Rabu, 03 Mei 2017

Disabilitas Bukan Sekadar Isu Pilkada

Kaum disabilitas atau difabel (different ability/berbeda kemampuan) yang disebut sebagai orang-orang dengan berkebutuhan khusus maupun kelainan fisik atau mental, kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan di tengah-tengah kehidupan demokrasi dan hiruk-pikuk memperjuangkan hak asasi manusia, mereka masih saja terlupakan dan terpinggirkan, menjadi isu klasik yang seolah sudah biasa.

Padahal, disabilitas bukan berarti bukan manusia. Semangat inilah yang dibawa oleh masyarakat internasional, yangmana kemudian dituanagkan di dalam United Nations Convention Rights of Person with Disabilities. Konvensi tersebut menggunakan istilah person with disabilities, bukan disabilities people, yang menempatkan dan mengakui tiap-tiap orang secara individu yang memiliki kelainan fisik tetaplah manusia sebagai subjek, sama seperti lainnya. Kelainan fisik maupun mental yang disandang oleh seseorang, bukan berarti menempatkan dirinya sebagai objek in society.

Menempatkan dan memandang disabilitas sebagai objek inilah yang menimbulkan diskriminasi negative selama ini. Mereka dianggap tidak mampu, butuh dikasihani, bahkan terhina. Sehingga sebagai kelompok termarjinalkan atau minoritas, hak-hak setiap orang disabilitas perlu dilindungi.

Main Pim-pong

Pemerintah Indonesia memang telah meratifikasi UNCRPD melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Namun, implementasi negara dalam upaya untuk memenuhi hak-hak disabilitas di berbagai bidang belum sepenuhnya dilakukan, baik dari sector pendidikan, kesehatan, pekerjaan, kehidupan yang layak, dan lain sebagainya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 saja masih menggunakan istilah penyandang cacat, yangmana menimbulkan konsekuensi bahwa mereka yang berkelainan fisik atau mental ditempatkan sebagai subjek dalam kehidupan.

RUU Disabilitas yang baru digodok dan on progress menunjukkan disabilitas masih menjadi mainan pim-pong di dalam percaturan politik. Disabilitas bukanlah menjadi isu yang penting bagi para pembuat kebijakan maupun pemangku kepentingan. Kebijakan yang dikeluarkan pun cenderung tidak memihak, bahkan semakin menyudutkan.

Isu disabilitas bisa saja terangkat dalam sekejap dalam momen-momen tertentu, sebut saja pada akhir tahun ini bertepatan hari disabilitas internasional pada 3 Desember dan pilkada pada 9 Desember mendatang. Namun, apakah memperjuangkan isu disabilitas hanya sekedar euphoria semata? Tidak ada jaminan bahwa hari disabilitas dan momen pilkada yang kebetulan berdekatan itu, pasangan calon melalui janji kampanye akan benar-benar memperjuangkan isu disabilitas, selain setelah pasangan calon terpilih benar-benar merealisasikan melalui kebijakan yang nyata.

Ironisnya, pada saat yang sama, orang disabilitas masih saja terdikriminasi dalam menyampikan aspirasinya di dalam pesta demokrasi bernama pemilu, yang katanya pesta untuk semua rakyat dan dalam rangka menjamin hak asasi manusia. Para disabilitas kerap kesulitan dalam mengenal dan memilih pasangan calon, tersampaikan aspirasinya kepada pasangan calon saat masa kampanye, kesulitan akses secara fisik maupun akses informasi dalam pilkada, atau bahkan tidak dapat menyampikan maupun tersampaikan aspirasinya, baik pada masa kampanye maupun saat mencoblos. Lantas bagaimana hak-hak disabilitas dapat terpenuhi dengan baik, jika hak memilih saja tidak terlindungi dengan baik?



Regulasi

Karena dari hak memilih itulah ditentukan nasib banyak orang, karena calon terpilih nantinya mempunyai kuasa untuk mengeluarkan regulasi-regulasi yang tepat dan tidak menyudutkan disabilitas. Masyarakat DIY patut berbangga dengan adanya Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 yang menjamin hak-hak disabilitas, maupun adanya berbagai organisasi yang menyuarakan atau mewadahi aspirasi dan kemampuan disabilitas, baik dari pemeritnah maupun LSM. Sinkronisasi antara pemerintah dan masyarakat inilah yang seharunya tercipta dan terbangun di dalam upaya melindungi hak-hak disabilitas, karena tidak mungkin menjadi bangsa yang besar tanpa memeperhatikan mereka yang termarjinalkan termasuk disabilitas.


Momen hari disabilitas ini kiranya menjadi refleksi bagi kita semua untuk ngewongke wong disabilitas, baik bagi semua lapisan masyarakat, maupun bagi pemerintah yang berkuasa mengeluarkan kebijakan. Termasuk dalam momen pilkada ini, hendaknya para calon pasangan agar mengangkat isu disabilitas tidak sebatas untuk merebut hati disabilitas. Namun juga bagaimana setelah terpilih calon pasangan dapat mengeluarkan regulasi yang dapat melindungi hak-hak disabilitas pula.


Muhammad Karim Amrullah
Mahasiswa Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2012
Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Peduli Difabel Universitas Gadjah Mada 2015

Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta pada Rabu, 9 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar