BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep negara
hukum yang dianut Indonesia memberikan konsekuensi logis segala aspek kehidupan
dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, termasuk juga terkait
pemerintahan harus didasarkan pada hukum. Dalam konteks Indonesia, sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang
saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.[1]
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang ada membentuk sistem hukum
yang saling terintegrasi dalam rangka mencapai tujuan yang diidealkan bersama.
Indonesia adalah
negara yang menganut konsep welfare state.
Hal tersebut termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945.[2] Welfare state adalah konsep yang
menyatakan bahwa negara mempunyai peran kunci dalam menjaga dan meningkatkan
kesejahteraan warga negaranya.[3]
Implementasi Indonesia sebagai welfare
state adalah suatu negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara negara
yaitu pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara di pusat dan di daerah
terhadap rakyatnya harus bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Undang-Undang No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 27 Tahun 2007) menyebutkan bahwa
tujuan penataan ruang adalah: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya
alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c)
terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.[4] Berdasarkan
tujuan penataan ruang yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tersebut
dapat disimpulkan bahwa tujuan penataan ruang di Indonesia pada dasarnya adalah
melakukan penataan ruang agar terwujud keselerasan dan keserasian antara sumber
daya alam, sumber daya buatan dan juga sumber daya manusia sehingga dapat
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Secara
implisit tujuan penataan ruang adalah mengatur pemanfaatan ruang agar dapat
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Penataan ruang
tersebut harus dilaksanakan secara terintegrasi, berkesinambungan, dan
memperhatikan kondisi daerah yang akan ditata, dengan demikian akan tercipta
pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan masyarakatnya. Namun, permasalahan
penataan ruang sejatinya dimulai dari pembentukan peraturan perundang-undangan
terkait penataan ruang. Diantaranya ialah ketiadaan pengaturan penataan ruang
di daerah serta ketidakharmonisan pengaturan di tingkat nasional dan pusat.
Masih terdapat beberapa provinsi yang belum memiliki Peraturan Daerah mengenai
Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW), diantaranya ialah Provinsi Kalimantan
Utara dan Provinsi Riau serta beberapa Kabupaten yang belum memiliki Perda
RTRW. Ketiadaan pengaturan tersebut disebabkan adanya permasalahan proses
pembahasan peraturan tersebut, seperti halnya yang terjadi di Provinsi Riau.
Berdasarkan data dari Dirjen Tata Ruang, belum ada penjadwalan pembahasan
mengenai Perda RTRW Provinsi Riau.[5]
Hal ini membawa dampak pada pembangunan daerah yang tidak maksimal, karena
pembangunan di daerah akan tertunda bahkan terbengkalai.[6]
Atas permasalahan
tersebut terlihat bahwa pemerintah daerah Provinsi Riau tidak segera menunaikan
tugasnya untuk membentuk policy
terkait penataan ruang, sebagai acuan pembangunan daerah. Peraturan daerah
merupakan norma yang menjadi bagian dari sistem tatanan hukum, yang membentuk
satu kesatuan dari sistem norma atau tatanan hukum tersebut. Peraturan daerah
pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi mengatur pembentukan norma lain, yakni UU No. 26 Tahun 2007
yang mengamanatkan pembentukan penataan ruang di daerah dengan peraturan
daerah. Hans Kelsen menyatakan bahwa pembentukan hukum selalu merupakan
penerapan hukum atas pengaturan dari norma yang lebih tinggi tersebut.[7]
Dengan demikian, ketika organ pembentuk hukum tidak melaksanakan tugasnya dalam
membentuk norma hukum yang diperintahkan norma hukum yang lebih tinggi, maka
organ pembentuk hukum tersebut sama saja tidak menerapkan norma hukum. Terlebih,
kedudukan dan kekuasaan para aktor pembentuk hukum menjadi salah satu isu
penting dalam studi legislasi, mengingat hal ini merupakan keahlian dan
kemampuan yang diperlukan dalam legislasi.[8]
Selain pengaturan
hukum nasional dan daerah yang tidak terintegrasi, masalah penataan ruang
lainnya ialah terkait ketidakharmonisan pengaturan penataan ruang laut. Pengaturan
yang berbeda mengenai siapa yang memiliki kewenangan mengelola wilayah laut
teritorial antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(UU No. 23 tahun 2014), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 32 Tahun
2014), dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU No. 32
Tahun 2014) berakibat pada terhambatnya pembangunan di daerah. Adapun suatu
proses perencaan kebijakan, pada umumnya, atau proses perencanaan tata ruang
laut, pada khususnya, tidak dapat berjalan dengan lancar dan terintegrasi
dengan baik tanpa adanya suatu kemauan politik (political will) dari penyelenggara negara.[9]
Berdasarkan uraian
tersebut, maka perlu menganalisis lebih lanjut terkait permasalahan pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam penataan ruang untuk bisa ditelaah dan
dikaji, sehingga dapat memberikan rekomendasi solusi atas permasalahan
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana permasalahan penataan ruang di
tingkat nasional dan daerah?
2.
Bagaimana permasalahan penataan ruang laut
dalam konteks peraturan perundang-undangan yang berlaku?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ketidakharmonisan Pengaturan Penataan Ruang Nasional dan
Daerah
1.
Ketiadaan
Pengaturan Penataan Ruang di Daerah
Bentuk upaya
perwujudan negara kesejahteraan yang dianut Indonesia ialah adanya pembangunan
nasional yang terintegrasi dari pusat ke daerah. Pembangunan tersebut harus
direncanakan agar tidak saling bertentangan dengan kondisi masyarakat dan
lingkungan, oleh karenanya diperlukan penataan ruang. Dengan demikian, dalam
rangka mencapai pembangunan nasional yang terintegrasi dan berkelanjutan dari
tingkat pusat ke daerah, diperlukan perencanaan ruang yang terintegrasi pula.
Perencanaan tersebut harus diwadahi dalam bentuk peraturan perudang-undangan
atau produk hukum, mengingat Indonesia merupakan negara hukum.
Konstitusi sebagai
dasar hukum tertinggi negara, telah menggariskan ketentuan utama penataan dan
pengelolaan ruang, yaitu di Pasal 25A dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 25A berbunyi, “Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah
yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Sedangkan Pasal
33 ayat (3) UUD NRI 1945 berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemamuran rakyat.” Ketentuan-ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut ke
peraturan pelaksana, yakni undang-undang.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria menjadi dasar
atas pengaturan mengenai bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam.
Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa ketentuan di dalam konstitusi pada Pasal
33 ayat (3) bermakna Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi menguasai bumi
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Namun, menguasasi yang dimaksud mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, serta
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum demi kesejahteraan rakyat,
sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UUPA. Pasal 2 ayat (4)
dalam undang-undang yang sama kemudian menyatakan bahwa hak menguasai dari
negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, Pasal
14 ayat (2) dan ayat (3) UUPA menentukan bahwa Pemerintah Daerah diberi
wewenang untuk mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta
ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing, yang
dibagi dalam Daerah Tingkat II dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan
dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah. Kenyataannya,
pengaturan mengenai penataan ruang di tingkat daerah tidak diatur langsung
dalam peraturan pemerintah, melainkan diatur lebih lanjut lebih dulu dalam
undang-undang. Akan tetapi, terdapat kontradiksi antara UUPA dengan
Undang-Undang tentang Penataan Ruang terkait pembagian wilayah di daerah. Pasal
7 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang membagi penataan ruang berdasarkan aspek administratif yang
berbeda dengan UUPA, yaitu meliputi ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Saat ini pembagian
penataan ruang di daerah provinsi dan kabupaen/kota tidak dibagi lagi atas
istilah tingkat-tingkat sebagaimana diatur yang pernah berlaku sebelumnya,
mengingat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagaimana asas lex posterior
derogat legi priori. Befitu pula asas lex
specialis derograt legi generalis, maka Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur secara khusus mengenai
penataan ruang, mengesampingkan pembagian wilayah daerah atas tingkat tertentu
dalam UUPA, sekalipun UUPA belum dicabut. Adanya Undang-Undang tentang Penataan
Ruang ini menunjukkan adanya delegasi wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air serta ruang angkasa.
Berbicara mengenai
pengaturan tata ruang di Indonesia, menurut Daud Silalahi, rencana tata ruang
wilayah merupakan suatu pengertian yang secara eksplisit tersirat cakupan yang
luas mengandung arti bahwa:
a. seluruh
wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia.
b. seluruh
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
sebagai karunia tuhan yang maha esa merupakan kekayaan nasional
c. hubungan
antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk bagian
hubungan yang bersifat abadi.
d. Dalam
pengertian bumi, selain permukaan bumi termasuk pula tubuh bumi di bawahnya
serta yang berada di bawah air.
e. dalam
pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
f. yang
dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air adalah yang
berada di dalam bumi. [10]
Keenam point
memberikan makna bahwa diperlukan pengaturan atas tata ruang suatu wilayah
berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan yang terdapat dalam
suatu wilayah. Sedangkan Menurut Yunus Wahid, dalam memahami konteks tata ruang
dan penataan ruang, “ruang” dapat dipahami sebagai wadah, konsep, dan
pengertian dengan penekanan tertentu.[11]
Ruang sebagai wadah mula-mula diartikan sebagai bidang datar yang dalam
perkembangannya kemudian mempunyai dimensi tiga dan berarti tempat tinggal (dwelling house) yang harus ditata
sebaik-baiknya demi kesejahteraan. Imam Koeswahyono menyatakan bahwa dalam
penataan ruang demi mencapai tujuan kesejahteraan rakyat, maka dalam tataran
operasional perencanaan tata ruang paling tidak ada tiga tahapan yang harus
ditempuh yaitu:
a. Pengenalan
kondisi tata ruang yang ada dengan melakukan pengkajian untuk melihat pola dan
interaksi unsur pembentuk ruang, manusia, sumber daya alam;
b. Pengenalan
masalah tata ruang serta perumusan kebijakan pengembangan tata ruang wilayah
nasional menekankan masalah dikaitkan dengan arahan kebijakan pemanfaatan ruang
masa datang serta kendalanya; dan
Sedangkan ruang sebagai pengertian
mempunyai unsur bumi, air, dan udara, yang mempunyai tiga dimensi.[13]
Maka dapat dibedakan pengertian yang memberikan keutuhan atas pengertian
rencana tata ruang wilayah yang dikemukakan oleh Sadli Samad yaitu sebagai
berikut:[14]
a)
Ruang
adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan makhluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya;
b)
Tata
ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan
maupun tidak;
c)
Rencana
tata ruang wilayah adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang;
d)
Rencana
tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang; dan
e)
Wilayah
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
padanya ruang batas dan sistem ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan
atau aspek fungsional.
Uraian tersebut
memperlihatkan bahwa pernyataan ruang dalam tinjauan hukum dapat mencerminkan
adanya pengertian yang kompleks untuk melakukan suatu kegiatan perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian rencana tata ruang wilayah yang sesuai dengan
ketentuan dalam pengelolaan tata ruang wilayah.
Solihin memberikan
pengertian rencana tata ruang wilayah adalah mengatur, mengelolah, menangani,
mempotensikan segala hal yang ada di atas bumi, air dan ruang angkasa untuk
digunakan bagi kesejahteraan manusia yang tinggal dalam ruang tersebut untuk
memenuhi kepentingannya sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
penggunaan ruang.[15]
Sejalan dengan itu, Rahmat Barong menyatakan bahwa rencana tata ruang itu
mencakup perencanaan struktural dan pola pemanfatan ruang yang meliputi tata
guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam
lainnya.[16]
Begitu pula Soejarto memberikan pengertian bahwa rencana tata ruang merupakan
pedoman pelaksanaan pembangunan yang berisi kebijaksanaan strategis dan
program-program pemanfaatan ruang dalam jangka waktu perencanaan.[17]
Ketentuan-ketentuan
yang berlaku terkait tata ruang di Indonesia mewajibkan pemerintah untuk
menyusun suatu rencana umum, yang kemudian akan dirinci lebih lanjut dalam
rencana-rencana regional dan daerah oleh pemerintah daerah.[18]
Hal ini memberikan makna bahwa pemerintah daerah tidak boleh melakukan tindakan
kewenangan agraria (pengelolaan atas sumber daya alam termasuk tanah) jika
tidak ditunjuk ataupun didelegasikan wewenang oleh pemerintah kepada
daerah-daerah otonom.[19]
Begitu pula dengan adanya otonomi daerah, daerah memiliki hak untuk mengatur
daerahnya sendiri namun tetap dikontrol oleh pemerintah pusat dan
undang-undang. Dengan tetap adanya pengawasan dari pusat tersebut, maka
kebebasan itu tidak mengandung arti adanya kemerdekaan (onafhebkeleijk).[20]
Nurhadi menyatakan bahwa:[21]
Rencana
tata ruang wilayah tidak terlepas dari mengenai konsep lingkungan hidup yang
mengisyaratkan bahwa setiap kegiatan pembangunan harus dapat
dipertanggungjawabkan dalam pengelolaan dan penanganannya agar bentuk-bentuk
rencana tata ruang wilayah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah pada
gilirannya menjadi konsekuensi logis bagi masyarakat memahami pentingnya rencana
tata ruang wilayah dan pentingnya batasan-batasan mengenai ruang yang sangat
berkaitan dengan nuansa pelaksanaan pemerintahan yang dituntut untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mengatur pola ruang lingkup dalam menjalankan
aktivitasnya sehari-hari.
Karenanya,
Tarmidzi berpendapat bahwa berbagai bentuk perencanaan tata ruang wilayah dalam
suatu daerah, perlu ditetapkan adanya peraturan daerah. Peraturan daerah yang
dimaksud tidak terlepas dari peran serta masyarakat adalah sebagai kegiatan
masyarakat, yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah
masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan rencana tata
ruang wilayah.[22]
Atas uraian dan
tinjauan yang dikemukakan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
rencana tata ruang wilayah diartikan sebagai bentuk perumusan kebijakan pokok
dalam memanfaatkan ruang dalam suatu wilayah yang mewujudkan keterpaduan,
keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antara wilayah, serta keserasian
antara sektor dalam mengeksiskan pentingnya rencana tata ruang wilayah yang
diterapkan di daerah. Karenanya, perencanaan struktur dan pola pemanfatan ruang
merupakan kegiatan penyusunan rencana tata ruang yangmana pengaturannya
terdapat hierarki.
Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menjelaskan yang
dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural ruang dan pola ruang.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 5 dalam undang-undang yang sama menyatakan,
yang dimaksud dengan penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sedangkan ruang
didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya, sebagaimana dijelaskan Pasal 1 angka 1 dalam undang-undang yang sama.
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa negara sebagai penyelenggara
penataan ruang untuk kesejahteraan rakyat, memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah.
Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang wilayah nasional,
penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota
dilakukan secara berjenjang dan komplementer sesuai dengan kewenangan
administratif yaitu dalam bentuk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional (RTRWN),
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota),[23]
serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci seperti Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR).[24]
Rencana Tata Ruang Wilayah di Indonesia mempunyai klasifikasi vertikal dari
yang tertinggi adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional atau biasa disingkat
RTRWN yang merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah
Negara yang berlaku selama 20 tahun. Kemudian Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi atau biasa disingkat RTRW provinsi yang merupakan penjabaran dari
RTRWN yang bersifat umum di wilayah provinsi. Kemudian selanjutnya Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang merupakan rencana tata ruang yang bersifat
umum pada tingkat kabupaten yang diatur dalam suatu Peraturan Daerah.[25]
Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa rencana umum tata ruang merupakan perangkat penataan ruang
wilayah yang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif yang secara
hierarki terdiri atas RTRW Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Ketiga
rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana
pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan.
Rencana kerja pembangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD merupakan penjabaran
dari RPJM daerah untuk jangka waktu satu tahun yang memuat rancangan kerja
ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya,
baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada rencana kerja
pemerintah.[26]
Sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang Penataan Ruang bahwa pengaturan
penataan ruang sebagai upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.[27]
Selanjutnya,
rencana umum tata ruang dijabarkan dalam rencana rinci tata ruang yang disusun
dengan pendekatan nilai strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan
muatan subtansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan subblok yang
dilengkapi peraturan zonasi sebagai salah satu dasar dalam pengendalian
pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang
dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis dan rencana detail tata
ruang. Rencana detail tata ruang merupakan penjabaran dari RTRW pada suatu
kawasan terbatas, ke dalam rencana pengaturan pemanfaatan yang memiliki dimensi
fisik mengikat dan bersifat operasional. Rencana detail tata ruang berfungsi
sebagai instrumen perwujudan ruang khususnya sebagai acuan dalam permberian advice planning dalam pengaturan
bangunan setempat dan rencana tata bangunan dan lingkungan.[28]
Meningkatnya
kebutuhan ruang dalam pelaksanaan pembangunan berimplikasi terhadap penggunaan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Masalah tersebut diperparah
dengan kondisi bahwa baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota belum disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) melalui
peraturan daerah. Padahal melalui perda RTRW ini mengatur penggunaan ruang
telah dikelompokkan berdasarkan struktur dan fungsi ruang. Struktur dan fungsi
ruang inilah yang seharusnya menjadi dasar dalam penggunaan ruang.
Direktur
Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU Ir. Joessair
Lubis, CES., pada 1 November 2012 menyatakan bahwa sebanyak 50 persen daerah
kabupaten/kota di Indonesia belum miliki peraturan daerah yang mengatur Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dengan rincian bahwa dari sekitar 491 kabupaten/kota
di Indonesia, baru sekitar 200 daerah yang sudah memiliki perda RTRW, sekalipun
telah melakukan pendampingan kepada seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia
dalam rangka penyusunan perda tersebut. Padahal Kementerian Pekerjaan Umum (PU)
menetapkan target semua daerah di Indonesia memiliki perda tersebut pada akhir
2012.[29]
Kementerian
Pekerjaan Umum pernah menargetkan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah
(RTRW) di seluruh provinsi dan kabupaten/kota dapat terselesaikan pada tahun
2012. Dirjen Tata Ruang Kementerian PU Imam S. Ernawi mengatakan dari 33
provinsi ada 21 provinsi yang belum menyelesaikan perda RTRW, sedangkan 12
provinsi lainnya telah memiliki, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Banten, DIY, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Lampung, Sumatra Barat.
Adapun dari 491 kabupaten/kota masih terdapat 55 kabupaten/kota yang belum
memiliki Perda RTRW. Sebanyak 436 di antaranya telah menyelesaikan proses
substansi, bahkan sebagian besar RTRW di kabupaten/kota tersebut telah diperdakan.[30]
Pada tahun 2013,
Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto sebagai perwakilan dari pemerintah pusat
mendesak kepada 18 provinsi untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda)
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), mengingat pada saat itu baru 15 provinsi
yang telah dan hampir merampungkan perda RTRW. Menurut Djoko, sejak UU mengenai
tata ruang ditetapkan pada tahun 2007 lalu, ia mengakui belum ada perkembangan
yang bagitu nyata dari setiap provinsi dalam mengimplemetasikan Rencana Tata
Ruang Wilayahnya. Djoko menambahkan, sayangnya, tidak ada sanksi yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jika suatu
provinsi tidak segera menyelesaikan pembuatan Perda RTRW sampai batas waktu
yang ditetapkan pamarintah akhir tahun 2013 lalu.[31]
Indonesian Audit Watch
(IAW) mencatat, pada tahun 2013 sedikitnya ada 20 Pemerintah Daerah (Pemda)
provinsi yang tidak memberikan prioritas dan perhatian terhadap Perda RTRW,
dibandingkan dengan jumlah 15 provinsi yang telah menyelesaikan perda RTRW.
Data yang diungkapkan oleh Ketua Pendiri IAW Junisab Akbar pada Selasa, 25
Oktober 2016 di Jakarta tersebut pun sebenarnya diungkapkan sendiri oleh mantan
Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto. Analisa IAW juga menunjukkan bahwa
pemerintah pusat sampai masa berakhirnya kepemimpinan Presiden Keenam SB
Yudhoyono terlihat kurang memberikan perhatian untuk mendesak pemda agar segera
mengesahkan Perda RTRW.[32]
Direktur Penataan
Ruang Wilayah IV Kementerian Pekerjaan Umum, Lina Marlia menyatakan bahwa
setiap daerah harus memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berikut perda
yang memuat RTRW masing-masing wilayah. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun
2007) bahwa dua tahun setelah April 2007, setiap provinsi harus sudah
menetapkan Perda RTRWP, serta tiga tahun setelah bulan tersebut kabupaten/kota
harus menetapkan Perda RTRW masing-masing. UU No. 26 Tahun 2007 pun juga telah
mengatur kewenangan provinsi, kabupaten/kota dalam penataan ruang seperti yang
tertuang pada Bab IV UU No. 26 Tahun 2007. Selain itu, pengawasan terhadap
kegiatan pemanfaatan ruang termasuk sanksi juga telah diatur dalam UU No. 26
Tahun 2007 khususnya Pasal 55.[33]
Masih terdapatnya
permasalahan ketiadaan perda RTRW tidak terlepas dari ketidakharmonisan
pengaturan penataan ruang nasional dan daerah. Padahal, RTRW menjadi pedoman
untuk menyusun RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) dan RPJMD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Sebagaimana disebutkan sebelumnya
bahwa dalam konsepsi negara hukum, terdapat suatu suatu sistem norma yang
membentuk satu kesatuan dalam tatanan hukum. Sehingga terdapat norma yang
mengatur pembentukan norma hukum lain, dimana pembentukan norma hukum tersebut
merupakan penerapan norma hukum yang lebih tinggi.[34]
Dengan demikian, fungsi pembentuk norma harus dipandang sebagai fungsi penerap
norma sekalipun hanya unsur personalnya. Yakni individu yang harus membentuk
norma yang lebih rendah, yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi tersebut.[35]
Akan tetapi di sisi lain, tidak semua aparat pembentuk hukum di daerah memiliki
kapabilitas yang mumpuni untuk menyusun Naskah Akademik serta Raperda, sehingga
kemampuan tersebut harus ditingkatkan dengan berbagai pelatihan.
Lebih lanjut, ketiadaan
peraturan yang perlu dibentuk akibat adanya delegatie
provisio menunjukkan minimnya pengawasan dari Pemerintah Pusat. Padahal
pengawasan menurut George R Terry
ialah menetapkan atau menitikberatan pada tindakan evaluasi dan koreksi
terhadap hasil yang telah dicapai dengan maksud agar hasil tersebut sesuai
dengan rencana.[36] Oleh karena itu, jika hasil evaluasi menunjukkan
adanya ketidaksesuaian, dalam hal ini ialah ketiadaan pengaturan penataan ruang
di daerah, untuk segera ditindaklanjuti agar sesuai rencana pembangunan.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bahwa masih terdapat beberapa daerah yang belum memiliki
Perda RTRW. Pada kasus Provinsi Riau, permasalahan tidak selesainya Perda RTRW
tersebut dikarenakan lambatnya proses pembahasan di DPRD.[37] Akibatnya, seluruh Kabupaten/Kota yang ada di wilayah
Provinsi Riau juga belum selesai, adapun sampai saat ini status Perda RTRW 10
(sepuluh) Kabupaten dan 2 (dua) Kota masih dalam tahap persetujuan substansi oleh
Menteri. Kondisi ini memberikan dampak bagi tertundanya berbagai rencana
pembangunan di daerah, sehingga justru akan menyulitkan pemenuhan kebutuhan
masyarakat yang sarat akan pemanfaatan sarana dan prasarana.
Selanjutnya,
terkait permasalahan Perda RTRW Provinsi Kalimantan Utara yang belum selesai
mengingat Provinsi Kalimantan Utara merupakan daerah otonom baru. Meski
penyusunan RPJP Provinsi Kalimantan Utara harus memperhatikan rencana tata
ruang, namun menilik belum diundangkannya Perda RTRW memaksa penyusunan RPJP
Provinsi Kalimantan Utara berdasarkan RPJPN dan RPJMN, serta kajian penataan
wilayah tanpa diwadahi oleh Peraturan Daerah. Selain Provinsi Kalimantan Utara,
Daerah Otonomi Baru (DOB) lainnya ialah Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa
Barat, Kabupaten Mamuju Barat di Provinsi Sulawesi Barat, 5 (lima) Kabupaten di
Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Konawe
Kepulauan, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, dan Kabupaten Muna
Barat.[38]
Penataan ruang di
kawasan kehutanan di daerah juga menjadi perhatian lebih dalam kebijakan
penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Keselarasan pemanfaatan
ruang yang berkelanjutan memerlukan suatu arahan berupa kebijakan penataan
ruang yang bersifat nasional dan wajib untuk diterapkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan nasional, maupun lebih jauh terkait perjanjian atau konvesi
internasional yang bersifat mengikat.
Di dalam UU No. 26
Tahun 2007 terdapat ketentuan batas
waktu penyelesaian revisi RTRW selama dua tahun untuk RTRWP dan tiga tahun untuk
RTRWK terhitung sejak pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2007 tanggal 26 April 2007.
Sehingga pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional telah mendorong seluruh
provinsi di Indonesia untuk melakukan penyesuaian (revisi) RTRWP, termasuk
RTRWK yang harus menyesuaikan ketentuan yang berlaku. Dengan adanya pembagian
kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya sesuai UU No. 41 Tahun 1999, maka
usulan perubahan fungsi kawasan hutan di dalam revisi RTRWP harus memperhatikan
kriteria teknis dari masing-masing fungsi pokok kawasan hutan tersebut.
Pasal 19 ayat (1) UU
No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
hutan ditetapkan oleh Pemerintah, khususnya peruntukan kawasan hutan yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana kelanjutan ayat (2). Pasal 19
ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa ketentuan tentang tata cara perubahan
peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Dalam UU No. 41 Tahun 1999, penatagunaan kawasan hutan
adalah kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan
fungsi pokoknya, kawasan hutan di bagi menjadi tiga yaitu:
a.
hutan
konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan,
terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan
taman buru;
b.
hutan
lindung, adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah;
dan
c.
hutan
produksi, adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan berupa benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang
berasal dari hutan.[39]
Dengan adanya
pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya, maka usulan perubahan
fungsi kawasan hutan di dalam revisi RTRW harus memperhatikan kriteria teknis
dari masing-masing fungsi pokok kawasan hutan tersebut. Hal ini mengingat
keberadaan kawasan hutan dalam suatu wilayah merupakan bagian dari wilayah
provinsi maupun kabupaten/kota yang bersangkutan. Karenanya kebijakan penataan
ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota akan memberikan implikasi terhadap
keberadaan kawasan hutan tersebut. Pada saat yang sama, kebutuhan ruang dalam
pelaksanaan pembangunan di daerah semakin meningkat yang mengharuskan alih
fungsi, terhambat dengan mekanisme perubahan fungsi kawasan hutan harus melalui
persetujuan Kementerian Kehutanan sesuai dengan amanat Pasal 19 UU Kehutanan,
atau akan terkena sanksi.
2.
Kontradiksi
Pengaturan Penataan Ruang di Wilayah Perbatasan
Pembangunan nasional merupakan upaya perwujudan mencapai
tujuan negara, yakni kesejahteraan rakyat. Guna mencapai pembangunan nasional
yang sesuai dengan konsep negara kesejahteraan tersebut, pembangunan nasional
harus direncanakan secara terintegrasi dari daerah ke pusat dengan
memperhatikan kondisi masing-masing wilayah. Hal ini perlu dilakukan untuk
mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan agar pembangunan tidak
memberikan dampak negatif atas lingkungan hidup yang pada akhirnya berimplikasi
pada ketidaknyamanan masyarakat. Oleh karenanya, negara perlu membentuk
perencanaan pembangunan yang memaksimalkan ruang di wilayah negara Indonesia.
Ketersediaan ruang yang terbatas membuat pengalokasian ruang
harus tepat guna agar menghasilkan manfaat yang maksimal bagi semua pihak.
Permasalahan tersebut yang mendasari dibuatnya peraturan tata ruang untuk
mengatur alokasi-alokasi ruang di suatu daerah. Tata ruang diatur dalam
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Ruang didefinisikan wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahkluk lain hidup,
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.[40] Definisi
tata ruang menurut Undang-Undang adalah wujud struktur dan pola ruang.[41]
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hierarki memiliki hubungan fungsional.[42]
Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.[43]
Undang-Undang No. Tahun 2007 menetapkan asas-asas penataan
ruang sehingga manfaat tata ruang dapat dirasakan oleh semua stakeholder, yaitu:
a. Keterpaduan: mengintegrasikan
kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku
kepentingan yaitu pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b. Keserasian, Keselarasan, dan
Keseimbangan: keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan
antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan
perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan perdesaan.
c. Keberlanjutan: menjamin kelestarian
dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan
kepentingan generasi mendatang.
d. Keberdayagunaan dan
Keberhasilgunaan: mengoptimalkan manfaat ruang dan sumberdaya yang terkandung
di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
e. Keterbukaan: memberikan akses yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan
dengan penataan ruang.
f. Kebersamaan dan Kemitraan:
penyelenggaraan melibatkan seluruh stakeholder.
g. Perlindungan Kepentingan Umum:
penataan ruang harus mengutamakan kepentingan masyarakat.
h. Kepastian Hukum dan Keadilan:
penataan ruang yang berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan
dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan
jaminan kepastian hukum.
i.
Akuntabilitas:
penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya,
maupun hasilnya.[44]
Asas-asas penataan ruang tersebut agar dalam melaksanakan penataan
ruang sesuai dengan koridor hukum dan tata perundangan-undangan, mampu
mengakomodasi kepentingan semua stakeholder tanpa terkecuali dan bermanfaat
bagi lapisan masyarakat.
Sebagaimana sebelumnya bahwa dokumen penataan ruang menjadi pedoman
penyusunan rencana pembangunan nasional maupun daerah yang terintegrasi, maka
merencanakan penataan ruang yang berorientasi kesejahteraan rakyat di daerah
menjadi keniscayaan. Hal ini tidak lain mengingat pembangunan nasional akan
terwujud jika pembangunan di seluruh daerah maksimal dan memberikan kemanfaatan
bagi masyarakat.
Berpijak dari konsep otonomi daerah di negara kesatuan, setiap daerah
otonom berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri pembangunan di daerah
masing-masing. Pembangunan daerah tersebut dimulai dengan merencanakan
peruntukan, pengelolaan, dan pemanfaatan ruang di daerah agar pembangunan tepat
guna mendorong kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan
bahwa masih terdapat berbagai permasalahan mengenai pembangunan daerah, yang
bermula dari ketidaktepatan penataan ruang, salah satunya ialah di wilayah
perbatasan.
Sebagai contoh, penataan ruang di wilayah perbatasan antar
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Provinsi DIY).
Penataan ruang di Provinsi DIY diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor
2 Tahun 2010 tentang Rencana Penataan Ruang Wilayah Provinsi DIY Tahun
2009-2029 (Perda No. 2 tahun 2010). Wilayah DIY terdiri atas: Kota
Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Bantul, Kabupaten
Kulonprogo, dan Kabupaten Gunungkidul.[45] Setiap kota
dan kabupaten tersebut mempunyai batas-batas wilayah masing-masing yang saling
bersinggungan.
Wilayah perbatasan yang saling
bersinggungan tersebut menjadi potensi konflik sebab perencanaan dan
pemanfaatan ruang di kawasan perbatasan antar kabupaten maupun antara kabupaten
dan kota bisa jadi saling bertentangan. Sebagai contoh, perencanaan Desa
Triharjo di Kabupaten Bantul dalam Pasal 48 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul yang
menetapkan Desa Triharjo sebagai kawasan lindung sekitar mata air,[46] bertentangan dengan perencanaan
Desa Gulurejo dalam Pasal 48 ayat (5)
huruf d dan e jo. Pasal 54 ayat (2)
huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 – 2032 sebagai
kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batubara serta kawasan industri.[47] Kedua desa tersebut merupakan desa
di perbatasan wilayah Kabupaten Bantul dan Kabupaten Bantul, yang mana letaknya
saling berhadapan.[48] Padahal dengan ditetapkannya Desa
Triharjo sebagai kawasan lindung sekitar mata air maka desa tersebut masuk
sebagai kawasan lindung yang mengutamakan fungsi melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan,
sedangkan Desa Gulurejo yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan pertambangan
mineral dan batubara serta kawasan industri yang masuk dalam kawasan budidaya
dikembangkan untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.[49]
Hal tersebut juga terjadi terhadap
Desa Poncosari di Kabupaten Bantul yang
ditetapkan sebagai Kawasan Sempadan Pantai dan Kawasan Pantai Berhutan Bakau
(masuk sebagai kawasan lindung) dengan Desa Kranggan di Kabupaten Kulonprogo
yang ditetapkan sebagai Kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batubara
(masuk sebagai kawasan budidaya).[50] Berdasarkan penjabaran tersebut
terdapat potensi konflik antara 2 (dua) desa ini dengan perencaaan peruntukan
kawasan yang berbeda prioritas fungsinya.
Kawasan lindung merupakan wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup
yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.[51] Sedangkan kawasan budi daya ialah
wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan.[52] Dengan demikian, kedua desa yang
berbatasan tersebut memiliki peruntukan kawasan yang berbeda, mengingat fungsi
utama kawasan di kedua desa berbeda. Kondisi ini juga menjadi salah satu sumber
permasalahan pembangunan daerah di Kabupaten Bantul sebagaimana yang dijabarkan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Bantul, yakni adanya
potensi sengketa perbatasan.[53]
Atas hal tersebut, terlihat
penelitian (research) dalam proses
penyusunan Perda RTRW kurang maksimal. Legislasi menurut Ann Seidmann dkk harus
dipahami secara makro, dimana terdapat 6 (enam) aspek penting dalam keseluruhan
proses legislasi (law making process),
yaitu: (a) a bill’s origin; (b) concept paper; (c) prioritization; (d) drafting
the bill; (e) research; dan (f) who has access and supplies input into the
drafting process.[54] Research
merupakan penelitian dan pengumpulan bahan materi pembentukan peraturan
perundang-undangan dengan menganalisis terkait pendapat publik, biaya penerapan
dan kemungkinan dampak penerapannya, serta antisipasi kesiapan lapangan.[55] Unsur research sebenarnya telah ada dan menjadi bagian dari isi naskah
akademik sebagai naskah pengkajian dan penyelarasan materi yang akan diatur.
Oleh karenanya, atas permasalahan proses legislasi ini dapat ditarik
kemungkinan dua sebab, yaitu kapasitas aktor pembuat produk hukum dan ketidaktepatan
proses. Pembentuk hukum tidak hanya harus mampu bagaimana merancang draft,
namun juga menyusun naskah akademik sesuai dengan pedoman penyusunannya,
sebagai pertanggungjawaban akademis atas norma hukum publik yang dibuat.
Pembentukan norma-norma hukum publik
menurut Banyamin Akzin memiliki karakter khusus sehingga berbeda dengan
pembuatan norma-norma dalam hukum privat. Dalam hal pembentukannya, norma-norma
hukum publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga negara (penguasa negara,
wakil-wakil rakyat) atau disebut juga suprastruktur.[56] Sehingga dalam hal ini terlihat
jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembaga-lembaga negara (public authorities) mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi daripada norma-norma hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau
disebut juga infrastruktur.[57]
Lebih lanjut, pembentukan peraturan
perundang-undangan juga dapat menggunakan berbagai metode untuk menentukan
regulasi yang baik, diantaranya ialah berdasarkan metode analisis Regulatory Impact Analysis (RIA). RIA
digunakan untuk menguji dan mengukur kemungkinan manfaat, biaya, dan efek dari
peraturan baru atau yang sudah ada.[58] RIA menggunakan 10 pertanyaan yang
merupakan standar baku yang telah ditetapkan OECD, yaitu:
a)
Apakah masalahnya didefinisikan
dengan benar?
b)
Apakah tindakan pemerintah sudah
tepat?
c)
Apakah regulasi merupakan tindakan
terbaik pemerintah?
d)
Apakah peraturan ada dasar hukumnya?
e)
Berapa tingkatan birokrasi
pemerintah yang dilibatkan untuk koordinasi regulasi ini?
f)
Apakah regulasi bermanfaat dibanding
biayanya?
g)
Apakah distribusi di masyarakat
dampaknya akan transparan?
h)
Apakah peraturan tersebut jelas,
konsisten, dipakai dan diakses oleh pengguna?
i)
Apakah semua pihak yang
berkepentingan memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pandangan
mereka?
Atas pertanyaan tersebut, akan didapat sejumlah pernyataan
yang berisi tujuan, substansi, dan perkiraan dampak dari sebuah regulasi yang
dibuat. Dalam konteks permasalahan penataan ruang yang ada, terlihat ada
beberapa hal yang tidak ditinjau dalam teknik dan penyusunan peraturan mengenai
penataan ruang di kawasan perbatasan. Pertama,
ketidakcermatan dalam memetakan masalah yang ada serta potensi dampak
permasalahan dari regulasi yang dibentuk. Kedua,
tidak semua pihak yang berkepentingan memiliki kesempatan yang sama untuk
menyampaikan pendapat mereka, dalam hal ini masyarakat setempat. Partisipasi
dan hearing dengan masyarakat setempat harus digalakkan, mengingat dampak atas
kegiatan pertambangan sangat mungkin tidak hanya dialami oleh satu desa saja,
namun juga wilayah sekitarnya.
B.
Disharmoni Penataan Ruang Laut di Indonesia
Keutuhan tanah air Indonesia adalah merupakan
suatu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan yang
selain membawa berkah juga mendatangkan tantangan bagi bangsa Indonesia.
Mengingat secara geografis, letak Indonesia berada di antara dua benua dan dua
samudera yang sangat strategis, baik dari kepentingan nasional maupun
internasonal. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia
Sangat khas karena posisinya yang berada di
dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset
atau sumber daya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan
yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan
rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa[60].
Kondisi geografis Indonesia yang demikian
kompleks membawa konsekuensi munculnya berbagai tantangan nyata bagi Indonesia
yang harus dikelola secara komprehensif dan terpadu. Tantangan tersebut salah
satunya adalah terkait dengan terbentuk tata ruang laut yang komprehensif. Hal
ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan, sehingga keterpaduan antara wilayah darat, laut, dan udara di
atasnya menjadi sesuatu yang sangat krusial.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa Indonesia
memiliki ruang laut dengan keadulatan dan hak beradulat di berbagai zona
maritim yang sangat luas, sehingga adanya tata ruang laut yang terpadu menjadi
sesuatu yang sangat penting. Tata ruang laut yang terpadu dapat mewujudkan atau
memberikan kepastian hukum dan alokasi ruang bagi pemanfaatan sumber daya bagi
pemanfaatan sumber daya kelautan sehingga tidak ada tumpang tindih pemanfaatan
di lokasi yang sama. Adanya tata ruang laut juga akan mendukung pemanfaatan
sumber daya kelautan secara optimal dan berkelanjutan karena penetapan zona
kawasan telah memperhatikan potensi yang ada dalam kawasan tersebut[61].
Ketentuan mengenai tata ruang laut yang terpadu juga sejalan dan diyakini dapat
mendukung program dan cita-cita Pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai
poros maritim dunia.
Ketentuan yang mengatur mengenai tata ruang
nasional dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Tata Ruang namun konteks penataan ruang yang diatur dalam undang-undang ini
tidak mengatur secara jelas mengenai tata ruang laut. Dijelaskan bahwa
penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus diselenggarakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat[62] dan dilakukan dengan
menghormati hak yang dimiliki orang[63] serta memberikan kewenangan
bagi daerah untuk ikut serta di dalamnya[64]. Selanjutnya dirumuskan
bahwa penyelenggaraan tata ruang dilakukan secara komprehensif, holistik,
terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor-faktor
krusial lainnya seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain[65].
Selain
terkait dengan kepastian hukum dan alokasi ruang bagi sumber daya, tujuan dari
penataan ruang laut nasional antara lain adalah untuk; a) mempersiapkan
dukungan bagi pengembangan kegiatan sumber daya alam pesisir dan laut, b)
mempersiapkan wilayah pesisir dan laut
untuk berperan dalam
perkembangan global, c) membanu
mengurasi kesenjangan perkembangan antar bagian wilayah nasional, terutamanya
adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat marjinal d) memperkuat akses antar
bagian wilayah nasional sebagai negara kesatuan e) meningkatkan kelestarian
lingkungan pesisir dan laut[66].
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya tata ruang kelautan nasional
yang terpadu merupakan sesuatu yang sangat urgen dan krusial.
Permasalahan yang muncul adalah sampai
sekarang Indonesia belum memiliki peraturan yang secara spesifik mengatur tata
ruang kelautan. Padahal seperti yang sudah diketahui, pembentukan tata ruang
laut yang terpadu telah diamanatkan secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang[67] dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2014 tentang Kelautan[68].
Kenyataan ini dapat dikatakan sangat ironis mengingat kondisi geografis
Indonesia yang notabene 2/3 wilayahnya berupa wilayah laut. Akibatnya, banyak
terjadi tumpang tindih antar kepentingan yang berujung pada kerugian rakyat.
Salah satunya seperti pembuatan pelabuhan galangan kapal yang belum memperhatikan
zonasi, sehingga merusak kabel bawah laut, yang notabene 98 persen komunikasi
suara dan data melalui kabel bawah laut tersebut[69].
Permasalahan lain yang muncul adalah adanya
ketidakharmonisan atau ketidaksinkronan antara pengaturan dalam Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemeritahan Daerah terkait dengan
ketentuan-ketentuan tata ruang laut. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
merumuskan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki wewenang untuk
menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) secara
rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam
wilayahnya[70].
Penyusunan RZWP-3-K dinyatakan sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disusun dengan mempertimbangkan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan di samping itu terdapat pula
kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat pemanfaatan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi[71].
RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah[72].
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menyatakan bahwa yang diberi kewenangan untuk mengelola kelautan termasuk di
dalamnya menyusun tata ruang atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) adalah Pemerintah Daerah Provinsi. Ketimpangan
lebih jauh ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang merumuskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir termasuk di
dalamnya penyusunan tata ruang dapat dilakukan oleh Gubernur maupun Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya. Sejauh mana kewenangan dari Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dijelaskan lebih jauh sehingga menimbulkan
suatu ketidakpastian hukum.
Apabila ditilik dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 arah kebijakan atau roadmap pembangunan maritim dan kelautan
difokuskan pada peningkatan tata kelola sumberdaya kelautan, dengan strategi
penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta
penyusunan tata ruang laut dan harmonisasi tata ruang daratan dan laut[73].
Namun apabila melihat keadaan pengaturan yang ada berdasarkan paparan di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa belum adanya suatu kejelasan tentang pihak yang
sebenarnya memiliki wewenang untuk menyusun rencana tata ruang laut sehingga
dapat dikatakan bahwa pengaturan yang ada sekarang belum mendukung pengelolaan
laut khusunya ruang laut secara terpadu dan teratur sehingga dapat dikatakan
bahwa strategi harmonisasi serta pengeolaan tata ruang kelautan beserta
pelaksanaannya masih jauh dari sempurna.
Untuk
dapat mengetahui penyebab ketidakharmonisan yang ada di pengaturan tata ruang
laut di Indonesia maka perlu dianalisis lebih lanjut mengenai definisi dari
penataan ruang laut. UNESCO dan Intergovernmental
Oceanographic Commisions (IOC) melalui Marine Spatial Planning Programme memberikan definisi penataan
ruang laut sebagai berikut:
“Marine
spatial planning is a public process of analyzing and allocating the spatial
and temporal distribution of human activities in marine areas to achieve
ecological, economic and social objectives that have been specified through a
political process. (penataan ruang laut adalah proses publik
untuk menganalisis dan mengalokasikan secara spasial dan temporal distribusi
aktivitas pada area laut dan untuk mendapatkan manfaat ekologi, ekonomi, dan
sosial yang telah ditentukan secara spesifik melalui proses politik”)[74].
Poin yang perlu digarisbawahi dari
rumusan definisi tersebut adalah adanya suatu proses politik yang
melatarbelakangi. Artinya suatu proses perencaan kebijakan, pada umumnya, atau
proses perencanaan tata ruang laut, pada khususnya, tidak dapat berjalan dengan
lancar dan terintegrasi dengan baik tanpa adanya suatu kemauan politik (political will) dari penyelenggara
negara. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa political will Pemerintah yang relatif lemah turut memegang andil
besar terhadap persoalan-persoalan tata ruang laut di Indonesia[75].
Di samping itu, perencanaan tata
ruang laut sangat terkait erat dengan aktivitas manusia pada wilayah laut
sehingga suatu perencanaan tata ruang laut juga seharusnya dapat secara
gamblang menjelaskan bagaimana cara mengatur manusia atau pihak-pihak pemangku
kepentingan (stakeholder) di wilayah
yang bersangkutan. Apabila hal ini dikaitkan dengan proses politik yang telah
sedikit disinggung dalam paparan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa
perencanaan tata ruang laut sangat erat berkaitan dengan adanya tarik-menarik
kepentingan[76].
Terkait dengan lemahnya political will dari penyelenggara negara
terkait dengan pengelolaan tata ruang laut dapat diidentifikasikan dari Laporan
Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut yang disusun oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tahun 2014 yang lalu. Laporan tersebut menyebutkan bahwa
terdapat sejumlah permasalahan yang utama yang terkait dengan pengaturan tata
ruang laut, yaitu:
a)
penyusunan rencana zonasi
ruang laut, b) peta dasar lingkungan
laut dan lingkungan pantai yang belum operasional,
c) penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau
kecil, d) desentralisasi dalam pengelolaan ruang
laut, e) pengendalian pencemaran dan
kerusakan ekosistem[77].
Permasalahan tersebut tidak terlepas dari sejumlah permasalahan yang muncul
terkait dengan peraturan perundang-undangan yang belum disusun, kesalahan
tekstual dan kontekstual dalam aturan perundang-undangan, hingga permasalahan
substansi dari aturan perundang-undangan tersebut. Lebih lanjut dapat
dijelaskan bahwa terdapat permasalahan lintas sektoral dan permasalahan kapasitas
kelembagaan pemerintah dan tarik-menarik yang terjadi di internal Kementrian
Kelautan dan Perikanan[78].
Suatu legislasi dapat diukur
efektivitasnya menggunakan ukuran-ukuran tertentu. Efektivitas suatu legislasi
diukur dari peran dan sumbangannya dalam menghasilkan dan mengimplementasikan good governance atau tata atur dan
kelola yang baik. Di sisi lain, legislasi yang tidak efektif akan menyebabkan
timbulnya berbagai masalah dalam penyelenggaraa negara dan pelaksanaan
pembangunan[79]. Apabila ditilik
dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa pengaturan tata ruang laut di
Indonesia masih jauh dari produk legislasi yang dapat dikategorikan sebagai
efektif, oleh karena dalam pembuatannya masih diwarnai dengan tarik-menarik
kepentingan, dalam pelaksanannya terdapat masih terdapat disharmonisasi atau
tumpang tindih peraturan sehingga dapat dikatakan lebih jauh bahwa pengaturan
tata ruang laut belum menghasilkan dan mengimplementasikan good governance. Selain itu apabila mengutip asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengaturan tata ruang laut
Indonesia kurang mencerminkan asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan, dan asas keterbukaan[80].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Masih
terdapat permasalahan terkait legislasi di tingkat nasional maupun daerah dalam
penataan ruang yang diakibatkan oleh ketidakmampuan organ pembentuk hukum dan
peranannya yang kurang maksimal. Hal ini berakibat pada lambatnya pembangunan
daerah, sehingga kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan pembangunan tidak
terpenuhi
2. Tatanan
hukum di bidang urusan penataan ruang yang tidak terintegrasi dan saling
tumpang tindih menyebabkan adanya ketidaksinkronan pengaturan mengenai penataan
ruang laut. Pada akhirnya akan berdampak pada pengelolaan penataan dan
pemanfaatan ruang, sehingga potensi sumber daya hasil daerah kurang maksimal.
B.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan pembahasan di
atas sebagai berikut:
1.
Mengadakan
pelatihan penyusunan naskah akademik dan drafting peraturan perundang-undangan
di daerah
2.
Mengharmonisasikan
peraturan perundang-undangan di sektor nasional maupun antara tingkat nasional
dan daerah
3.
Melakukan
pengkajian dengan mendasarkan berbagai teknik atau metode penyusunan, serta
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
4.
Menjaring
aspirasi sebanyak-banyaknya dari semua lapisan masyarakat, agar peraturan
perundang-undangan yang dibuat dapat dilaksanakan, serta sesuai kebutuhan
masyarakat dan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Akzin, Benyamin 1964, Law, State, and International Legal Order
Essays in Honor of Kelsen, the University of Tennessee Press, Knoxvilee.
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014, Konsep
Mainstreaming Ocean Policu Ke Dalam Rencana Pembangunan Nasional, Kementrian
Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, 2015, Buku
Saku RPJM 2015-2019 Rangkuman Buku I dan Buku II terkait Tata Ruang dan
Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementrian Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jakarta.
Hadjon, Philipus M. et.al, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Harsono, Boedi 1999, Keterkaitan Hukum dalam
Penataan Wilayah, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Kelsen, Hans 1971, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara
(terjemahan), Nusa Media, Bandung.
Koeswahyono, Imam, 2000, Rencana Tata Ruang Kota
dan Wilayah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta.
Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat
Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.
Nurhadi,
2002, Rencana Tata Ruang Wilayah
Perkotaan, Penerbit Tarsito, Bandung.
Parlindungan,
A.P 1993, Rencana Tata Ruang Kota dan
Wilayah, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Samad, Sadli 2003, Hukum Rencana Tata Ruang
Wilayah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta.
Seidmann, Ann, dkk, 2002 (edisi kedua), Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan
Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan
Undang-Undang (terjemahan), Jakarta, ELIPS.
Silalahi,
Daud 2004, Hukum Lingkungan dalam Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung.
Solihin,
2004, Pengaturan Hukum Rencana Tata Ruang
Wilayah dan Interior Perkotaan, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta.
Sunarno, Siswanto 2008, Hukum Pemerintahan
Daerah di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta.
Tarmidzi,
2004, Rencana Tata Ruang Wilayah
Perkotaan dalam Aspek Hukum Tata Ruang, Penerbit Dian Ilmu Harapan,
Surabaya/
Wahid, M. Yunus 2014, Pengantar Hukum Tata
Ruang, Prenadamedia Group, Jakarta.
Artikel Jurnal, Laporan Penelitian, Bahan
Ajar:
Barong, Rahmat 2006, Upaya-upaya Pemerintah
dalam Penataan Ruang Perkotaan, Penerbit Tarsito, Bandung. Soejarto, D. 1992, “Wawasan Tata Ruang” Jurnal,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Bandung, Edisi Khusus Juli.
Direcorate for Public
Governance and Territorial Development, “Building an Institutional Frameworks
for Regulatory Impact Analysis (RIA): Guidance for Policy Makers”, Penelitian, Organisation for Economic
Co-Operation and Development, hlm. 14.
Direktorat Jenderal
Tata Ruang Kementrian Agraria dan Tata Ruang, “Status RTRW
Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia”, Laporan
Penelitian, 2016, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Jakarta.
Kedeputian
Bidang Pencegahan Direktorat Penelitian dan Pengembangan, 2014, LaporanHasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang
Laut dan Sumber Daya Alam Kelautan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta,
hlm. 57.
Mohammad Fajrul
Falaakh, “Materi Legislasi Konteks Makro”, Bahan
Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Internet:
Tribun Pekanbaru,
“Ketiadaan RTRW Provinsi Riau sudah Masuk level merusak pembangunan”, Artikel, http://pekanbaru.tribunnews.com/2016/11/10/ketiadaan-rtrw-provinsi-riau-sudah-masuk-level-merusak-rencana-pembangunan, diakses pada 13 Maret 2017.
Jimmi R P Tampubolon, “Tata Ruang Laut dan Lemahnya
Political Will”. http://maritimnews.com/tata-ruang-laut-dan-lemahnya-political-will/ , diakses pada 13 Maret 2017.
Ir.
Joessair Lubis, “Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Berbasis Masyarakat”, Keynote Speech, Seminar Nasional Diseminasi Informasi Penataan Ruang di gedung Teknik Sipil Universitas Sebelas
Maret (UNS), pada Kamis 1 November 2012, Dikutip dari https://uns.ac.id/id/uns-update/50-persen-daerah-di-indonesia-belum-miliki-perda-rtrw.html diakses pada tanggal 11 Maret 2017.
Dirjen
Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, “Target
Perda RTRW Tuntas Tahun Ini”, dikutip dari http://industri.bisnis.com/read/20120117/45/60313/tata-ruang-perda-rtrw-di-semua-daerah-ditargetkan-tuntas-tahun-ini diakses pada 11 Maret 2017.
Menteri
Pekerjaan Umum, “Kilas Balik 5 Tahun Implementasi RTRW Nasional sebagai Matra
Spasial Pembangunan Nasional”, Artikel,
di Ballroom Hotel Sultan,
Jakarta, pada Selasa 26 Maret 2013. Dikutip dari http://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/2203730/18-provinsi-belum-punya-rancangan-tata-ruang-wilayah diakses pada 11 Maret 2017.
Direktur
Penataan Ruang Wilayah IV Kementerian Pekerjaan Umum, “Sosialisasi UUPR dan Norma-Standar-Pedoman-Kriteria (NSPK) Penataan Ruang
bagi Peningkatan SDM Provinsi Maluku”, Artikel, dikutip dari http://www.pu.go.id/main/view_pdf/5363 diakses pada 11 Maret 2017.
United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization and Intergovernmental
Oceanographic Commisions, “Why Marine Spatial Planning Matters”, http://msp.ioc-unesco.org/, diakses tanggal 13 Maret 2017.
Jimmi R P Tampubolon, “Tata Ruang Laut dan Lemahnya
Political Will”. http://maritimnews.com/tata-ruang-laut-dan-lemahnya-political-will/ , diakses tanggal 13 Maret 2017.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5603).
Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi.
Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 – 2032 (Lembaran Daerah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 Nomor 1)
Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 11 Tahun 2016 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2021 (Lembaran Daerah Kabupaten
Bantul Tahun 2016 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Nomor
72).
[1] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234).
[3] Encyclopedia Britannica, “Welfare State”, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/639266/welfare-state, diakses 13 Maret 2017.
[4] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[5] Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementrian Agraria dan
Tata Ruang, “Status RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia”, Laporan Penelitian, 2016, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang, Jakarta, hlm. 21.
[6] Tribun Pekanbaru, “Ketiadaan RTRW Provinsi Riau sudah
Masuk level merusak pembangunan”, Artikel,
http://pekanbaru.tribunnews.com/2016/11/10/ketiadaan-rtrw-provinsi-riau-sudah-masuk-level-merusak-rencana-pembangunan, diakses pada 13 Maret 2017.
[7] Hans Kelsen, 1971, Teori
Umum Tentang Hukum dan Negara (terjemahan), Nusa Media, Bandung, hlm. 190.
[8] Mohammad Fajrul Falaakh, “Materi Legislasi Konteks
Makro”, Bahan Kuliah, Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada.
[9]
Jimmi R P Tampubolon, “Tata
Ruang Laut dan Lemahnya Political Will”. http://maritimnews.com/tata-ruang-laut-dan-lemahnya-political-will/ , diakses pada 13 Maret 2017.
[10] Daud Silalahi, 2004, Hukum
Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni,
Bandung, hlm. 97.
[12] Imam Koeswahyono, 2000, Rencana
Tata Ruang Kota dan Wilayah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm. 55.
[14] Sadli Samad, 2003, Hukum
Rencana Tata Ruang Wilayah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm. 42.
[15] Solihin, 2004, Pengaturan
Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah dan Interior Perkotaan, Penerbit Gramedia
Pustaka, Jakarta, hlm. 18.
[16] Rahmat Barong, 2006, Upaya-upaya
Pemerintah dalam Penataan Ruang Perkotaan, Penerbit Tarsito, Bandung, hlm.
278-279.
[17] D. Soejarto, 1992, “Wawasan Tata Ruang” Jurnal, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Bandung, Edisi Khusus
Juli, hlm. 3-8.
[18] Boedi Harsono, 1999, Keterkaitan
Hukum dalam Penataan Wilayah, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 261.
[19] A.P Parlindungan, 1993, Rencana
Tata Ruang Kota dan Wilayah, Penerbit Andi, Yogyakarta, hlm. 39.
[20] Philipus M. Hadjon et.al,
2008, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 79.
[22] Tarmidzi, 2004, Rencana
Tata Ruang Wilayah Perkotaan dalam Aspek Hukum Tata Ruang, Penerbit Dian
Ilmu Harapan, Surabaya, hlm. 72.
[23] Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[24] Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[25] Pasal 23 ayat (6) dan Pasal 26 ayat (7) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725).
[26] Siswanto Sunarno, 2008, Hukum
Pemerintahan Daerah di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 86.
[27] Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[28] Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
[29] Direktur Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Kementerian Pekerjaan Umum, “Pengendalian Pemanfaatan
Ruang Kota Berbasis Masyarakat”,
keynote speech, Seminar Nasional
Diseminasi Informasi Penataan Ruang Universitas Sebelas Maret (UNS), pada Kamis 1 November 2012, dikutip dari https://uns.ac.id/id/uns-update/50-persen-daerah-di-indonesia-belum-miliki-perda-rtrw.html diakses pada tanggal 11
Maret 2017.
[30] Dirjen Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, “Target Perda RTRW Tuntas
Tahun Ini”,
dari http://industri.bisnis.com/read/20120117/45/60313/tata-ruang-perda-rtrw-di-semua-daerah-ditargetkan-tuntas-tahun-ini diakses pada 11 Maret
2017.
[31] Menteri Pekerjaan Umum, “Kilas Balik 5 Tahun Implementasi RTRW
Nasional sebagai Matra Spasial Pembangunan Nasional”, di Ballroom Hotel Sultan,
Jakarta, pada Selasa 26 Maret 2013, dikutip dari http://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/2203730/18-provinsi-belum-punya-rancangan-tata-ruang-wilayah diakses pada 11 Maret
2017.
[32] http://www.beritasatu.com/nasional/394911-daerah-tidak-miliki-perda-rtrw-hambat-pembangunan-nasional.html
diakses
pada tanggal 11 Maret 2017.
[33] Direktur Penataan Ruang Wilayah IV Kementerian Pekerjaan Umum, “Sosialisasi UUPR dan
Norma-Standar-Pedoman-Kriteria (NSPK) Penataan Ruang bagi Peningkatan SDM
Provinsi Maluku”,
Ambon, pada 5 Mei 2012, Dikutip dari http://www.pu.go.id/main/view_pdf/5363 diakses pada 11 Maret
2017.
[36] Muchsan, 1992, Sistem
Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara,
Liberty, Yogyakarta, hlm. 36.
[37] Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementrian Agraria dan
Tata Ruang, “Status RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia”, Laporan Penelitian, 2016, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang, Jakarta, hlm. 21.
[39] Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).
[40] Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725).
[41] Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725).
[42] Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725)
[43] Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[44] Penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor
26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[45] Pasal 3
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029.
[46] Pasal 48 Peraturan Daerah Kabupaten
Bantul Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul.
[47] Pasal 48 ayat (5) huruf d dan e jo. Pasal 54 ayat (2) huruf c Peraturan
Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 – 2032.
[48] Lihat Peraturan Dalam Negeri Nomor 70 Tahun
2007 tentang Batas Daerah Kabupaten Bantul
dengan Kabupaten Kulonprogo Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
[49] Pasal 1 angka 21 jo. Angka
22 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4725).
[50] Pasal 47 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul
jo. Pasal
48 ayat (4) huruf c Peraturan Daerah Kabupaten
Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kulonprogo Tahun 2012 – 2032.
[51] Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[52] Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[53] Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 11
Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2021
(Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2016 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Bantul Nomor 72).
[54] Ann Seidmann dkk, 2002 (edisi kedua), Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam
Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan
Undang-Undang (terjemahan), Jakarta, ELIPS, hlm. 25-29.
[56] Benyamin Akzin, 1964, Law, State, and International Legal Order Essays in Honor of Kelsen,
The University of Tennessee Press, Knoxvilee, hlm. 3.
[58] Direcorate for Public Governance and
Territorial Development, “Building an Institutional Frameworks for Regulatory
Impact Analysis (RIA): Guidance for Policy Makers”, Penelitian, Organisation for Economic Co-Operation and Development,
hlm. 14.
[60] Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[61] Lampiran Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017.
[62] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[63] Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[64] Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[65] Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[66] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014, Konsep Mainstreaming Ocean Policu Ke Dalam
Rencana Pembangunan Nasional, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional,
Jakarta, hlm.
161.
[67] Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[68] Pasal 43 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603).
[69] Ika, “Indonesia Belum Memiliki Tata Ruang Laut” http://www.ugm.ac.id/id/berita/10766-indonesia.belum.memiliki.tata.ruang.laut diakses tanggal 13 Maret 2017.
[70] Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
[71] Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739).
[72] Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739).
[73] Direktoran Tata Ruang dan Pertanahan, 2015, Buku Saku RPJM 2015-2019 Rangkuman Buku I dan Buku II terkait Tata
Ruang dan Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementrian
Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, hlm 77.
[74] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
and Intergovernmental Oceanographic Commisions, “Why Marine Spatial Planning
Matters”, http://msp.ioc-unesco.org/, diakses tanggal 13 Maret
2017.
[75] Jimmi R P Tampubolon, “Tata Ruang Laut dan Lemahnya Political
Will”. http://maritimnews.com/tata-ruang-laut-dan-lemahnya-political-will/ , diakses tanggal 13 Maret 2017.
[76] Ibid.
[77] Kedeputian Bidang Pencegahan Direktorat Penelitian dan
Pengembangan, 2014, LaporanHasil Kajian
Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Alam Kelautan, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm. 57.
[78] Ibid, hlm. 58.
[80] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
saya mahasiswa dari IT TELKOM SURABAYA
BalasHapusArtikel yang menarik, bisa buat referensi ini .. terimakasih ya infonya :)