Kaum disabilitas atau difabel (different ability/berbeda kemampuan) yang disebut sebagai orang-orang
dengan berkebutuhan khusus maupun kelainan fisik atau mental, kerap mendapatkan
perlakuan diskriminasi di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan di tengah-tengah
kehidupan demokrasi dan hiruk-pikuk memperjuangkan hak asasi manusia, mereka masih
saja terlupakan dan terpinggirkan, menjadi isu klasik yang seolah sudah biasa.
Padahal, disabilitas bukan berarti bukan manusia. Semangat
inilah yang dibawa oleh masyarakat internasional, yangmana kemudian dituanagkan
di dalam United Nations Convention Rights
of Person with Disabilities. Konvensi tersebut menggunakan istilah person with disabilities, bukan disabilities people, yang menempatkan dan mengakui tiap-tiap orang secara
individu yang memiliki kelainan fisik tetaplah manusia sebagai subjek, sama
seperti lainnya. Kelainan fisik maupun mental yang disandang oleh seseorang,
bukan berarti menempatkan dirinya sebagai objek in society.
Menempatkan dan memandang disabilitas sebagai objek inilah
yang menimbulkan diskriminasi negative selama ini. Mereka dianggap tidak mampu,
butuh dikasihani, bahkan terhina. Sehingga sebagai kelompok termarjinalkan atau
minoritas, hak-hak setiap orang disabilitas perlu dilindungi.
Main Pim-pong
Pemerintah Indonesia memang telah meratifikasi UNCRPD
melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Namun, implementasi negara dalam
upaya untuk memenuhi hak-hak disabilitas di berbagai bidang belum sepenuhnya
dilakukan, baik dari sector pendidikan, kesehatan, pekerjaan, kehidupan yang
layak, dan lain sebagainya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 saja masih
menggunakan istilah penyandang cacat, yangmana menimbulkan konsekuensi bahwa
mereka yang berkelainan fisik atau mental ditempatkan sebagai subjek dalam
kehidupan.
RUU Disabilitas yang baru digodok dan on progress menunjukkan disabilitas masih menjadi mainan pim-pong
di dalam percaturan politik. Disabilitas bukanlah menjadi isu yang penting bagi
para pembuat kebijakan maupun pemangku kepentingan. Kebijakan yang dikeluarkan
pun cenderung tidak memihak, bahkan semakin menyudutkan.
Isu disabilitas bisa saja terangkat dalam sekejap dalam
momen-momen tertentu, sebut saja pada akhir tahun ini bertepatan hari
disabilitas internasional pada 3 Desember dan pilkada pada 9 Desember
mendatang. Namun, apakah memperjuangkan isu disabilitas hanya sekedar euphoria
semata? Tidak ada jaminan bahwa hari disabilitas dan momen pilkada yang kebetulan
berdekatan itu, pasangan calon melalui janji kampanye akan benar-benar memperjuangkan
isu disabilitas, selain setelah pasangan calon terpilih benar-benar merealisasikan
melalui kebijakan yang nyata.
Ironisnya, pada saat yang sama, orang disabilitas masih saja
terdikriminasi dalam menyampikan aspirasinya di dalam pesta demokrasi bernama
pemilu, yang katanya pesta untuk semua rakyat dan dalam rangka menjamin hak
asasi manusia. Para disabilitas kerap kesulitan dalam mengenal dan memilih
pasangan calon, tersampaikan aspirasinya kepada pasangan calon saat masa
kampanye, kesulitan akses secara fisik maupun akses informasi dalam pilkada, atau
bahkan tidak dapat menyampikan maupun tersampaikan aspirasinya, baik pada masa
kampanye maupun saat mencoblos. Lantas bagaimana hak-hak disabilitas dapat
terpenuhi dengan baik, jika hak memilih saja tidak terlindungi dengan baik?
Regulasi
Karena dari hak memilih itulah ditentukan nasib banyak
orang, karena calon terpilih nantinya mempunyai kuasa untuk mengeluarkan regulasi-regulasi
yang tepat dan tidak menyudutkan disabilitas. Masyarakat DIY patut berbangga
dengan adanya Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 yang menjamin hak-hak disabilitas,
maupun adanya berbagai organisasi yang menyuarakan atau mewadahi aspirasi dan
kemampuan disabilitas, baik dari pemeritnah maupun LSM. Sinkronisasi antara
pemerintah dan masyarakat inilah yang seharunya tercipta dan terbangun di dalam
upaya melindungi hak-hak disabilitas, karena tidak mungkin menjadi bangsa yang besar
tanpa memeperhatikan mereka yang termarjinalkan termasuk disabilitas.
Momen hari disabilitas ini kiranya menjadi refleksi bagi
kita semua untuk ngewongke wong disabilitas,
baik bagi semua lapisan masyarakat, maupun
bagi pemerintah yang berkuasa mengeluarkan kebijakan. Termasuk dalam momen
pilkada ini, hendaknya para calon pasangan agar mengangkat isu disabilitas
tidak sebatas untuk merebut hati disabilitas. Namun juga bagaimana setelah
terpilih calon pasangan dapat mengeluarkan regulasi yang dapat melindungi
hak-hak disabilitas pula.
Muhammad Karim Amrullah
Mahasiswa Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2012
Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Peduli Difabel Universitas Gadjah Mada 2015
Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta pada Rabu, 9 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar