Pembahasan
Kasus DS217 WTO
HUKUM
PERNIAGAAN INTERNASIONAL
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pengantar
Indonesia
bersama-sama dengan beberapa anggota WTO lainnya yaitu Canada,
Mexico, Jepang, Brasil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan dan
European
Union,
pada tahun 2001
menggugat
Amerika Serikat dalam kasus US – Continued
Dumping
and Subsidy Offset Act of
2000
(US – CDSOA)1
atau Sengketa DS217.
Dalam kasus tersebut Indonesia bersama dengan negara lainnya
menganggap kebijakan yang diterapkan Amerika Serikat dalam US–CDSOA
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disepakati dalam Agreement
WTO
tentang anti dumping
(Anti
Dumping Agreement/AD
Agreement) dan anti
subsidi
(Subsidy
and Countervailing Measures Agreement/ASCM
Agreement).
Byrd
amendment (CDSOA) merupakan peraturan AS yang membagikan bea anti-
dumping
dan countervailing
yang dikumpulkan pemerintah AS kepada industri domestiknya yang
dirugikan oleh tindakan dumping
atau subsidi oleh negara lain.
Kasus
ini menarik untuk dikaji karena menunjukan keterkaitan yang erat
antara kebijakan dalam negeri suatu negara dengan peraturan yang
disepakati di WTO.
Penyebab
terjadinya sengketa antara AS dan Indonesia terkait kasus US-CDSOA
US
– Continued
Dumping
and Subsidy Offset Act of
2000
(Sengketa DS217)
merupakan peraturan Amerika Serikat yang membagikan hasil pungutan
dari bea masuk anti-dumping
dan
bea masuk imbalan (countervailing
duty)
terhadap barang impor yang dikumpulkan Pemerintah Amerika Serikat
kepada industri domestiknya yang di rugikan oleh tindakan dumping
dan atau subsidi oleh negara lain
terhadap
barang impor ke AS tersebut. Hal ini menunjukkan kaitan erat antara
kebijakan pemerintah dengan kepentingan perusahaan dalam industri
domestik
Amerika
Serikat.
Amerika Serikat berpendapat bahwa WTO tidak mengatur bagaimana suatu
negara harus menggunakan instrumen bea masuk anti dumping
dan anti subsidi, karenanya Amerika Serikat merasa bebas untuk
menerapkan peraturan untuk membagi-bagikan hasil pungutan bea masuk
tersebut kepada industri domestiknya yang menjadi korban tindakan
dumping
dan atau pemberian subsidi barang impor yang masuk ke pasar Amerika
Serikat.
Dari sisi negara
lain terutama negara yang melakukan
kegiatan
ekspor produknya ke pasar Amerika Serikat, kebijakan Amerika Serikat
ini dapat digunakan secara berlebihan oleh kalangan industri domestik
Amerika Serikat untuk mengklaim kerugian berat (injury)
atas masuknya barang impor yang berharga murah dan kemudian menuduh
barang impor murah tersebut akibat tindakan dumping
yang
dilakukan perusahaan pengekspor dan atau subsidi yang dilakukan
negara lain kepada perusahaan eksportirnya. Terlebih lagi disadari
oleh negara - negara penggugat dalam kasus ini, bahwa Amerika Serikat
telah memiliki ketentuan mengenai dumping
dan subsidi jauh sebelum WTO dibentuk, yaitu Tariff
Act 1930
(Tariff Act).
Sejak tahun 1995,
yaitu setelah WTO dibentuk hingga kini, memang banyak diadakan
penyesuaian dari Tariff
Act tersebut
agar selaras dengan ketentuan WTO. Contoh perubahan tersebut misalnya
dalam penerapan pengenaan bea masuk anti dumping
dan bea masuk imbalan (countervailing
duty)
setelah diberlakukannya ketentuan WTO, Tariff
Act
menyesuaikan
aturannya dengan memberikan kesempatan review
5
(lima) tahunan (sunset
review)
bagi
perusahaan eksportir dan negara yang dikenakan bea masuk tersebut2.
Namun demikian, masih banyak interpretasi Tariff
Act yang
memanfaatkan lubang-lubang hukum dalam Ketentuan WTO dan
kesepakatan-kesepakatannya yang menuai protes dari negara anggota
lain-nya. Salah satunya adalah mengenai US – CDSOA ini.
Dalam ketentuan
Tariff
Act
1930, yang juga selaras dengan ketentuan WTO dalam AD Agreement,
untuk menuduh perusahaan negara lain melakukan praktek dumping,
maka harus ada pengaduan dari industri domestik AS, dimana dalam
ketentuan WTO harus memenuhi kuorum tertentu. Dalam ketentuan Tariff
Act dan
peraturan pelaksanaannya, pemenuhan kuorum tersebut dapat dipenuhi
dengan memasukkan juga serikat pekerja sebagai bagian dari industri
domestik. Dalam ketentuan AD Agreement
WTO, serikat pekerja tidak diperkenankan menjadi bagian
dari
industri domestik. Hal-hal yang berbenturan seperti inilah yang
banyak sekali ditemukan di antara Tariff
Act dan
ketentuan - ketentuan WTO.
Terlebih lagi ketika
diberlakukannya US – CDSOA yang juga sebagai peraturan pelaksana
dari Tariff
Act,
makin menguatkan posisi industri domestik Amerika Serikat untuk
meminta perlindungan lebih kepada pemerintahnya berkenaan dengan
persaingan dari barang impor dari negara lain. Indonesia dalam hal
ini telah mengalami beberapa kali pengenaan bea masuk baik dumping
maupun subsidi oleh Amerika Serikat. Dalam kurun waktu 1995 hingga
2007 tercatat kurang lebih 8 (delapan) produk dari Indonesia yang
dikenakan bea masuk baik anti dumping
maupun imbalan dalam daftar International
Trade Administrative,
Department
of Commerce7
dan USDOC mengenakan bea masuk imbalan dan anti dumping
dalam jumlah yang irasional bagi pengusaha untuk melakukan akses ke
pasar Amerika Serikat.
- Rumusan Masalah
- Apakah yang dimaksud kebijakan anti-dumping, subsidy, dan countervailing measures?
- Menurut penggugat dan DSB (Dispute Settlement Body) dari WTO, ketentuan apa saja yang dilanggar Amerika Serikat sebagai anggota WTO dalam sengketa Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (US – CDSOA)?
- Bagaimana sikap Amerika terhadap putusan yang dikeluarkan oleh panel yang dibentuk Dispute Settlement Body?
- Apakah peran penting Indonesia dalam perkara ini?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Kebijakan Anti-Dumping, Subsidy, dan Countervailing Measures
Jika
sebuah perusahaan menjual produknya di negara lain lebih murah dari
harga normal pasar dalam negerinya, maka hal ini disebut dumping
produk
tersebut. Beberapa pihak menganggap bahwa hal ini merupakan bentuk
persaingan usaha yang tidak sehat, namun pemerintah diperbolehkan
oleh WTO, melalui untuk mengambil tindakan mengatasi dumping
untuk
mengamankan kepentingan industri domestik (Article
VI GATT 1994 yang
diimplementasikan dalam Anti-Dumping
Agreement).
Dalam
Anti-Dumping
Agreement,
pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan terhadap dumping
jika
benar-benar terjadi kerugian (material
injury)
terhadap industri domestik. Untuk melakukan ini, pemerintah harus
dapat membuktikan terjadinya dumping
dengan memperhitungkan tingkat dumping
(membandingkan harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk
tersebut di negara asalnya).
Article
VI GATT memungkinkan
negara untuk mengambil tindakan-tindakan anti-dumping.
Kemudian, ketentuan tersebut diperluas dengan Anti
Dumping Agreement yang
mengizinkan suatu negara untuk bertindak yang tidak sesuai dengan
komitmen tariff
binding
dengan cara mengenakan tarif yang lebih tinggi kepada suatu produk
impor dari negara pengekspor tertentu sehingga harga jualnya
mendekati harga normalnya dan tidak lagi merugikan industri domestik.
Ada
beberapa cara untuk menghitung apakah suatu produk merupakan produk
dumping.
Tiga
metode tersebut adalah :
- Memperhitungkan harga normal suatu produk dengan menggunakan harga jual di pasar domestik negara pengekspor sebagai pembanding.
- Membandingkan harga produk yang sama dari negara pengekspor yang lain (pihak ketiga).
- Menggunakan metode kombinasi perhitungan biaya produksi ekspor, pengeluaran yang lain, dan marjin keuntungan normal (normal profit margins).
Memperhitungkan
tingkat dumping
saja
tidak cukup karena tindakan anti-dumping
tersebut
hanya
dapat berlaku jika pemasaran produk tersebut dianggap merugikan
industri domestik. Oleh karena itu penyelidikan secara rinci perlu
dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Namun, jika ada
tindakan lain yang dapat dilakukan selain
anti-dumping,
maka tindakan lain tersebutlah yang harus dilaksanakan. Jika dalam
penyelidikan terbukti terjadi dumping
dan
industri domestik dirugikan, perusahaan pengekspor dapat menaikkan
harga ekspor pada tingkat yang disetujui bersama sehingga dapat
menghindari tindakan anti-dumping
di
negara pengimpor berupa kenaikan bea masuk untuk produk dumping.
Pengenaan
tindakan anti-dumping
harus
dihapuskan setelah lima tahun kecuali dari hasil penyelidikan lebih
lanjut ditemukan bahwa pencabutan anti-dumping
tersebut
akan kembali merugikan industri domestik.
Persetujuan
subsidi dan tindakan-tindakan imbalan (Subsidy
and Countervailing Measures Agreement)
merupakan aturan pelaksana GATT yang memuat aturan mengenai subsidi
dan tindakan-tindakan yg dapat dilakukan untuk melawan tindakan
subsidi yang dilakukan oleh negara lain dengan mengenakan bea masuk
tambahan. Suatu pemerintah dapat mengenakan tindakan imbalan kepada
produk impor yang terbukti mendapatkan subsidi dan yang merugikan
produsen domestik.
Berdasarkan
Subsidy
and Countervailing Measures Agreement,
subsidi dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu :
- Subsidi yang dilarang (prohibited subsidies)
Subsidi
dilarang apabila pemerintah memberikannya dengan tujuan mengejar
target ekspor atau mengharuskan penggunaan barang-barang domestik
dari pada produk impor. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan
distorsi perdagangan internasional dan mengganggu perdagangan negara
lain.
- Subsidi yang dapat ditindak (actionable subsidies)
Suatu
negara harus dapat membuktikan bahwa subsidi terhadap produk ekspor
yang dilakukan negara lain telah merugikan kepentingan negara
pengimpor. Jika tidak dapat dibuktikan, maka subsidi tersebut dapat
diteruskan. Ada 3 macam kerugian yang dimaksud disini, yaitu :
- Kerugian yang dialami oleh industri domestik
- Kerugian yang dialami oleh negara lainnya yang menjadi korban dalam kompetisi antara dua pihak yang bersaing di pasar negara ketiga
- Kerugian yang dialami negara pengekspor karena negara pengimpor menerapkan subsidi domestik
- Subsidi yang diperbolehkan (non-actionable subsidies)
Subsidi
yang termasuk di sini adalah subsidi yang sifatnya non spesifik,
misalnya subsidi yang khusus diberikan untuk riset dan pengembangan,
subsidi untuk daerah miskin dan terbelakang, dan bantuan yang
ditujukan untuk proses adaptasi terhadap peraturan mengenai
lingkungan atau hukum baru.
- Peraturan-peraturan yang Dilanggar Amerika Serikat dalam Sengketa Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (US – CDSOA) Menurut Perspektif Penggugat dan Dispute Settlement Body.
Pada
tanggal 21 Desember 2000 dan 21 Mei 2001 penggugat menggugat
US dengan
menyampaikan argumen yang menyatakan bahwa
Tariff
Act 1930
dan Continued
Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (CDSOA)
selaku peraturan pelaksananya bertentangan dengan GATT, Anti
Dumping
Agreement
(ADA),
Subsidy
Countervailing Measurement (SCM)
Agreement,
dan WTO
Agreement.
Adapaun pasal-pasal yang dilanggar dalam perjanjian-perjanjian
tersebut adalah sebagai berikut :
- Article 18.1 of the ADA in conjunction with Article VI:2 of the GATT and Article 1 of the ADA
- Article 32.1 of the SCM Agreement, in conjunction with Article VI:3 of the GATT and Articles 4.10, 7.9 and 10 of the SCM Agreement
- Article X(3)(a) of the GATT
- Article 5.4 of the ADA and Article 11.4 of the SCM Agreement
- Article 8 of the ADA and Article 18 of the SCM Agreement
- Article 5 of the SCM Agreement
- Article XVI: 4 of the Marrakesh Agreement establishing the WTO, Article 18.4 of the ADA and Article 32.5 of the SCM Agreement
Pada tanggal 16 September 2002, Panel Report
diedarkan kepada Anggota. Panel menyimpulkan bahwa CDSOA tidak
konsisten dengan:
- Pasal 5.4, 18.1 dan 18.4 dari Perjanjian Anti – Dumping
- Pasal 11.4, 32.1 dan 32.5 dari Perjanjian Subsidi
- Pasal VI : 2 dan VI : 3 dari GATT 1994, dan
- Pasal XVI : 4 dari Perjanjian WTO.
Panel menolak klaim bahwa CDSOA tidak konsisten
dengan
- Pasal 8.3 dan 15 dari Perjanjian Anti – Dumping
- Pasal 4.10, 7.9 dan 18.3 dari Perjanjian Subsidi, dan
- Pasal X.3 (a) dari GATT 1994
Panel menyimpulkan bahwa CDSOA telah melanggar
sebagaimana disebut di atas, dengan
dihadapkan oleh isu-isu sensitif mengenai penggunaan subsidi sebagai
ganti rugi perdagangan. Jika anggota berpandangan bahwa subsidi
tersebut tidak adil, Panel menyarankan untuk membahas masalah ini
melalui negosiasi. Berdasarkan Pasal 3.8 dari DSU, Panel menyimpulkan
bahwa dikarenakan CDSOA tidak konsisten dengan ketentuan Anti-Dumping
Agreement, SCM
Agreement, dan GATT 1994.
Panel merekomendasikan dengan meminta AS
untuk membatalkan CDSOA agar tidak
menyalahi sesuai
ketentuan Anti-Dumping
Agreement, SCM
Agreement, dan GATT 1994.
Pada tanggal 18 Oktober 2002, US mengajukan
banding ke the Appellate Body atas isi
yang tercakup dalam Panel Report dan interpretasi hukum tertentu yang
dikembangkan oleh Panel. Pada tanggal 16 Januari 2003, Appellate Body
mengedarkanl laporannya, yang
menyatakan:
- menguatkan pendapat Panel, dalam paragraf 7.51 dan 8.1 dari Panel Report, bahwa CDSOA adalah tindakan non - spesifik terhadap diperbolehkan dumping atau subsidi, bertentangan dengan Pasal 18.1 dari Anti-Dumping Agreement dan Pasal 32.1 dari SCM Agreement;
- akibat atas temuan hukum Panel, dalam paragraf 7.93 dan 8.1 dari Panel Report, bahwa CDSOA tidak konsisten dengan ketentuan-ketentuan tertentu dari Anti-Dumping Agreement dan SCM Agreement dan oleh karena itu, US telah gagal untuk memenuhi ketentuan Pasal 18.4 dari Anti-Dumping Agreement, Pasal 32.5 dari SCM Agreement dan Pasal XVI : 4 Perjanjian WTO;
- menguatkan penemuan hukum Panel, dalam paragraf 8.4 Panel Report, bahwa, sesuai dengan Pasal 3.8 dari DSU, sejauh bahwa CDSOA tidak konsisten dengan ketentuan Anti-Dumping Agreement dan SCM Agreement, CDSOA menghapus atau merugikan pihak lain dalam Perjanjian tersebut;
- membalikkan (melawan) penemuanhukum Panel, dalam paragraf 7.66 dan 8.1 dari Panel Report, bahwa CDSOA bertentangan dengan Pasal 5.4 Anti-Dumping Agreement dan Pasal 11.4 dari SCM Agreement;
- menolak kesimpulan Panel, dalam paragraf 7.63 dari Panel Report, bahwa USdinyatakantidakberitikad baik sehubungan dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 5.4 Anti-Dumping Agreement dan Pasal 11.4 dari SCM Agreement;
- menolak klaim US bahwa Panel tidak konsisten dengan Pasal 9.2 dari DSU dengan tidak menerbitkan Panel Report terpisah dalam sengketa yang dibawa oleh Meksiko.
Appellate Body merekomendasikan saran
DSB, agar US menjalankan
kewajibannya berdasarkan Anti-Dumping
Agreement, SCM
Agreement, dan GATT 1994. Terkait
permintaan Kanada, DSB mengadopsi laporan
Appellate Body dan laporanPanel,
sebagaimana telah diubah dengan Appellate Body, dalam pertemuan pada
tanggal 27 Januari 2003.
Jadi,
baik Panel DSB dan Appellate
Body berpendapat
bahwa AS dalam kasus ini telah melanggar Article
VI GATT
yang berbunyi
:
The
contracting parties recognize that dumping, by which products of one
country are introduced into the commerce of another country at less
than the normal value of the products, is
to be condemned
if it causes or threatens material injury to an established industry
in the territory of a contracting party or materially retards the
establishment of a domestic industry. For the purposes of this
Article, a product is to be considered as being introduced into the
commerce of an importing country at less than its normal value, if
the price of the product exported from one country to another :
- is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country, or,
- b) in the absence of such domestic price, is less than either
- the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or
- (ii) the cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit. Due allowance shall be made in each case for differences in conditions and terms of sale, for differences in taxation, and for other differences affecting price comparability.
Kemudian,
ayat 2 menyatakan bahwa :
In
order to offset or prevent dumping, a contracting party may levy on
any dumped product an anti-dumping duty not greater in amount than
the margin of dumping in respect of such product. For the purposes of
this Article, the margin of dumping is the price difference
determined in accordance with the provisions of paragraph 1.
Ketentuan-ketentuan
tersebut mengatur secara ketat dan detail mengenai bagaimana
melakukan kalkulasi apakah suatu produk merupakan produk dumping dan
memenuhi syarat untuk dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau
Antidumping Duties (ADD) dan Bea Masuk Imbalan (BMI) atau
Countervailing Duties (CVD); bagaimana menginisiasi kasus; bagaimana
investigasi produk-produk yang diduga merupakan produk dumping, dan
lain-lain.3
Namun,
apa yang dilakukan AS melalui CDSOA bertentangan dengan aturan-aturan
tersebut karena :
- Ketentuan CDSOA yang memungkinkan pembagian hasil pungutan dari bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duty) terhadap barang impor yang dikumpulkan Pemerintah Amerika Serikat kepada industri domestiknya mengakibatkan kerugian ganda terhadap negara pengekspor, yaitu :
- Harga barang tersebut menjadi tinggi di negara tujuan ekspor sehingga tidak mampu bersaing dengan produk domestik.
- Pembagian hasil pungutan dari bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duty) kepada industri domestik merupakan salah satu bentuk subsidi yang dilarang menurut SCM Agreement karena secara tersirat memiliki tujuan mengejar target ekspor atau mengharuskan penggunaan barang-barang domestik dari pada produk impor.
- Review 5 tahunan untuk menentukan apakah bea masuk anti-dumping terhadap negara-negara pengekspor tidak dilakukan secara optimal.
- Kebijakan Amerika Serikat ini dapat digunakan secara berlebihan oleh kalangan industri domestik Amerika Serikat untuk mengklaim kerugian berat (injury) atas masuknya barang impor yang berharga murah dan kemudian menuduh barang impor murah tersebut akibat tindakan dumping yang dilakukan perusahaan pengekspor dan atau subsidi yang dilakukan negara lain kepada perusahaan eksportirnya.
- Untuk menuduh perusahaan negara lain melakukan praktek dumping, maka harus ada pengaduan dari industri domestik AS, dimana dalam ketentuan WTO harus memenuhi kuorum tertentu. Dalam ketentuan Tariff Act dan peraturan pelaksanaannya, pemenuhan kuorum tersebut dapat dipenuhi dengan memasukkan juga serikat pekerja sebagai bagian dari industri domestik. Hal ini berlawanan dengan ketentuan AD Agreement WTO yang menyatakan bahwa serikat pekerja tidak diperkenankan menjadi bagian dari industri domestik. Hal-hal yang berbenturan seperti inilah yang banyak sekali ditemukan di antara Tariff Act dan ketentuan - ketentuan WTO.
- Sikap Amerika Serikat terhadap Putusan yang Dikeluarkan Panel Dispute Settlement Body dan Appellate Body
Panel
DSB menghasilkan keputusan untuk meminta AS agar menyesuaikan
peraturannya dengan persetujuan-persetujuan WTO yang dilanggar dengan
cara mencabut CDSOA. Namun, AS mengajukan banding atas keputusan
tersebut sehingga dibentuklah Appelate
Body yang
pada tahun 2003 memutuskan bahwa CDSOA tidak konsisten dengan
persetujuan-persetujuan WTO. Oleh karena itu, AS diminta untuk
melakukan penyesuaian atau perubahan dalam CDSOA tersebut agar
konsisten dengan ketentuan WTO.
Rekomendasi
Appellate
Body tidak
kunjung dilaksanakan AS, maka pada tanggal 14 Maret 2003, penggugat
meminta arbitrase berdasarkan Pasal 21.3 (c) DSU untuk menentukan
jangka waktu agar
rekomendasi DSB dilaksanakan
US.
Pada tanggal 24 Maret 2003, penggugat meminta Director-General
untuk menunjuk arbiter dalam konsultasi dengan para pihak. Arbiter
menghargai
upaya
para pihak tersebut
dan menyimpulkan bahwa jangka waktu yang wajar " bagi US untuk
melaksanakan rekomendasi DSB adalah
11 bulan sejak tanggal adopsi DSB tentang laporan
Panel dan Banding dalam sengketa ini. Pertimbangan
jangka
waktu
tersebut
berakhir pada tanggal 27 Desember 2003. Kemudian, pada tanggal 14
Januari 2004, DSB diberitahu bahwa US telah sepakat
bersama untuk mengubah jangka waktu dengan Thailand, Australia,
dan Indonesia, sehingga akan berakhir pada tanggal 27 Desember 2004.
Pada
tanggal 15 Januari 2004, dengan dalih
bahwa US telah gagal untuk melaksanakan rekomendasi DSB dan putusan
dalam jangka waktu yang ditentukan,
Brazil, Chili, EC, India, Jepang, Korea, Kanada,
dan Meksiko meminta otorisasi DSB untuk menangguhkan konsesi menurut
Pasal 22.2 dari DSU. Pada tanggal 23 Januari 2004, US diminta, sesuai
dengan Pasal 22.6 dari DSU, bahwa masalah ini dirujuk ke arbitrase,
sejak US keberatan dengan tingkat penangguhan konsesi yang diajukan
oleh para pihak di atas. Pada pertemuan pada tanggal 26 Januari 2004,
DSB memutuskan untuk menyerahkan masalah tersebut ke arbitrase.
Pada tanggal 23 Desember 2004 serta
7 dan 11 Januari 2005, Australia, Thailand dan Indonesia,
masing-masing, mencapai kesepakatan dengan
US sehubungan dengan sengketa ini. Pada pertemuan 25 Januari 2005,
DSB setuju untuk mencatat kesepahaman ini.
Pada pertemuan DSB pada tanggal 17 Februari 2006,
US menyatakan bahwa Kongres US telah menyetujui Undang-Undang
Pengurangan Defisit pada tanggal 1 Februari 2006 dan Presiden telah
menandatangani RUU menjadi UU
pada 8 Februari 2006 sesuai kewajiban sebagai
anggota WTO. Australia, Brazil, Kanada,
Chili, Indonesia,
Hong Kong,Tiongkok, India, Jepang, Korea, Meksiko, Thailand, dan EC
menyambut baik langkah-langkah terakhir yang diambil oleh Kongres
terhadap pencabutan CDSOA, tetapi tidak setuju dengan pernyataan US
bahwa mereka telah membawa langkah-langkah yang sepenuhnya sesuai
rekomendasi DSB dan putusan arbritase. Selain itu, Tariff Act
of 1930 di AS kemudian
diamandemen dengan the Trade
Agreements Act of 1979.
- Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa DS217
Kepentingan nasional
Indonesia dalam setiap perjanjian multirateral dalam bidang
perdagangan antara lain adalah adanya akses ke pasar, adanya
perbaikan aturan main, bidang baru atau “new
issue”.
Indonesia telah meratifikasi persetujuana
pembentukan WTO melalui UU No.7 tahun 1994. Jadi negara-negara
anggota WTO dan Indonesia harus menyesuaikan peraturan nasionalnya
dengan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan-persetujuan WTO.
Ratifikasi tersebut menyatakan bahwa ketentuan dan isi persetujuan
WTO menjadi bagian dari peraturan perundangan nasional. Indonesia
sebagai negara anggota memiliki kewenangan untuk melakukan tuduhan
anti
dumping,
tuduhan anti subsidi (pengenaan
bea masuk imbalan serta
tindakan
safeguard
berupa
pengenaan tarif, kuota, dan
keduanya
sekaligus).
Oleh sebab itu,
keikutsertaan Indonesia
dalam
forum WTO dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan menjadi langkah awal
untuk memajukan kesejahteraan bangsa melalui sarana perdagangan
internasional. Contoh kasus dimana indonesia
berkedudukan sebgai pihak complainant
dalam
penyelesaian sengketa WTO, yaitu
South
Africa-Anti Dumping Measures on Uncoated Woodfree Paper
(DS374), Korea
Anti
Dumping
Duties
on
Imports
of Certain
Paper
from Indonesia
(DS312), United
States
Continued
Dumping
and Subsidy
Offset
Act
of 2000
dengan
bersama-sama dengan complainant
lain, yaitu
Australia,
Brazil,
Chile,
European
Communities,
India,
Jepang,
Korea,
dan
Thailand
(DS217).
Dalam sengketa DS217 Indonesia yang berkedudukan
sebagai penggugat telah berhasil memperjuangkan hak-haknya sebagai
negara berkembang. Hak tersebut berkaitan dengan berbagai ketentuan
yang disebut Special and Differential
Treatment (S&D) yang dibuat dalam
perjanjian WTO untuk mengakomodasi kepentingan negara berkembang.
Terdapat 145 S&D yang tersebardi dalam berbagai perjanjian WTO
dan Sekretariat WTO mengklasifikasikan ketentuan-ketentuan S&D ke
dalam 6 kategori, yaitu :
- Ketentuan-ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan kesempatan perdagangan negara berkembang.
- Ketentuan-ketentuan yang menghendaki negara-negara anggota WTO untuk melindungi kepentingan negara berkembang.
- Ketentuan-ketentuan yang memberikan fleksibilitas dalam komitmen, tindakan, dan penggunaan instrumen-instrumen kebijakan.
- Ketnetuan-ketentuan yang memberikan masa transisi.
- Ketentuan-ketentuan tentang bantuan teknis.
- Ketentuan-ketentuan khusus bagi negara terbelakang.
Indonesia berpendapat bahwa dalam bidang
anti-dumping,
Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan ketentuan S&D, namun
kenyataannya tidak bisa karena adanya penyalahgunaan kebijakan anti
dumping sebagaimana yang terlihat dari
kasus DS217 ini. Ketentuan S&D yang diatur dalam Article
15 dari AD
Agreement tidak bisa diimplementasikan
secara efektif dalam praktek karena dikeluarkannya CDSOA. Aturan ini
menyebutkan bahwa sebelum menerapkan ketentuan anti-dumping
dan contervailing
measures, negara maju harus
mempertimbangkan untuk menggunakan solusi-solusi lain yang disebutkan
oleh perjanjian ini sebelum menerapkan bea masuk anti-dumping
karena hal tersebut akan mempengaruhi kepentingan yang signifikan
dari anggota negara berkembang. Melalui CDSO, Amerika Serikat telah
menghambat akses pasar negara sedang berkembang ke pasar negara
tersebut. Kinerja ekspor Indonesia sering menjadi korban kebijakan
anti-dumping di
negara-negara maju dan CDSOA adalah salah satunya.
Indonesia sering menjadi target tindakan
anti-dumping oleh
negara-negara maju. Menurut Komite Anti Dumping
Indonesia, pada September 1996 terdapat 37 produk nasional yang
dituduh dumping di
10 negara. Mayoritas tuduhan ini tidak terbukti dan oleh karena itu
negara-negara tersebut tidak jadi mengenakan bea masuk anti-dumping
kepada Indonesia. Artinya,
tuduhan-tuduhan dumping tersebut
sebagian tidak berdasar, termasuk tuduhan yang dilontarkan Amerika
serikat. Tuduhan dumping,
baik terbukti atau tidak, memiliki dampak yang serius terhadap
produk-produk yang dituduh dumping oleh
para eksportirnya. Eksportir dan pemerintah terpaksa melakukan
negosiasi mengenai kemungkinan dilakukannya Voluntary
Export Restraints. Petisi dumping
juga memerlukan dana yang sangat besar,
khususnya bagi eksportir dan pemerintah negaranya untuk membuktikan
bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Padahal kenyataannya negara
sedang berkembang seperti Indonesia tidak memiliki dana,
infrastruktur, kemampuan teknis, dan hukum untuk mempertahankan diri
secara efektif. Selain itu, ketika bea masuk anti-dumping
dikenakan, dampaknya lebih serius
karena produk-produk yang terkena bea masuk tersebut akan menjadi
mahal sehingga kehilangan daya saing.
Jadi, CDSOA memiliki dampak yang memperburuk
kinerja ekspor Indonesia, yaitu :
- CDSOA meningkatkan kecenderungan industri dalam negeri AS untuk melontarkan tuduhan dumping kepada Indonesia.
- Melalui CDSOA, perusahaan-perusahaan domestik di AS akan menerima insentif jika mereka mengajukan petisi anti-dumping. Kondisi ini akan mengancam berjalannya perdagangan poduk-produk Indonesia ke AS.
- CDSOA dapat menurunkan akses pasar produk-produk Indonesia setelah dikenakan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan.
- Tercabutnya potensi negara sedang berkembang untuk terlibat dalam perdagangan internasional secara penuh.
BAB
III
KESIMPULAN
- Tindakan anti-dumping dan countervailing measures boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan Article 6 GATT dan peraturan pelaksananya.
- Tariff Act 1930 dan CDSOA selaku peraturan pelaksananya bertentangan dengan GATT, Anti-Dumping Agreement, dan Subsidy Countervailing Measures Agreement.
- Sikap AS dalam perkara ini kurang kooperatif karena negara tersebut tidak melaksanakan rekomendasi WTO dengan segera untuk mengamandemen Tariff Act 1930 beserta CDSOA selaku peraturan pelaksanaanya, padahal diketahui bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan perjanjian-perjanjian WTO.
- Indonesia berperan sebagai penggugat dengan tujuan untuk mempertahankan haknya atas Special and Different Treatment di bidang anti-dumping yang diakui perjanjian-perjanjian WTO karena aturan CDSOA yang dibuat AS telah mengesampingkan hak-hak negara berkembang tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian
Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. 2003. Sekilas
WTO. Jakarta : Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia.
Sumber
Hukum
General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994
Agreement
on
Implementation of
Article VI
of
The General Agreement On Tariffs And Trade 1994
Agreement
on Subsidies and Countervailing Measures
Report
of The Appellate Body on United States – Continued Dumping and
Subsidy Offset Act of 2000
2
Lihat
http://ia.ita.doc.gov/sunset/index.html
3
http://journal.uii.ac.id/index.php/jurnal-fakultas-hukum/article/viewFile/1065/1806
diakses pada anggal 14/05/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar