BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara yang menganut konsepsi negara kesejahteraan (welfare state), hal ini termaktub dalam
pembukaan UUD 1945 bahwa “[...] melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia [...]”. Titik berat konsepsi welfare
state ialah adanya pemerataan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat,
sehingga negara dituntut untuk berperan aktif dalam menciptakan kesejahteraan
tersebut. Bentuk keaktifan negara melalui pengaturan dan kebijakan dalam
melaksanakan urusan pemerintahan.
Kewenangan
Pemerintah dalam mengatur kehidupan masyarakat pada perjalanannya tidak hanya
mendasarkan pada bingkai hukum positif yang dibuat, namun juga
mengimplementasikan diskresi. Seringnya langkah pemerintah yang berdasarkan diskresi
justru akan mengarah pada penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) hingga pada akhirnya akan merugikan
masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Lord Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”,
kewenangan absolut yang dimiliki akan cenderung korupsi yang kemudian justru
menjauh dari tujuan pencapaian kesejahteraan.
Di sisi lain,
Indonesia sebagai negara hukum juga memiliki konsekuensi logis bahwa segala
pelaksanaan penyelenggaraan kekuasaan negara harus berdasarkan hukum atau
peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga pelaksanaan konsepsi negara
hukum di Indonesia ialah dalam rangka menjamin penyelenggaraan kekuasaan negara
sesuai hukum yang berlaku dan nilai fundamental negara dalam rangka mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut,
penyelenggaraan kekuasaan negara tak hanya dilakukan oleh pemerintah
(eksekutif) saja, melainkan terdapat pula lembaga legislatif dan yudikatif yang
berkedudukan setara dan saling mengimbangi. Oleh karenanya, pelaksanaan fungsi
masing-masing kekuasaan tersebut juga tidak terlepas dari pengawasan satu sama
lain. Konsep check and balances
tersebut berfungsi menutupi kelemahan dalam melakukan kontrol antara
cabang-cabang pemerintahan berdasarkan ajaran pemisahan kekuasaan.[1]
Berpijak pada hal tersebut, maka pengawasan terhadap aparat penyelenggara
negara merupakan keniscayaan. Pengawasan dilakukan agar penyelenggaraan
pemerintahan tetap berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan serta
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pengawasan atas
kinerja aparat penyelenggara negara di suatu lembaga kekuasaan tak hanya
diawasi oleh kekuasaan yang lain, di dalam manajemen tiap lembaga tersebut
telah memiliki sistem pengawasan yang kita kenal dengan pengawasan intern.
Yakni pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan secara organisatoris atau
struktural yang merupakan bagian dari lingkungan badan itu sendiri. Pengawasan
intern tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari manajemen
pengorganisasian suatu lembaga, sehingga lembaga negara yang bersangkutan turut
membangun pemerintahan yang demokratis serta mewujudkan supremasi hukum dan
keadilan.
Pasca reformasi,
perkembangan lembaga negara telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia,
diantaranya ialah lahirnya Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Mahkamah konstitusi
dalam sistem ketatanegaraan ialah untuk menjaga konstitusi agar dilaksanakan
sesuai kehendak rakyat dan cita-cita konstitusi. Menilik dari pentingnya
kedudukan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka pengawasan atas lembaga penafsir
dan penjaga konstitusi mutlak adanya. Terdapat pengawasan di dalam manajemen
kelembagaan Mahkamah Konstitusi, yaitu pengawasan oleh Dewan Etik Hakim
Konstitusi dalam tataran hakim konstitusi serta pengawasan oleh auditor dan
pengawasan melekat oleh atasan langsungnya.
Namun, upaya untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan kode etik hakim perlu
ditinjau dan diperbaiki. Hal ini dikarenakan adanya temuan beberapa hakim
konstitusi yang menyalahi Kode Etik Hakim Konstitusi, sehingga penyelenggaraan
penegakan hukum yang adil dan demokratis mulai diragukan masyarakat. Di sisi
lain, pengurusan administrasi dan manajemen kelembagaan Mahkamah Konstitusi
perlu dioptimalkan dengan adanya kontrol dari dalam, yaitu dengan adanya
pengawasan internal untuk menciptakan sistem yang sejalan dengan asas-asas
pemerintahan yang baik. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mendapatkan
penilaian BPK berupa Opini Wajar Tanpa Pengecualian secara terus menerus,[2] pengawasan internal di dalam Mahkamah
Konstitusi tetap harus dilaksanakan dan terus dioptimalkan pelaksanaannya.
Kedua bentuk pengawasan internal tersebut diharapkan menjadi garda terdepan
mencegah maladministrasi dan korupsi di internal kelembagaan Mahkamah
Konstitusi.
Terlihat
pengawasan intern memiliki peranan signifikan dalam penyelenggaraan penegakan
supremasi konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga penguatan sistem
pengawasan menjadi mutlak diperlukan. Berdasarkan uraian tersebut, perlu
dianalisis desain pengawasan intern dalam kelembagaan mahkamah konstitusi serta
bagaimana perbaikan agar tercipta sistem yang optimal. Dengan demikian, hal ini
akan melahirkan hakim konstitusi sumber daya manusia yang ada di kelembagaan
Mahkamah Konstitusi yang berintegritas.
B.
Rumusan
Masalah
Bagaimana sistem pengendalian Intern
dalam Mahkamah Konstitusi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengawasan Internal
1.
Sistem Pengawasan
Pengawasan
sejatinya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari kemungkinan penyelewengan atau
penyimpangan atas tujuan yang akan tercapai. Adanya pengawasan diharapkan dapat
membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan
yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Sistem pengawasan (control system) menurut George R Terry
ialah menetapkan atau menitikberatan pada tindakan evaluasi dan koreksi
terhadap hasil yang telah dicapai dengan maksud agar hasil tersebut sesuai
dengan rencana.[3]
Henry Fayol menyebutkan bahwa pengawasan pada hakekatnya suatu tindakan menilai
atau menguji apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan.[4]
Berdasar kedua pendapat tersebut, pengawasan memiliki standar yang telah
ditentukan, sehingga dapat diketahui pelaksanaan telah sesuai standar atau
tidak dan memiliki konsekuensi atas penilaian tersebut.
Selain itu, Harold Koonz yang
dikutip dalam bukunya John Salinderho berpendapat bahwa, “pengawasan merupakan pengukuran
dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin bahwa apa yang
terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi pengawasan itu mengukur pelaksanaan
dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatakan dimana ada
penyimpanangan yang negatif dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya
rencana-rencana.”[5]
Lebih lanjut,
Newman berpendapat bahwa, “Control is
assurance that the performance conform to plan”.[6]
Dengan demikian, pengawasan menurut Newman merupakan suatu tindakan yang
dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bukan setelah akhir
dari proses tersebut.[7] Ir. Suyamto memberikan rumusan pengertian pengawasan
sebagai segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang
sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang
semestinya atau tidak.[8] Berdasar definisi tersebut,
Muchsan menganalisa bahwa wujud pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu
pelaksanaan tugas secara de facto.[9]
Pengawasan dapat
ditinjau dari berbagai segi, baik segi manajemen maupun hukum administrasi.[10]
Dilihat dari segi manajemen, pengawasan diperlukan untuk menjamin agar suatu
kegiatan organisasi berjalan sesuai dengan rencana (planning) sehingga tujuan organisasi tersebut tercapai.[11]
Dari segi hukum administrasi, pengawasan diperlukan untuk menjamin agar
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan berjalan sesuai dengan norma hukum
atau ketentuan peraturan perundang-undangan dan perlindungan hukum bagi rakyat
atas sikap-tindak badan atau pejabat tata usaha negara dapat diupayakan.[12]
Dengan demikian, pengawasan akan memperkecil kemungkinan adanya hambatan dan
penyimpangan sehingga segera melakukan perbaikan untuk tetap sejalan dengan
standar pelaksanaan pemerintahan.
Bentuk pengawasan dapat dikelompokkan
ke berbagai segi, yaitu:[13]
a. Pengawasan
dari segi kedudukan badan atau organ yang melakukan pengawasan, dibedakan
menjadi pengawasan internal dan eksternal;
b. Pengawasan
dari segi waktu atau saat dilaksanakan pengawasan dibedakan menjadi pengawasan
bersifat preventif (a priori) dan
pengawasan represif (a posteriori);
dan
c. Pengawasan
dari segi sifat dibedakan menjadi pengawasan bersifat rechmatigheid dan pengawasan bersifat doelmatigheid.
Dalam konteks Indonesia, konsep pengawasan mulai muncul
dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983. Namun, Inpres tersebut
tidak menjelaskan secara tegas pengertian pengawasan. Adapun ruang lingkup
pengawasan dalam Inpres hanya meliputi dua hal, yaitu pengawasan atasan
langsung dan pengawasan fungsional. Sedangkan definisi pengawasan intern dalam
hukum positif saat ini ialah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi,
pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi
organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah
dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur
yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan
dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.[14] Pengawasan intern
dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah,[15] yang terdiri atas: (a)
BPKP; (b) Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional
melaksanakan pengawasan intern; (c) inspektorat provinsi; dan (d) inspektorat
kabupaten/kota.[16]
Adapun
pengaturan mengenai pengawasan terhadap aparat pemerintah saat ini tak hanya
tersurat dalam satu perundang-undangan saja, melainkan tersebar ke berbagai
peraturan perundang-undangan. Hal ini terlihat dari ketentuan berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu kelembagaan negara, akan
memiliki sistem pengawasan yang melekat pada fungsi pimpinan organ kelembagaan
itu sendiri. Lebih lanjut, munculnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh
suatu badan yang khusus dibentuk sendiri oleh kelembagaan yang bersangkutan
mendorong perbaikan dan mengoptimalkan pengawasan yang dilakukan oleh atasan.
Di sisi lain, konsep check and balances
yang diimplementasikan dalam hubungan antar cabang kekuasaan memberikan
konsekuensi adanya pengawasan dari luar. Meskipun hal ini tidak akan ditinjau
lebih lanjut, dan hanya akan fokus pada pengawasan intern kelembagaan.
2.
Pengawasan Internal
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga setiap
pelaksanaan pemerintahan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Konsep negara hukum Eropa Kontinental (rechstaat) dipelopori oleh salah satunya Frederich Julius Stahl.
Menurut Stahl konsep ini terdapat empat unsur pokok, yaitu: (1) pengakuan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia; (2) negara didasarkan pada teori trias politika; (3) pemerintah
diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wesmatig
bestuur); dan (4) adanya peradilan administrasi negara yang bertugas
menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechmatige overheidsdaad).[17]
Begitu pula prinsip-prinsip rechstaat
menurut Williem Konijnenbelt yang dikutip oleh Ridwan HR adalah:[18]
a.
Pemerintah berdasar undang-undang, yang berarti pemerintah hanya
memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh UUD atau UU lainnya;
b.
Terdapat hak asasi manusia yang sangat fundamental yang harus
dihormati oleh pemerintah;
c.
Pembagian kekuasaan, yang berarti kewenangan pemerintah tidak boleh
dipusatkan pada satu lembaga, melainkan harus dibagi-bagi pada organ-organ yang
berbeda agar saling mengawasi yang dimaksudkan menjaga keseimbangan; dan
d.
Pengawasan lembaga kehakiman, yangmana pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka.
Karenanya, dapat dipahami bahwa
ciri-ciri negara hukum (rechstaat)
adalah: a. Adanya konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan
antara penguasa dan rakyat; b. Adanya pembagian kekuasaan; dan c. Diakui dan
dilindungi hak-hak kebebasan rakyat.[19]
Berbicara
mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara di Indonesia, harus lebih dulu memahami mengenai kekuasaan dan wewenang. Soerjono
Soekanto membedakan definisi antara kekuasaan dan wewenang. Soekanto
berpendapat bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain disebut
sebagai kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang
atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari
masyarakat.[20]
H.D. Stout sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR, memberikan pengertian mengenai
wewenang sebagai berikut:[21]
Bevoegheid is een begrip uit het bestuutrlijke organisatierch,
watkan worden omschereven als het geheel van regels dat betrekking heft op de
verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdhehden door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurstechtelijke rechveerkeer. (Bahwa
wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan,
yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam
hubungan hukum publik).
Hal ini sejalan dengan Max Weber
yang menyatakan bahwa wewenang adalah suatu hak yang telah ditetapkan dalam
suatu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijakan-kebijakan, menentukan
keputusan-keputusan mengenai persoalan-persoalan yang penting dan untuk
menyelesaikan pertentangan-pertentangan.[22]
Terminologi kewenangan selalu berkaitan dengan kekuasaan dan keduanya tidak
dapat dipisahkan. P. Nicholai yang mengatakan bahwa kewenangan yaitu:[23]
Het Vermogen
tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingan die op rech
rechtsgevolog gericht zijn en dus ertoe strekken dat bepaalde rechtsgevolgen
onstaan of tenieet gaan).Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om
een bepaalde feiteelijke handeling te verichten of na te laten, of de (rechtens
gegeven) aanspraakop het verrichten van een handeling door een ander. Een
plicht impliceert een verpelichting om een bepaalde handeling te verichten of n
ate laten. (Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, (yaitu
tindakan-tindakan yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup
mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat
keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).
Pada saat yang sama, kewenangan juga
sering dikaitkan dengan tugas, fungsi, dan wewenang, sehingga istilah-istilah
tersebut terkadang sulit untuk dibedakan karena dipakai secara interchangeable (saling dipertukarkan).
Karenanya Harjono mengemukakan bahwa fungsi mempunyai makna yang lebih luas
daripada tugas. Haryono sebagaimana dikutip oleh Firmasyah, berpendapat bahwa
tugas lebih tepat digunakan untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan
agar fungsi terlaksana, sedangkan fungsi memerlukan banyak aktivitas agar
fungsi dapat terlaksana. Gabungan dari tugas-tugas adalah operasionalisasi dari
sebuah fungsi yang sifatnya ke dalam, sedangkan tugas juga memiliki aspek
keluar atau yang disebut sebagai wewenang.[24]
Memahami
kekuasaan dan kewenangan sebagaimana telah dijelaskan di atas dikaitkan dengan
konsep negara hukum, maka diperlukan adanya legitimasi agar kewenangan dan
pelaksanaannya sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
saat yang sama, perlu adanya sebuah pengawasan atas pelaksanaan suatu
kewenangan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.[25]
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukaan oleh Viktor M Situmorang.
Situmorang berpenapat bahwa pelaksanaan rencana dan program dalam suatu
organisasi tanpa adanya suatu pengawasan, maka dimungkinkan tidak tercapainya
tujuan dan cita-cita yang telah ditentukan, termasuk pengelolaan negara sebagai
suatu organisasi yang besar.[26]
Situmorang kemudian memberikan
pengertian tentang pengawasan, yakni setiap usaha dan tindakan dalam rangka
untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut
ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai.[27]
Memahami definisi pengawasan, Sarwoto dalam hal ini berpendapat, “Kegiatan manajer
agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan
atau hasil yang dikehendaki”.[28]
Sejalan dengan pengertian pengawasan juga dikemukakan oleh Prayudi, yakni,
“Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan,
dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,
direncanakan dan diperhatikan”.[29]
Karenanya, dapat dipahami bahwa
pengawasan dapat dijadikan sebagai salah satu alat ukur suatu instansi dapat
berjalan dengan baik atau tidak dalam pencapaian tujuannya, dengan melihat
penyelenggaraan tugas dan fungsi suatu instansi secara efisien dan efektif atau
tidak. Selain itu, harus dipahami apa output
dari pegawasan itu sendiri. Sujanto memaparkan arti penting produk dari pengawasan,
yaitu: “produk langsung dari pengawasan hanyalah berupa data dan informasi maka
hasil akhir atau manfaat dari pengawasan itu hanya akan dapat terlihat atau
dirasakan apabila data dan informasi itu telah dimanfaatkan oleh manajer
sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang nyata. Tindakan-tindakan tersebut
umumnya dikenal dengan tindakan korektif atau corrective action.[30]
Berdasarkan uraian tersebut, dapat
dipahami bahwa perlu adanya tindak lanjut atas hasil daripada tindakan
pengawasan itu sendiri, guna memperbaiki kesalahan yang telah terjadi maupun
mencegah kesalahan yang sama ke depan. Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan
mengenai pengelompokan pengawasan, salah satunya ialah berdasarkan subjeknya,
pengawasan terbagi dalam dua hal, yakni pengawasan internal dan pengawasan
eksternal.[31]
Robert Cramling dalam Silverman memberikan pemahaman pengawasan internal dalam
suatu organisasi yakni:[32]
Internal control
can be simply defined as the methods by which an organization governs its
activities to effectively and efficiently accomplish its mission. More
specifically, internal control is concerned with stewardship to accomplish an
entity's mission with effective results [...] internal control should be
recognized as an integral part of each system that management uses to regulate
and guide its operations.
Sejalan dengan definisi tersebut,
Moeller memberikan pengertian pengawasan internal bahwa, “Internal control comprises the plan of enterprise and all of the
coordinate methods adopted within a business to safeguard its assets, check the
accuracy and reliability of its accounting data, promote operational
efficiency, and encourage adherence to prescribed managerial policies.[33] Singkatnya,
dapat dipahami bahwa pengawasan internal adalah pengawasan oleh subjek
pengawasan yang berada di dalam susunan organisasi objek yang diawasi.[34]
Pendapat ahli mengenai tujuan
pengawasan internal bebeda-beda. Setidaknya, dapat dilihat pengendalian
internal berdasarkan tujuannya dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan tujuannya
yaitu:[35]
(a) Pengendalian preventif, merupakan pengendalian yang dimaksudkan untuk
mencegah masalah sebelum masalah tersebut benar-benar terjadi; (b) Pengendalian
detektif, merupakan pengendalian yang dimaksudkan untuk menemukan masalah dan
masalah tersebut telah terjadi; (c) Pengendalian korektif, merupakan
pengendalian yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah yang ditemukan oleh
pengendalian detektif. Sedangkan pengendalian internal akan memberikan manfaat
bagi instansi yang bersangkutan, diantaranya: efektivitas dan efisiensi
kegiatan; meningkatkan ketelitian dan kebenaran informasi; dan mendorong agar
manajemen dalam instansi patuh terhadap hukum dan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.[36]
Hal ini dapat dikaitkan pada pemahaman mengenai produk pengawasan, bahwa
kebenaran informasi sebagai output atas
hasil pengawasan diperlukan untuk tindakan-tindakan korektif.
Pengawasan internal sebagai salah
satu organ atau alat perlengkapan dari sistem pengendalian internal yang
berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi
suatu instansi. Pengawasan internal tidak lain untuk kepentingan instansi itu
sendiri, mengingat keberhasilan pengawasan internal sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan suatu instansi.[37]
Pengawasan internal pada intinya terdiri dari keseluruhan penilaian atas suatu
instansi mengenai hal-hal: melindungi instansi dari pemborosan, penggelapan,
dan inefisiensi sumber daya; menjamin akurasi dan realibilitas dalam
perhitungan dan pengoperasian data; pengamanan agar sesuai kebijakan; dan
mengevaluasi kinerja semua unit.[38]
Lebih lanjut, Darise melanjutkan bahwa perwujudan pengawasan internal yang
efektif sekurang-kurangnya:[39]
a.
Memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan,
efisiensi, efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi
b.
Memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen
risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
c.
Memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan
tugas dan fungsi
Dari hal-hal tersebut, dapat
dipahami bahwa pengawasan internal berperan penting dalam penegakan
profesionalitas, integritas, dan nilai etik bagi seseorang di dalam suatu
instansi. Pengawasan internal sebagai suatu proses yang dirancang untuk
memastikan kegiatan instansi dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien,
serta ketaatan pada peraturan yang berlaku.
Pelaksanaan atas pengawasan internal
itu sendiri tentu tidak dapat berjalan tanpa adanya unsur-unsur pengawasan
internal. Harahap menyebutkan unsur-unsur pengawasan internal meliputi:[40]
a.
Lingkungan pengendalian masnusia (secara person) dan lingkungan kerjanya
b.
Penilaian risiko setiap kegiatan
c.
Kegiatan pengendalian untuk menghindari risiko
d.
Informasi dan komunikasi dengan mengidentifikasi tujuan, risiko,
dan kegiatan pengendalian untuk pelaksanaan manajemen dan mengontrol setiap
kegiatan
e.
Pengawasan pengendalian
Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa
pengawasan internal melingkupi kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber
daya manusia, standar audit, pelaporan dan telaahan sejawat, termasuk kode
etik. Memahami dari berbagai pengertian para ahli di atas, dapat dipahami bahwa
adanya sistem pengawasan internal diharapkan agar penyelenggaraan tugas dan
fungsi suatu instansi dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Sistem pengawasan di berbagai
instansi saat ini tidak terlepas dari upaya penyempurnaan ketatanegaraan di
Indonesia, yang mana tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia sendiri.
Reformasi telah memberikan dampak yang signifikan bagi ketatanegaraan
Indonesia, termasuk memperbaiki sistem pengawasan untuk mencegah dan
menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di masa lampau. Salah
satunya mengenai penyempurnaan sistem pengawasan internal yang ada pada
berbagai instansi, temasuk aparat penegak hukum. Kurangnya moralitas dan
integritas aparat penegak hukum menjadi penyebab utama lemahnya penegakan hukum
di Indonesia, tidak terkecuali hakim.[41]
Sebagai contoh, Badan Pengawas Mahkamah Agung sebagai lembaga pengawas internal
di Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang belum bekerja
dengan baik, memicu tumbuh dan berkembangnya tindakan abuse of power yang menyebabkan judicial
corruption (mafia peradilan) sulit diberantas.[42]
Independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan pun tidak boleh diartikan
secara absolut, sebagaimana salah satu rumusan penting International Commission of Jurist yang menyatakan bahwa, “Independence does not mean that the judge is
entitled to act in an arbitrary manner”.[43] Dengan
demikian, perlu adanya pengawasan di dalam Mahkamah Konstitusi sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman.
Namun,
pengawasan internal bukan berarti tanpa kelemahan, sekalipun merupakan sebuah
bentuk upaya penyelenggaran suatu instansi secara efisien dan efektif.
Pengendalian intern masih belum mampu untuk menciptakan penyelenggaraan
kekuasaan negara berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tidak
ada satupun pengendalian intern yang dapat dikatakan ideal, mengingat terdapat
berbagai keterbatasan yang memungkinkan pengendalian intern tersebut tidak
terlaksana sebagaimana mestinya. Hal ini yang kemudian memunculkan adanya
pengawasan ekstern dan pengawasan bentuk lainnya.
B.
Urgensi Pengawasan Internal Mahkamah Konstitusi
1.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Sistem ketatanegaraa
Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang sangat penting dan mendasar.
Perubahan tersebut dilatarbelakangi oleh kehendak untuk membangun pemerintahan
yang demokratis dengan check and balances
diantara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan,
serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.[44]
Salah satu lembaga negara baru dalam proses perubahan tersebut ialah Mahkamah
Konstitusi, yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman disamping
Mahkamah Agung.
Laica Marzuki
mengemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam
makna perkaitan struktur unity
jurisdiction, serperti halnya dalam sistem hukum Anglo Saxon.[45]
Akan tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agug secara duality of jurisdiction, keduanya
berkedudukan setara dan merupakan penyelenggara tertinggi dari kekuasaan
kehakiman.[46]
Jimly Asshiddiqie
menjelaskan, bahwa meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat
digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan
keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah
Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan
umum yang lebih luas.[47]
Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut
persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut
kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap
norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang
atau kasus demi kasus ketidakadilan secara individual dan konkrit.[48] Perkara
konkrit dan individuil sehauh ini hanya yang berkenaan dengan perkara impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden.[49]
Oleh karena itu, pada pokoknya, seperti yang biasa saya sebut untuk tujuan
memudahkan pembedaan, Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah
Konstitusi adalah 'court of law'.
Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan,
sedangkan yang kedua
mengadili sistem hukum
dan sistem keadilan itu sendiri.[50]
Pembentukan Mahkamah
Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari sisi
hukum.[51]
Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan
guna mengimbangi kekuasaan pembentukan undang-undang yang tidak dimiliki oleh
DPR dan Presiden.[52]
Dengan demikian, undang-undang tidak menjadi legitimasi DPR dan Presiden yang
dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Selain itu, perubahan sistem
ketatanegaraan yang tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi,
tetapi sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya. hal itu memungkinkan
terjadinya sengketa antar lembaga negara, sehingga diperlukan sebuah forum
hukum untuk menyelesaikannya.[53]
Dari sisi hukum, keberadaan
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR
menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan
prinsip negara hukum.[54]
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Negara kesatuan tidak hanya dimaknai
sebagai kesatuan wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Akan tetapi,
negara kesatuan menghendaki adanya satu sistem hukum nasional. Dimana kesatuan sistem
hukum tersebut ditentukan oleh adanya kesatuan dasar pembentukan dan pemberlakuan
hukum, yaitu UUD 1945.[55]
Sebagai organ
kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi
bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung
independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga
mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain.
Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan
mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan
serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul Ketua
Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara
administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden[56].
Dalam konsteks
ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan untuk menjalankan dua
fungsi: pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan
konstitusional di tengah kehidupan masyarakat.[57]
Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi
dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan
bertanggung jawab.[58]
Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi
berperan sebagai penafsir agar spirit kosntitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat[59].
Pada hakikatnya,
fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan
dengan konsisten (the guardian of
constitution) dan menafsirkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (the interpreter of constitutions).
Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki
arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini
karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat
diukur dalam konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan umum
tentang Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945.[60]
Wewenang Mahkamah
Konstitusi diatur dalam pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni: (1) menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; dan
(4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah
Konstitui juga memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
Dalam melakukan
fungsi peradilan keempat bidang kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi
melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar, sebagai satu-satunya lembaga
yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, di samping berfungsi sebagai pengawal Undang-Undang Dasar, Mahkamah
Konstitusi juga biasa disebut sebagai the
Sole Interpreter of the Constitution.[61]
Bahkan dalam rangka kewenangannya untuk memutus perselisihan hasil pemilu,
Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi
dengan cara menyediakan sarana dan jalan hukum untuk menyelesaikan perbedaan
pendapat di antara penyelenggaraan pemilu dengan peserta pemilu yang dapat
memicu terjadinya konflik politik dan bahkan konflik dan sosial di tengah
masyarakat.[62]
Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, potensi konflik semacam itu dapat diredam
dan bahkan diselesaikan melalui cara-cara yang beradab di meja merah Mahkamah
Konstitusi. Oleh, karena itu, Mahkamah Konstitusi itu di samping berfungsi
sebagai (i) pengawal konstitusi; (ii) penafsir konstitusi; juga adalah (iii)
pengawal demokrasi (the guardian and the
sole interpreter of the constitution, as well as the guardian of the process of
democratization). Bahkan, Mahkamah Konstitusi juga merupakan (iv) pelindung
hak asasi manusia (the protector of human
rights).[63]
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, dimana
salah satu unsur utama dari konsep negara hukum ialah adanya kekuasaan
kehakiman yang imparsial dan bebas dari kekuasaan lain.[64]
Dalam rangka menjamin independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman,
pelaksana kekuasaan kehakiman harus mewujudkannya dalam sikap para hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara yagn dihadapinya. Guna mewujudkan jaminan hakim
yang berintegritas, berkepribadian yang tidak tercela dan adil, diperlukan
ketentuan norma hukum yang mengatur dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
lembaga yudisial tersebut. Ketentuan norma tersebut telah tercakup dalam kode
etik hakim konstitusi yang pada pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan dalam
rangka menjaga kehormatan dan martabat hakim konstitusi.
2.
Pentingnya Pengawasan Internal Mahkamah
Konstitusi
Kedudukan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara di bidang peradilan khususnya memiliki tugas
untuk mengawal konsititusi (the guardian
of constitution), memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka
penegakan hukum di Negara Indonesia. Sehingga penyelenggaraan tugas dan
fungsinya cukup menyita perhatian masyarakat, baik dari segi manajemen
administrasi maupun pelaksanaan tugas Hakim Konstitusi. Hal ini mendorong
adanya perbaikan dan penguatan integritas sumber daya manusia dan manajemen di
kelembagaan Mahkamah Konstitusi melalui pengawasan dari dalam (intern).
Pengawasan merupakan
salah satu fungsi manajemen. Diadakannya pengawasan adalah karena adanya
kebutuhan akan manajemen informasi tentang penyelenggaraan seluruh bagian dari
sistem menajemen yang di pimpin.[65]
Informasi tersebut sangat diperlukan dalam rangka pengambilan tindakan
preventif maupun tindakan represif terhadap kesahalan dan penyimpangan dalam
penyelenggaraan manajemen serta untuk penentuan kebijakan-kebijakan lain dalam
pengembangan organisasi.[66]
Oleh karena produk
langsung dari pengawasan hanya berupa data atau informasi, maka hasil akhir
atau manfaat dari pengawasan itu hanya akan terlihat atau dirasakan apabila
data dan informasi itu telah dimanfaatkan oleh pimpinan sehingga melahirkan
tindakan-tindakan yang nyata.[67]
Tindakan-tindakan tersebut umumnya dikenal sebagai tindakan korektif atau corrective action serta ada juga yang menamakannya
sebagai tindakan turun tangan.[68]
Istillah “tindakan korektif” sebenarnya hanya tepat apabila dilakukan terhadap
temuan yang berupa kesalahan atau penyimpangan yang memang harus dibetulkan
atau dikoreksi.[69]
Guna
mengoptimalkan tugas dan fungsinya, Mahkamah Konstitusi harus didukung dengan
struktur kelembagaan yang dapat berperan secara optimal dalam membantu
penyelenggaraan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi. Untuk
itu, organisasi Mahkamah Konsititusi harus disusun berdasarkan kebutuhan
objektif lembaga, sesuai perwujudan penyelengaraan tugas konstitusi Mahkamah
Konstitusi serta prinsi-prinsip kemandirian, keefektifan dan efisiensi.[70]
Jika tidak ada pengoptimalan dan perbaikan sistem pendukung pengawasan dari
dalam, akan timbul berbagai penyimpangan.
Dua kasus hukum
yang menjerat Hakim Konsititusi yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, menjadi
gambaran mengenai bagaimana pola pengawasan dalam penegakan kode etik Hakim
Konsititusi. Masih ada kekurangan dalam struktur intern kelembagaan Mahkamah
Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan
kode etik hakim konstitusi. Pengawasan merupakan unsur penting dan menentukan
dalam organisasi untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kelembagaan
sesuai dengan visi dan misinya. Pengawasan juga diperlukan untuk menjaga
integritas dan mempertahankan performa kelembagaan yang baik. Mekanisme
pengawasan harus dilakukan secara terpadu, yaitu dengan pendekatan kelembagaan
(institutional approach) dan
pendekatan sistem (system approach).[71]
Pengawasan
internal sangat penting keberadaanya dalam suatu sistem kelembagaan, dalam hal
ini Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya,
perlu dilakukan pengkajian mendalam tentang pengawasan internal tersebut dengan
partisipasi dari seluruh subsistem dalam lembaga Mahkamah Konsititusi.
Penekanan terhadap pengawasan yang terpadu harus didukung dengan sumber daya
manusia yang profesional berintegritas dan berbasis kompetensi. Selain itu,
tersedianya sarana dan prasana yang modern untuk menunjang sistem pengawasan
internal yang efektif dan efisien.
Tak dapat
dipungkiri bahwa pengawasan internal belum cukup untuk mewjudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga perlu juga didukung oleh pengawasan
eksternal untuk menerima masukan dari luar lembaga. Namun, pengawasan internal
merupakan salah satu bentuk konsistensi suatu kelembagaan untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan berdasrkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik. Dalam rangka berjalannya fungsi pengawasan internal, perlu didukung
oleh beberapa faktor, seperti: tersedianya SDM yang berkompetensi dalam bidang
didalam lembaga atau organisasi, tersedianya sarana dan prasarana pendukung
yang memadai aktivitas organisasi, mekanisme pengawasan yang memadai dan
terpadu.
Mahkamah
Konstitusi merupakan lembaga negara yang mandiri. Mandiri dalam arti Mahkamah
Konstitusi memiliki otonomi dalam menentukan dan menyelenggarakan fungsi
Mahkamah Konstitusi tanpa ada pengaruh dari organ-organ eksternal. Mahkamah
Konstitusi memiliki kebebasan untuk mencari, menemukan, dan mentransformasikan
hal-hal yang relevan bagi darinya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Kemandirian dalam menentukan organisasi tersebut diperlukan
karena secara objektif Mahkamah Konstitusi yang mengetahui kebutuhannya
sendiri, dan organisasi yang disusun menjadi lebih applicable karena berangkat dari kebutuhan objektif Mahkamah
Konstitusi. Selain itu, untuk memberikan keleluasaan kepada Mahkamah Konstitusi
dalam mengembangkan stuktur yang lebih baik, sesuai dengan dinamika dan
perkembangan organisasi.[72]
C.
Pengawasan Internal Mahkamah Konstitusi
Pada dasarnya, kode
etik profesi merupakan seperangkat kaidah perilaku yang disusun secara tertulis
dan sistematis sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengembankan suatu
profesi bagi suatu masyarakat dan juga peningkatan kualitas penegakan hukum. Sebagai
sebuah pedoman, kode etik memiliki beberapa tujuan pokok, antara lain:
memberikan penjelasan standar-standar etika, memberikan batasan kebolehan
dan/atau larangan bagi anggota profesi, memberikan himbauan moralitas, dan
sebagai sarana kontrol sosial.
Bagi Hakim
Konstitusi, kode etik yang berlaku disebut dengan Sapta Karsa Hutama. Kode etik
ini dideklarasikan pada tanggal 17 Oktober 2005. Pemberlakuan kode etik ini
diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 tentang
Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang juga
mencabut Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan
Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi dan kemudian disempurnakan oleh Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Sapta Karsa Hutama merujuk pada prinsip-prinsip yang
telah diterima secara universal maupun sistem hukum dan peradilan serta etika
kehidupan berbangsa yang hidup dalam masyarakat Indonesia meliputi: prinsip
independensi, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kepantasan
dan kesopanan, prinsip kesetaraan, prinsip kecakapan dan keseksamaan serta
prinsip kearifan dan kebijaksanaan.
Dalam rangka menegakkan kode etik dan pedoman perilaku
Hakim Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki mekanisme pengawasan
internal yang dilakukan oleh Majelis Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Adapun mekanisme pengawasan oleh kedua lembaga
tersebut akan dijelaskan secara terpisah pada bagian di bawah ini.
1.
Dewan Etik Hakim Konstitusi
Dewan Etik Hakim Konsitusi atau disebut juga Dewan Etik
adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi, serta
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama) terkait dengan laporan dan/atau informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang
disampaikan oleh masyarakat.[73]
Kedudukan Dewan Etik bersifat tetap,[74] dalam
arti Dewan Etik akan terus mengawasi dan memastikan bahwa seluruh hakim
konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berjalan sesuai dengan
aturan hukum yang datur dalam peraturan
perundang-undangan dan aturan etika sebagaimana termuat dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku.
Sedangkan dalam hal terjadi pelanggaran berat atas dasar laporan
masyarakat dan/atau informasi yang disampaikan atau diterima Dewan Etik,
kemudian Dewan Etik dapat mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi.[75]
Pada dasarnya pembentukan Dewan Etik
dilatarbelakangi oleh peristiwa yang menimpa MK akibat Operasi Tangkap Tangan
(OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap M. Akil
Mochtar (Ketua MK) pada Oktober 2013 dalam kasus suap penanganan beberapa
Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Peristiwa
tersebut tentu mencoreng kredibilitas Mahkamah Konstitusi, sehingga dalam rangka menyelamatkan Mahkamah
Konstitusi, Presiden menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2013 yang kemudian menjadi UU
No. 4 tahun 2014, namun yang dilakukan Presiden dengan mengeluarkan
Perppu tersebut justru dianggap mengintervensi Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1-2/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi
menyatakan UU Penetapan Perppu MK
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian memberlakukan kembali UU
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
UU No.
8 Tahun 2011.[76]
Keanggotaan Dewan Etik
terdiri dari 3 (tiga) orang anggota yang diusulkan oleh sebuah Panitia Seleksi dan
berasal dari unsur-unsur: 1 (satu)
orang mantan Hakim Konstitusi; 1 (satu) orang akademisi; dan 1 (satu) orang unsur
Masyarakat.[77]
Adapun anggotanya terdiri dari 3 orang (tiga) orang yang
terdiri atas unsur: 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi, 1 (satu) orang Guru
Besar dalam bidang hukum , dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat.[78] Susunan
Dewan Etik terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota dan dua orang Anggota,
untuk Ketua dipilih dari dan oleh Anggota Dewan Etik,[79] sedangkan masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan tidak
dapat diangkat kembali.[80]
1. Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penelaahan laporan dan
informasi tentang dugaan pelanggaran
yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi;
2. Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap
tahun kepada Mahkamah Konstitusi.
a.
melakukan perbuatan tercela;
b. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya
sebanyak 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c.
melanggar sumpah atau janji
jabatan;
d. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan
dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B UUD NRI 1945;
e. melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi;
f. melanggar larangan sebagai hakim, yaitu:
1.
merangkap jabatan sebagai
pejabat Negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri;
2.
menerima suatu pemberian
atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung, maupun tidak langsung;
3.
mengeluarkan pendapat atau
pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang ditanganinya mendahului putusan;
g.
tidak melaksanakan kewajiban
sebagai Hakim untuk:
1.
menjalankan hukum acara
sebagaimana mestinya;
2.
memperlakukan para pihak
yang berperkara dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan
3. menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Terhadap tugas yang dimiliki sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, Dewan Etik
memiliki kewenangan, diantaranya:[83]
a. memberikan pendapat secara tertulis atas pertanyaan Hakim Konstitusi
mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 21
ayat (2) PMK 2/2014;
b.
memanggil
dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga untuk memberikan
penjelasan dan pembelaan, termasuk untuk dimintai dokumen
atau alat bukti lain;
c.
memanggil
dan meminta keterangan pelapor, saksi dan/atau pihak lain
yang terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga;
d.
menjatuhkan
sanksi berupa teguran lisan kepada Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud
Pasal 21 ayat (2) PMK 2/2014;
e.
mengusulkan
pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan
mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
yang telah melakukan pelanggaran berat atau telah mendapat teguran
lisan sebanyak 3 (tiga) kali;
f.
mengusulkan
pembebastugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang
telah melakukan pelanggaran berat atau telah mendapat teguran lisan
sebanyak 3 (tiga) kali.
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Dewan Etik telah memeriksa perkara terkait dugaan pelanggaran Kode Etik baik yang berasal dari laporan
masyarakat maupun berdasarkan informasi dari media.[84] Terhadap laporan dari masyarakat yaitu laporan yang diajukan oleh perseorangan, kelompok orang,
lembaga atau organisasi mengenai dugaan pelanggaran Kode
Etik yang dilakukan oleh Hakim Terlapor, baik terkait dengan proses
penanganan perkara konstitusi maupun di luar penanganan perkara
konstitusi. Sedangkan berdasarkan informasi adalah informasi mengenai dugaan
pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Hakim Terduga berdasarkan
pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik dan dari
masyarakat.
Rapat Dewan Etik untuk melakukan pemeriksaan terhadap Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga dilakukan secara tertutup, sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 12 Peraturan Dewan Etik No. 1 Tahun 2014 yang menyatakan:[85]
(1)
Pemeriksaan oleh Dewan Etik
dilakukan dalam suatu Rapat Pemeriksaan Dewan Etik yang bersifat
tertutup yang dipimpin oleh Ketua Dewan Etik dan dihadiri oleh seluruh
Anggota Dewan Etik.
(2)
Dalam Rapat Pemeriksaan,
Pelapor menjelaskan isi laporannya ataupun mengajukan alat bukti, baik
berupa surat atau dokumen tertulis lainnya, Saksi, Ahli, dan alat-alat
bukti lainnya.
(3)
Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan penjelasan,
klarifikasi, dan pembelaan, serta pengajuan alat-alat bukti terkait
laporan atau informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukannya.
(4)
Media massa dan masyarakat
yang menginformasikan adanya dugaan pelanggaran Hakim Konstitusi dapat dipanggil dalam Rapat
Pemeriksaan Dewan Etik.
Adapun
mengenai dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik dibedakan dalam
pelanggaran ringan dan pelanggaran berat, untuk pelanggaran ringan yaitu
pelanggaran yang berdasarkan penilaian Dewan Etik sifatnya ringan dan
pelanggaran dimaksud dilakukan kurang dari 3 (tiga) kali. Sedangkan pelanggaran
berat adalah pelanggaran ringan yang telah dilakukan 3 (tiga) kali dan/atau
pelanggaran yang berdasarkan penilaian Dewan Etik bersifat berat karena
mencemarkan nama baik dan bahkan membahayakan eksistensi dan/atau fungsi
Mahkamah.[86]
Dalam
hal Dewan Etik menyimpulkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim
terlapor atau hakim terduga, Dewan Etik dapat memberikan sanksi tergantung pada
tingkat pelanggarannya, untuk sanksi terhadap pelanggaran ringan berupa
teguran lisan,[87] sedangkan terhadap pelanggaran berat Dewan
Etik mengusulkan kepada Ketua Mahkamah untuk membentuk Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi dan usul pembebasan tugas sementara sebagai Hakim
Konstitusi.[88]
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwasanya Dewan Etik
memiliki peran yang cukup sentral dalam penegakan kode
etik Hakim Konstitusi. Dewan Etik memiliki peran untuk melakukan pengawasan
terhadap perilaku Hakim Konstitusi. Selain kedudukannya yang bersifat tetap, hubungan Dewan Etik dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
(MKMK) juga memiliki peranan yang besar
dalam sistem pengawasan etik pada periode ini, karena terbentuk tidaknya MKMK
akan sangat bergantung pada usul yang disampaikan oleh Dewan Etik.
Kedudukan Dewan Etik adalah dalam rangka mengawasi dan
memastikan bahwa seluruh hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya berjalan sesuai dengan aturan hukum yang datur dalam peraturan perundangundangan
dan aturan etika sebagaimana termuat dalam Kode Etik dan Pedoman
Perilaku. Sedangkan dalam hal terjadi terjadi pelanggaran berat atas dasar
laporan masyarakat danlatau informasi yang disampaikan atau diterima
Dewan Etik, kemudian Dewan Etik dapat mengusulkan pembentukan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
2.
Pengawasan Internal Pegawai Mahkamah
Konstitusi
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Mahkamah
Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal. Sekretariat jenderal ini
merupakan satuan lembaga yang tidak dapat dipisahkan dengan Mahkamah Konstitusi
itu sendiri, mengingat wewenang dan kewajiban yang diberikan UUD NRI Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
Sebagai lembaga negara yang berperan sebagai the
guardian of constitutions dan sebagai pemegang hak menafsirkan UUD NRI Tahun 1945 (the interpreter of constitutions),[89]
maka kedudukan Mahkamah Konstitusi begitu tinggi dan strategis dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Sudah sewajarnya publik menaruh perhatian baik pada
keputusan yang dibuat maupun dari kinerja keberhasilan pada pelaksanaan
wewenang dan organisasi serta administrasi Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal merupakan pelaksana tugas
administratif di dalam Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Sekretariat Jenderal
ini merupakan amanah dari UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
telah diubah dengan UU No 8 Tahun 2011.[90]
Sebagaimana pegawai adminstrasi yang lain, Sekretariat Jenderal dibentuk agar
pelaksanaan tugas konstitusional suatu lembaga mengarah dan berjalan lancar
dalam pencapaian tujuan yang diinginkannya.
Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris
Jenderal dan membawahi 4 biro dan 2 pusat[91]
mempunyai tugas administratif sebagai berikut :
1. Koordinasi pelaksanaan
administratif di lingkungan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan;
2. Penyusunan rencana dan program
dukungan teknis administratif;
3. Pelaksanaan kerja sama dengan
masyarakat dan hubungan antar lembaga;
4. Pelaksanaan dukungan fasilitas
kegiatan persidangan; dan
5. Pelaksanaan tugas lain yang
diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi
sesuai dengan bidang tugasnya.[92]
Dengan tugas yang dimilikinya tersebut, Sekretariat
Jenderal mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Perencanaan, analisis dan evaluasi, pengawasan
administrasi umum dan administrasi peradilan, serta penataan organisasi dan
tata laksana;
2. Pengelolaan keuangan dan pengembangan sumber
daya manusia;
3. Pengelolaan kerumahtanggaan, kearsipan dan
ekspedisi, serta barang milik negara;
4. Pelaksanaan hubungan masyarakat dan kerja
sama, tata usaha pimpinan dan protokol, serta kesekretariatan kepaniteraan;
5. Penelitian dan pengkajian perkara, pengelolaan
perpustakaan, serta pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi; dan
6. Pendidikan Pancasila dan Konstitusi.[93]
Adapun wewenang yang dimiliki oleh Sekretariat Jenderal
dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah berikut ini :
1. Menetapkan rencana strategis, program kerja
dan anggaran Mahkamah Konstitusi;
2. Menetapkan tata cara pengelolaan organisasi
dan tata kerja, sumber daya manusia, keuangan, serta barang milik negara;
3. Menandatangani perjanjian kerja sama; dan
4. Menetapkan peraturan, keputusan dan aturan
kebijakan.[94]
Berbicara tentang sistem pengawasan, maka tidak bisa
lepas dari perencanaan yang dibuat. Oleh karenanya, perencanaan dan pengawasan
dalam administrasi umum dan administrasi peradilan di Mahkamah Konstitusi
menjadi satu biro tersendiri yakni dalam Biro Perencanaan dan Pengawasan. Biro
ini mempunyai tugas melaksanakan perencanaan, penyusunan rencana strategis,
program kerja dan anggaran, analisi dan evaluasi, pengawasan administrasi umum
dan administrasi peradilan, serta penataan organisasi dan tata laksana.[95]
Di dalam Biro Perencnaan dan Pengawsan tersebut terdapat
3 bagian. Adapun yang secara khusus melaksanakan pengawasan adalah Bagian
Pengawasan, Organisasi dan Tata Laksana. Di dalam Bagian Pengawasan, Organisasi
dan Tata Lakasana, terdapat Subbagian Pengawasan Internal yang mempunyai tugas
melakukan penatausahaan pelaksanaan pengawasan administrasi umum dan
administrasi peradilan. Selain Subbagian Pengawasan Internal, Biro Pengawasan,
Organisasi dan Tata Laksana mempunyai Subbagian Organisasi dan Tata Laksana
yang bertugas melakukan penataan organisasi dan tata laksana, serta reformasi
birokrasi.[96]
Dengan demikian pengawas internal pegawai di lingkungan
Mahkamah Konstitusi adalah Subbagian Pengawasan Internal dari Bagian
Pengawasan, Organisasi dan Tata Laksana di dalam Biro Perencanaan dan Pengawasan. Sub bagian pengawasan internal tersebut yang merupakan APIP (Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah), yang melakukan pengawasan intern melalui: audit,
reviu, evaluasi, pemantauan, serta kegiatan pengawasan lainnya.[97]
Lingkup pengawasan internal mencakup lingkup kelembagaan, lingkup tugas,
kompetensi sumber daya manusia, kode etik, standar audit, pelaporan, dan
telaahan sejawat.[98]
Pegawai
di lingkungan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi merupakan pejabat
administrasi yang termasuk Pegawai Negeri Sipil.[99]
Adapun sistem pengawasan adalah berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Pada PP tersebut
disebutkan yang dimaksud dengan Pengawasan Intern adalah seluruh proses
kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain
terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak
ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan
pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.[100]
Yang
melakukan pengawasan di lingkungan Sekretariat Jenderal, sebagaimana telah
disebutkan di atas, adalah Subbagian Pengawasan Internal dari Bagian
Pengawasan, Organisasi dan Tata Laksana di dalam Biro Perencanaan
dan Pengawasan. Subbagian Pengawasan Internal ini jika melihat ke dalam PP
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah termasuk dipersamakan dengan
Inspektorat Jenderal. Pada pasal 1 point 5 disebutkan,
Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
pengawasan intern adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung
jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga. Dengan demikian,
pertanggungjawaban dari subbagian tersebut langsung kepada Ketua Mahkamah
Konstitusi.[101]
Pengawasan
merupakan bagian integral dan menyatu dengan setiap kegiatan yang dilakukan di
lingkungan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, dikarenakan Sekretariat
Jenderal sendiri dibentuk dengan tujuan membantu Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan wewenang dan tugasnya. Oleh karenanya, pengawasan pegawai
diperlukan untuk memastikan kinerja dari pegawai sesuai yang telah digariskan.
Pengawasan
internal ini dilakukan terhadap seluruh kegiatan di lingkungan Sekretariat
Jenderal yang berhubungan dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi yang
dimilikinya dengan dilakukan melalui:
1.
Audit;
2.
Reviu;
3.
Evaluasi;
4.
Pemantauan; dan
5.
Kegiatan
pengawasan lainnya.
Yang
dimaksud dengan audit di atas terdapat dua jenis audit. Audit kinerja dan audit
dengan tujuan tertentu. Audit kinerja ini berhubungan pengelolaan keuangan
negara serta pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terdiri atas
aspek kehematan, efesiensi, dan efektivitas. Dengan demikian, audit ini
berhubungan dengan tugas, wewenang, dan fungsi dari Sekretariat Jenderal
sebagaimana yang telah disebutkan di atas dalam rangka pencapaian dan tujuan
yang telah ditentukan. Sedangkan audit dengan tujuan tertentu, merupakan audit
yang tidak termasuk di dalam audit kinerja.[102]
Setelah
melakukan tugas pengawasan tersebut, Subbagian Pengawasan Internal akan
melaporkan hasil pengawasan dan menyampaikannya kepada pimpinan instansi pemerintah
yang diawasi, yakni disampaikan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Selain itu,
secara berkala laporan tersebut dibuat ikhtisar yang kemudian disampaikan
kepada Ketua Mahkamah Konstitusi dengan tembusan kepada Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara.[103]
Yang
dimaksud dengan reviu adalah pembandingan kinerja instansi dengan tolak ukur
kinerja yang telah ditetapkan. Pembandingan ini dilakukan oleh Subbagian
Pengawasan Internal dengan mendasarkan tolak ukur dan indikator yang telah
ditetapkan oleh pimpinan instansi, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi. Pengawasan
ini juga harus didokumentasikan dengan cara memiliki, mengelola, memelihara,
dan secara berkala memutakhirkan dokumentasi atas pengawasan yang dilakukan.[104]
Dengan
adanya pengawasan internal tesebut, diharapkan dapat:
1.
Memberikan
keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas
pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah;
2.
Memberikan
peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan
3.
Memelihara dan
meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi
Pemerintah.[105]
3.
Pelaksanaan Pengawasan Internal Mahkamah
Konstitusi
Pengawasan pegawai
di internal Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Sekretaris Jenderal beserta Biro
Perencanaan dan Pengawasan. Biro Perencanaan dan Pengawasan terdiri dari
sub-subbagian yang memiliki tugas yang secara garis besar; 1) menyusun rencana
strategis, program kerja dan anggaran, serta analisis, dan evaluasi kinerja, 2)
melaksanakan pengawasan administrasi umum, dan administrasi pengadilan, dan 3)
pelaksanaan penataan organisasi dan tata laksana serta reformasi birokrasi.
Dalam hal ini,
pengawasan internal Mahkamah Konstitusi dinilai telah melakukan efektivitas dan
efisiensi dalam penggunaan anggaran yang mana berbanding lurus dengan capaian
kinerja, serta kualitas pembangunan budaya kinerja birokrasi. Hal ini
dibuktikan dengan:
1. diperolehnya
predikat BB atau sangat baik dalam penilaian Laporan Akuntabilitas Kinerja
Kementrian/Lembaga dan Pemerintah (LAKIP) tahun 2015 yang dilakukan oleh
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi[106].
2. dalam
hal pemenuhan indikator Program Peningkatan Akuntabilitas Kinerja adalah
tercapainya nilai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan dari
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia sejak tahun 2006 hingga tahun
2015. BPK menyatakan bahwa Sistem Pengendalian Internal Mahkamah Konstitusi
berjalan dengan baik.
3. dalam
rangka pemantauan internal kinerja secara berkelanjutan, Mahkamah Konstitusi
telah mengembangkan aplikasi yang dapat memantau perkembangan capaian kinerja
Eselon II, III, IV hingga ke individu[107].
Meskipun demikian,
pelaksanaan pengawasan internal Mahkamah Konstitusi mendapatkan beberapa
catatan negatif, diantaranya adalah sebagai berikut:[108]
1. Ukuran
kinerja eselon III, IV, dan individu yang diterapkan masih perlu dicermati oleh
karena belum ada keselarasan ukuran kinerja individu dengan ukuran kinerja
atasannya secara berjenjang.
2. Evaluasi
akuntabilitas kinerja yang dilakukan oleh Biro Perencanaan dan Pengawasan belum
memberikan hasil yang optimal; masih ditemukan ketidakselarasan antara kinerja
yang ditetapkan dengan tugas, fungsi, dan peran unit kerja.
3. Kualitas
review laporan kinerja yang dilakukan oleh Biro Perencanaan dan Pengawasan
belum menginformasikan dengan baik analisis efisiensi penggunaan sumber daya
dan pemetaan informasi kinerja Mahkamah Konstitusi.
Lebih jauh, pada tahun 2011 Mahkamah
Konstitusi telah melakukan penandatangan Nota Kesepahaman dalam rangka
pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG). Kegiatan dalam rangka
menyokong program ini adalah pengadaan sosialisasi, workshop, wawancara (assessment),
Training of Trainers (ToT), dan membentuk pelaksana fungsi pengendalian
gratifikasi di Mahkamah Konstitusi. Pada Tahun 2015 Mahkamah Konstitusi kembali
memperkuat sistem pengendalian internalnya dengan memberikan pembekalan tentang
pencegahan gratifikasi dan suap bagi gugus tugas (gugus yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi untuk menangani perkara perselisihan hasil Pilkada).[109]
Pengawasan intern
selanjutnya ialah pengawasan intern terhadap Hakim Konstitusi. Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya bahwa terhadap hakim konstitusi, dilakukan pengawasan
intern oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi. Semenjak tahun 2014 sampai sekarang,
Dewan Etik telah menangani berbagai perkara.
Berikut
pelaksanaan Dewan Etik yang dikelompokkan berdasarkan waktu:
a. Pengawasan
Intern oleh Dewan Etik Pada Tahun 2014
Dewan Etik pada
tahun 2014 menangani perkara dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi sebanyak 9 (sembilan perkara) di mana; 8 (delapan)
perkara tidak terbukti atau tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Kode
Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, sementara 1 (satu) perkara diputuskan bahwa
telah terjadi kelalaian yang menyebabkan munculnya potensi pelanggaran ringan
terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Rincian perkara-perkara
tersebut beserta rekomendasi Dewan Etik adalah sebagai berikut:
1) Perkara
Tidak Terbukti Melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi:
1. BAP
Nomor 01/Info-l/BAP/DE/2014[110]
a) Hakim
Terduga: Patrialis Akbar;
Dewan Etik memutuskan
untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi atas beredarnya informasi melalui pemberitaan di
media massa;
b) Dugaan
Pelanggaraan: (a) ketidakhadiran Hakim Terduga dalam Sidang tanggal 20 Februari
2014 dalam perkara No 109/PUU-XI/2013 untuk menguji ujian doktor di Fakultas Hukum
Universitas Jayabaya Jakarta dan (b) mengikuti sidang pengadilan Tindak Pidana
Korupsi kasus Akil Mochtar serta menemui Akil Mochtar setelah sidang tersebut;
c) Keputusan
Dewan Etik: Tidak dikategorikan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi namun perilaku Hakim Terduga secara faktual telah mengganggu sidang
Mahkamah Konstitusi sehingga tidak terpenuhinya korum Sidang Pleno. Pertemuan
dengan Akil Mochtar juga tidak dikategorikan sebagai pelanggaran karena
dilakukan di luar jam kerja;
d) Rekomendasi
Dewan Etik: Dewan Etik merekomendasikan pada pimpinan Mahkamah Konstitusi agar
menertibkan perizinan agar tidak mengganggu sidang di masa mendatang.
2. BAP
Nomor 02/Lap-l/BAP/DE/2014[111]
a) Hakim
Terlapor: 8 (delapan) Hakim Mahkamah Konstitusi;
b) Pelapor:
Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pusat;
c) Dugaan
pelanggaraan: (a) Adanya dugaan bahwa Hakim Terlapor telah memberikan fakta/
keterangan palsu terkait Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH); (b) Hakim Terlapor
memutus perkara tidak mendasarkan pada ketentuan pembuktian dalam hukum acara Mahkamah
Konstitusi;
d) Keputusan
Dewan Etik: Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan telah memutus perkara sesuai dengan hukum
acara Mahkamah Konstitusi;
e) Rekomendasi
Dewan Etik: merekomendasikan agar Mahkamah Konstitusi menyempurnakan format
putusannya, khususnya penyempurnaan dalam bagian pertimbangan agar para pihak
tidak merasa alat bukti yang telah diajukan diabaikan.
3. BAP
Nomor 03/Lap-l/BAP/DE/2014[112]
a) Hakim
Terlapor: 8 (delapan) Hakim Mahkamah Konstitusi;
b) Pelapor:
Pemohon dalam Perkara No 220/PHPU.D-VIII/2010;
c) Dugaan
pelanggaran: pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi
terkait dengan Pemilu Kepala Daerah karena tidak menyebut dengan tegas bahwa
putusan yang memerintahkan; pemilu ulang, penghitungan suara ulang, dan
verifikasi ulang sebagai Putusan Sela;
d) Keputusan
Dewan Etik: Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi;
e) Rekomendasi:
perlu ada perbaikan di masa depan di mana hendaknya Mahkamah Konstitusi selalu
menyebut dengan tegas bahwa putusan-putusan yang memerintahkan; pemilu ulang,
penghitungan suara ulang, dan verifikasi ulang sebagai Putusan Sela untuk
memudahkan pihak berperkara dalam memahaminya.
4. BAP
Nomor 04/Info-l/BAP/DE/2014[113]
a)
Hakim Terlapor: 6 (enam)
Hakim Mahkamah Konstitusi;
b)
Pelapor: masyarakat
(kelompok);
c) Dugaan
pelanggaran: Hakim terlapor tidak bekerja dengan seksama, tidak cermat, dan
tidak hati-hati serta teliti dalam memeriksa mengadili dan memutus PHPU Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Palembang sehingga memunculkan kesesatan
hukum dan melanggar prinsip keenam yaitu prinsio kecakaan dan keseksamaan dalam
kode etik;
d) Keputusan
Dewan Etik: Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; oleh karena kekurangcermatan datang dari
Para Pelapor dalam memahami putusan Mahkamah Konstitusi baik ratio decidendi maupun amar putusannya.
5. BAP
Nomor 05/Lap-l/BAP/DE/2014[114]
a) Hakim
terlapor: 3 (tiga) Hakim Mahkamah Konstitusi;
b) Pelapor:
masyarakat (perseorangan yang merupakan calon anggota DPR RI);
c) Dugaan
pelanggaran: Pelapor tidak menyinggung adanya dugaan pelanggaran kode etik dan
tidak mengajukan petitum tertentu melainkan hanya meminta kejelasan mengenai
kasusnya (perkara Nomor 03-05-30/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014;
d) Keputusan
Dewan Etik: tidak ada kesalahan dalam putusan Mahkamah mengenai perkara a quo dan tidak ada pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
6. BAP
Nomor 06/Lap-l/BAP/DE/2014[115]
a) Hakim
terlapor: Ahmad Fadlil Sumadi (Hakim MK);
b) Pelapor:
Bendahara PAC PPP Kecamatan Gunung Megang;
c) Dugaan
pelanggaran: (a) Hakim Terlapor dalam perkara telah meremehkan Pelapor dan
kuasa hukumnya secara verbal dan (b) Hakim Terlapor sengaja ingin menjatuhkan
kesaksian pelapor;
d) Keputusan
Dewan Etik: sikap dan ucapan Hakim Terlapor belum merupakan pelanggaran kode
etik;
e) Rekomendasi
Dewan Etik: menyarankan agar sistem penanganan perkara perselisihan hasil
pemilu diperbaiki dan/atau dikembalikan kepada sistem yang lama yang lebih
sesuai dengan penanganan perkara (Hakim Terlapor dalam keterangannya mengaku
bahwa perubahan sistem tersebut membuatnya stress
sehingga membuatnya mengatakan hal yang kurang pantas kepada Pelapor).
7. BAP
Nomor 07/Lap-l/BAP/DE/2014[116]
a) Hakim
Terlapor: Patrialis Akbar;
b) Pelapor:
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi;
c) Dugaan
pelanggaran: (a) Hakim Terlapor berkomentar dan menunjukkan posisi akademisnya
dalam polemik terkait RUU Pilkada yang konstitusionalitasnya dapat diuji di MK
kelak sehingga memicu munculnya kegelisahan masyarakat yang merasa hak pilihnya
diganggu, (b) dengan komentar tersebut, Hakim Terlapor sudah dapat
diasosiasikan sebagai pendukung salah satu kekuatan politik yang sedang
bertarung; sehinga bertentangan dengan prinsip ketidakberpihakan dan prinsip
integritas;
d) Keputusan
Dewan Etik: fakta yang terungkap serta bukti-buktinya tidak cukup untuk
membuktikan Hakim Terlapor melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi;
e) Rekomendasi
Dewan Etik: merekomendasikan kepada Hakim Terlapor agar lebih berhati-hati
dalam berbicara meskipun dalam kegiatan ilmiah dan akademis.
8. BAP
Nomor 08/Lap-l/BAP/DE/2014[117]
a) Hakim
Terlapor: 9 (sembilan) Hakim Konstitusi;
b) Pelapor:
Paguyuban advokat peduli konstitusi;
c) Dugaan
Pelanggaran: Adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi
terkait penanganan perkara permohonan PHPU DPR dan DPRD yaitu; pembatasan saksi
yang dibatasi hanya berjumlah 3 orang, penyampingan alat bukti yang diajukan
oleh para pihak, kurang diberi kesempatan bagi pemohon prinsipal untuk member
penjelasan, dan berbagai kesalahan teknis lainnya;
d) Keputusan
Dewan Etik: permasalahan teknis dalam persidangan merupakan kelemahan dan
kekurangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani PHPU DPR dan DPRD dan bukan
merupakan pelanggaran serius atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi maupun hukum acara;
e) Rekomendasi
Dewan Etik: Mahkamah Konstitusi perlu mengkaji ulang mengenai diperbolehkannya
permohonan PHPU perseorangan, sebab menurut ketentuan Pasa 22E, peserta Pemilu
DPR dan DPRD adalah partai politik, dengan demikian sesungguhnya pemegang legal standing dalam PHPU DPR dan DPRD
adalah partai politik. Selain itu, dengan ditiadakan pemohon perseorangan dalam
PHPU DPR dan DPRD akan mengurangi jumlah perkara serta mengurangi konflik
internal partai politik serta Pemilu.
2) Perkara
Berpotensi Munculnya Pelanggaran Ringan atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi:
BAP Nomor
09/Lap-l/BAP/DE/2014[118]
a) Hakim
terlapor: 3 (tiga) Hakim Konstitusi;
b) Pelapor:
Masyarakat (perorangan);
c) Dugaan
pelanggaran: Adanya pelanggaran kode etik dalam menangani perkara Nomor 03-05-12/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014.
Mahkamah Konsitutsi berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan hukum
sehingga berujung pada amar putusan bahwa permohonan Pemohon ditolak, sementara
seharusnya Mahkamah Konstitusi memiliki tugas untuk meluruskan hal tersebut;
d) Keputusan
Dewan Etik: Dewan Etik memutuskan bahwa para Hakim Terlapor telah melakukan
kelalaian dan kekurangcermatan yang berpotensi pelanggaran ringan atas Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;
e) Rekomendasi
Dewan Etik: Terkait hal ini Dewan Etik memberikan catatan peringatan kepada
para Hakim Terlapor agar lebih cermat dan berhati-hati dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara PHPU.
b. Pengawasan
Intern Oleh Dewan Etik pada Tahun 2015
Pada tahun 2015
Dewan Etik Hakim Konstitusi menangani 2 (dua) perkara dugaan pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, dengan rincian; 1 (satu) perkara
tidak terbukti adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi,
dan 1 (satu) perkara lain dinyatakan bahwa Pelapor tidak memiliki legal standing untuk menyampaikan
laporan. Lebih lanjut rinciannya adalah sebagai berikut:
1.
BAP Nomor
10/Lap-II/BAP/DE/2015[119]
a) Hakim
Terlapor: Suhartoyo;
b) Pelapor:
masyarakat (perorangan);
c) Dugaan
pelanggaran: (a) Hakim Terlapor menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara Ilegal
karena telah menafikan kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan
eksekutorial akta autentik hasil pemeriksaan Badan Peradilan, berdasarkan Surat
Perjanjian Perdamaian yang dibuat di bawah tangan dan hanya dilegalisir oleh
notaris dan belum diyakini pemenuhan prestasinya oleh Para Pihak, dengan begitu
(b) Hakim Terlapor tidak dapat membedakan antara pelaksanaan fungsi yustisial
atau kekuasaan kehakiman dengan fungsi yang “berkaitan” dengan kekuasaan
kehakiman sehingga hakim terlapor diyakini tidak menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan;
d) Keputusan
Dewan Etik: Isi laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi tidak sesuai dengan kewenangan Dewan Etik. Oleh karena perbuatan
Hakim Terlapor yang dilaporkan oleh pelapor adalah perbuatan yang dilakukan
menjadi Hakim Konstitusi yaitu tatkala Hakim Terlapor menjadi Hakim dan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan demikian Dewan Etik menyatakan bahwa
Pelapor tidak memiliki legal standing
untuk menyampaikan laporan kepada Dewan Etik dan beracara di Dewan Etik.
2.
BAP Nomor
11/Lap-II/BAP/DE/2015[120]
a) Hakim
Terlapor: 4 (empat) Hakim Konstitusi;
b) Pelapor:
Pengurus Organisasi Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ)
c) Dugaan
pelanggaran: (a) Hakim terlapor dalam menangani perkara No. 43/PUU-XII/2015 sarat dengan
konflik kepentingan, (b) salah satu sikap Hakim Terlapor selaku pimpinan sidang
dinilai tidak sesuai dengan beberapa prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi beserta penerapannya, seperti tidak berpegang pada prinsip-prinsip;
ketidakberpihakan, kepantasan dan kesopanan, serta kearifan dan kebijaksanaan;
d) Keputusan
Dewan Etik: Tidak ada pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi dan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh
para Hakim Terlapor dalam penanganan perkara No. 43/PUU-XII/2015;
e) Rekomendasi
Dewan Etik: Dewan Etik menyarankan kepada Hakim Terlapor untuk memperbaiki sikap dalam menanggapi
pertanyaan agar nantinya tidak menimbulkan miskomunikasi dan kesalahpahaman
yang dapat berakibat pada terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi;
c. Pengawasan
Intern Oleh Dewan Etik Pada tahun 2016
Pada
tahun 2016, Dewan Etik Mahkamah Konstitusi menangani 3 (tiga) perkara dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, dengan rincian; 1
(satu) perkara dicabut oleh Pelapor, 1 (satu) perkara terbukti adanya
pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, dan 1
(satu) perkara tidak terbukti adanya pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi. Lebih lanjut rinciannya adalah sebagai berikut:
1.
BAP Nomor
12/Lap-III/BAP/DE/2016[121]
Dewan
Etik telah menerima laporan perihal Laporan atas Adanya Dugaan Kecurangan dalam
Putusan Nomor 21/PHP.BUP-XIV/2016 tanggal 28 Januari 2016, terhadap laporan
tersebut Dewan Etik mengirimkan surat kepada Pelapor perihal pemberitahuan yang
pada pokoknya berisi penyampaian mengenai hal-hal yang pelu diperbaiki dalam
Laporan Pelapor. Pada tanggal 16 Februari 2016 Dewan Etik menerima surat dari
kuasa hukum Pelapor berisi pencabutan laporan secara seluruhnya.
2.
BAP Nomor
13/Lap-III/BAP/DE/2016[122]
a. Hakim
Terduga: Arief Hidayat
Dewan
Etik menyimpulkan dan memutuskan hasil rapat pemeriksaan perkara dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi berdasarkan informasi publik melalui
pemberitaan media massa/info media.
b. Dugaan
pelanggaran: (a) Hakim Terlapor diduga mengirim dan/atau membuat Memo
Katabelece/Surat Pengantar yang menimbulkan multiinterpretasi negatif yang
ditujukan kepada Jaksa Agung Muda R. Widyo Pramono dengan tulisan tangan dengan
substansi sebagai berikut; “saya hadapkan
family saya yang mengantar berkas
ini bernama M.Zainur Rochman, SH. YBs adalah Jaksa di Kejaksaan Negeri
Trenggealek dengan jabatan Kasi Perdatun, dengan Pangkat Jaksa Pratama/Penata
Muda IIIc. Mohon titip dan dibina
dijadikan Anak Bapak. (b) Pembuatan memo itu menunjukkan
kekurang hati-hatian Hakim Terduga dalam membuat memo surat pengantar yang
isinya dapat ditafsirkan negatif untuk seseorang yang baru saja dikenal.
Terlepas dari apapun motifnya, perbuatan tersebut tidak sesuai dengan kode
etik, prinsip keempat yaitu prinsip kepantasan dan kesopanan.
c. Keputusan
Dewan Etik: Dewan Etik menjatuhkan keputusan bahwa Hakim Terduga Arief Hidayat
dinyatakan melakukan pelanggaran ringan terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi dan menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan.
3.
BAP Nomor
14/Lap-III/BAP/DE/2016[123]
a. Hakim
terlapor: 3 (tiga) Hakim Konstitusi
b. Pelapor:
pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Teluk Bintuni tahun 2015
c. Dugaan
pelanggaran: (a) Pelapor menduga bahwa Hakim Terlapor telah lalai dan kurang
cermat dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Nomor 101/PHP.BUP-XIV/2016
tentang perselisihan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Teluk
Bintuni, di mana Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menegaskan bahwa
penerapan sistem kesepakatan adat di salah satu TPS Moyeba adalah tidak sah dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (b) Terhadap pertimbangan tersebut,
pelapor berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengebiri, membelenggu, dan
memasung hak-hak masyarakat adat kampung Moyeba
d. Keputusan
Dewan Etik: Praktik Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang selama ini
berlangsung di Kabupaten Teluk Bintuni tidak pernah dilakukan dengan sistem
kesepakatan adat, sehingga dalil pelapor tidak terbukti, selain itu tidak
terbukti adanya kelalaian dan kekurangcermatan yang dilakukan oleh hakim
terlapor dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Nomor
101/PHP.BUP-XIV/2016 oleh karenanya tidak ada pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi
Selanjutnya, di awal tahun 2017 Dewan
Etik Mahkamah Konstitusi dihadapkan dengan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT)
oleh KPK terhadap salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar,
berikut adalah rincian dalam Berita Acara Pemeriksaan serta Keputusan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terhadap kasus tersebut:
1. BAP
Nomor 16/Info-IV/BAP/DE/2017[124]
a.
Hakim Terduga: Patrialis
Akbar
Dewan Etik memutuskan dan menyimpulkan
hasil rapat pemeriksaan perkara dugaan pelanggaraan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi berdasarkan informasi publik melalui pemberitaan
media massa bahwa pada tanggal 26 Januari 2017. Hakim Terduga diberitakan telah
tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Hakim terduga diduga telah menerima suap dalam
penanganan perkara Nomor 129/PUU-XII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
41 Tahun 20114 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
b.
Keputusan Dewan Etik: (a)
Hakim Terduga dinyatakan melakukan Pelanggaran Berat terhadap Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi; (b) Dewan Etik mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi; (c) Dewan Etik mengusulkan pembebastugasan Hakim Terduga.
Atas
putusan Dewan Etik, dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk lebih
lanjut memeriksa perkara terkait, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
dituangkan dalam Keputusan Pendahuluan dan Keputusan Lanjutan yang rinciannya
adalah sebagai berikut:
1.
Keputusan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/MKMK-SPP/II/2017[125]
a. Hakim
Terduga: Patrialis Akbar
b. Substansi
keputusan: Untuk tindak lanjut dari berita acara Dewan Etik Hakim Konstitusi
Nomor 16/Lap-III/BAP/DE/2016, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi telah
melaksanakan Rapat Pleno Majelis Kehormatan dan mengadakan Sidang Pemeriksaan
Pendahuluan. Dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tersebut Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Hakim Terduga benar diduga melakukan
pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan
melanjutkan pemeriksaan terhadap Hakim Terduga dalam Sidang Pemeriksaan Lanjutan.
2.
Keputusan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/MKMK-SPL/II/2017[126]
a. Hakim
Terduga: Patrialis Akbar
b. Dugaan
Pelanggaran: Hakim terduga diduga melakukan pertemuan dan/atau pembahasan dengan pihak yang berkepentingan dengan
perkara mengenai perkara perkpengujian Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan
yang sedang ditangani antara Mahkamah Konstitusi, baik langsung maupun tidak
langsung di luar persidangan, sehingga muncul dapat diduga bahwa Hakim Terdugalah
yang membocorkan draf putusan Mahkamah Konstitusi yang masih bersifat rahasia.
c. Keputusan:
(a) Hakim Terduga terbukti melakukan pertemuan dan/atau pembahasan mengenai
perkara yang sedang ditangani antara Hakim Terduga dengan pihak yang
berkepentingan dengan perkara baik secara langsung maupun tidak langsung di
luar persidangan dan terbukti membocorkan informasi dan draf putusan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat rahasia (b) Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan beberapa prinsip yaitu;
prinsip independensi, prinsip integritas, prinsip ketidakberpihakan, prinsip
kepantasan dan kesopanan (c) Perbuatan Hakim Terduga teleh mencemarkan nama
baik dan meruntuhkan wibawa, eksistensi dan/atau fungsi Mahkamah Konstitusi,
Majelis Kehormatan berkesimpulan bahwa Hakim Terduga telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi. Oleh karena itu Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tidak dengan hormat kepada Hakim Terduga.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengawasan Internal dalam kelembagaan Mahkamah
Konstitusi memiliki peranan sangat penting dalam rangka penguatan integritas
kelembagaan dan pembangunan budaya hukum. Pengawasan internal di Mahkamah
Konstitusi dilaksanakan oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi pada tataran hakim,
serta pada tataran birokrasi dilakukan pengawasan internal oleh subbagian Pengawasan
internal. Akan tetapi, pengawasan internal di Mahkamah Konstitusi khususnya
pengawasan oleh Dewan Etik pada pelaksanaannya lebih berfungsi represif, dan
sangat minim untuk memberikan efek pencegahan pelanggaran. Hal ini dapat
dilihat dari pelaksanaan pengawasan oleh Dewan Etik yang berfungsi represif,
dalam arti kurang adanya tindakan atau upaya preventif atau memberikan efek
pencegahan pelanggaran. Dua hakim Mahkamah Konstitusi yang tersandung kasus
hukum membuktikan bahwasannya Dewan Etik belum memiliki pengaruh yang besar
dalam upaya penekanan integritas masingmasing hakim MK itu sendiri. Di sisi
lain, masih terjadi ketidakselarasan antara
kinerja yang ditetapkan dengan tugas, fungsi, dan peran unit kerja. Sehingga
pengawasan internal pegawai di Mahkamah
Konstitusi kurang maksimal karena rencana standar yang minim.
B.
Saran
1.
Mendorong upaya perwujudan pengawasan preventif serta
memperbaiki pengawasan represif
2.
Perlu adanya penataan organisasi Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah dan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah;
3.
Penguatan unit kerja pengawasan yang membawahi
jabatan-jabatan fungsional auditor penataan sumber daya manusia Aparatur Sipil
Negara
4.
Adanya keterbukaan informasi kepada publik atas
pengawasan oleh subbagian pengawasan internal
5.
Perbaikan evaluasi kinerja pengawasan untuk
menyelaraskan fungsi, tugas, dan peran unit kerja serta mengoptimalkan standar
perencanaan
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Anwar,
Yasmin dan Adang, 2009, Sistem Peradilan
Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung.
Asshiddiqie,
Jimly Bagir Manan, et.al, 2006, Gagasan
Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden Secara Langsung, Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
_________,
Jimly 2010, Perkembangan &
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta.
Azhary, M. Tahir, 1995, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang
Unsur-Unsurnya, UI Press, Jakarta.
Darise,
Nurlan, 2009, Pengelolaan Keuangan
Daerah: Pedoman untuk Eksekutif dan Legislatif, Indeks, Jakarta.
Djaja,
Ermansyah, 2008, Memberantas Korupsi
Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta.
Falaakh, Mohammad Fajrul, 2014, Pertumbuhan dan Model Konstitusi Serta Perubahan UUD 1945 oleh
Presiden, DPR dan Mahkamah Konstitusi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Firmansyah
et.al, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
(Cetakan 1), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Jakarta.
Harahap,
Sofyan Syafri, 2001, Sistem Pengawasan
Manajemen (Management Control System), Pustaka Quantum, Jakarta.
HR,
Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Huda,
Ni'matul, 2013, Hukum Tata Negara
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Jackson,
Peggy M and Toni E Fogarty, 2006, Sarbanes-Oxley
and Non-profit Management: Skill, Techniques, and Methods, John Wiley &
Sons Inc, New Jersey.
Komisi
Yudisial RI, 2006, Bunga Rampai Refleksi
Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Republik
Indonesia, Jakarta.
Krismiaji,
2010, Sistem Informasi Akuntansi
(Edisi Ketiga), Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta.
Kunarjo,
2002, Perencanaan dan Pengendalian
Program Pembangunan, UI Press, Jakarta.
Laica Marzuki, 2006, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi:
Sebagai Institusi Peradilan yang Modern dan Terpercaya, Setjen dan
Kepaniteraan MKRI, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Setjen
dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta.
Marbun, S.F., Hukum Administrasi
Negara II, FH UII Press, Yogyakarta.
Moller,
Robert R 2008, Sarbanes-Oxley Internal
Controls: Effective Auditing, John Wiley & Sons, New Jersey.
Muchsan, 1992, Sistem
Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara,
Liberty, Yogyakarta.
Prayudi,
1981, Hukum Administrasi Negara, PT
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Saidi,
Muhammad Djafar, 2011, Hukum Keuangan
Negara (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Salindeho,
John, 1998, Tata Laksana dalam Manajemen,
Sinar Grafika, Jakarta.
Sarwoto,
2010, Dasar-Dasar Organisasi dan
Manajemen, PT Ghalia Indonesia, Jakarta.
Silverman,
Michael G, 2008, Compliance Management
for Public, Private, or Non-profit Organization, Mc Graw-Hill, New York.
Situmorang,
Viktor M dan Jusuf Juhir, 1994, Aspek
Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka
Cipta, Jakarta.
Soekanto,
Soerjono, 1987, Sosiologi: Suatu
Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta.
Soekanto,
Soerjono, 2005, Sosiologi: Suatu
Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sujatmo,
1985, Beberapa Pengertian di Bidang
Pengawasan, PT Ghalia Indonesia, Jakata.
Tugiman,
Hiro 2004, Standar Profesi Audit Internal,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Tutik, Titik Triwulan 2008, Konstruksi
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
Kencana Prenada Media Grup, Surabaya.
Tutik,
Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Kencana, Jakarta.
Zakiyah,
Wasingatu et.al, 2002, Menyingkap Tabir Mafia Peradilan
(Cetakan 1), Indonesia Corruption Watch, Jakarta.
B.
Artikel
Jurnal
Wiryanto, “Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluruhan Martabat Hakim Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 13, No. 4, Desember 2016.
C.
Hasil
Penelitian, Laporan
Badan
Pemeriksa Keuangan, 2016, Laporan Hasil
Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015, Laporan Hasil, Jakarta.
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia, 2015,
Hasil Evaluasi atas Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah Nomor B/3945/M.PANRB/12/2015, “Laporan Evaluasi”, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia,
Jakarta.
Mahkamah
Konstitusi, 2016, Laporan Akhir Mahkamah
Konstitusi RI 2015: Dinamika Penegakan Keadilan Sosial dan Demokrasi.
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
D.
Internet
Asshiddiqie, Jimly “Kedudukan Mahkamah Konstitusi
dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11779#.WLJMJTt9601, diakses 17 Februari 2017.
Humas
MENPANRI, “Rapor Akuntabilitas Kinerja K/L dan Provinsi Meningkat” http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4170-rapor-akuntabilitas-kinerja-k-l-dan-provinsi-meningkat,
diakses 19 Februari 2017.
E.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890).
Peraturan Mahakamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Sekretaris
Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Mekanisme
Kerja dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.
F.
Putusan,
Berita Acara Persidangan
Berita
Acara Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor: 01/Info-I/BAP/DE/2014.
Berita
Acara Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 11/Lap-II/BAP/DE/2015.
Berita
Acara Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 12/Lap-III/BAP/DE/2016.
Berita
Acara Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 16/Info-IV/BAP/DE/2017.
Keputusan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/MKMK-SPP/II/2017
[1] Mohammad Fajrul Falaakh, 2014, Pertumbuhan dan Model Konstitusi Serta Perubahan UUD 1945 oleh
Presiden, DPR dan Mahkamah Konstitusi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm. 148.
[2] Badan Pemeriksa Keuangan, 2016, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK
RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015, Laporan Hasil, Jakarta, hlm. 13.
[3] Muchsan, 1992, Sistem
Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara,
Liberty, Yogyakarta, hlm. 36.
[5] John Salindeho, 1998, Tata
Laksana dalam Manajemen, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 39.
[14] Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4890).
[15] Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4890).
[16] Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4890).
[17] Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, Kencana, Jakarta, hlm. 267.
[18] Ridwan HR, 2006, Hukum
Administrasi Negara, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 10-11.
[19] Ni'matul Huda, 2013, Hukum
Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 82.
[20] Soerjono Soekanto, 2005, Sosiologi:
Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 266.
[21] Ridwan HR, 2006, op.cit,
hlm. 101.
[22] Ibid, hlm. 103.
[23] Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi:
Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, sebagaimana dikutip Yasmin Anwar
dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana,
Widya Padjadjaran, Bandung, hlm. 205.
[24] Firmansyah et.al, 2005,
Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan
Antar Lembaga Negara (Cetakan 1), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
(KRHN) Jakarta, hlm. 19.
[25] Ermansyah Djaja, 2008, Memberantas
Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
[26] Viktor M Situmorang dan Jusuf Juhir, 1994, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah,
Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 8.
[27] Ibid, hlm. 21
[28] Sarwoto, 2010, Dasar-Dasar
Organisasi dan Manajemen, PT Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 93.
[29] Prayudi, 1981, Hukum
Administrasi Negara, PT Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 80.
[31] Kunarjo, 2002, Perencanaan
dan Pengendalian Program Pembangunan, UI Press, Jakarta, hlm. 257.
[32] Michael G Silverman, 2008, Compliance
Management for Public, Private, or Non-profit Organization, Mc Graw-Hill,
New York, hlm. 247-248.
[33] Robert R Moller, 2008, Sarbanes-Oxley
Internal Controls: Effective Auditing, John Wiley & Sons, New Jersey,
hlm. 84.
[34] Sujatmo, 1985, op.cit,
hlm. 61.
[35] Krismiaji, 2010, Sistem
Informasi Akuntansi (Edisi Ketiga), Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN,
Yogyakarta, hlm. 20.
[37] Muhammad Djafar Saidi, 2011, Hukum
Keuangan Negara (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
74-75.
[38] Peggy M Jackson and Toni E Fogarty, 2006, Sarbanes-Oxley and Non-profit Management: Skill, Techniques, and
Methods, John Wiley & Sons Inc, New Jersey, hlm. 175.
[39] Nurlan Darise, 2009, Pengelolaan
Keuangan Daerah: Pedoman untuk Eksekutif dan Legislatif, Indeks, Jakarta,
hlm. 305.
[40] Sofyan Syafri Harahap, 2001, Sistem
Pengawasan Manajemen (Management Control System), Pustaka Quantum, Jakarta,
hlm. 133.
[41] Wasingatu Zakiyah, et.al,
2002, Menyingkap Tabir Mafia Peradilan
(Cetakan 1), Indonesia Corruption Watch, Jakarta, hlm. 217.
[42] Komisi Yudisial RI, 2006, Bunga
Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi
Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 17.
[43] Jimly Asshiddiqie, Bagir
Manan, et.al, 2006, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan
Presiden Secara Langsung, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 24.
[44] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi:
Sebagai Institusi Peradilan yang Modern dan Terpercaya, Setjen dan
Kepaniteraan MKRI, Jakarta, hlm. 3.
[47] Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi
dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11779#.WLJMJTt9601, diakses
17 Februari 2017.
[50] Ibid.
[51] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Setjen
dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, hlm. 7.
[56] Ibid.
[57] Titik Triwulan Tutik, 2008, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Kencana Prenada Media Grup, Surabaya,
hlm. 221.
[59] Ibid.
[60] Ibid, hlm, 221-222.
[61] Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 131.
[63] Jimly Asshiddiqie, 2010, Op.cit,
hlm. 132.
[64] M. Tahir Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang
Unsur-Unsurnya, UI Press, Jakarta, hlm. 132.
[66] Ibid.
[69] Sujamto, 1987, Loc.cit,
hlm. 135.
[70] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004, Op.cit, hlm. 88.
[71] Ibid, hlm. 90.
[72] Ibid, hlm. 88.
[73] Pasal 1 angka 3 Peraturan Mahakamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[74] Pasal 14 ayat (2) Peraturan Mahakamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[75] Pasal 22 huruf (e) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[76] Wiryanto, “Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluruhan Martabat
Hakim Konstitusi”, Jurnal Konstitusi,
Vol. 13, No. 4, Desember 2016.
[77] Pasal 20 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[78] Pasal 15 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun
2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[79] Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[80] Pasal 15 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[81] Pasal 21 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014
tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[82] Pasal 21 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[83] Pasal 22 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
[84] Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Dewan Etik Hakim
Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Mekanisme Kerja dan Tatacara Pemeriksaan
Laporan dan Informasi.
[85] Pasal 12 Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Mekanisme Kerja dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan
Informasi.
[86] Pasal 13 ayat (2) dan (3) Peraturan Dewan Etik Hakim
Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Mekanisme Kerja dan Tatacara Pemeriksaan
Laporan dan Informasi.
[87] Pasal 14 Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Mekanisme Kerja dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.
[88] Pasal 15 Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Mekanisme Kerja dan Tata Cara
Pemeriksaan Laporan dan Informasi.
[89] Titik Triwulan Tutik, Op.cit, hlm. 221.
[90] Lihat Pasal 7 dan 8 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98) yang telah
diubah dengan UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
[91] Lihat Peraturan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor 4
Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi.
[92] Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49
Tahun 2012 tentang Kepaniteraan Dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
[93] Pasal 11 ayat (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun
2012 tentang Kepaniteraan Dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
[94] Pasal 11 ayat (4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49
Tahun 2012 tentang Kepaniteraan Dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
[95] Pasal 13 Peraturan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor
4 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi.
[96] Lihat Pasal 20 – 23 Peraturan Sekretaris Jenderal Mahkamah
Konstitusi Nomor 4 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan
dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
[97] Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerinta Nomor 60 Tahun
2008 tentang Sistem PEngendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4890).
[98] Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem PEngendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890).
[99] Pasal 17 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun
2012 tentang Kepaniteraan Dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
[100] Pasal 1 Angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem PEngendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890).
[101] Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890).
[102] Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890).
[103] Pasal 54 ayat (1) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4890).
[104] Pasal 40 Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4890).
[105] Pasal 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4890).
[106] Humas MENPANRI, “Rapor
Akuntabilitas Kinerja K/L dan Provinsi Meningkat” http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4170-rapor-akuntabilitas-kinerja-k-l-dan-provinsi-meningkat, diakses pada tanggal
19 Februari 2017.
[107] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia, 2015, Hasil Evaluasi
atas Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Nomor B/3945/M.PANRB/12/2015,
“Laporan Evaluasi”, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia, Jakarta.
[109] Mahkamah Konstitusi, 2016, Laporan
Akhir Mahkamah Konstitusi RI 2015: Dinamika Penegakan Keadilan Sosial dan
Demokrasi. Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, hlm. 98-114.
[110] Lihat Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor:
01/Info-I/BAP/DE/2014.
[111] Lihat Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor
02/Lap-l/BAP/DE/2014.
[112] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 03/Lap-l/BAP/DE/2014.
[113] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 04/Info-l/BAP/DE/2014.
[114] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 05/Lap-l/BAP/DE/2014.
[115] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 06/Lap-l/BAP/DE/2014.
[116] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 07/Lap-l/BAP/DE/2014.
[117] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 08/Lap-l/BAP/DE/2014.
[118] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 09/Lap-l/BAP/DE/2014.
[119] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 10/Lap-II/BAP/DE/2015.
[120] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 11/Lap-II/BAP/DE/2015.
[121] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 12/Lap-III/BAP/DE/2016.
[122] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 13/Lap-III/BAP/DE/2016.
[123] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 14/Lap-III/BAP/DE/2016.
[124] Lihat Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 16/Info-IV/BAP/DE/2017.
[125] Lihat Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 01/MKMK-SPP/II/2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar