi pelayanan secara cepat dan optimal.[76]
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengundangkan peraturan dengan persyaratan
yang lebih ketat dengan tujuan agar jumlah DOB yang terlalu banyak dapat
dibendung. Dengan demikian, maka jumlah dana APBN yang harus dianggarkan oleh
pemerintah untuk memenuhi pendanaan dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan
tidak menyebabkan beban APBN terlalu besar.
Maka pada tahun 2004, UU Nomor 22
Tahun 1999 diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sehingga pengaturan mengenai pemekaran daerah di Indonesia mengacu pada UU Nomor 32
Tahun 2004. Namun pemerintah memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuat
peraturan pelaksana mengenai pemekaran daerah atas undang-undang yang lahir
belakangan itu. Baru pada tahun 2007 dikeluarkan PP Nomor 78
Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksana atas UU Nomor 32
Tahun 2004.[77]
Peraturan pelaksanan tersebut dibentuk untuk
menempatkan proses pemekaran daerah pada jalur sesuai dengan koridor UU Nomor 32
Tahun 2004, yaitu adanya syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan
yang harus dipenuhi dalam melakukan pembentukan daerah sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 5 ayat (1) UU a quo.
Adapun syarat-syarat ini tidak dikenal pada peraturan pembentukan daerah
sebelumnya.
Akan tetapi, meskipun telah diatur sedemikian
rupa, baik undang-undang maupun peraturan pelaksana tentang pemekaran daerah
belum mampu menjawab masalah yang dihadapi Indonesia, yaitu meningkatkan
keberhasilan DOB dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada praktiknya
intensitas dinamika usulan pemekaran daerah tidak dapat dibendung. Ratusan usulan
pemekaran daerah terus mengalir, baik melalui pintu Mendagri maupun DPR. Hal
ini mengakibatkan diambilnya tindakan untuk mengatasi intensitas dinamika
pemekaran daerah, yaitu melalui kebijakan moratorium yang berlaku pada tahun
2010.
Pada dasarnya gagasan moratorium bukan
merupakan hal yang baru, karena gagasan ini selalu muncul seiring timbulnya
berbagai masalah terkait pemekaran. Presiden SBY di hadapan Sidang Paripurna
Khusus DPD RI Tahun 2006 dan 2007, menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap
pemekaran daerah dan melakukan penghentian sementara (moratorium pemekaran),
namun anehnya pemekaran tetap berjalan tanpa ada kerangka yang jelas.[78]
Karena pada awal Januari 2007 Presiden justru memerintahkan Mendagri untuk
membahas usulan 16 daerah pemekaran yang diajukan DPR.[79]
Kemudian pada tahun 2008, Presiden
kembali mewacanakan moratorium. Namun ironisnya, justru pada tahun tersebut
pemerintah dan DPR membahas puluhan undang-undang yang terkait dengan pemekaran
daerah, berdasar catatan legislasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan tahun 2008
menunjukkan sebanyak 62 produk perundangan disahkan pada tahun 2008. Sehingga
gagasan moratorium tidak pernah diterapkan secara konsisten.[80]
Demikian halnya dengan moratorium
pada tahun 2010, pembahasan terhadap usulan pemekaran daerah terus berlanjut.
DPR melalui Komisi II tetap melanjutkan pembahasan usulan pemekaran dari daerah
meski pemerintah masih memberlakukan kebijakan moratorium usulan pemekaran
daerah dengan alasan tidak dikenalnya moratorium dalam UU No. 32 Tahun 2004.
Padahal jika diartikan, moratorium berarti tidak memproses usul pemekaran
daerah untuk sementara dan menghentikan proses pembahasan undang-undang yang
terkait dengan pemekaran yang sedang berlangsung di DPR.[81]
Bertambahnya usulan pemekaran ini dikarenakan
dalam pemekaran daerah dapat melalui tiga pintu, yaitu Mendagri, DPR, dan DPD.[82]
Tiga pintu usulan pemekaran tersebut terus dibanjiri usulan pemekaran. Pada
tahun 2006 misalnya, Depdagri menerima hampir 90 usulan pemekaran
kabupaten/kota dan 21 usulan pemekaran provinsi. Begitu pula DPD menerima
sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 1 provinsi. Di sisi lain, DPR
menerima lebih sedikit, 39 usulan pemekaran kabupaten/kota. Padahal menurut
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Soni Sumarsono, Indonesia hanya
dapat menambah 11 provinsi dan 46 kabupaten/kota sampai 2025. Namun hasilnya
jauh membengkak. Sejak 1999 sampai 2014 ada 223 DOB dengan rincian, 8 provinsi,
181 kabupaten, dan 34 kota. Alhasil,
kini Indonesia punya 542 daerah otonomi terdiri dari 34 provinsi, 415
kabupaten, dan 93 kota, termasuk jumlah kecamatan yang dahulu 5.000 menjadi
8.000., desa yang dahulu 50.000 naik menjadi hampir 74.000.[83]
Selanjutnya, memasuki era
pemerintahan Presiden Joko Widodo kebijakan pemerintah memberlakukan moratorium
pemekaran daerah tetap diberlakukan. Jokowi mengatakan bahwa moratorium pemekaran
daerah masih berlanjut dan belum ada kebijakan untuk mengubah hal itu. Menurut Jokowi bahwa pemekaran bukan hanya soal politik,
tetapi juga soal anggaran.[84]
Jikapun kebijakan pembentukan daerah otonomi dibuka, maka tindakan itu akan
dilakukan dengan sangat ketat. Hal ini dimaksudkan bahwa penambahan provinsi baru tidak membawa beban bagi pemerintah,
melainkan untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.[85]
Meskipun
demikian, kebijakan pemerintah tersebut mendapat protes dari DPR. Dalam Rapat
Kerja yang berlangsung antara Komisi II DPR dengan Mendagri Tjahjo Kumolo, DPR
memprotes kebijakan pemerintah yang melakukan moratorium pemekaran daerah. Hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Lukman Edy Wakil Ketua Komisi II bahwa
pembentukan DOB merupakan hak konstitusional yang dimiliki rakyat. Pemerintah diminta
tidak lupa dengan konsep pembangunan yang merata di daerah. Anggota Komisi II
dari Fraksi PDIP Komaruddin Watubun juga mengatakan hal yang sama. Pemerintah
dalam melakukan pemekaran daerah jangan hanya memikirkan untung rugi. Namun,
keadilan yang merata bagi daerah harus diperhatikan.[86]
Adapun pertimbangan moratorium menurut Mendagri Tjahjo Kumolo diambil setelah mempertimbangkan kondisi fiskal yang tidak
mencukupi untuk membiayai operasional daerah pemekaran baru tersebut. Sebab,
begitu otonomi disetujui, pasti akan membangun berbagai sarana daerah, seperti: Kantor Polres, Kodim, Kejaksaan,
Pengadilan, kantor pemerintah lainnya dan menambah pegawai
negeri sipil (PNS) baru.[87]
Pasca disahkannya
UU No. 23 Tahun 2014, aturan mengenai pemekaran daerah semakin diperketat. Jika
pada PP No. 78 Tahun 2007 pemekaran daerah dapat melalu Mendagri, DPR, dan DPD,
maka usulan
pemekaran daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 hanya
bisa dilakukan melalui pemerintah,[88]
bukan DPD dan DPR. Kemudian oleh pemerintah melalui
Kemendagri akan dikaji tentang aspek administrasi, fisik wilayah, syarat
teknis, cakupan wilayah dan sengketa batas, kelembagaan, kepegawaian dan
keuangan. Jika tidak memenuhi syarat pemerintah akan menolak usulan pemekaran.
Yang memenuhi syarat ditetapkan menjadi daerah persiapan yang berlangsung 3
tahun dengan status Provinsi/Kabupaten/Kota administratif. Jika
layak dilanjutkan, jika tak layak maka
akan dikembalikan ke asal.[89] Setelah
mendapat usulan dan melakukan kajian, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP)
yang menjadi landasan hukum
pembentukan daerah persiapan atau daerah administratif. Apabila selama masa penilaian belum juga berkembang,
diberikan perpanjangan waktu dua tahun lagi yang menentukan akan dimekarkan
atau kembali ke daerah induk.
B.
Implikasi Kebijakan Moratorium Pemekaran
Daerah terhadap Hubungan Pusat dan Daerah
1.
Politik
Pemekaran Daerah
Menurut Sjafrizal aspek politis yang sering muncul
dalam pemekaran daerah adalah bentuk keinginan dari beberapa tokoh politik
untuk mendapatkan jabatan baru, baik sebagai kepala dan wakil kepala daerah
maupun anggota DPRD pada daerah pemekaran.[90]
Apabila hal ini terjadi maka tidak mentupkemungkinan akan memberikan peluang
juga bagi pengisian kuota DPD dan DPR RI sebagaimana yang telah diatur dalam
undang-undang. Fraksi-fraksi politik yang tergabung dalam gedung parlemen
melakukan pembentukan daerah atau otonomi baru tentunya memiliki oreintasi
politik terselubung di balik proses tersebut.
Menurut Tri Ratnawati pemekaran daerah yang terjadi di
Indonesia selama ini memiliki beberapa motif diantaranya: [91]
a. Gerrymander
yaitu usaha pemekaran daerah untuk kepentingan partai politik tertentu. Contoh
Kasus pemekaran Papua oleh pemerintahan Megawati (PDIP) disinyalir bertujuan
untuk memecah suara partai lawan.
b. Pemekaran
daerah telah berubah menjadi semacam “bisnis” Pratikno mencatat bahwa inisiatif
proses legislasi pemekaran daerah justru banyak dimulai oleh DPR RI seperti
menyusun RUU inisiatif.
c. Tujuan
pemekaran daerah seperti untuk merespon separatisme agama dan etnis sebenarnya
bermotifkan untuk membangun citra rezim, memperkuat legitimasi rezim berkuasa, self Intertest dari para aktor elit
daerah maupun pusat.
Beberapa
faktor penyebab terjadinya pemekaran diantaranya adalah:[92]
(a) faktor-faktor pendorong seperti faktor kesejarahan, faktor tidak meratanya
pembangunan, rentang kendali pelayanan public yang jauh, dan tidak
terakomodasinya representasi politik; dan (b) faktor penarik, yaitu kucuran
dana (fiskal) dari pusat. Sedangkan faktor yang memfalisilitasi munculnya
pemekaran di antaranya adalah:[93]
(1) Proses persiapan untuk mekar; (2) Political crafting oleh para elite; (3)
Kondisi perpolitikan nasional; dan (4) factor tuntutan keamanan daerah
perbatasan. Alasan utama dari pemekaran daerah di antaranya, peningkatan
kesejahteraan, peningkatan pelayanan publik yang sering kali mengemuka dan
menutupi motif-motif lain, terutama motif politik yang menjadi kunci utama dari
pemekaran daerah.[94]
Hasil
studi Bank Dunia menyimpulkan ada empat faktor utama pendorong maraknya
pembentukan daerah-daerah otonomi baru di masa reformasi yaitu:[95]
1) Motif untuk efektivitas/efisiensi administrasi pemerintahan mengingat
wilayah yang begitu luas, penduduk yang menyebar dan ketertinggalan
pembangunan; 2) Kecendrungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama,
urban-rural, tingkat pendapatan dan lain-lain); 3) Adanya kemanjaan fiskal yang
dijamin oleh Undang-Undang; dan 4) Motif pemburu rente.
2.
Evaluasi
Implikasi Pemekaran Daerah
Dengan
luas wilayah yang cukup besar, Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis
termasuk perkembangan wilayah setidaknya pada tingkat provinsi. Pada saat
Indonesia merdeka tahun 1945, wilayah Indonesia terbagi dalam delapan provinsi
yaitu provinsi Sumatra, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Sulawesi, Maluku, serta Bali dan Nusa Tenggara. Pada tahun 1963 Irian Barat
menjadi bagian integral wilayah kedaulatan Indonesia, yang kemudian disusul
oleh provinsi Timor Timur pada tahun 1975 menjadikan jumlah provinsi di Indonesia
sebanyak 27 buah. Hingga akhirnya pada tahun 2000, Timor Timur melepaskan diri
menjadi Negara baru bernama Timor Leste, menjadikan jumlah provinsi berubah
menjadi 26 buah. Kemudian jumlah provinsi berkembang terus hingga saat ini,
tahun 2011, menjadi 33 provinsi. Terakhir, terdapat provinsi baru bernama
Kalimantan Utara, yangmana pecahan dari Kalimantan Timur bagian utara pada
tahun 2014. Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur sejak Indonesia merdeka
sampai saat ini belum mengalami pemekaran.
Era
reformasi membawa pengaruh yang sangat besar dalam proses memperbaiki sistem
demokrasi, tak terkecuali di tingkat lokal. Sebelum reformasi, jumlah daerah
otonom di Indonesia sebanyak 249 kabupaten, 65 kota, dan 27 provinsi.
Dibandingkan pada pasca reformasi hingga Desember 2009 telah terbentuk 205
daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh (7) provinsi, 164 kabupaten dan 34
kota. Dengan demikian total jumlahnya mencapai 524 derah otonom yang terdiri
dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.[96]
Kementrian Dalam Negeri di tahun 2010 tengah memproses 181 usulan. Artinya,
jika usulan tersebut kemungkinan diloloskan, Indonesia akan mempunyai sekitar
700 daerah otonom.[97]
Fenomena
pemekaran daerah semakin menarik dengan munculnya keterlibatan para elite
politik di tingkat pusat dalam mengangkat isu tersebut di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) melalui mekanisme partai maupun kolaborasi politiknya. Akumulasi
dari dinamika ini telah mengakibatkan pemerintah pusat menghadapi persoalan
dilematis dalam membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) sesuai dengan mekanisme dan
kriteria pemekaran secara normatif.
Prinsip otonomi daerah dan desentralisasi dalam
hubungan kekuasaan (gezagverhouding) antara
pemerintah pusat dan daerah merupakan cara untuk mengimplementasikan prinsip ekonomi.
Artinya, prinsip demokrasi itu harus di implementasikan melalui pemencaran
kekuasaan secara horizontal dan vertical.[98]
Lebih lanjut Mahfud MD mengemukakan bahwa pemencaran kekuasaan secara
horizontal (ke samping) melahirkan lembaga-lembaga negara ditingkat pusat yang
berkedudukan sejajar seperti, legislatif, eksekutif dan yudikatif yang diatur
dengan mekanisme check and balance,
sedangkan pemencaran kekuasaan secara vertikal (ke bawah) melahirkan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah otonom yang memikul hak desentralisasi,
Undang-undang yang mengatur mengenai otonomi daerah khususnya
menangani kepentingan daerah telah diartikulasikan kepada setiap usaha yang
dilakukan oleh pemerintah pusat untuk memperluas kekuasaannya akan sangat
mungkin ditentang oleh kekuatan-kekuatan regional, dan sebaliknya menimbulkan ketegangan partai-partai politk
mungkin mengambil sikap dan menempatkan diri pada satu titik antara mendukung
dan menentang otonomi daerah.[99]
Pratikno mengemukakan ada beberapa implikasi dari pemekaran
daerah, antara lain:[100]
a.
Implikasi Sosial Politik
dari Sisi Politis
Pemekaran wilayah dapat
menumbuhkan perasaan homogen daerah pemekaran baru yang justru akan memperkuat
perasaan egosentrisme. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
konflik horizontal maupun vertikal. Selain itu munculnya banyak Kabupaten/Kota
justru menimbulkan tidak efektivitas manajemen pemerintahan daerah. Sulitnya
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Propinsi juga menjadi implikasi sosial
politis pemekaran daerah.
b.
Implikasi Sosial Ekonomi
Pemekaran Daerah
Menyebabkan beban
keuangan yang harus ditanggung Pemerintah Pusat semakin meningkat. Apabila
fenomena tersebut benar maka semangat pemekaran daerah telah mengikari semangat
otonomi daerah karena yang terjadi justru adanya ketergantungan daerah hasil
pemekaran terhadap pemerintah pusat.
c.
Implikasi Sosial Kultural
melalui Pemekaran Daerah
Masyarakat daerah
ternyata telah membawa dampak pada pengakuan sosial, politik dan kultural
terhadap masyarakat. Di satu sisi implikasi ini akan menimbulkan kohesivitas di
tataran masyarakat namun dilihat dari sisi eksternal dapat dipandang sebagai
egosentrisme kedaerahan.
d.
Implikasi pada Pelayanan
Publik dari Dimensi Pelayanan Publik
Pemekaran daerah
akan memperpendek jarak geografis antara penduduk dengan sentra pelayanan yaitu
Ibukota Kabupaten/Kota.
e.
Implikasi bagi
Pembangunan Ekonomi
Adanya pemekaran
daerah akan memberi kesempatan kepada daerah miskin untuk memperoleh lebih
banyak subsidi dari pemerintah pusat (DAU dan DAK) dan hal ini akan mendorong
peningkatan pendapatan per kapita di daerah tersebut.
f.
Implikasi pada Pertahanan,
Keamanan dan Integrasi Nasional
Pemekaran Daerah
sebenarnya dapat dipandang sebagai pemicu bagi terpecahnya negara kesatuan,
bahkan juga bisa dipandang sebagai ancaman untuk membentuk negara federal di
Indonesia.
Sisi
positif yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah adalah memunculkan
kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan
kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh
lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah
pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah
serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.[101]
Usulan pemekaran daerah diharapkan merupakan aspirasi masyarakat daerah dengan
alasan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi usulan masyarakat ini
sering kali ditunggangi oleh kepentingan elit politik yang ingin mendapatkan
status kekuasaan atas pembentukan daerah otonom baru tersebut.
Namun demikian, pemekaran
yang telah terjadi tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan, yang
terus terjadi setelah era reformasi ini sesungguhnya menimbulkan kekawatiran,
mengingat isu yang berkembang dan yang menjadi faktor utama atau pendorongnya
adalah isu kedaerahan, egosentrisme, kesukuan, dan semacamnya sehingga yang
muncul adalah semangat menonjolkan kelokalan atau primordialisme, termasuk isu
dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dalam upaya mencari dukungan suara.
Hal demikian tentu dapat merusak Indonesia sebagai negara kesatuan.
Demikian
pula hasil evaluasi yang dilakukan Departemen Dalam Negeri (sekarang Kementerian
Dalam Negeri) terhadap daerah pemekaran hurun 1999-2009.[102]
Dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota, hanya dua daerah yang mendapat
nilai total diatas 60 dari skala 100 untuk indikator kesejahteraan rakyat,
pemerintahan yang baik, pelayanan publik, dan daya saing. Sisanya di bawah
rata-rata dan bahkan banyak yang mendapat nilai nol. Tiga provinsi terbaik
hasil pemekaran adalah Maluku Utara, Gorontalo dan Kepulauan Bangka Belitung.
Tiga kabupaten terbaik hasil pemekaran adalah Dharmas Raya, Bangka Tengah, dan
Samosir, sedangkan untuk kota hasil pemekaran, yakni kota Banjar Baru, Kota
Cimahi, dan Kota Singkawang. Hasil yang menunjukkan nilai buruk yang diperoleh
mayoritas daerah hasil pemekaran tersebut dikarenakan pembentukan daerah otonom
tersebut merupakan kepentingan elite politik lokal.
Hasil
evaluasi Kementerian Dalam Negeri pun menunjukkan bahwa hanya 22 persen daerah
pemekaran yang berhasil, sisanya 78 persen gagal. Pemekaran wilayah yang
terjadi pada daerah tingkat dua maupun pada tingkat provinsi, semakin marak
terjadi sejak kebijakan desentralisasi digulirkan pada tahun 1999. Dari 316
kabupaten/kota sebelum reformasi, hingga tahun 2012 ini pemerintahan
kabupaten/kota bertambah sebanyak 205 wilayah. Dilihat dari prosentasenya
berarti jumlah kabupaten/kota bertambah sebesar 65 persen. Dari pemekaran
daerah sebanyak 205 wilayah, kita sebetulnya memiliki banyak bukti yang dapat
dijadikan bahan untuk diolah dan dipelajari tentang faktor kegagalan pemekaran.
Telah
dikemukakan bahwa sejak tahun 1999 sampai 2010, jumlah daerah otonom telah
berkembang pesat dari 319 daerah otonom menjadi 524 daerah otonom (provinsi dan
kabupaten/kota). Secara rata rata dalam kurun waktu 10 telah lahir lebih dari
20 daerah otonom baru tiap tahunnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
dalam kurun waktu 10 tahun telah terbentuk hampir 40% daerah otonom baru. Salah
satu hasil analisis dari bidang ilmu geografi menunjukkan bahwa jumlah maksimal
provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sampai tahun 2050 masing masing adalah
48 dan 460.[103]
Beberapa
contoh permasalahan yang muncul dari pemekaran daerah yang dikaji Cahyo
Pamungkas dari LIPI, misalnya:[104]
1.
Konflik dengan kekerasan.
Salah satu contoh kasusnya adalah Kabupaten Polewali-Mamasa yang dimekarkan
pada tahun 2002 menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa di
Provinsi Sulawesi Barat. Konflik terjadi di Kecamatan Aralle, Tebilahan dan
Mambi (ATM). Ketiga kecamatan ini menolak bergabung dengan Kabupaten Mamasa.
Konflik dengan kekerasan juga terjadi dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya
Barat. Kasus terakhir adalah demonstrasi anarkis oleh para pendukung rencana
pembentukan Provinsi Tapanuli yang berujung pada kematian Ketua DPRD Provinsi
Sumatera Utara.
2.
Menurunnya jumlah
penduduk dan PAD secara drastis. Contoh: Kasus Kabupaten Aceh Utara sebelum
pemekaran penduduknya berjumlah 970.000 jiwa. Setelah pemekaran (menjadi Kota
Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Kab. Aceh Utara) penduduknya tinggal 420.000.
Pembentukan Kota Singkawang menyebabkan Kabupaten Bengkayang banyak kehilangan
penduduknya karena bermigrasi ke Kota Singkawang. Selain itu Bengkayang juga
menderita karena menurunnya secara drastis PAD daerah tersebut pasca
ditinggalkan oleh Singkawang. Kasus yang mirip terjadi pada daerah pemekaran
Kota Metro (Lampung) yang berdiri pada tahun 1999.
3.
Menyempitnya luas wilayah
dan beban daerah induk. Kabupaten Halmahera Barat yang setelah pemekaran
wilayahnya menyempit secara drastis, saat ini dibebani oleh pembiayaan
daerah-daerah baru di Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan
Kepulauan Sula.
4.
Perebutan wilayah dan
masalah ibukota pemekaran. Kasus ini terjadi misalnya antara Pemda Kampar dan
Pemda Rokan Hulu yang memperebutkan tiga desa, yaitu Tandun, Aliantan dan
Kabun.29 Konflik ibukota pemekaran juga terjadi dalam kasus Kabupaten Banggai
(Sulawesi Tengah).
5.
Perebutan asset. Kasus
ini pernah terjadi di Kabupaten Nunukan yang dimekarkan pada tahun 1999 yang
kemudian berebut gedung dan peralatan dengan kabupaten induknya (Kabupaten
Bulungan). Masalah ini juga terjadi antara Kota Lhokseumawe (kota pemekaran)
dengan Kabupaten Lhoksukon di Aceh (daerah induk).
Pada 2008, hasil
pemeriksaan dan temuan yang dilakukan oleh BPK menunjukkan berbagai
permasalahan pemekaran daerah, yakni:[105]
1.
Pemerintah belum
mempunyai grand design mengenai pemekaran daerah.
2.
Pelaksanaan observasi
untuk menilai kelayakan usulan pemekaran daerah tidak dilakukan oleh pihak yang
kompeten dan independen.
3.
Penilaian kelayakan
usulan pemekaran daerah tidak didukung petunjuk teknis yang jelas.
4.
Proses pembentukan DOB
atas inisiatif DPR-RI tidak melalui prosedur pengujian kelayakan yang memadai.
5.
Setiap sidang DPOD untuk
memutuskan pembentukan DOB tidak dihadiri oleh sebagian besar anggota DPOD.
6.
Beberapa keputusan
pembentukan DOB tidak melalui sidang dan rekomendasi DPOD.
7.
Proses pemekaran daerah
tidak didokumentasikan secara memadai.
8.
Departemen Dalam Negeri
belum melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan (efektivitas)
daerah hasil pemekaran.
9.
Moratorium DOB telah
diusulkan DPR tetapi tetap ada 30 (tiga puluh) Undang-undang Pembentukan DOB
yang disahkan setelahnya.
Analisa perkembangan pemekaran daerah yang ditemukan
pula menunjukkan bahwa, kelemahan proses administrasi yang terjadi dalam
pemekaran daerah ternyata dimulai pada perencanaan, implementasi maupun pada
evaluasi:[106]
1.
Kelemahan dan
Permasalahan dalam Perencanaan: tidak ada rencana (grand design) tentang jumlah daerah dan tidak ada petunjuk teknis
penilaian kelayakan DOB.
2.
Kelemahan dan
Permasalahan dalam Implementasi: lemahnya kompetensi dan independensi tim
penilai; proses pembentukan DOB tidak memadai dan beberapa keputusan tidak
melalui sidang dan rekomendasi DPOD; dan lemahnya komitmen dari para Menteri
anggota DPOD.
3.
Kelemahan dan
Permasalahan dalam Evaluasi: tidak adanya dokumentasi proses pemekaran daerah;
tidak adanya kegiatan monitoring dan evaluasi oleh Kemendagri; dan ide
moratorium DOB tidak ditindaklajuti.
3.
Implikasi
terhadap Beban Fiskal
Insentif
fiskal merupakan iming-iming oleh elite politik yang digunakan untuk mendorong pembentukan
daerah otonom baru. Tentunya dana atau anggaran yang tadinya diperuntukkan
kepada daerah induk harus dipangkas dan selama tiga tahun daerah pemekaran
tersebut mendapatkan bantuan dana pemekaran dari pusat.
Taufiq
C. Dawood mengemukakan, alasan mengapa pemekaran dilakukan adalah
desentralisasi memberikan dana yang lebih besar untuk dapat dikelola oleh
setiap pemerintah daerah khususnya Dana Alokasi Umum, senada dengan itu,
Fitrani dkk mengemukakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking,
yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat
maupun dari penerimaan daerah sendiri.[107]
Abdullah
M.A berbagai konsekuensi biaya yang harus dibebankan pada APBN dan APBD
Provinsi untuk pemekaran daerah kabupaten dan kota, dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:[108]
1.
Porsi Dana Alokasi Umum (DAU) tiap daerah
penerima semakin berkurang.
2.
Dana Alokasi Khusus (DAK) pra-sarana untuk
daerah meningkat dalam APBN.
3.
Pembiayaan sarana-sarana pelayanan umum.
4.
Dana Pendampingan Daerah. pemekaran
wilayah selain menambah beban terhadap APBN, membebani juga APBD Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
5.
Dana Bantuan Pemerintah Provinsi.
Pemerintah provinsi berkewajiban membantu dan membiayai pembangunan di
Kabupaten dan Kota melalui dana bagi hasil dan dana bantuan.
Secara otomatis dana yang
dipangkas merupakan dana yang diperuntukkan daerah induk sebelumnya.
Tuntutan untuk menunjukkan
kemampuan menggali potensi wilayah, banyak daerah menetapkan berbagai pungutan
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang berdampak terjadinya suatu
perekonomian daerah berbiaya tinggi, akan tetapi apabila insentif fiskal
tersebut tidak dapat dikelola dengan baik maka tujuan akhir dilakukannya
pemekaran daerah yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya akan
sulit tercapai.
Dari penjelasan tersebut dapat
dilihat bahwa untuk menilai kinerja pelayanan
dari daerah otonomi hasil pemekaran adalah ketersediaan pelayanan publik yang
dinilai dari empat aspek, yaitu: pelayanan pendidikan; pelayanan kesehatan; penyediaan
sarana dan prasarana umum, serta pelayanan administrasi kependudukan; dan jenis
pelayanan publik. Hal ini dinilai mampu menggambarkan kebutuhan dasar
masyarakat untuk dapat mewujudkan kesejahteraan sosial dan ekonominya.
Dalam implementasinya menunjukkan bahwa faktor politik
menjadi dominan, sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan politik dari para
elite politik lokal dan legislator. Hasil evaluasi terhadap daerah pemekaran yang
dilakukan UNDP (United Nations Developmen Program) dan Bappenas yang dirilis
pada 2008 menyimpulkan bahwa setelah daerah dimekarkan, kondisi daerah otonom
baru masih berada dibawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Penduduk
miskin menjadi terkonsentrasi di daerah otonom baru. Studi tersebut juga
menemukan, penyebab kondisi tersebut didominasi keterbatasan sumber daya alam
dan sumber daya manusia daerah pemekaran.[109] Riset
tersebut dilakukan terhadap enam provinsi dan 72 kabupaten/kota di Indonesia
selama 2002-2007. Terdapat empat bidang kajian, yaitu ekonomi daerah, keuangan
daerah, pelayanan publik dan aparatur di daerah. Berdasarkan hasil survey
tersebut, UNDP dan Bappenas meminta pemerintah menghentikan sementara pemekaran
daerah hingga dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap Provinsi dan Kabupaten
hasil pemekaran 10 tahun terakhir. Sebagai perbandingan, hasil penelitian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005 mengungkapkan pemekaran
daerah berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Lebih jauh lagi hasil penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi menurun dan terjadi perlambatan
pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan penelitian pemekaran empat provinsi menjadi
delapan provinsi, terjadi perbedaan struktur ekonomi daerah baru dan lama.
Provinsi yang dimekarkan tersebut adalah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung,
Jawa Barat dan Banten, Sulawesi Utara dan Golontalo, serta Maluku dan Maluku
Utara. Penyebabnya, setelah pemekaran, kerja sama ekonomi masyarakat justru
melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antar daerah menguat.
Akibanya, biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan
ekonomi, serta kesejahteraan masyarakat juga menurun.
Seiring
dengan perjalanan implementasi kebijakan otonomi daerah di Indonesia muncul
berbagai persoalan yang memerlukan usaha usaha perbaikan baik dalam substansi
peraturan perundangan maupun teknis pelaksanaan di lapangan. Hasil evaluasi
Kementerian Dalam Negeri setidaknya dapat diringkas bahwa terdapat beberapa
masalah yang dipandang sangat penting untuk segera diatasi adalah:[110]
- Dalam kurun waktu 10 tahun sejak
tahun 1999 telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 205 buah yang
terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota. Dengan perkataan lain
terjadi peningkatan 64% dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau secara
rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom baru.
- Banyaknya daerah otonom baru
tersebut memiliki implikasi terhadap semakin besarnya dana pembangunan
daerah otonom baru yang dialokasikan dari APBN. Pada tahun 2002
dialokasikan DAU sebesar Rp. 1.33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp. 2.6
triliun dan pada tahun 2010 sebesar Rp. 47.9 triliun.
- Beberapa fakta yang dijumpai
antara lain adalah adanya daerah otonom baru ternyata memiliki jumlah
penduduk sangat sedikit bahkan ada sebuah daerah otonom kabupaten baru
hanya berpenduduk kurang dari 12.000 jiwa. Fakta lain adalah jumlah dan
kualitas SDM sebagai personil Pemerintah Daerah sangat minim, kurang
tersedianya prasarana dan sarana pemerintahan dan munculnya berbagai
konflik masyarakat lokal yang mengiringi proses otonomi daerah antara lain
akibat persoalan batas wilayah.
Hasil
evaluasi tersebut menunjukkan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang
dialokasikan dengan hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah otonom baru,
Oleh karena itu pemerintah memandang perlu mengeluarkan kebijakan penghentian
sementara (moratorium) pemekaran daerah sekaligus berupaya melakukan
penyempurnaan aturan pemekaran daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
moratorium pemekaran daerah menimbulkan ketegangan hubungan antara pusat dan
daeah, dalam hal ini antara pemeritah pusat dengan pemerintah daerah maupun
perwakilan daerah di parlemen itu sendiri. Moratorium pemekaran daerah didasari
pada kenyataan di lapangan bahwa pemekaran daerah justru menghambat apa yang
dicita-citakan otonomi daerah dalam era reformasi. Meskipun demikian, pemekaran
daerah setidaknya telah membuka keterisolasian daerah-daerah terpencil dengan
dibangunnya jalan-jalan dan jembatan-jembatan, dengan adanya membuka lapangan
kerja baru bagi calon-calon PNS, pejabat dan politisi di tingkat lokal;
memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan minimal kepada warga masyarakat
setempat. Lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah beserta berbagai
aturan peleksananya dengan memperketat syarat-syarat pemekaran daerah. Namun
dalam implementasinya ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan
tersebut tidak berjalan efektif karena terjadi kepentingan politik oleh
elit-elit daerah.
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alicias,
Denden and Velasco, Djorina, 2007, Decentralization
and Deepening Democracy, Routledge, New York.
Ambardi,
Kuskridho, 2009, Mengungkap Politik
Kartel Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, PT
Gramedia, Jakarta.
Asshiddiqie,
Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi, Penerbit BIP, Jakarta.
Chalid,
Pheni, 2005, Otonomi Daerah: Masalah,
Pemberdayaan dan Konflik, Kemitraan, Jakarta.
Djohan,
Djohermansyah, 1990, Problematik
Pemerintahan dan Politik Lokal, Cetakan I, Bumi Aksara, Jakarta.
DRSP-USAID,
2006, Stock Taking on Indonesia’s Recent
Decentralization Reforms (Agustus 2006), DRSP-USAID, Jakarta.
Emmerson,
Donald K. (ed.), 2001, Indonesia Beyond
Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, PT Gramedia, Jakarta.
Fahmi,
Sudi, 2010, Hukum Otonomi Daerah,
Kreasi Total Media, Yogyakarta.
Ferrazzi,
Gabriele, 2007, International Experiences
in Territorial Reform – Implications for Indonesia, USAID-DRSP, Jakarta.
Gunawan,
Jamil (ed.), 2005, Dari Nasionalisasi ke
Lokalisasi: Otonomi Daerah di Lombok dalam Desentralisasi Globalisasi dan
Demokrasi Lokal, LP3ES, Jakarta.
Hidayat,
Syarif, 2000, Refleksi Realitas Otonomi
Daerah, dan Tantangan Ke Depan, Pustaka Quantum, Jakarta.
HR,
Ridwan, 2003, Hukum Administrasi Negara
(Cetakan II), UII Press, Yogyakarta.
Ilmar,
Aminuddin, 2014, Hukum Tata Pemerintahan,
Prenadamedia Group, Jakarta.
Jeddawi,
Murtir 2009, Pro Kontra Pemekaran Daerah
(Analisis Empiris), Total Media, Yogyakarta.
Kaloh,
J., 2007, Mencari Bentuk Otonomi Daerah:
Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka
Cipta, Jakarta.
Kementerian
Dalam Negeri RI, 2010, Desain Besar
Penataan Daerah 2010-2025, Kemendagri, Jakarta.
Koswara,
E. 2001, Otonomi Daerah untuk Demokrasi
dan Kemandirian Rakyat, Yayasan Pariba, Jakarta.
Makagansa,
2008, Tantangan Pemekaran Daerah,
Penerbit Fuspad, Yogyakarta.
Marbun.
B.N., 2010, Otonomi Daerah 1945-2010:
Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Marijan,
Kacung, 2006, Demokratisasi di Daerah:
Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung, Pustaka Eureka, Surabaya.
MD,
Moh. Mahfud. 1999, Pergulatan Politik dan
Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.
Mertokusumo,
Sudikno, 2014, Perbuatan Melawan Hukum
oleh Pemerintah, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
Pamungkas,
Cahyo, 2007, Pemekaran Wilayah, Otonomi
Daerah, dan Desentralisasi Politik di Indonesia, USAID-DRSP-Percik-LIPI,
Jakarta.
Ratnawati,
Tri, 2009, Pemekaran Daerah: Politik
Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Retnaningsih
et.al (ed.), 2008, Penataan Daerah dan Dinamikanya, Percik,
Salatiga.
Sunarno,
Siswanto, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah
di Indonesia (Cetakan III), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Syaukani,
2000, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi
Daerah: Gerbang Dayaku, Percetakan Kabupaten Kutai, Samarinda, Kalimantan
Timur.
Tim
Lapera, 2005, Otonomi versus Negara:
Demokrasi di Bawah Bayang-Bayang Otoriterisme, Lapera Pustaka Utama,
Yogyakarta.
Tim
Percik, 2007, Proses dan Implikasi
Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton, Yayasan Percik,
Salatiga.
Makalah, Jurnal, Opini
Andik Wahyu Muqoyyidin, “Pemekaran Wilayah dan Otonomi
Daerah Pasca Reformasi di Indonesia; Konsep, Fakta Empiris, dan Rekomendasi
Kedepan”, Jurnal Jurnal Konstitusi,
Volume 10, Nomor 2, 2013.
Antonius Tarigan, “Dampak Pemekaran Wilayah”, Opini, Majalah Perencanaan, Edisi
01/Tahun XVI/2010.
Endarto, “Evaluasi Pemekaran Daerah di Era Reformasi”,
Opini, Jurnal Lingkar Widyaiswara,
Edisi 1 No. 4, Oktober-Desember 2014.
Harmantyo D, “Kebijakan Desentralisasi dan
Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia”, Jurnal,
Jurnal Makara, Universitas Indonesia, Depok, Vol. 6, 2007.
Haryo Sasongko, “Pengelolaan Pengembangan Kota di Era
Otonomi Daerah”, Opini, Kedaulatan
Rakyat, Yogyakarta 2001.
Joko Tri Nugraha, “Politik Desentralisasi, dari
Pemekaran Wilayah di Era Reformasi Versus Kesejahteraan Rakyat”, Makalah, Kementerian Riset, Teknologi
dan Pendidikan Tinggi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tidar,
2015.
Lukman Santoso, “Problematika Pemekaran Daerah Pasca
Reformasi di Indonesia”, Jurnal,
Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 1 No. 2 Desember 2012.
Poni Sukaesih Kurniati, “Hubungan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di Indonesia pada Era Reformasi”, Jurnal, Jurnal Ilmu Politik dan
Komunikasi, Volume III Nomor 1 Desember 2013.
Soetandyo Wignjosoebroto, “Satu Abad Desentralisasi di
Indonesia”, Opini, Majalah Prisma No
3, Vol 29/ Juli 2010.
Skripsi, Paper
Arini
Dwi Hapsari, “Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Cara
Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Terhadap Pemekaran Daerah di
Indonesia”, Skripsi, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Pratikno,
2008, “Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah: Pemekaran dan Pengabungan
Daerah”, Paper, USAID, Jakarta.
Internet
Adkasi, “Pemerintah Ingkar Janji Soal Pemekaran”,
http://www.adkasi.org/?adkasi=10&idb=6&idd=3, adkasi.org, diakses pada
tanggal 9 Maret 2017.
Arkanudin, “Percepatan Pembangunan Wilayah Timur
Kalimantan Barat Menyongsong Terbentuknya Provinsi Kapuas Raya Dan Upaya
Meretas Kepemimpinan Nasional Dan Daerah”, http://arkandien.blogspot.co.id/2013/11/percepatan-pembangunan-wilayah-timur_1.html
diakses 15 Maret 2017.
Berita Satu, “Jokowi: Moratorium DOB Akan Dibuka
Dengan Sangat Ketat”,
http://www.beritasatu.com/politik/380717-jokowi-moratorium-dob-akan-dibuka-dengan-seleksi-ketat.html,
beritasatu.com, diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
Berita Satu, “Fiskal Tak Mencukupi, Pemerintah
Moratorium Pemekaran Daerah”, http://www.beritasatu.com/nasional/350360-fiskal-tak-mencukupi-pemerintah-moratorium-pemekaran-daerah.html,
diakses pada tanggal 6 Maret 2017.
Beritagar, “Pemerintah Moratorium Pemekaran Daerah
Baru”, https://beritagar.id/artikel/berita/
pemerintah-moratorium-pemekaran-daerah-baru beritagar, diakses pada tanggal 9
Maret 2017.
Detik News, “DPR Protes Rencana Moratorium Pemekaran
Daerah”, http://news.detik.com/berita/3154215/
dpr-protes-rencana-moratorium-pemekaran-daerah, detik.com, diakses pada tanggal
9 Maret 2017.
Detik News, “Pemekaran Wilayah Jangan Sampai Mengulang
Kesalahan”,
http://news.detik.com/berita/d-1399336/dpr-pemekaran-wilayah-jangan-sampai-mengulang-kesalahan
diakses 15 Maret 2017.
DPR RI, “Realisasi Prolegnas”,
http://parlemen.net/2009/03/13/realisasi-prolegnas/, parlemen.net, diakse pada
tanggal 9 Maret 2017.
Hukum Online, “DPR Dukung Deklarasi Penundaan
Pemekaran Wilayah”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21122/dpr-dukung-deklarasi-penundaan-pemekaran-wilayah,
diakses pada tanggal 7 Maret 2017.
JPNN, “Bahas Pemekaran, Komisi II Abaikan Ampres”,
http://m.jpnn.com/news/bahas-pemekaran-komisi-ii-abaikan-ampres, diakses pada
tanggal 9 Maret 2017.
Kliksangatta, “Jokowi Tegaskan Moratorium Pemekaran
Daerah Otonomi Baru” http://www.kliksangatta.com/berita-2281-jokowi-tegaskan-moratorium-pemekaran-daerah-otonomi-baru.html
diakses pada tanggal 7 Maret 2017.
Kompas, “Gus Dur-Megawati Jago Pemekaran”,
http://nasional.kompas.com/read/2009/02/17/18201484/gus.dur-mega.jago.pemekaran
diakses 15 Maret 2017.
Maluku Online, “Pemekaran 13 Daerah Ototnom Baru
Maluku Hanya Pemuasan Syahwat Elit Politik”,
http://malukuonline.co.id/2015/06/pemekaran-13-daerah-otonom-baru-maluku-hanya-pemuasan-syahwat-elit-politik-napsu-besar-tenaga-kurang/,
diakses pada 8 Maret 2017.
Republika, “Jokowi: Moratorium Pemekaran Daerah Masih
Berlanjut” http://www.republika.co.id/berita/
nasional/politik/16/03/02/o3exr7219-jokowi-moratorium-pemekaran-daerah-masih-berlanjut
diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
Restu Ramadhan, “Kepemimpinan B.J. Habibie”,
http://resturamadhandream.blogspot.co.id/2013/01/kepemimpinan-bj-habibie.html diakses
pada tanggal 15 Maret 2017.
Rita Helbra Tenrini, “Pemekaran Daerah: Kebutuhan Atau
Euforia Demokrasi? Menyibak Kegagalan Pemekaran”
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2013, diakses 5 Maret 2017.
Susie Berindra, “Memperlambat Laju Pemekaran Daerah”,
https://mandrehe.wordpress.com/2008/01/17/implementasi-pp-no-782007-memperlambat-laju-pemekaran-daerah/,
mandrehe.wordpress.com, diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
Syukri Abdullah, “Virus Pemekaran Wilayah”,
https://syukriy.wordpress.com/2010/07/18/virus-pemekaran-wilayah/, diakses pada
tanggal 9 Maret 2017.
Tempo, “Jusuf Kalla, Wapres Kalla Bicara Soal
Moratorium Pemekaran Wilayah” https://m.tempo.co/read/news/2016/04/26/wapres-kalla-bicara-soal-moratorium-pemekaran-wilayah,
diakses pada tanggal 13 Maret 2017.
Tim Edu Penguin, “Harpan Rakyat Kabinet Kerja
Jokowi-JK dan UUD 1945 (Amandemen)”,
https://books.google.co.id/books?id=1apNBQAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
diakses pada tanggal 15 Maret 2017.
Wendra Yunaldi, “Opini Pemekaran Daerah Ambisi Elit
Atau Kebutuhan Rakyat”,
https://meysanda.wordpress.com/2008/04/12/pemekaran-daerah-ambisi-elit-atau-kebutuhan-rakyat/,
diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839).
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4791).
Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang
Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan
Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 233, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembanguna Jangka Menengah Nasional 2004-2009.
[1] Murtir Jeddawi, 2009, Pro-Kontra Pemekaran Wilayah: Analisis
Emperis, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm. 111.
[2] Pernyataan Presiden
Keenam RI SB Yudhoyono dalam jumpa pers pada hari Jumat tanggal 6 Februari 2009
di Istana Negara, Jakarta, “DPR Dukung Deklarasi Penundaan Pemekaran Wilayah” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21122/dpr-dukung-deklarasi-penundaan-pemekaran-wilayah, diakses pada
tanggal 7 Maret 2017.
[3] Sudi Fahmi, 2010, Hukum Otonomi Daerah, Kreasi Total
Media, Yogyakarta, hlm. 96-97.
[4] “Jokowi: Moratorium
Pemekaran Daerah Masih Berlanjut” http://www.republika.co.id/berita/
nasional/politik/16/03/02/o3exr7219-jokowi-moratorium-pemekaran-daerah-masih-berlanjut diakses pada
tanggal 9 Maret 2017.
[5] “Jokowi Tegaskan
Moratorium Pemekaran Daerah Otonomi Baru” http://www.kliksangatta. com/berita-2281-jokowi-tegaskan-moratorium-pemekaran-daerah-otonomi-baru.html diakses pada
tanggal 7 Maret 2017.
[6] B.N. Marbun, 2010, Otonomi Daerah 1945-2010: Proses dan Realita,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 12.
[7] Ibid.
[8] Makagansa, 2008, Tantangan Pemekaran Daerah, Penerbit
Fuspad, Yogyakarta, hlm. 12
[9] Gabriele Ferrazzi,
2007, International Experiences in
Territorial Reform – Implications for Indonesia (Januari 2007), USAID-DRSP,
Jakarta, hlm. 6. Dikutip dalam DRSP-USAID, 2006, Stock Taking on Indonesia’s Recent Decentralization Reforms
(Agustus 2006), DRSP-USAID, Jakarta, hlm. 19.
[10] Ferrazi, 2007, Lop.cit.
[11] Haryo Sasongko,
“Pengelolaan Pengembangan Kota di Era Otonomi Daerah” dalam Kedaulatan Rakyat,
2001, Yogyakarta.
[12] Syaukani, 2000, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah:
Gerbang Dayaku, Percetakan Kabupaten Kutai, Samarinda, Kalimantan Timur.
[13] Makagansa, 2008, Op.cit., hlm. 5.
[14] Ibid, hlm. 6.
[15] Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Cetakan II,
UII Press, Yogyakarta, hlm. 6.
[16] Jimly Asshiddiqie,
2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi, Penerbit BIP, Jakarta, hlm. 300.
[17] Antonius Tarigan,
“Dampak Pemekaran Wilayah,” dalam Majalah Perencanaan, Edisi 01/Tahun XVI/2010,
hlm. 23.
[18] Siswanto Sunarno, 2009,
Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Cetakan III, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 15.
[19] Sudi Fahmi, 2010, Op.cit, hlm. 21.
[20] Syarif Hidayat, 2000, Refleksi Realitas Otonomi Daerah, dan
Tantangan Ke Depan, Pustaka Quantum, Jakarta, hlm. 23.
[21] Tim Lapera, 2005, Otonomi versus Negara: Demokrasi di Bawah
Bayang-Bayang Otoriterisme, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, hlm. 153
[22] Sudi Silalahi dikutip
dalam Ibid., hlm. 22.
[23] Kacung Marijan, 2006, Demokratisasi di Daerah: Pelajaran dari
Pilkada Secara Langsung, Pustaka Eureka, Surabaya, hlm. 26.
[24] Denden Alicias and
Djorina Velasco, 2007, Decentralization
and Deepening Democracy, Routledge, New York, hlm. 5.
[25] E. Koswara, 2001, Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan
Kemandirian Rakyat, Yayasan Pariba, Jakarta, hlm. 20.
[26] Made Suwandi, “Otonomi
Daerah dan Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999” makalah disampaikan pada
Forum Kebijakan MAP UGM, 2002, Yogyakarta.
[27] Arkanudin, “Percepatan
Pembangunan Wilayah Timur Kalimantan Barat Menyongsong Terbentuknya Provinsi
Kapuas Raya dan Upaya Meretas Kepemimpinan Nasional dan Daerah”, http://arkandien.blogspot.co.id/2013/11/percepatan-pembangunan-wilayah-timur_1.html, diakses 15 Maret 2017.
[28] Tim Edu Penguin,
“Harpan Rakyat Kabinet Kerja Jokowi-JK dan UUD 1945 (Amandemen)”, https://books.google.co.id/books?id=1apNBQAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false, diakses 15 Maret 2017
[29] Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan
Konflik, Kemitraan, Jakarta, hlm. 1.
[31] Ibid.
[32] Ibid., hlm. 3.
[33] Ibid., hlm. 4.
[34] J. Kaloh, 2007, Mencari
Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan
Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 27.
[35] Restu Ramadhan, “Kepemimpinan
B.J. Habibie”, http://resturamadhandream.blogspot.co.id/
2013/01/kepemimpinan-bj-habibie.html, diakses 15 Maret 2017.
[36] Andik Wahyu Muqoyyidin,
“Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah Pasca Reformasi di Indonesia: Konsep,
Fakta Empiris, dan Rekomendasi Kedepan”, Jurnal,
Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 2, 2013, hlm. 288.
[37] Ibid.
[38] Pasal 6 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 233 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4036),
[39] Andik Wahyu Muqoyyidin,
Loc.Cit.
[40] Rita Herbera Tehrini,
“Pemekaran Daerah : Kebutuhan atau Eruforia Demokrasi ? Menyibak Kegagalan
Pemekaran”, Artikel, http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2013_kajian_
pkapbn_Menyibak_Kegagalan_Pemekaran_RTH.pdf
diakses
pada tanggal 15 Maret 2017.
[41] Kompas, “Gus
Dur-Megawati Jago Pemekaran”, http://nasional.kompas.com/read/2009/02/17/
18201484/gus.dur-mega.jago.pemekaran, diakses pada tanggal 15 Maret 2017.
[42] Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
[43] Rita Herbera Tehrini, Loc.Cit.
[44] Detik News, “Pemekaran
Wilayah Jangan Sampai Mengulang Kesalahan”, http://news.detik.com/berita/d-1399336/dpr-pemekaran-wilayah-jangan-sampai-mengulang-kesalahan, diakses 15 Maret 2017.
[45] Kementerian Dalam
Negeri Indonesia, Pembentukan Daerah-Daerah Otonom di Indonesia sampai dengan Tahun
2014, Artikel, http://otda.kemendagri.go.id/CMS/Images/SubMenu/totalDOB.pdf diakses pada tanggal 15
Maret 2017.
[46] Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5588).
[47] Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5588).
[48] Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5588).
[49] Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5588).
[50] Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5588).
[51] Lihat Pasal 37 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5588).
[52] Rita Herbera Tehrini, Loc.Cit.
[53] Poni Sukaesih Kurniati,
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di Indonesia
Pada Era Reformasi, Jurnal Ilmu Politik
dan Komunikasi, Vol. III Nomor 1 Desember 2013, hlm. 71.
[54] Djohermansyah Djohan,
1990, Problematik Pemerintahan dan
Politik Lokal, Cet I, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 90.
[55] Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Prenadamedia
Group, Jakarta, hlm.166.
[56] Ibid. hlm. 47.
[57] Ibid. hlm. 95.
[58] Ibid. hlm. 128.
[59] Ibid. hlm. 133.
[61] Sudikno Mertokusumo,
2014, Perbuatan Melawan Hukum oleh
Pemerintah, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 55-56.
[62] “Jusuf Kalla, Wapres Kalla Bicara Soal Moratorium Pemekaran Wilayah” https://m.tempo.co/ read/news/2016/04/26/wapres-kalla-bicara-soal-moratorium-pemekaran-wilayah,
diakses pada tanggal 13 Maret 2017.
[63] Tim
Percik, 2007, Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran; Studi Kasus di
Sambas dan Buton, Salatiga, Yayasan Percik,
Salatiga, hlm. 5.
[64] Lukman
Santoso, “Problematika
Pemekaran Daerah Pasca Reformasi di Indonesia”, Jurnal,
Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 1 No. 2 Desember 2012, hlm. 269.
[65] Soetandyo Wignjosoebroto, “Satu Abad Desentralisasi di
Indonesia”, Majalah, Majalah Prisma
No 3, Vol 29/ Juli 2010, hlm. 68.
[66] Lihat Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839).
[67] Lihat Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).
[68] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor
129
Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 233, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3952).
[69] Lihat
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007
tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4791).
[70] Lihat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587).
[71] Joko Tri
Nugraha, “Politik
Desentralisasi, dari Pemekaran Wilayah di Era Reformasi Versus Kesejahteraan
Rakyat”, Makalah,
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Tidar, 2015, hlm. 4.
[72] Maluku Online,
“Pemekaran 13 Daerah Ototnom Baru Maluku Hanya Pemuasan Syahwat Elit Politik”, http://malukuonline.co.id/2015/06/pemekaran-13-daerah-otonom-baru-maluku-hanya-pemuasan-syahwat-elit-politik-napsu-besar-tenaga-kurang/, diakses pada 8 Maret 2017
[74] Murtir
Jeddawi, 2009, Pro Kontra Pemekaran
Daerah (Analisis Empiris), Total Media, Yogyakarta, hlm. 115.
[75]
Syukri Abdullah, “Virus Pemekaran Wilayah”, https://syukriy.wordpress.com/2010/07/18/virus-pemekaran-wilayah/,
diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
[76] Arini Dwi
Hapsari, “Implikasi
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Cara Pembentukan, Penghapusan
dan Penggabungan Daerah terhadap Pemekaran Daerah di Indonesia”, Skripsi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, hlm. 102.
[78] Wendra
Yunaldi, “Opini Pemekaran Daerah Ambisi Elit Atau Kebutuhan Rakyat”, https://meysanda.wordpress.com/2008/04/12/pemekaran-daerah-ambisi-elit-atau-kebutuhan-rakyat/, diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
[79] “Pemerintah
Ingkar Janji Soal Pemekaran”, http://www.adkasi.org/?adkasi=10&idb=6&idd=3, adkasi.org, diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
[80] “Realisasi
Prolegnas”, http://parlemen.net/2009/03/13/realisasi-prolegnas/, parlemen.net, diakse pada tanggal 9 Maret 2017.
[81] “Bahas
Pemekaran, Komisi II Abaikan Ampres”, http://m.jpnn.com/news/bahas-pemekaran-komisi-ii-abaikan-ampres, diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
[82] Lihat
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007
tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, dan Susie
Berindra, “Memperlambat Laju Pemekaran Daerah”, https://mandrehe.wordpress.com/2008/01/17/implementasi-pp-no-782007-memperlambat-laju-pemekaran-daerah/, mandrehe.wordpress.com, diakses pada tanggal 9 Maret
2017.
[83] “Pemerintah
Moratorium Pemekaran Daerah Baru”, https://beritagar.id/artikel/berita/pemerintah
-moratorium-pemekaran-daerah-baru beritagar,
diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
[84] “Jokowi:
Moratorium Pemekaran Daerah Masih Berlanjut”, http://www.republika.co.id/berita/
nasional/politik/16/03/02/o3exr7219-jokowi-moratorium-pemekaran-daerah-masih-berlanjut, republika.co.id, diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
[85] “Jokowi:
Moratorium DOB Akan Dibuka Dengan Sangat Ketat”, http://www.beritasatu.com/
politik/380717-jokowi-moratorium-dob-akan-dibuka-dengan-seleksi-ketat.html, beritasatu.com, diakses pada
tanggal 9 Maret 2017.
[86] “DPR Protes
Rencana Moratorium Pemekaran Daerah”, http://news.detik.com/berita/
3154215/dpr-protes-rencana-moratorium-pemekaran-daerah,
detik.com, diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
[87] Berita
Satu, “Fiskal Tak Mencukupi, Pemerintah Moratorium Pemekaran Daerah”, http://www.
beritasatu.com/nasional/350360-fiskal-tak-mencukupi-pemerintah-moratorium-pemekaran-daerah.html, diakses pada tanggal 6 Maret 2017.
[88] Lihat Pasal 38 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran
Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587).
[89] Endarto, “Evaluasi Pemekaran
Daerah di Era Reformasi”,
Jurnal, Jurnal Lingkar
Widyaiswara, Edisi 1 No. 4, Oktober-Desember 2014, hlm. 65.
[90] Rita Helbra Tenrini,
“Pemekaran Daerah: Kebutuhan Atau Euforia Demokrasi? Menyibak Kegagalan
Pemekaran” http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2013, diakses 5 Maret 2017.
[92] Murtir Jeddawi, 2009, Loc.cit.
[93] Ibid.
[94] Muchtar H dalam
Retnaningsih et.al (ed.), 2008, Penataan Daerah dan Dinamikanya, Percik,
Salatiga, hlm. 30.
[95] Tri Ratnawati, 2009, Op.cit, hlm. 134.
[96] Nyimas L. Letty. 2009.
Hasil penelitian lapangan di Kota Metro pada Mei. Dikutip dalam Ibid, hlm. 133.
[97] Cahyo Pamungkas, 2007, Pemekaran Wilayah, Otonomi Daerah, dan Desentralisasi
Politik di Indonesia, USAID-DRSP-Percik-LIPI, Jakarta, hlm. 70.
[98] Moh. Mahfud. MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
Gama Media, Yogyakarta, hlm. 185.
[99] Kuskridho Ambardi,
2009, Mengungkap Politik Kartel Studi
tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, PT Gramedia, Jakarta,
hlm. 217.
[100] Pratikno,
2008, Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah: Pemekaran dan Pengabungan
Daerah, Paper USAID, Jakarta, hlm. 5.
[101] Kendra Clegg dalam
Jamil Gunawan (ed.), 2005, Dari Nasionalisasi
ke Lokalisasi: Otonomi Daerah di Lombok dalam Desentralisasi Globalisasi dan
Demokrasi Lokal, LP3ES, Jakarta, hlm. 194.
[102] Kementerian Dalam
Negeri RI, 2010, Desain Besar Penataan
Daerah 2010-2025, Kemendagri, Jakarta, hlm. 51.
[103] Harmantyo D, “Kebijakan
Desentralisasi dan Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia” dalam Jurnal
Makara Vol. 6, 2007, Universitas Indonesia, Depok.
[104] Cahyo Pamungkas, 2007, Op.cit, USAID-DRSP-Percik-LIPI, Jakarta,
hlm. 42.
[105] Analisa Proses
Administrasi Pemekaran Daerah pada Departemen Dalam Negeri dan Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) oleh Tim Analisa BPK Biro Analisa Anggaran
dan Hendri Saparini.
[106] Ibid.
[109] Hanung Harimba Rachman,
“Hasil Analisis Data Keuangan Provinsi, Kaupaten dan Kota Seluruh Indonesia
Tahun 2005-2008” dipresentasikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Tim
Pemekaran Daerah P2P-LIPI (DIPA 2009) di LIPI Jakarta, 9 September 2009.
Dikutip dalam Tri Ratnawati, 2009, op.cit,
hlm. 136.
[110] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar