Rabu, 03 Mei 2017

Kompleksitas Pengaturan Penataan Ruang di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Konsep negara hukum yang dianut Indonesia memberikan konsekuensi logis segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, termasuk juga terkait pemerintahan harus didasarkan pada hukum. Dalam konteks Indonesia, sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1] Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang ada membentuk sistem hukum yang saling terintegrasi dalam rangka mencapai tujuan yang diidealkan bersama.
Indonesia adalah negara yang menganut konsep welfare state. Hal tersebut termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.[2] Welfare state adalah konsep yang menyatakan bahwa negara mempunyai peran kunci dalam menjaga dan meningkatkan kesejahteraan warga negaranya.[3] Implementasi Indonesia sebagai welfare state adalah suatu negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara negara yaitu pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara di pusat dan di daerah terhadap rakyatnya harus bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 27 Tahun 2007) menyebutkan bahwa tujuan penataan ruang adalah: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.[4] Berdasarkan tujuan penataan ruang yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan penataan ruang di Indonesia pada dasarnya adalah melakukan penataan ruang agar terwujud keselerasan dan keserasian antara sumber daya alam, sumber daya buatan dan juga sumber daya manusia sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Secara implisit tujuan penataan ruang adalah mengatur pemanfaatan ruang agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Penataan ruang tersebut harus dilaksanakan secara terintegrasi, berkesinambungan, dan memperhatikan kondisi daerah yang akan ditata, dengan demikian akan tercipta pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan masyarakatnya. Namun, permasalahan penataan ruang sejatinya dimulai dari pembentukan peraturan perundang-undangan terkait penataan ruang. Diantaranya ialah ketiadaan pengaturan penataan ruang di daerah serta ketidakharmonisan pengaturan di tingkat nasional dan pusat. Masih terdapat beberapa provinsi yang belum memiliki Peraturan Daerah mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW), diantaranya ialah Provinsi Kalimantan Utara dan Provinsi Riau serta beberapa Kabupaten yang belum memiliki Perda RTRW. Ketiadaan pengaturan tersebut disebabkan adanya permasalahan proses pembahasan peraturan tersebut, seperti halnya yang terjadi di Provinsi Riau. Berdasarkan data dari Dirjen Tata Ruang, belum ada penjadwalan pembahasan mengenai Perda RTRW Provinsi Riau.[5] Hal ini membawa dampak pada pembangunan daerah yang tidak maksimal, karena pembangunan di daerah akan tertunda bahkan terbengkalai.[6]
Atas permasalahan tersebut terlihat bahwa pemerintah daerah Provinsi Riau tidak segera menunaikan tugasnya untuk membentuk policy terkait penataan ruang, sebagai acuan pembangunan daerah. Peraturan daerah merupakan norma yang menjadi bagian dari sistem tatanan hukum, yang membentuk satu kesatuan dari sistem norma atau tatanan hukum tersebut. Peraturan daerah pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengatur pembentukan norma lain, yakni UU No. 26 Tahun 2007 yang mengamanatkan pembentukan penataan ruang di daerah dengan peraturan daerah. Hans Kelsen menyatakan bahwa pembentukan hukum selalu merupakan penerapan hukum atas pengaturan dari norma yang lebih tinggi tersebut.[7] Dengan demikian, ketika organ pembentuk hukum tidak melaksanakan tugasnya dalam membentuk norma hukum yang diperintahkan norma hukum yang lebih tinggi, maka organ pembentuk hukum tersebut sama saja tidak menerapkan norma hukum. Terlebih, kedudukan dan kekuasaan para aktor pembentuk hukum menjadi salah satu isu penting dalam studi legislasi, mengingat hal ini merupakan keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam legislasi.[8]
Selain pengaturan hukum nasional dan daerah yang tidak terintegrasi, masalah penataan ruang lainnya ialah terkait ketidakharmonisan pengaturan penataan ruang laut. Pengaturan yang berbeda mengenai siapa yang memiliki kewenangan mengelola wilayah laut teritorial antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23 tahun 2014), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 32 Tahun 2014), dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU No. 32 Tahun 2014) berakibat pada terhambatnya pembangunan di daerah. Adapun suatu proses perencaan kebijakan, pada umumnya, atau proses perencanaan tata ruang laut, pada khususnya, tidak dapat berjalan dengan lancar dan terintegrasi dengan baik tanpa adanya suatu kemauan politik (political will) dari penyelenggara negara.[9]
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu menganalisis lebih lanjut terkait permasalahan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam penataan ruang untuk bisa ditelaah dan dikaji, sehingga dapat memberikan rekomendasi solusi atas permasalahan tersebut.

B.                 Rumusan Masalah

1.                  Bagaimana permasalahan penataan ruang di tingkat nasional dan daerah?
2.                  Bagaimana permasalahan penataan ruang laut dalam konteks peraturan perundang-undangan yang berlaku?


BAB II
PEMBAHASAN

A.                Ketidakharmonisan Pengaturan Penataan Ruang Nasional dan Daerah

1.                  Ketiadaan Pengaturan Penataan Ruang di Daerah

Bentuk upaya perwujudan negara kesejahteraan yang dianut Indonesia ialah adanya pembangunan nasional yang terintegrasi dari pusat ke daerah. Pembangunan tersebut harus direncanakan agar tidak saling bertentangan dengan kondisi masyarakat dan lingkungan, oleh karenanya diperlukan penataan ruang. Dengan demikian, dalam rangka mencapai pembangunan nasional yang terintegrasi dan berkelanjutan dari tingkat pusat ke daerah, diperlukan perencanaan ruang yang terintegrasi pula. Perencanaan tersebut harus diwadahi dalam bentuk peraturan perudang-undangan atau produk hukum, mengingat Indonesia merupakan negara hukum.
Konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi negara, telah menggariskan ketentuan utama penataan dan pengelolaan ruang, yaitu di Pasal 25A dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 25A berbunyi, “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Sedangkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemamuran rakyat.” Ketentuan-ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut ke peraturan pelaksana, yakni undang-undang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria menjadi dasar atas pengaturan mengenai bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam. Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa ketentuan di dalam konstitusi pada Pasal 33 ayat (3) bermakna Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi menguasai bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun, menguasasi yang dimaksud mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum demi kesejahteraan rakyat, sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UUPA. Pasal 2 ayat (4) dalam undang-undang yang sama kemudian menyatakan bahwa hak menguasai dari negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUPA menentukan bahwa Pemerintah Daerah diberi wewenang untuk mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing, yang dibagi dalam Daerah Tingkat II dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah. Kenyataannya, pengaturan mengenai penataan ruang di tingkat daerah tidak diatur langsung dalam peraturan pemerintah, melainkan diatur lebih lanjut lebih dulu dalam undang-undang. Akan tetapi, terdapat kontradiksi antara UUPA dengan Undang-Undang tentang Penataan Ruang terkait pembagian wilayah di daerah. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang membagi penataan ruang berdasarkan aspek administratif yang berbeda dengan UUPA, yaitu meliputi ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Saat ini pembagian penataan ruang di daerah provinsi dan kabupaen/kota tidak dibagi lagi atas istilah tingkat-tingkat sebagaimana diatur yang pernah berlaku sebelumnya, mengingat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagaimana asas lex posterior derogat legi priori. Befitu pula asas lex specialis derograt legi generalis, maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur secara khusus mengenai penataan ruang, mengesampingkan pembagian wilayah daerah atas tingkat tertentu dalam UUPA, sekalipun UUPA belum dicabut. Adanya Undang-Undang tentang Penataan Ruang ini menunjukkan adanya delegasi wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa.
Berbicara mengenai pengaturan tata ruang di Indonesia, menurut Daud Silalahi, rencana tata ruang wilayah merupakan suatu pengertian yang secara eksplisit tersirat cakupan yang luas mengandung arti bahwa:
a.       seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
b.      seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai karunia tuhan yang maha esa merupakan kekayaan nasional
c.       hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk bagian hubungan yang bersifat abadi.
d.      Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
e.       dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
f.       yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air adalah yang berada di dalam bumi. [10]
Keenam point memberikan makna bahwa diperlukan pengaturan atas tata ruang suatu wilayah berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan yang terdapat dalam suatu wilayah. Sedangkan Menurut Yunus Wahid, dalam memahami konteks tata ruang dan penataan ruang, “ruang” dapat dipahami sebagai wadah, konsep, dan pengertian dengan penekanan tertentu.[11] Ruang sebagai wadah mula-mula diartikan sebagai bidang datar yang dalam perkembangannya kemudian mempunyai dimensi tiga dan berarti tempat tinggal (dwelling house) yang harus ditata sebaik-baiknya demi kesejahteraan. Imam Koeswahyono menyatakan bahwa dalam penataan ruang demi mencapai tujuan kesejahteraan rakyat, maka dalam tataran operasional perencanaan tata ruang paling tidak ada tiga tahapan yang harus ditempuh yaitu:
a.       Pengenalan kondisi tata ruang yang ada dengan melakukan pengkajian untuk melihat pola dan interaksi unsur pembentuk ruang, manusia, sumber daya alam;
b.      Pengenalan masalah tata ruang serta perumusan kebijakan pengembangan tata ruang wilayah nasional menekankan masalah dikaitkan dengan arahan kebijakan pemanfaatan ruang masa datang serta kendalanya; dan
c.       Penyusunan strategi pemanfaatan ruang.[12]
Sedangkan ruang sebagai pengertian mempunyai unsur bumi, air, dan udara, yang mempunyai tiga dimensi.[13] Maka dapat dibedakan pengertian yang memberikan keutuhan atas pengertian rencana tata ruang wilayah yang dikemukakan oleh Sadli Samad yaitu sebagai berikut:[14]
a)      Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya;
b)      Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak;
c)      Rencana tata ruang wilayah adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;
d)     Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang; dan
e)      Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya ruang batas dan sistem ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional.
Uraian tersebut memperlihatkan bahwa pernyataan ruang dalam tinjauan hukum dapat mencerminkan adanya pengertian yang kompleks untuk melakukan suatu kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian rencana tata ruang wilayah yang sesuai dengan ketentuan dalam pengelolaan tata ruang wilayah.
Solihin memberikan pengertian rencana tata ruang wilayah adalah mengatur, mengelolah, menangani, mempotensikan segala hal yang ada di atas bumi, air dan ruang angkasa untuk digunakan bagi kesejahteraan manusia yang tinggal dalam ruang tersebut untuk memenuhi kepentingannya sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang mengatur penggunaan ruang.[15] Sejalan dengan itu, Rahmat Barong menyatakan bahwa rencana tata ruang itu mencakup perencanaan struktural dan pola pemanfatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.[16] Begitu pula Soejarto memberikan pengertian bahwa rencana tata ruang merupakan pedoman pelaksanaan pembangunan yang berisi kebijaksanaan strategis dan program-program pemanfaatan ruang dalam jangka waktu perencanaan.[17]
Ketentuan-ketentuan yang berlaku terkait tata ruang di Indonesia mewajibkan pemerintah untuk menyusun suatu rencana umum, yang kemudian akan dirinci lebih lanjut dalam rencana-rencana regional dan daerah oleh pemerintah daerah.[18] Hal ini memberikan makna bahwa pemerintah daerah tidak boleh melakukan tindakan kewenangan agraria (pengelolaan atas sumber daya alam termasuk tanah) jika tidak ditunjuk ataupun didelegasikan wewenang oleh pemerintah kepada daerah-daerah otonom.[19] Begitu pula dengan adanya otonomi daerah, daerah memiliki hak untuk mengatur daerahnya sendiri namun tetap dikontrol oleh pemerintah pusat dan undang-undang. Dengan tetap adanya pengawasan dari pusat tersebut, maka kebebasan itu tidak mengandung arti adanya kemerdekaan (onafhebkeleijk).[20] Nurhadi menyatakan bahwa:[21]
Rencana tata ruang wilayah tidak terlepas dari mengenai konsep lingkungan hidup yang mengisyaratkan bahwa setiap kegiatan pembangunan harus dapat dipertanggungjawabkan dalam pengelolaan dan penanganannya agar bentuk-bentuk rencana tata ruang wilayah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah pada gilirannya menjadi konsekuensi logis bagi masyarakat memahami pentingnya rencana tata ruang wilayah dan pentingnya batasan-batasan mengenai ruang yang sangat berkaitan dengan nuansa pelaksanaan pemerintahan yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengatur pola ruang lingkup dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari.
Karenanya, Tarmidzi berpendapat bahwa berbagai bentuk perencanaan tata ruang wilayah dalam suatu daerah, perlu ditetapkan adanya peraturan daerah. Peraturan daerah yang dimaksud tidak terlepas dari peran serta masyarakat adalah sebagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan rencana tata ruang wilayah.[22]
Atas uraian dan tinjauan yang dikemukakan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa rencana tata ruang wilayah diartikan sebagai bentuk perumusan kebijakan pokok dalam memanfaatkan ruang dalam suatu wilayah yang mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antara wilayah, serta keserasian antara sektor dalam mengeksiskan pentingnya rencana tata ruang wilayah yang diterapkan di daerah. Karenanya, perencanaan struktur dan pola pemanfatan ruang merupakan kegiatan penyusunan rencana tata ruang yangmana pengaturannya terdapat hierarki.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menjelaskan yang dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural ruang dan pola ruang. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 5 dalam undang-undang yang sama menyatakan, yang dimaksud dengan penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sedangkan ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, sebagaimana dijelaskan Pasal 1 angka 1 dalam undang-undang yang sama. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa negara sebagai penyelenggara penataan ruang untuk kesejahteraan rakyat, memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer sesuai dengan kewenangan administratif yaitu dalam bentuk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota),[23] serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci seperti Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).[24] Rencana Tata Ruang Wilayah di Indonesia mempunyai klasifikasi vertikal dari yang tertinggi adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional atau biasa disingkat RTRWN yang merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah Negara yang berlaku selama 20 tahun. Kemudian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau biasa disingkat RTRW provinsi yang merupakan penjabaran dari RTRWN yang bersifat umum di wilayah provinsi. Kemudian selanjutnya Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang merupakan rencana tata ruang yang bersifat umum pada tingkat kabupaten yang diatur dalam suatu Peraturan Daerah.[25]
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa rencana umum tata ruang merupakan perangkat penataan ruang wilayah yang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif yang secara hierarki terdiri atas RTRW Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan. Rencana kerja pembangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu satu tahun yang memuat rancangan kerja ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada rencana kerja pemerintah.[26] Sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang Penataan Ruang bahwa pengaturan penataan ruang sebagai upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.[27]
Selanjutnya, rencana umum tata ruang dijabarkan dalam rencana rinci tata ruang yang disusun dengan pendekatan nilai strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan muatan subtansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan subblok yang dilengkapi peraturan zonasi sebagai salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis dan rencana detail tata ruang. Rencana detail tata ruang merupakan penjabaran dari RTRW pada suatu kawasan terbatas, ke dalam rencana pengaturan pemanfaatan yang memiliki dimensi fisik mengikat dan bersifat operasional. Rencana detail tata ruang berfungsi sebagai instrumen perwujudan ruang khususnya sebagai acuan dalam permberian advice planning dalam pengaturan bangunan setempat dan rencana tata bangunan dan lingkungan.[28]
Meningkatnya kebutuhan ruang dalam pelaksanaan pembangunan berimplikasi terhadap penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Masalah tersebut diperparah dengan kondisi bahwa baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota belum disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) melalui peraturan daerah. Padahal melalui perda RTRW ini mengatur penggunaan ruang telah dikelompokkan berdasarkan struktur dan fungsi ruang. Struktur dan fungsi ruang inilah yang seharusnya menjadi dasar dalam penggunaan ruang.
Direktur Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU Ir. Joessair Lubis, CES., pada 1 November 2012 menyatakan bahwa sebanyak 50 persen daerah kabupaten/kota di Indonesia belum miliki peraturan daerah yang mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dengan rincian bahwa dari sekitar 491 kabupaten/kota di Indonesia, baru sekitar 200 daerah yang sudah memiliki perda RTRW, sekalipun telah melakukan pendampingan kepada seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia dalam rangka penyusunan perda tersebut. Padahal Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menetapkan target semua daerah di Indonesia memiliki perda tersebut pada akhir 2012.[29]
Kementerian Pekerjaan Umum pernah menargetkan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah (RTRW) di seluruh provinsi dan kabupaten/kota dapat terselesaikan pada tahun 2012. Dirjen Tata Ruang Kementerian PU Imam S. Ernawi mengatakan dari 33 provinsi ada 21 provinsi yang belum menyelesaikan perda RTRW, sedangkan 12 provinsi lainnya telah memiliki, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, DIY, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Lampung, Sumatra Barat. Adapun dari 491 kabupaten/kota masih terdapat 55 kabupaten/kota yang belum memiliki Perda RTRW. Sebanyak 436 di antaranya telah menyelesaikan proses substansi, bahkan sebagian besar RTRW di kabupaten/kota tersebut telah diperdakan.[30]
Pada tahun 2013, Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto sebagai perwakilan dari pemerintah pusat mendesak kepada 18 provinsi untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), mengingat pada saat itu baru 15 provinsi yang telah dan hampir merampungkan perda RTRW. Menurut Djoko, sejak UU mengenai tata ruang ditetapkan pada tahun 2007 lalu, ia mengakui belum ada perkembangan yang bagitu nyata dari setiap provinsi dalam mengimplemetasikan Rencana Tata Ruang Wilayahnya. Djoko menambahkan, sayangnya, tidak ada sanksi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jika suatu provinsi tidak segera menyelesaikan pembuatan Perda RTRW sampai batas waktu yang ditetapkan pamarintah akhir tahun 2013 lalu.[31]
Indonesian Audit Watch (IAW) mencatat, pada tahun 2013 sedikitnya ada 20 Pemerintah Daerah (Pemda) provinsi yang tidak memberikan prioritas dan perhatian terhadap Perda RTRW, dibandingkan dengan jumlah 15 provinsi yang telah menyelesaikan perda RTRW. Data yang diungkapkan oleh Ketua Pendiri IAW Junisab Akbar pada Selasa, 25 Oktober 2016 di Jakarta tersebut pun sebenarnya diungkapkan sendiri oleh mantan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto. Analisa IAW juga menunjukkan bahwa pemerintah pusat sampai masa berakhirnya kepemimpinan Presiden Keenam SB Yudhoyono terlihat kurang memberikan perhatian untuk mendesak pemda agar segera mengesahkan Perda RTRW.[32]
Direktur Penataan Ruang Wilayah IV Kementerian Pekerjaan Umum, Lina Marlia menyatakan bahwa setiap daerah harus memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berikut perda yang memuat RTRW masing-masing wilayah. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007) bahwa dua tahun setelah April 2007, setiap provinsi harus sudah menetapkan Perda RTRWP, serta tiga tahun setelah bulan tersebut kabupaten/kota harus menetapkan Perda RTRW masing-masing. UU No. 26 Tahun 2007 pun juga telah mengatur kewenangan provinsi, kabupaten/kota dalam penataan ruang seperti yang tertuang pada Bab IV UU No. 26 Tahun 2007. Selain itu, pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang termasuk sanksi juga telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 khususnya Pasal 55.[33]
Masih terdapatnya permasalahan ketiadaan perda RTRW tidak terlepas dari ketidakharmonisan pengaturan penataan ruang nasional dan daerah. Padahal, RTRW menjadi pedoman untuk menyusun RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) dan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam konsepsi negara hukum, terdapat suatu suatu sistem norma yang membentuk satu kesatuan dalam tatanan hukum. Sehingga terdapat norma yang mengatur pembentukan norma hukum lain, dimana pembentukan norma hukum tersebut merupakan penerapan norma hukum yang lebih tinggi.[34] Dengan demikian, fungsi pembentuk norma harus dipandang sebagai fungsi penerap norma sekalipun hanya unsur personalnya. Yakni individu yang harus membentuk norma yang lebih rendah, yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi tersebut.[35] Akan tetapi di sisi lain, tidak semua aparat pembentuk hukum di daerah memiliki kapabilitas yang mumpuni untuk menyusun Naskah Akademik serta Raperda, sehingga kemampuan tersebut harus ditingkatkan dengan berbagai pelatihan.
Lebih lanjut, ketiadaan peraturan yang perlu dibentuk akibat adanya delegatie provisio menunjukkan minimnya pengawasan dari Pemerintah Pusat. Padahal pengawasan menurut George R Terry ialah menetapkan atau menitikberatan pada tindakan evaluasi dan koreksi terhadap hasil yang telah dicapai dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana.[36] Oleh karena itu, jika hasil evaluasi menunjukkan adanya ketidaksesuaian, dalam hal ini ialah ketiadaan pengaturan penataan ruang di daerah, untuk segera ditindaklanjuti agar sesuai rencana pembangunan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa masih terdapat beberapa daerah yang belum memiliki Perda RTRW. Pada kasus Provinsi Riau, permasalahan tidak selesainya Perda RTRW tersebut dikarenakan lambatnya proses pembahasan di DPRD.[37] Akibatnya, seluruh Kabupaten/Kota yang ada di wilayah Provinsi Riau juga belum selesai, adapun sampai saat ini status Perda RTRW 10 (sepuluh) Kabupaten dan 2 (dua) Kota masih dalam tahap persetujuan substansi oleh Menteri. Kondisi ini memberikan dampak bagi tertundanya berbagai rencana pembangunan di daerah, sehingga justru akan menyulitkan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang sarat akan pemanfaatan sarana dan prasarana.
Selanjutnya, terkait permasalahan Perda RTRW Provinsi Kalimantan Utara yang belum selesai mengingat Provinsi Kalimantan Utara merupakan daerah otonom baru. Meski penyusunan RPJP Provinsi Kalimantan Utara harus memperhatikan rencana tata ruang, namun menilik belum diundangkannya Perda RTRW memaksa penyusunan RPJP Provinsi Kalimantan Utara berdasarkan RPJPN dan RPJMN, serta kajian penataan wilayah tanpa diwadahi oleh Peraturan Daerah. Selain Provinsi Kalimantan Utara, Daerah Otonomi Baru (DOB) lainnya ialah Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Mamuju Barat di Provinsi Sulawesi Barat, 5 (lima) Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, dan Kabupaten Muna Barat.[38]
Penataan ruang di kawasan kehutanan di daerah juga menjadi perhatian lebih dalam kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Keselarasan pemanfaatan ruang yang berkelanjutan memerlukan suatu arahan berupa kebijakan penataan ruang yang bersifat nasional dan wajib untuk diterapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional, maupun lebih jauh terkait perjanjian atau konvesi internasional yang bersifat mengikat.
Di dalam UU No. 26 Tahun 2007  terdapat ketentuan batas waktu penyelesaian revisi RTRW selama dua tahun untuk RTRWP dan tiga tahun untuk RTRWK terhitung sejak pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2007 tanggal 26 April 2007. Sehingga pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional telah mendorong seluruh provinsi di Indonesia untuk melakukan penyesuaian (revisi) RTRWP, termasuk RTRWK yang harus menyesuaikan ketentuan yang berlaku. Dengan adanya pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya sesuai UU No. 41 Tahun 1999, maka usulan perubahan fungsi kawasan hutan di dalam revisi RTRWP harus memperhatikan kriteria teknis dari masing-masing fungsi pokok kawasan hutan tersebut.
Pasal 19 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah, khususnya peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana kelanjutan ayat (2). Pasal 19 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam UU No. 41 Tahun 1999, penatagunaan kawasan hutan adalah kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan hutan di bagi menjadi tiga yaitu:
a.       hutan konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru;
b.      hutan lindung, adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah; dan
c.       hutan produksi, adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan berupa benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.[39]
Dengan adanya pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya, maka usulan perubahan fungsi kawasan hutan di dalam revisi RTRW harus memperhatikan kriteria teknis dari masing-masing fungsi pokok kawasan hutan tersebut. Hal ini mengingat keberadaan kawasan hutan dalam suatu wilayah merupakan bagian dari wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang bersangkutan. Karenanya kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota akan memberikan implikasi terhadap keberadaan kawasan hutan tersebut. Pada saat yang sama, kebutuhan ruang dalam pelaksanaan pembangunan di daerah semakin meningkat yang mengharuskan alih fungsi, terhambat dengan mekanisme perubahan fungsi kawasan hutan harus melalui persetujuan Kementerian Kehutanan sesuai dengan amanat Pasal 19 UU Kehutanan, atau akan terkena sanksi.

2.                  Kontradiksi Pengaturan Penataan Ruang di Wilayah Perbatasan

Pembangunan nasional merupakan upaya perwujudan mencapai tujuan negara, yakni kesejahteraan rakyat. Guna mencapai pembangunan nasional yang sesuai dengan konsep negara kesejahteraan tersebut, pembangunan nasional harus direncanakan secara terintegrasi dari daerah ke pusat dengan memperhatikan kondisi masing-masing wilayah. Hal ini perlu dilakukan untuk mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan agar pembangunan tidak memberikan dampak negatif atas lingkungan hidup yang pada akhirnya berimplikasi pada ketidaknyamanan masyarakat. Oleh karenanya, negara perlu membentuk perencanaan pembangunan yang memaksimalkan ruang di wilayah negara Indonesia.
Ketersediaan ruang yang terbatas membuat pengalokasian ruang harus tepat guna agar menghasilkan manfaat yang maksimal bagi semua pihak. Permasalahan tersebut yang mendasari dibuatnya peraturan tata ruang untuk mengatur alokasi-alokasi ruang di suatu daerah. Tata ruang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Ruang didefinisikan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahkluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.[40] Definisi tata ruang menurut Undang-Undang adalah wujud struktur dan pola ruang.[41] Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarki memiliki hubungan fungsional.[42] Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.[43]
Undang-Undang No. Tahun 2007 menetapkan asas-asas penataan ruang sehingga manfaat tata ruang dapat dirasakan oleh semua stakeholder, yaitu:
a.       Keterpaduan: mengintegrasikan kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan yaitu pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b.      Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan: keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan perdesaan.
c.       Keberlanjutan: menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
d.      Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan: mengoptimalkan manfaat ruang dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
e.       Keterbukaan: memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
f.       Kebersamaan dan Kemitraan: penyelenggaraan melibatkan seluruh stakeholder.
g.      Perlindungan Kepentingan Umum: penataan ruang harus mengutamakan kepentingan masyarakat.
h.      Kepastian Hukum dan Keadilan: penataan ruang yang berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
i.        Akuntabilitas: penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.[44]
Asas-asas penataan ruang tersebut agar dalam melaksanakan penataan ruang sesuai dengan koridor hukum dan tata perundangan-undangan, mampu mengakomodasi kepentingan semua stakeholder tanpa terkecuali dan bermanfaat bagi lapisan masyarakat.
Sebagaimana sebelumnya bahwa dokumen penataan ruang menjadi pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional maupun daerah yang terintegrasi, maka merencanakan penataan ruang yang berorientasi kesejahteraan rakyat di daerah menjadi keniscayaan. Hal ini tidak lain mengingat pembangunan nasional akan terwujud jika pembangunan di seluruh daerah maksimal dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.
Berpijak dari konsep otonomi daerah di negara kesatuan, setiap daerah otonom berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri pembangunan di daerah masing-masing. Pembangunan daerah tersebut dimulai dengan merencanakan peruntukan, pengelolaan, dan pemanfaatan ruang di daerah agar pembangunan tepat guna mendorong kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai permasalahan mengenai pembangunan daerah, yang bermula dari ketidaktepatan penataan ruang, salah satunya ialah di wilayah perbatasan.
Sebagai contoh, penataan ruang di wilayah perbatasan antar kabupaten/kota yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Provinsi DIY). Penataan ruang di Provinsi DIY diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Penataan Ruang Wilayah Provinsi DIY Tahun 2009-2029 (Perda No. 2 tahun 2010). Wilayah DIY terdiri atas: Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, dan Kabupaten Gunungkidul.[45] Setiap kota dan kabupaten tersebut mempunyai batas-batas wilayah masing-masing yang saling bersinggungan.
Wilayah perbatasan yang saling bersinggungan tersebut menjadi potensi konflik sebab perencanaan dan pemanfaatan ruang di kawasan perbatasan antar kabupaten maupun antara kabupaten dan kota bisa jadi saling bertentangan. Sebagai contoh, perencanaan Desa Triharjo di Kabupaten Bantul dalam Pasal 48 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul yang menetapkan Desa Triharjo sebagai kawasan lindung sekitar mata air,[46] bertentangan dengan perencanaan Desa Gulurejo dalam Pasal  48 ayat (5) huruf d dan e jo. Pasal 54 ayat (2) huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 – 2032 sebagai kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batubara serta kawasan industri.[47] Kedua desa tersebut merupakan desa di perbatasan wilayah Kabupaten Bantul dan Kabupaten Bantul, yang mana letaknya saling berhadapan.[48] Padahal dengan ditetapkannya Desa Triharjo sebagai kawasan lindung sekitar mata air maka desa tersebut masuk sebagai kawasan lindung yang mengutamakan fungsi melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, sedangkan Desa Gulurejo yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batubara serta kawasan industri yang masuk dalam kawasan budidaya dikembangkan untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.[49]
Hal tersebut juga terjadi terhadap Desa  Poncosari di Kabupaten Bantul yang ditetapkan sebagai Kawasan Sempadan Pantai dan Kawasan Pantai Berhutan Bakau (masuk sebagai kawasan lindung) dengan Desa Kranggan di Kabupaten Kulonprogo yang ditetapkan sebagai Kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batubara (masuk sebagai kawasan budidaya).[50] Berdasarkan penjabaran tersebut terdapat potensi konflik antara 2 (dua) desa ini dengan perencaaan peruntukan kawasan yang berbeda prioritas fungsinya.
Kawasan lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.[51] Sedangkan kawasan budi daya ialah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.[52] Dengan demikian, kedua desa yang berbatasan tersebut memiliki peruntukan kawasan yang berbeda, mengingat fungsi utama kawasan di kedua desa berbeda. Kondisi ini juga menjadi salah satu sumber permasalahan pembangunan daerah di Kabupaten Bantul sebagaimana yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Bantul, yakni adanya potensi sengketa perbatasan.[53]
Atas hal tersebut, terlihat penelitian (research) dalam proses penyusunan Perda RTRW kurang maksimal. Legislasi menurut Ann Seidmann dkk harus dipahami secara makro, dimana terdapat 6 (enam) aspek penting dalam keseluruhan proses legislasi (law making process), yaitu: (a) a bill’s origin; (b) concept paper; (c) prioritization; (d) drafting the bill; (e) research; dan (f) who has access and supplies input into the drafting process.[54] Research merupakan penelitian dan pengumpulan bahan materi pembentukan peraturan perundang-undangan dengan menganalisis terkait pendapat publik, biaya penerapan dan kemungkinan dampak penerapannya, serta antisipasi kesiapan lapangan.[55] Unsur research sebenarnya telah ada dan menjadi bagian dari isi naskah akademik sebagai naskah pengkajian dan penyelarasan materi yang akan diatur. Oleh karenanya, atas permasalahan proses legislasi ini dapat ditarik kemungkinan dua sebab, yaitu kapasitas aktor pembuat produk hukum dan ketidaktepatan proses. Pembentuk hukum tidak hanya harus mampu bagaimana merancang draft, namun juga menyusun naskah akademik sesuai dengan pedoman penyusunannya, sebagai pertanggungjawaban akademis atas norma hukum publik yang dibuat.
Pembentukan norma-norma hukum publik menurut Banyamin Akzin memiliki karakter khusus sehingga berbeda dengan pembuatan norma-norma dalam hukum privat. Dalam hal pembentukannya, norma-norma hukum publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga negara (penguasa negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut juga suprastruktur.[56] Sehingga dalam hal ini terlihat jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembaga-lembaga negara (public authorities) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada norma-norma hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infrastruktur.[57]
Lebih lanjut, pembentukan peraturan perundang-undangan juga dapat menggunakan berbagai metode untuk menentukan regulasi yang baik, diantaranya ialah berdasarkan metode analisis Regulatory Impact Analysis (RIA). RIA digunakan untuk menguji dan mengukur kemungkinan manfaat, biaya, dan efek dari peraturan baru atau yang sudah ada.[58] RIA menggunakan 10 pertanyaan yang merupakan standar baku yang telah ditetapkan OECD, yaitu:
a)      Apakah masalahnya didefinisikan dengan benar?
b)      Apakah tindakan pemerintah sudah tepat?
c)      Apakah regulasi merupakan tindakan terbaik pemerintah?
d)     Apakah peraturan ada dasar hukumnya?
e)      Berapa tingkatan birokrasi pemerintah yang dilibatkan untuk koordinasi regulasi ini?
f)       Apakah regulasi bermanfaat dibanding biayanya?
g)      Apakah distribusi di masyarakat dampaknya akan transparan?
h)      Apakah peraturan tersebut jelas, konsisten, dipakai dan diakses oleh pengguna?
i)        Apakah semua pihak yang berkepentingan memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pandangan mereka?
j)        Bagaimana kepatuhan terhadap regulasi dapat dicapai?[59]
Atas pertanyaan tersebut, akan didapat sejumlah pernyataan yang berisi tujuan, substansi, dan perkiraan dampak dari sebuah regulasi yang dibuat. Dalam konteks permasalahan penataan ruang yang ada, terlihat ada beberapa hal yang tidak ditinjau dalam teknik dan penyusunan peraturan mengenai penataan ruang di kawasan perbatasan. Pertama, ketidakcermatan dalam memetakan masalah yang ada serta potensi dampak permasalahan dari regulasi yang dibentuk. Kedua, tidak semua pihak yang berkepentingan memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat mereka, dalam hal ini masyarakat setempat. Partisipasi dan hearing dengan masyarakat setempat harus digalakkan, mengingat dampak atas kegiatan pertambangan sangat mungkin tidak hanya dialami oleh satu desa saja, namun juga wilayah sekitarnya.

B.                 Disharmoni Penataan Ruang Laut di Indonesia

Keutuhan tanah air Indonesia adalah merupakan suatu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan yang selain membawa berkah juga mendatangkan tantangan bagi bangsa Indonesia. Mengingat secara geografis, letak Indonesia berada di antara dua benua dan dua samudera yang sangat strategis, baik dari kepentingan nasional maupun internasonal. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia
Sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa[60].
Kondisi geografis Indonesia yang demikian kompleks membawa konsekuensi munculnya berbagai tantangan nyata bagi Indonesia yang harus dikelola secara komprehensif dan terpadu. Tantangan tersebut salah satunya adalah terkait dengan terbentuk tata ruang laut yang komprehensif. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah negara kepulauan, sehingga keterpaduan antara wilayah darat, laut, dan udara di atasnya menjadi sesuatu yang sangat krusial.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa Indonesia memiliki ruang laut dengan keadulatan dan hak beradulat di berbagai zona maritim yang sangat luas, sehingga adanya tata ruang laut yang terpadu menjadi sesuatu yang sangat penting. Tata ruang laut yang terpadu dapat mewujudkan atau memberikan kepastian hukum dan alokasi ruang bagi pemanfaatan sumber daya bagi pemanfaatan sumber daya kelautan sehingga tidak ada tumpang tindih pemanfaatan di lokasi yang sama. Adanya tata ruang laut juga akan mendukung pemanfaatan sumber daya kelautan secara optimal dan berkelanjutan karena penetapan zona kawasan telah memperhatikan potensi yang ada dalam kawasan tersebut[61]. Ketentuan mengenai tata ruang laut yang terpadu juga sejalan dan diyakini dapat mendukung program dan cita-cita Pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Ketentuan yang mengatur mengenai tata ruang nasional dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang namun konteks penataan ruang yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengatur secara jelas mengenai tata ruang laut. Dijelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat[62] dan dilakukan dengan menghormati hak yang dimiliki orang[63] serta memberikan kewenangan bagi daerah untuk ikut serta di dalamnya[64]. Selanjutnya dirumuskan bahwa penyelenggaraan tata ruang dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor-faktor krusial lainnya seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain[65].
 Selain terkait dengan kepastian hukum dan alokasi ruang bagi sumber daya, tujuan dari penataan ruang laut nasional antara lain adalah untuk; a) mempersiapkan dukungan bagi pengembangan kegiatan sumber daya alam pesisir dan laut, b) mempersiapkan wilayah  pesisir dan laut untuk  berperan  dalam  perkembangan  global, c) membanu mengurasi kesenjangan perkembangan antar bagian wilayah nasional, terutamanya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat marjinal d) memperkuat akses antar bagian wilayah nasional sebagai negara kesatuan e) meningkatkan kelestarian lingkungan pesisir dan laut[66]. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya tata ruang kelautan nasional yang terpadu merupakan sesuatu yang sangat urgen dan krusial.
Permasalahan yang muncul adalah sampai sekarang Indonesia belum memiliki peraturan yang secara spesifik mengatur tata ruang kelautan. Padahal seperti yang sudah diketahui, pembentukan tata ruang laut yang terpadu telah diamanatkan secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang[67] dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan[68]. Kenyataan ini dapat dikatakan sangat ironis mengingat kondisi geografis Indonesia yang notabene 2/3 wilayahnya berupa wilayah laut. Akibatnya, banyak terjadi tumpang tindih antar kepentingan yang berujung pada kerugian rakyat. Salah satunya seperti pembuatan pelabuhan galangan kapal yang belum memperhatikan zonasi, sehingga merusak kabel bawah laut, yang notabene 98 persen komunikasi suara dan data melalui kabel bawah laut tersebut[69].
Permasalahan lain yang muncul adalah adanya ketidakharmonisan atau ketidaksinkronan antara pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemeritahan Daerah terkait dengan ketentuan-ketentuan tata ruang laut. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 merumuskan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki wewenang untuk menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) secara rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam wilayahnya[70]. Penyusunan RZWP-3-K dinyatakan sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disusun dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan di samping itu terdapat pula kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi[71]. RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah[72].
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa yang diberi kewenangan untuk mengelola kelautan termasuk di dalamnya menyusun tata ruang atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) adalah Pemerintah Daerah Provinsi. Ketimpangan lebih jauh ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merumuskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir termasuk di dalamnya penyusunan tata ruang dapat dilakukan oleh Gubernur maupun Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Sejauh mana kewenangan dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dijelaskan lebih jauh sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.
Apabila ditilik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 arah kebijakan atau roadmap pembangunan maritim dan kelautan difokuskan pada peningkatan tata kelola sumberdaya kelautan, dengan strategi penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta penyusunan tata ruang laut dan harmonisasi tata ruang daratan dan laut[73]. Namun apabila melihat keadaan pengaturan yang ada berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa belum adanya suatu kejelasan tentang pihak yang sebenarnya memiliki wewenang untuk menyusun rencana tata ruang laut sehingga dapat dikatakan bahwa pengaturan yang ada sekarang belum mendukung pengelolaan laut khusunya ruang laut secara terpadu dan teratur sehingga dapat dikatakan bahwa strategi harmonisasi serta pengeolaan tata ruang kelautan beserta pelaksanaannya masih jauh dari sempurna.
Untuk dapat mengetahui penyebab ketidakharmonisan yang ada di pengaturan tata ruang laut di Indonesia maka perlu dianalisis lebih lanjut mengenai definisi dari penataan ruang laut. UNESCO dan Intergovernmental Oceanographic Commisions  (IOC) melalui Marine Spatial Planning Programme memberikan definisi penataan ruang laut sebagai berikut:
Marine spatial planning is a public process of analyzing and allocating the spatial and temporal distribution of human activities in marine areas to achieve ecological, economic and social objectives that have been specified through a political process. (penataan ruang laut adalah proses publik untuk menganalisis dan mengalokasikan secara spasial dan temporal distribusi aktivitas pada area laut dan untuk mendapatkan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial yang telah ditentukan secara spesifik melalui proses politik)[74].
            Poin yang perlu digarisbawahi dari rumusan definisi tersebut adalah adanya suatu proses politik yang melatarbelakangi. Artinya suatu proses perencaan kebijakan, pada umumnya, atau proses perencanaan tata ruang laut, pada khususnya, tidak dapat berjalan dengan lancar dan terintegrasi dengan baik tanpa adanya suatu kemauan politik (political will) dari penyelenggara negara. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa political will Pemerintah yang relatif lemah turut memegang andil besar terhadap persoalan-persoalan tata ruang laut di Indonesia[75].
            Di samping itu, perencanaan tata ruang laut sangat terkait erat dengan aktivitas manusia pada wilayah laut sehingga suatu perencanaan tata ruang laut juga seharusnya dapat secara gamblang menjelaskan bagaimana cara mengatur manusia atau pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) di wilayah yang bersangkutan. Apabila hal ini dikaitkan dengan proses politik yang telah sedikit disinggung dalam paparan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa perencanaan tata ruang laut sangat erat berkaitan dengan adanya tarik-menarik kepentingan[76].
            Terkait dengan lemahnya political will dari penyelenggara negara terkait dengan pengelolaan tata ruang laut dapat diidentifikasikan dari Laporan Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut yang disusun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2014 yang lalu. Laporan tersebut menyebutkan bahwa terdapat sejumlah permasalahan yang utama yang terkait dengan pengaturan tata ruang laut, yaitu:
a) penyusunan  rencana  zonasi  ruang  laut, b) peta dasar lingkungan laut dan lingkungan pantai yang  belum operasional, c) penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau  kecil, d) desentralisasi dalam pengelolaan  ruang  laut, e) pengendalian pencemaran dan  kerusakan ekosistem[77]. Permasalahan tersebut tidak terlepas dari sejumlah permasalahan yang muncul terkait dengan peraturan perundang-undangan yang belum disusun, kesalahan tekstual dan kontekstual dalam aturan perundang-undangan, hingga permasalahan substansi dari aturan perundang-undangan tersebut. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terdapat permasalahan lintas sektoral dan permasalahan kapasitas kelembagaan pemerintah dan tarik-menarik yang terjadi di internal Kementrian Kelautan dan Perikanan[78].
            Suatu legislasi dapat diukur efektivitasnya menggunakan ukuran-ukuran tertentu. Efektivitas suatu legislasi diukur dari peran dan sumbangannya dalam menghasilkan dan mengimplementasikan good governance atau tata atur dan kelola yang baik. Di sisi lain, legislasi yang tidak efektif akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah dalam penyelenggaraa negara dan pelaksanaan pembangunan[79]. Apabila ditilik dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa pengaturan tata ruang laut di Indonesia masih jauh dari produk legislasi yang dapat dikategorikan sebagai efektif, oleh karena dalam pembuatannya masih diwarnai dengan tarik-menarik kepentingan, dalam pelaksanannya terdapat masih terdapat disharmonisasi atau tumpang tindih peraturan sehingga dapat dikatakan lebih jauh bahwa pengaturan tata ruang laut belum menghasilkan dan mengimplementasikan good governance. Selain itu apabila mengutip asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengaturan tata ruang laut Indonesia kurang mencerminkan asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan asas keterbukaan[80]



BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Masih terdapat permasalahan terkait legislasi di tingkat nasional maupun daerah dalam penataan ruang yang diakibatkan oleh ketidakmampuan organ pembentuk hukum dan peranannya yang kurang maksimal. Hal ini berakibat pada lambatnya pembangunan daerah, sehingga kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan pembangunan tidak terpenuhi
2.      Tatanan hukum di bidang urusan penataan ruang yang tidak terintegrasi dan saling tumpang tindih menyebabkan adanya ketidaksinkronan pengaturan mengenai penataan ruang laut. Pada akhirnya akan berdampak pada pengelolaan penataan dan pemanfaatan ruang, sehingga potensi sumber daya hasil daerah kurang maksimal.

B.                 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan pembahasan di atas sebagai berikut:
1.                  Mengadakan pelatihan penyusunan naskah akademik dan drafting peraturan perundang-undangan di daerah
2.                  Mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan di sektor nasional maupun antara tingkat nasional dan daerah
3.                  Melakukan pengkajian dengan mendasarkan berbagai teknik atau metode penyusunan, serta asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
4.                  Menjaring aspirasi sebanyak-banyaknya dari semua lapisan masyarakat, agar peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat dilaksanakan, serta sesuai kebutuhan masyarakat dan lingkungan








DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Akzin, Benyamin 1964, Law, State, and International Legal Order Essays in Honor of Kelsen, the University of Tennessee Press, Knoxvilee.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014, Konsep Mainstreaming Ocean Policu Ke Dalam Rencana Pembangunan Nasional, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, 2015, Buku Saku RPJM 2015-2019 Rangkuman Buku I dan Buku II terkait Tata Ruang dan Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Hadjon, Philipus M. et.al, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Harsono, Boedi 1999, Keterkaitan Hukum dalam Penataan Wilayah, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Kelsen, Hans 1971, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (terjemahan), Nusa Media, Bandung.
Koeswahyono, Imam, 2000, Rencana Tata Ruang Kota dan Wilayah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta.
Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.
Nurhadi, 2002, Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan, Penerbit Tarsito, Bandung.
Parlindungan, A.P 1993, Rencana Tata Ruang Kota dan Wilayah, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Samad, Sadli 2003, Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta.
Seidmann, Ann, dkk, 2002 (edisi kedua), Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang (terjemahan), Jakarta, ELIPS.
Silalahi, Daud 2004, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung.
Solihin, 2004, Pengaturan Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah dan Interior Perkotaan, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta.
Sunarno, Siswanto 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta.
Tarmidzi, 2004, Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan dalam Aspek Hukum Tata Ruang, Penerbit Dian Ilmu Harapan, Surabaya/
Wahid, M. Yunus 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang, Prenadamedia Group, Jakarta.

Artikel Jurnal, Laporan Penelitian, Bahan Ajar:
Barong, Rahmat 2006, Upaya-upaya Pemerintah dalam Penataan Ruang Perkotaan, Penerbit Tarsito, Bandung. Soejarto, D. 1992, “Wawasan Tata Ruang” Jurnal, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Bandung, Edisi Khusus Juli.
Direcorate for Public Governance and Territorial Development, “Building an Institutional Frameworks for Regulatory Impact Analysis (RIA): Guidance for Policy Makers”, Penelitian, Organisation for Economic Co-Operation and Development, hlm. 14.
Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementrian Agraria dan Tata Ruang, “Status RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia”, Laporan Penelitian, 2016, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Jakarta.
Kedeputian Bidang Pencegahan Direktorat Penelitian dan Pengembangan, 2014, LaporanHasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Alam Kelautan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm. 57.
Mohammad Fajrul Falaakh, “Materi Legislasi Konteks Makro”, Bahan Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Internet:
Tribun Pekanbaru, “Ketiadaan RTRW Provinsi Riau sudah Masuk level merusak pembangunan”, Artikel, http://pekanbaru.tribunnews.com/2016/11/10/ketiadaan-rtrw-provinsi-riau-sudah-masuk-level-merusak-rencana-pembangunan, diakses pada 13 Maret 2017.
Jimmi R P Tampubolon, “Tata Ruang Laut dan Lemahnya Political Will”. http://maritimnews.com/tata-ruang-laut-dan-lemahnya-political-will/ , diakses pada 13 Maret 2017.
Ir. Joessair Lubis, “Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Berbasis Masyarakat”, Keynote Speech, Seminar Nasional Diseminasi Informasi Penataan Ruang  di gedung Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret (UNS), pada Kamis 1 November 2012, Dikutip dari https://uns.ac.id/id/uns-update/50-persen-daerah-di-indonesia-belum-miliki-perda-rtrw.html diakses pada tanggal 11 Maret 2017.
Dirjen Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, “Target Perda RTRW Tuntas Tahun Ini”, dikutip dari http://industri.bisnis.com/read/20120117/45/60313/tata-ruang-perda-rtrw-di-semua-daerah-ditargetkan-tuntas-tahun-ini diakses pada 11 Maret 2017.
Menteri Pekerjaan Umum, “Kilas Balik 5 Tahun Implementasi RTRW Nasional sebagai Matra Spasial Pembangunan Nasional”, Artikel, di Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, pada Selasa 26 Maret 2013. Dikutip dari http://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/2203730/18-provinsi-belum-punya-rancangan-tata-ruang-wilayah diakses pada 11 Maret 2017.
Direktur Penataan Ruang Wilayah IV Kementerian Pekerjaan Umum, “Sosialisasi UUPR dan Norma-Standar-Pedoman-Kriteria (NSPK) Penataan Ruang bagi Peningkatan SDM Provinsi Maluku”, Artikel, dikutip dari http://www.pu.go.id/main/view_pdf/5363 diakses pada 11 Maret 2017.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization and Intergovernmental Oceanographic Commisions, “Why Marine Spatial Planning Matters”, http://msp.ioc-unesco.org/, diakses tanggal 13 Maret 2017. 
Jimmi R P Tampubolon, “Tata Ruang Laut dan Lemahnya Political Will”. http://maritimnews.com/tata-ruang-laut-dan-lemahnya-political-will/ , diakses tanggal 13 Maret 2017.

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor  82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603).
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 – 2032 (Lembaran Daerah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 Nomor 1)
Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 11 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2021 (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2016 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Nomor 72).



[1]       Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
[2]       Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea IV.
[3]       Encyclopedia Britannica, “Welfare State”, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/639266/welfare-state, diakses 13 Maret 2017.
[4]       Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[5]       Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementrian Agraria dan Tata Ruang, “Status RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia”, Laporan Penelitian, 2016, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Jakarta, hlm. 21.
[6]       Tribun Pekanbaru, “Ketiadaan RTRW Provinsi Riau sudah Masuk level merusak pembangunan”, Artikel, http://pekanbaru.tribunnews.com/2016/11/10/ketiadaan-rtrw-provinsi-riau-sudah-masuk-level-merusak-rencana-pembangunan, diakses pada 13 Maret 2017.
[7]       Hans Kelsen, 1971, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (terjemahan), Nusa Media, Bandung, hlm. 190.
[8]       Mohammad Fajrul Falaakh, “Materi Legislasi Konteks Makro”, Bahan Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
[9]       Jimmi R P Tampubolon, “Tata Ruang Laut dan Lemahnya Political Will”. http://maritimnews.com/tata-ruang-laut-dan-lemahnya-political-will/ , diakses pada 13 Maret 2017.
[10]     Daud Silalahi, 2004, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 97.
[11]     M. Yunus Wahid, 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 1.
[12]     Imam Koeswahyono, 2000, Rencana Tata Ruang Kota dan Wilayah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm. 55.
[13]     Ibid.
[14]     Sadli Samad, 2003, Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm. 42.
[15]     Solihin, 2004, Pengaturan Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah dan Interior Perkotaan, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm. 18.
[16]     Rahmat Barong, 2006, Upaya-upaya Pemerintah dalam Penataan Ruang Perkotaan, Penerbit Tarsito, Bandung, hlm. 278-279.
[17]     D. Soejarto, 1992, “Wawasan Tata Ruang” Jurnal, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Bandung, Edisi Khusus Juli, hlm. 3-8.
[18]     Boedi Harsono, 1999, Keterkaitan Hukum dalam Penataan Wilayah, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 261.
[19]     A.P Parlindungan, 1993, Rencana Tata Ruang Kota dan Wilayah, Penerbit Andi, Yogyakarta, hlm. 39.
[20]     Philipus M. Hadjon et.al, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 79.
[21]     Nurhadi, 2002, Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan, Penerbit Tarsito, Bandung, hlm. 70.
[22]     Tarmidzi, 2004, Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan dalam Aspek Hukum Tata Ruang, Penerbit Dian Ilmu Harapan, Surabaya, hlm. 72.
[23]     Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[24]     Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[25]     Pasal 23 ayat (6) dan Pasal 26 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[26]     Siswanto Sunarno, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 86.
[27]     Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[28]     Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
[29]     Direktur Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, “Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Berbasis Masyarakat”, keynote speech, Seminar Nasional Diseminasi Informasi Penataan Ruang Universitas Sebelas Maret (UNS), pada Kamis 1 November 2012, dikutip dari https://uns.ac.id/id/uns-update/50-persen-daerah-di-indonesia-belum-miliki-perda-rtrw.html diakses pada tanggal 11 Maret 2017.
[30]     Dirjen Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, “Target Perda RTRW Tuntas Tahun Ini”, dari http://industri.bisnis.com/read/20120117/45/60313/tata-ruang-perda-rtrw-di-semua-daerah-ditargetkan-tuntas-tahun-ini diakses pada 11 Maret 2017.
[31]     Menteri Pekerjaan Umum, “Kilas Balik 5 Tahun Implementasi RTRW Nasional sebagai Matra Spasial Pembangunan Nasional”, di Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, pada Selasa 26 Maret 2013, dikutip dari http://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/2203730/18-provinsi-belum-punya-rancangan-tata-ruang-wilayah diakses pada 11 Maret 2017.
[33]     Direktur Penataan Ruang Wilayah IV Kementerian Pekerjaan Umum, Sosialisasi UUPR dan Norma-Standar-Pedoman-Kriteria (NSPK) Penataan Ruang bagi Peningkatan SDM Provinsi Maluku”, Ambon, pada 5 Mei 2012, Dikutip dari http://www.pu.go.id/main/view_pdf/5363 diakses pada 11 Maret 2017.
[34]     Hans Kelsen, 1971, Op.cit, hlm. 190-191.
[35]     Ibid, hlm. 192.
[36]     Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 36.
[37]     Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementrian Agraria dan Tata Ruang, “Status RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia”, Laporan Penelitian, 2016, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Jakarta, hlm. 21.
[38]     Ibid.                                                                                            
[39]     Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).
[40]     Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[41]     Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[42]     Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725)
[43]     Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[44]     Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[45]     Pasal 3 Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029.
[46]     Pasal 48 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul.
[47]     Pasal  48 ayat (5) huruf d dan e jo. Pasal 54 ayat (2) huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 – 2032.
[48]     Lihat Peraturan Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 2007 tentang Batas Daerah Kabupaten Bantul dengan Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
[49]     Pasal 1 angka 21 jo. Angka 22 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[50]     Pasal 47 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul jo. Pasal 48 ayat (4) huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012 – 2032.
[51]     Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[52]     Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[53]     Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 11 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2021 (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2016 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Nomor 72).
[54]     Ann Seidmann dkk, 2002 (edisi kedua), Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang (terjemahan), Jakarta, ELIPS, hlm. 25-29.
[55]     Ibid.
[56]     Benyamin Akzin, 1964, Law, State, and International Legal Order Essays in Honor of Kelsen, The University of Tennessee Press, Knoxvilee, hlm. 3.
[57]     Ibid, hlm. 5.
[58]     Direcorate for Public Governance and Territorial Development, “Building an Institutional Frameworks for Regulatory Impact Analysis (RIA): Guidance for Policy Makers”, Penelitian, Organisation for Economic Co-Operation and Development, hlm. 14.
[59]     Ibid., hlm.12-14
[60]     Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[61]     Lampiran Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017.
[62]     Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[63]     Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[64]     Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[65]     Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[66]     Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014, Konsep Mainstreaming Ocean Policu Ke Dalam Rencana Pembangunan Nasional, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, hlm. 161.
[67]     Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
[68]     Pasal 43 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603).
[69]     Ika, “Indonesia Belum Memiliki Tata Ruang Laut” http://www.ugm.ac.id/id/berita/10766-indonesia.belum.memiliki.tata.ruang.laut  diakses tanggal 13 Maret 2017.
[70]     Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  84, Tambahan Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
[71]     Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
[72]     Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor  84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
[73]     Direktoran Tata Ruang dan Pertanahan, 2015, Buku Saku RPJM 2015-2019 Rangkuman Buku I dan Buku II terkait Tata Ruang dan Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, hlm 77.
[74]     United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization and Intergovernmental Oceanographic Commisions, “Why Marine Spatial Planning Matters”, http://msp.ioc-unesco.org/, diakses tanggal 13 Maret 2017. 
[75]     Jimmi R P Tampubolon, “Tata Ruang Laut dan Lemahnya Political Will”. http://maritimnews.com/tata-ruang-laut-dan-lemahnya-political-will/ , diakses tanggal 13 Maret 2017.
[76]     Ibid.
[77]     Kedeputian Bidang Pencegahan Direktorat Penelitian dan Pengembangan, 2014, LaporanHasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Alam Kelautan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm. 57.
[78]     Ibid, hlm. 58.
[79]     Mohammad Fajrul Falaakh, Bahan Ajar Materi Legislasi Konteks Makro, hlm. 1.
[80]     Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011  Nomor  82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari IT TELKOM SURABAYA


    Artikel yang menarik, bisa buat referensi ini .. terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus