Senin, 27 April 2015

Pembahasan Kasus DS217 WTO

Pembahasan Kasus DS217 WTO

HUKUM PERNIAGAAN INTERNASIONAL



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Pengantar
Indonesia bersama-sama dengan beberapa anggota WTO lainnya yaitu Canada, Mexico, Jepang, Brasil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan dan European Union, pada tahun 2001 menggugat Amerika Serikat dalam kasus US – Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (US – CDSOA)1 atau Sengketa DS217. Dalam kasus tersebut Indonesia bersama dengan negara lainnya menganggap kebijakan yang diterapkan Amerika Serikat dalam US–CDSOA bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disepakati dalam Agreement WTO tentang anti dumping (Anti Dumping Agreement/AD Agreement) dan anti subsidi (Subsidy and Countervailing Measures Agreement/ASCM Agreement). Byrd amendment (CDSOA) merupakan peraturan AS yang membagikan bea anti- dumping dan countervailing yang dikumpulkan pemerintah AS kepada industri domestiknya yang dirugikan oleh tindakan dumping atau subsidi oleh negara lain. Kasus ini menarik untuk dikaji karena menunjukan keterkaitan yang erat antara kebijakan dalam negeri suatu negara dengan peraturan yang disepakati di WTO.
Penyebab terjadinya sengketa antara AS dan Indonesia terkait kasus US-CDSOA
US – Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (Sengketa DS217) merupakan peraturan Amerika Serikat yang membagikan hasil pungutan dari bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duty) terhadap barang impor yang dikumpulkan Pemerintah Amerika Serikat kepada industri domestiknya yang di rugikan oleh tindakan dumping dan atau subsidi oleh negara lain terhadap barang impor ke AS tersebut. Hal ini menunjukkan kaitan erat antara kebijakan pemerintah dengan kepentingan perusahaan dalam industri domestik Amerika Serikat. Amerika Serikat berpendapat bahwa WTO tidak mengatur bagaimana suatu negara harus menggunakan instrumen bea masuk anti dumping dan anti subsidi, karenanya Amerika Serikat merasa bebas untuk menerapkan peraturan untuk membagi-bagikan hasil pungutan bea masuk tersebut kepada industri domestiknya yang menjadi korban tindakan dumping dan atau pemberian subsidi barang impor yang masuk ke pasar Amerika Serikat.
Dari sisi negara lain terutama negara yang melakukan kegiatan ekspor produknya ke pasar Amerika Serikat, kebijakan Amerika Serikat ini dapat digunakan secara berlebihan oleh kalangan industri domestik Amerika Serikat untuk mengklaim kerugian berat (injury) atas masuknya barang impor yang berharga murah dan kemudian menuduh barang impor murah tersebut akibat tindakan dumping yang dilakukan perusahaan pengekspor dan atau subsidi yang dilakukan negara lain kepada perusahaan eksportirnya. Terlebih lagi disadari oleh negara - negara penggugat dalam kasus ini, bahwa Amerika Serikat telah memiliki ketentuan mengenai dumping dan subsidi jauh sebelum WTO dibentuk, yaitu Tariff Act 1930 (Tariff Act).
Sejak tahun 1995, yaitu setelah WTO dibentuk hingga kini, memang banyak diadakan penyesuaian dari Tariff Act tersebut agar selaras dengan ketentuan WTO. Contoh perubahan tersebut misalnya dalam penerapan pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duty) setelah diberlakukannya ketentuan WTO, Tariff Act menyesuaikan aturannya dengan memberikan kesempatan review 5 (lima) tahunan (sunset review) bagi perusahaan eksportir dan negara yang dikenakan bea masuk tersebut2. Namun demikian, masih banyak interpretasi Tariff Act yang memanfaatkan lubang-lubang hukum dalam Ketentuan WTO dan kesepakatan-kesepakatannya yang menuai protes dari negara anggota lain-nya. Salah satunya adalah mengenai US – CDSOA ini.
Dalam ketentuan Tariff Act 1930, yang juga selaras dengan ketentuan WTO dalam AD Agreement, untuk menuduh perusahaan negara lain melakukan praktek dumping, maka harus ada pengaduan dari industri domestik AS, dimana dalam ketentuan WTO harus memenuhi kuorum tertentu. Dalam ketentuan Tariff Act dan peraturan pelaksanaannya, pemenuhan kuorum tersebut dapat dipenuhi dengan memasukkan juga serikat pekerja sebagai bagian dari industri domestik. Dalam ketentuan AD Agreement WTO, serikat pekerja tidak diperkenankan menjadi bagian dari industri domestik. Hal-hal yang berbenturan seperti inilah yang banyak sekali ditemukan di antara Tariff Act dan ketentuan - ketentuan WTO.
Terlebih lagi ketika diberlakukannya US – CDSOA yang juga sebagai peraturan pelaksana dari Tariff Act, makin menguatkan posisi industri domestik Amerika Serikat untuk meminta perlindungan lebih kepada pemerintahnya berkenaan dengan persaingan dari barang impor dari negara lain. Indonesia dalam hal ini telah mengalami beberapa kali pengenaan bea masuk baik dumping maupun subsidi oleh Amerika Serikat. Dalam kurun waktu 1995 hingga 2007 tercatat kurang lebih 8 (delapan) produk dari Indonesia yang dikenakan bea masuk baik anti dumping maupun imbalan dalam daftar International Trade Administrative, Department of Commerce7 dan USDOC mengenakan bea masuk imbalan dan anti dumping dalam jumlah yang irasional bagi pengusaha untuk melakukan akses ke pasar Amerika Serikat.

  1. Rumusan Masalah
  1. Apakah yang dimaksud kebijakan anti-dumping, subsidy, dan countervailing measures?
  2. Menurut penggugat dan DSB (Dispute Settlement Body) dari WTO, ketentuan apa saja yang dilanggar Amerika Serikat sebagai anggota WTO dalam sengketa Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (US – CDSOA)?
  3. Bagaimana sikap Amerika terhadap putusan yang dikeluarkan oleh panel yang dibentuk Dispute Settlement Body?
  4. Apakah peran penting Indonesia dalam perkara ini?
















BAB II
PEMBAHASAN
  1. Kebijakan Anti-Dumping, Subsidy, dan Countervailing Measures
Jika sebuah perusahaan menjual produknya di negara lain lebih murah dari harga normal pasar dalam negerinya, maka hal ini disebut dumping produk tersebut. Beberapa pihak menganggap bahwa hal ini merupakan bentuk persaingan usaha yang tidak sehat, namun pemerintah diperbolehkan oleh WTO, melalui untuk mengambil tindakan mengatasi dumping untuk mengamankan kepentingan industri domestik (Article VI GATT 1994 yang diimplementasikan dalam Anti-Dumping Agreement).
Dalam Anti-Dumping Agreement, pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan terhadap dumping jika benar-benar terjadi kerugian (material injury) terhadap industri domestik. Untuk melakukan ini, pemerintah harus dapat membuktikan terjadinya dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping (membandingkan harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut di negara asalnya).
Article VI GATT memungkinkan negara untuk mengambil tindakan-tindakan anti-dumping. Kemudian, ketentuan tersebut diperluas dengan Anti Dumping Agreement yang mengizinkan suatu negara untuk bertindak yang tidak sesuai dengan komitmen tariff binding dengan cara mengenakan tarif yang lebih tinggi kepada suatu produk impor dari negara pengekspor tertentu sehingga harga jualnya mendekati harga normalnya dan tidak lagi merugikan industri domestik.
Ada beberapa cara untuk menghitung apakah suatu produk merupakan produk dumping. Tiga metode tersebut adalah :
  1. Memperhitungkan harga normal suatu produk dengan menggunakan harga jual di pasar domestik negara pengekspor sebagai pembanding.
  2. Membandingkan harga produk yang sama dari negara pengekspor yang lain (pihak ketiga).
  3. Menggunakan metode kombinasi perhitungan biaya produksi ekspor, pengeluaran yang lain, dan marjin keuntungan normal (normal profit margins).
Memperhitungkan tingkat dumping saja tidak cukup karena tindakan anti-dumping tersebut hanya dapat berlaku jika pemasaran produk tersebut dianggap merugikan industri domestik. Oleh karena itu penyelidikan secara rinci perlu dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Namun, jika ada tindakan lain yang dapat dilakukan selain anti-dumping, maka tindakan lain tersebutlah yang harus dilaksanakan. Jika dalam penyelidikan terbukti terjadi dumping dan industri domestik dirugikan, perusahaan pengekspor dapat menaikkan harga ekspor pada tingkat yang disetujui bersama sehingga dapat menghindari tindakan anti-dumping di negara pengimpor berupa kenaikan bea masuk untuk produk dumping. Pengenaan tindakan anti-dumping harus dihapuskan setelah lima tahun kecuali dari hasil penyelidikan lebih lanjut ditemukan bahwa pencabutan anti-dumping tersebut akan kembali merugikan industri domestik.
Persetujuan subsidi dan tindakan-tindakan imbalan (Subsidy and Countervailing Measures Agreement) merupakan aturan pelaksana GATT yang memuat aturan mengenai subsidi dan tindakan-tindakan yg dapat dilakukan untuk melawan tindakan subsidi yang dilakukan oleh negara lain dengan mengenakan bea masuk tambahan. Suatu pemerintah dapat mengenakan tindakan imbalan kepada produk impor yang terbukti mendapatkan subsidi dan yang merugikan produsen domestik.
Berdasarkan Subsidy and Countervailing Measures Agreement, subsidi dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu :
  1. Subsidi yang dilarang (prohibited subsidies)
Subsidi dilarang apabila pemerintah memberikannya dengan tujuan mengejar target ekspor atau mengharuskan penggunaan barang-barang domestik dari pada produk impor. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan distorsi perdagangan internasional dan mengganggu perdagangan negara lain.
  1. Subsidi yang dapat ditindak (actionable subsidies)
Suatu negara harus dapat membuktikan bahwa subsidi terhadap produk ekspor yang dilakukan negara lain telah merugikan kepentingan negara pengimpor. Jika tidak dapat dibuktikan, maka subsidi tersebut dapat diteruskan. Ada 3 macam kerugian yang dimaksud disini, yaitu :
  1. Kerugian yang dialami oleh industri domestik
  2. Kerugian yang dialami oleh negara lainnya yang menjadi korban dalam kompetisi antara dua pihak yang bersaing di pasar negara ketiga
  3. Kerugian yang dialami negara pengekspor karena negara pengimpor menerapkan subsidi domestik
  1. Subsidi yang diperbolehkan (non-actionable subsidies)
Subsidi yang termasuk di sini adalah subsidi yang sifatnya non spesifik, misalnya subsidi yang khusus diberikan untuk riset dan pengembangan, subsidi untuk daerah miskin dan terbelakang, dan bantuan yang ditujukan untuk proses adaptasi terhadap peraturan mengenai lingkungan atau hukum baru.
  1. Peraturan-peraturan yang Dilanggar Amerika Serikat dalam Sengketa Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (US – CDSOA) Menurut Perspektif Penggugat dan Dispute Settlement Body.
Pada tanggal 21 Desember 2000 dan 21 Mei 2001 penggugat menggugat US dengan menyampaikan argumen yang menyatakan bahwa Tariff Act 1930 dan Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (CDSOA) selaku peraturan pelaksananya bertentangan dengan GATT, Anti Dumping Agreement (ADA), Subsidy Countervailing Measurement (SCM) Agreement, dan WTO Agreement. Adapaun pasal-pasal yang dilanggar dalam perjanjian-perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Article 18.1 of the ADA in conjunction with Article VI:2 of the GATT and Article 1 of the ADA
  2. Article 32.1 of the SCM Agreement, in conjunction with Article VI:3 of the GATT and Articles 4.10, 7.9 and 10 of the SCM Agreement
  3. Article X(3)(a) of the GATT
  4. Article 5.4 of the ADA and Article 11.4 of the SCM Agreement
  5. Article 8 of the ADA and Article 18 of the SCM Agreement
  6. Article 5 of the SCM Agreement
  7. Article XVI: 4 of the Marrakesh Agreement establishing the WTO, Article 18.4 of the ADA and Article 32.5 of the SCM Agreement
Pada tanggal 16 September 2002, Panel Report diedarkan kepada Anggota. Panel menyimpulkan bahwa CDSOA tidak konsisten dengan:
  1. Pasal 5.4, 18.1 dan 18.4 dari Perjanjian Anti – Dumping
  2. Pasal 11.4, 32.1 dan 32.5 dari Perjanjian Subsidi
  3. Pasal VI : 2 dan VI : 3 dari GATT 1994, dan
  4. Pasal XVI : 4 dari Perjanjian WTO.
Panel menolak klaim bahwa CDSOA tidak konsisten dengan
  1. Pasal 8.3 dan 15 dari Perjanjian Anti – Dumping
  2. Pasal 4.10, 7.9 dan 18.3 dari Perjanjian Subsidi, dan
  3. Pasal X.3 (a) dari GATT 1994
Panel menyimpulkan bahwa CDSOA telah melanggar sebagaimana disebut di atas, dengan dihadapkan oleh isu-isu sensitif mengenai penggunaan subsidi sebagai ganti rugi perdagangan. Jika anggota berpandangan bahwa subsidi tersebut tidak adil, Panel menyarankan untuk membahas masalah ini melalui negosiasi. Berdasarkan Pasal 3.8 dari DSU, Panel menyimpulkan bahwa dikarenakan CDSOA tidak konsisten dengan ketentuan Anti-Dumping Agreement, SCM Agreement, dan GATT 1994. Panel merekomendasikan dengan meminta AS untuk membatalkan CDSOA agar tidak menyalahi sesuai ketentuan Anti-Dumping Agreement, SCM Agreement, dan GATT 1994.
Pada tanggal 18 Oktober 2002, US mengajukan banding ke the Appellate Body atas isi yang tercakup dalam Panel Report dan interpretasi hukum tertentu yang dikembangkan oleh Panel. Pada tanggal 16 Januari 2003, Appellate Body mengedarkanl laporannya, yang menyatakan:
  1. menguatkan pendapat Panel, dalam paragraf 7.51 dan 8.1 dari Panel Report, bahwa CDSOA adalah tindakan non - spesifik terhadap diperbolehkan dumping atau subsidi, bertentangan dengan Pasal 18.1 dari Anti-Dumping Agreement dan Pasal 32.1 dari SCM Agreement;
  2. akibat atas temuan hukum Panel, dalam paragraf 7.93 dan 8.1 dari Panel Report, bahwa CDSOA tidak konsisten dengan ketentuan-ketentuan tertentu dari Anti-Dumping Agreement dan SCM Agreement dan oleh karena itu, US telah gagal untuk memenuhi ketentuan Pasal 18.4 dari Anti-Dumping Agreement, Pasal 32.5 dari SCM Agreement dan Pasal XVI : 4 Perjanjian WTO;
  3. menguatkan penemuan hukum Panel, dalam paragraf 8.4 Panel Report, bahwa, sesuai dengan Pasal 3.8 dari DSU, sejauh bahwa CDSOA tidak konsisten dengan ketentuan Anti-Dumping Agreement dan SCM Agreement, CDSOA menghapus atau merugikan pihak lain dalam Perjanjian tersebut;
  4. membalikkan (melawan) penemuanhukum Panel, dalam paragraf 7.66 dan 8.1 dari Panel Report, bahwa CDSOA bertentangan dengan Pasal 5.4 Anti-Dumping Agreement dan Pasal 11.4 dari SCM Agreement;
  5. menolak kesimpulan Panel, dalam paragraf 7.63 dari Panel Report, bahwa USdinyatakantidakberitikad baik sehubungan dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 5.4 Anti-Dumping Agreement dan Pasal 11.4 dari SCM Agreement;
  1. menolak klaim US bahwa Panel tidak konsisten dengan Pasal 9.2 dari DSU dengan tidak menerbitkan Panel Report terpisah dalam sengketa yang dibawa oleh Meksiko.
Appellate Body merekomendasikan saran DSB, agar US menjalankan kewajibannya berdasarkan Anti-Dumping Agreement, SCM Agreement, dan GATT 1994. Terkait permintaan Kanada, DSB mengadopsi laporan Appellate Body dan laporanPanel, sebagaimana telah diubah dengan Appellate Body, dalam pertemuan pada tanggal 27 Januari 2003.
Jadi, baik Panel DSB dan Appellate Body berpendapat bahwa AS dalam kasus ini telah melanggar Article VI GATT yang berbunyi :
The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purposes of this Article, a product is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less than its normal value, if the price of the product exported from one country to another :
  1. is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country, or,
  2. b) in the absence of such domestic price, is less than either
    1. the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or
    2. (ii) the cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit. Due allowance shall be made in each case for differences in conditions and terms of sale, for differences in taxation, and for other differences affecting price comparability.
Kemudian, ayat 2 menyatakan bahwa :
In order to offset or prevent dumping, a contracting party may levy on any dumped product an anti-dumping duty not greater in amount than the margin of dumping in respect of such product. For the purposes of this Article, the margin of dumping is the price difference determined in accordance with the provisions of paragraph 1.
Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur secara ketat dan detail mengenai bagaimana melakukan kalkulasi apakah suatu produk merupakan produk dumping dan memenuhi syarat untuk dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau Antidumping Duties (ADD) dan Bea Masuk Imbalan (BMI) atau Countervailing Duties (CVD); bagaimana menginisiasi kasus; bagaimana investigasi produk-produk yang diduga merupakan produk dumping, dan lain-lain.3
Namun, apa yang dilakukan AS melalui CDSOA bertentangan dengan aturan-aturan tersebut karena :
  1. Ketentuan CDSOA yang memungkinkan pembagian hasil pungutan dari bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duty) terhadap barang impor yang dikumpulkan Pemerintah Amerika Serikat kepada industri domestiknya mengakibatkan kerugian ganda terhadap negara pengekspor, yaitu :
  1. Harga barang tersebut menjadi tinggi di negara tujuan ekspor sehingga tidak mampu bersaing dengan produk domestik.
  2. Pembagian hasil pungutan dari bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan (countervailing duty) kepada industri domestik merupakan salah satu bentuk subsidi yang dilarang menurut SCM Agreement karena secara tersirat memiliki tujuan mengejar target ekspor atau mengharuskan penggunaan barang-barang domestik dari pada produk impor.
  1. Review 5 tahunan untuk menentukan apakah bea masuk anti-dumping terhadap negara-negara pengekspor tidak dilakukan secara optimal.
  2. Kebijakan Amerika Serikat ini dapat digunakan secara berlebihan oleh kalangan industri domestik Amerika Serikat untuk mengklaim kerugian berat (injury) atas masuknya barang impor yang berharga murah dan kemudian menuduh barang impor murah tersebut akibat tindakan dumping yang dilakukan perusahaan pengekspor dan atau subsidi yang dilakukan negara lain kepada perusahaan eksportirnya.
  3. Untuk menuduh perusahaan negara lain melakukan praktek dumping, maka harus ada pengaduan dari industri domestik AS, dimana dalam ketentuan WTO harus memenuhi kuorum tertentu. Dalam ketentuan Tariff Act dan peraturan pelaksanaannya, pemenuhan kuorum tersebut dapat dipenuhi dengan memasukkan juga serikat pekerja sebagai bagian dari industri domestik. Hal ini berlawanan dengan ketentuan AD Agreement WTO yang menyatakan bahwa serikat pekerja tidak diperkenankan menjadi bagian dari industri domestik. Hal-hal yang berbenturan seperti inilah yang banyak sekali ditemukan di antara Tariff Act dan ketentuan - ketentuan WTO.

  1. Sikap Amerika Serikat terhadap Putusan yang Dikeluarkan Panel Dispute Settlement Body dan Appellate Body
Panel DSB menghasilkan keputusan untuk meminta AS agar menyesuaikan peraturannya dengan persetujuan-persetujuan WTO yang dilanggar dengan cara mencabut CDSOA. Namun, AS mengajukan banding atas keputusan tersebut sehingga dibentuklah Appelate Body yang pada tahun 2003 memutuskan bahwa CDSOA tidak konsisten dengan persetujuan-persetujuan WTO. Oleh karena itu, AS diminta untuk melakukan penyesuaian atau perubahan dalam CDSOA tersebut agar konsisten dengan ketentuan WTO.
Rekomendasi Appellate Body tidak kunjung dilaksanakan AS, maka pada tanggal 14 Maret 2003, penggugat meminta arbitrase berdasarkan Pasal 21.3 (c) DSU untuk menentukan jangka waktu agar rekomendasi DSB dilaksanakan US. Pada tanggal 24 Maret 2003, penggugat meminta Director-General untuk menunjuk arbiter dalam konsultasi dengan para pihak. Arbiter menghargai upaya para pihak tersebut dan menyimpulkan bahwa jangka waktu yang wajar " bagi US untuk melaksanakan rekomendasi DSB adalah 11 bulan sejak tanggal adopsi DSB tentang laporan Panel dan Banding dalam sengketa ini. Pertimbangan jangka waktu tersebut berakhir pada tanggal 27 Desember 2003. Kemudian, pada tanggal 14 Januari 2004, DSB diberitahu bahwa US telah sepakat bersama untuk mengubah jangka waktu dengan Thailand, Australia, dan Indonesia, sehingga akan berakhir pada tanggal 27 Desember 2004.
Pada tanggal 15 Januari 2004, dengan dalih bahwa US telah gagal untuk melaksanakan rekomendasi DSB dan putusan dalam jangka waktu yang ditentukan, Brazil, Chili, EC, India, Jepang, Korea, Kanada, dan Meksiko meminta otorisasi DSB untuk menangguhkan konsesi menurut Pasal 22.2 dari DSU. Pada tanggal 23 Januari 2004, US diminta, sesuai dengan Pasal 22.6 dari DSU, bahwa masalah ini dirujuk ke arbitrase, sejak US keberatan dengan tingkat penangguhan konsesi yang diajukan oleh para pihak di atas. Pada pertemuan pada tanggal 26 Januari 2004, DSB memutuskan untuk menyerahkan masalah tersebut ke arbitrase.
Pada tanggal 23 Desember 2004 serta 7 dan 11 Januari 2005, Australia, Thailand dan Indonesia, masing-masing, mencapai kesepakatan dengan US sehubungan dengan sengketa ini. Pada pertemuan 25 Januari 2005, DSB setuju untuk mencatat kesepahaman ini.
Pada pertemuan DSB pada tanggal 17 Februari 2006, US menyatakan bahwa Kongres US telah menyetujui Undang-Undang Pengurangan Defisit pada tanggal 1 Februari 2006 dan Presiden telah menandatangani RUU menjadi UU pada 8 Februari 2006 sesuai kewajiban sebagai anggota WTO. Australia, Brazil, Kanada, Chili, Indonesia, Hong Kong,Tiongkok, India, Jepang, Korea, Meksiko, Thailand, dan EC menyambut baik langkah-langkah terakhir yang diambil oleh Kongres terhadap pencabutan CDSOA, tetapi tidak setuju dengan pernyataan US bahwa mereka telah membawa langkah-langkah yang sepenuhnya sesuai rekomendasi DSB dan putusan arbritase. Selain itu, Tariff Act of 1930 di AS kemudian diamandemen dengan the Trade Agreements Act of 1979.
  1. Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa DS217
Kepentingan nasional Indonesia dalam setiap perjanjian multirateral dalam bidang perdagangan antara lain adalah adanya akses ke pasar, adanya perbaikan aturan main, bidang baru atau “new issue”. Indonesia telah meratifikasi persetujuana pembentukan WTO melalui UU No.7 tahun 1994. Jadi negara-negara anggota WTO dan Indonesia harus menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan-persetujuan WTO. Ratifikasi tersebut menyatakan bahwa ketentuan dan isi persetujuan WTO menjadi bagian dari peraturan perundangan nasional. Indonesia sebagai negara anggota memiliki kewenangan untuk melakukan tuduhan anti dumping, tuduhan anti subsidi (pengenaan bea masuk imbalan serta tindakan safeguard berupa pengenaan tarif, kuota, dan keduanya sekaligus).
Oleh sebab itu, keikutsertaan Indonesia dalam forum WTO dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan menjadi langkah awal untuk memajukan kesejahteraan bangsa melalui sarana perdagangan internasional. Contoh kasus dimana indonesia berkedudukan sebgai pihak complainant dalam penyelesaian sengketa WTO, yaitu South Africa-Anti Dumping Measures on Uncoated Woodfree Paper (DS374), Korea Anti Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia (DS312), United States Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 dengan bersama-sama dengan complainant lain, yaitu Australia, Brazil, Chile, European Communities, India, Jepang, Korea, dan Thailand (DS217).
Dalam sengketa DS217 Indonesia yang berkedudukan sebagai penggugat telah berhasil memperjuangkan hak-haknya sebagai negara berkembang. Hak tersebut berkaitan dengan berbagai ketentuan yang disebut Special and Differential Treatment (S&D) yang dibuat dalam perjanjian WTO untuk mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Terdapat 145 S&D yang tersebardi dalam berbagai perjanjian WTO dan Sekretariat WTO mengklasifikasikan ketentuan-ketentuan S&D ke dalam 6 kategori, yaitu :
  1. Ketentuan-ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan kesempatan perdagangan negara berkembang.
  2. Ketentuan-ketentuan yang menghendaki negara-negara anggota WTO untuk melindungi kepentingan negara berkembang.
  3. Ketentuan-ketentuan yang memberikan fleksibilitas dalam komitmen, tindakan, dan penggunaan instrumen-instrumen kebijakan.
  4. Ketnetuan-ketentuan yang memberikan masa transisi.
  5. Ketentuan-ketentuan tentang bantuan teknis.
  6. Ketentuan-ketentuan khusus bagi negara terbelakang.
Indonesia berpendapat bahwa dalam bidang anti-dumping, Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan ketentuan S&D, namun kenyataannya tidak bisa karena adanya penyalahgunaan kebijakan anti dumping sebagaimana yang terlihat dari kasus DS217 ini. Ketentuan S&D yang diatur dalam Article 15 dari AD Agreement tidak bisa diimplementasikan secara efektif dalam praktek karena dikeluarkannya CDSOA. Aturan ini menyebutkan bahwa sebelum menerapkan ketentuan anti-dumping dan contervailing measures, negara maju harus mempertimbangkan untuk menggunakan solusi-solusi lain yang disebutkan oleh perjanjian ini sebelum menerapkan bea masuk anti-dumping karena hal tersebut akan mempengaruhi kepentingan yang signifikan dari anggota negara berkembang. Melalui CDSO, Amerika Serikat telah menghambat akses pasar negara sedang berkembang ke pasar negara tersebut. Kinerja ekspor Indonesia sering menjadi korban kebijakan anti-dumping di negara-negara maju dan CDSOA adalah salah satunya.
Indonesia sering menjadi target tindakan anti-dumping oleh negara-negara maju. Menurut Komite Anti Dumping Indonesia, pada September 1996 terdapat 37 produk nasional yang dituduh dumping di 10 negara. Mayoritas tuduhan ini tidak terbukti dan oleh karena itu negara-negara tersebut tidak jadi mengenakan bea masuk anti-dumping kepada Indonesia. Artinya, tuduhan-tuduhan dumping tersebut sebagian tidak berdasar, termasuk tuduhan yang dilontarkan Amerika serikat. Tuduhan dumping, baik terbukti atau tidak, memiliki dampak yang serius terhadap produk-produk yang dituduh dumping oleh para eksportirnya. Eksportir dan pemerintah terpaksa melakukan negosiasi mengenai kemungkinan dilakukannya Voluntary Export Restraints. Petisi dumping juga memerlukan dana yang sangat besar, khususnya bagi eksportir dan pemerintah negaranya untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Padahal kenyataannya negara sedang berkembang seperti Indonesia tidak memiliki dana, infrastruktur, kemampuan teknis, dan hukum untuk mempertahankan diri secara efektif. Selain itu, ketika bea masuk anti-dumping dikenakan, dampaknya lebih serius karena produk-produk yang terkena bea masuk tersebut akan menjadi mahal sehingga kehilangan daya saing.
Jadi, CDSOA memiliki dampak yang memperburuk kinerja ekspor Indonesia, yaitu :
  1. CDSOA meningkatkan kecenderungan industri dalam negeri AS untuk melontarkan tuduhan dumping kepada Indonesia.
  2. Melalui CDSOA, perusahaan-perusahaan domestik di AS akan menerima insentif jika mereka mengajukan petisi anti-dumping. Kondisi ini akan mengancam berjalannya perdagangan poduk-produk Indonesia ke AS.
  3. CDSOA dapat menurunkan akses pasar produk-produk Indonesia setelah dikenakan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan.
  4. Tercabutnya potensi negara sedang berkembang untuk terlibat dalam perdagangan internasional secara penuh.





BAB III
KESIMPULAN
  1. Tindakan anti-dumping dan countervailing measures boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan Article 6 GATT dan peraturan pelaksananya.
  2. Tariff Act 1930 dan CDSOA selaku peraturan pelaksananya bertentangan dengan GATT, Anti-Dumping Agreement, dan Subsidy Countervailing Measures Agreement.
  3. Sikap AS dalam perkara ini kurang kooperatif karena negara tersebut tidak melaksanakan rekomendasi WTO dengan segera untuk mengamandemen Tariff Act 1930 beserta CDSOA selaku peraturan pelaksanaanya, padahal diketahui bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan perjanjian-perjanjian WTO.
  4. Indonesia berperan sebagai penggugat dengan tujuan untuk mempertahankan haknya atas Special and Different Treatment di bidang anti-dumping yang diakui perjanjian-perjanjian WTO karena aturan CDSOA yang dibuat AS telah mengesampingkan hak-hak negara berkembang tersebut.









DAFTAR PUSTAKA
Buku
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. 2003. Sekilas WTO. Jakarta : Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Sumber Hukum
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994
Agreement on Implementation of Article VI of The General Agreement On Tariffs And Trade 1994
Agreement on Subsidies and Countervailing Measures
Report of The Appellate Body on United States – Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000


1 Lihat diantaranya dokumen WT/DSB/M/221 di http://docsonline.wto.org/


2 Lihat http://ia.ita.doc.gov/sunset/index.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar