Rabu, 08 Oktober 2014

ANALISIS BENTUK PERKAWINAN MENTAS DI YOGYAKARTA



MINI RESEARCH
HUKUM KEKERABATAN DAN PERJANJIAN ADAT
“ANALISIS BENTUK PERKAWINAN MENTAS DI YOGYAKARTA”
2014


PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pernikahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Setelah Undang-Undang ini diberlakukan, maka terjadi unifikasi hukum mengenai perkawinan di Indonesia, maka aturan mengenai perkawinan yang berlaku bagi orang Indonesia asli, orang Indonesia keturunan, orang timur asing mempunyai dasar hukum yang sama yaitu UU Perkawinan. Dalam UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabak dan urusan pribadi.
Selain secara hukum nasional, di Indonesia juga masih berlaku ketentuan ketentuan adat terkait dengan perkawinan. Menurut Ter Haar perkawinan dalam hukum adat merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi antara satu dengan yang lain dalam hubungan yang beranekaragam. Sebaagai kepentingan sanak-saudara yang berupa kesatuan-kesatuan atau masyarakat hukum (bagian dari suku, kerabat) perkawinan adalah suatu usaha untuk melestarikan golongan dengan tertib, yaitu melahirkan angkatan baru yang meneruskan golongan itu. Dalam struktur masyarakat adat kita menganut adanya tiga macam sistem kekerabatan, yaitu sistem kekerabatan patrilineal, sistem kekerabatan matrilineal, dan sistem kekerabatan parental.
Sistem kekerabatan patrilineal salah satunya adalah di daerah Sumatera utara, dimana bentuk perkawinannya adalah perkawinan jujur, istri akan masuk ke kerabat suami. Sistem kekerabatan matrilineal dikenal di Sumatera Barat maka bentuk perkawinannya adalah perkawinan semenda dimana  suami tidak akan masuk ke dalam kekerabatan istri, dia akan tetap di dalam kerabatnya sendiri. Sedangkan untuk sistem kekerabatan parental dikenal di Jawa, bentuk perkawinannya adalah perkawinan mentas. Perkawinan mentas adalah perkawinan yang bersifat bebas, mempunyai  akibat hukum antara kedudukan antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas penulis tertarik untuk mengetahui tata cara dari bentuk perkawinan mentas di DIY, bagaimana konsekuensi dari bentuk perkawinan mentas dan Apa saja jenis harta yang terdapat dalam bentuk perkawinan mentas. Di sini penulis hendak menyumbang suatu tulisan yang menelaah mengenai bentuk perkawinan mentas di Yogyakarta.

B.       Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan permasalahan yang menjadi fokus kajian ini adalah:
1.        Bagaimana tata cara dari bentuk perkawinan mentas di Yogyakarta?
2.        Bagaimana konsekuensi dari bentuk perkawinan mentas?
3.        Apa saja jenis harta yang terdapat dalam bentuk perkawinan mentas?

 METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang kami pakai adalah:
1.      Survei
Yaitu mendapatkan data dengan cara menghadiri langsung salah satu upacara pernikahan dalam bentuk perkawinan mentas untuk mengetahui tata cara dan prosedur yang ada.
2.      Metode Pustaka
Yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet.
3.      Diskusi
Yaitu mendapatkan data dengan cara bertanya secara langsung kepada Penanggung Jawab konsultasi dan rekan-rekan yang mengetahui tentang informasi yang di perlukan dalam pembuatan karya tulis.
 

A.          Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris. Hal ini dimaksudkan karena penulis tidak hanya tidak hanya mengumpulkan data sekunder tetapi juga menggunakan data primer  Dengan demikian, penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan hasil yang komperehensif yang mampu memadukan aspek teoritis dan praksis.

B.           Bahan Penelitian
Dalam penelitian normatif-empiris, penulis akan mengacu kepada dua sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah sekumpulan informasi yang dikumpulkan secara langsung oleh penulis dari sumbernya. Dalam hal ini, data primer penulis dapatkan dari observasi langsung di lapangan dan wawancara. Sementara itu data sekunder yang penulis gunakan adalah dalam bentuk buku dan peraturan perundang-undangan terkait.

C.          Teknik dan Alat Pengumpulan Data, Jalannnya Penelitian
Teknik  pengumpulan data yang akan dilakukan adalah studi lapangan dan  kepustakaan yang mengumpulkan data primer dan data sekunder.
Data primer penulis dapakan melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara. Obeservasi langsung di lapangan berlokasi di Jalan Kaliurang KM 5, Gg Karangwuni, Blok G1, Sleman, DIY. Adapun yang dijadikan subyek dalam penelitian ini terdiri dari responden yaitu  Saudara Dini dan Indra yang melangsungkan perkawinan dengan menggunakan adat DIY pada Hari Sabtu, 26 April 2014 dan Hari Minggu, 27 April 2014.
Data sekunder dikumpulkan secara bersistem dan kemudian dikelompokkan secara logis agar Peneliti memperoleh akses yang cepat kepada data-data sekunder ini. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap: persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian. Tahap persiapan dimulai dengan kegiatan pra penelitian yang meliputi pengumpulan dan pemilihan bahan kepustakaan, serta studi awal bahan kepustakaan tersebut. Selanjutnya, dalam tahap pelaksanaan dilakukan pengumpulan data yang meliputi studi literatur.
Terakhir, tahap penyelesaian. Pada tahap ini, dilakukan analisis data hasil penelitian dan penyusunan laporan sementara. Hasil penelitian akan dipresentasikan untuk memperoleh masukan dari teman-teman mahasiswa bagi perbaikan laporan akhir hasil penelitian.

D.          Analisis Data
Analisis data berisi uraian mengenai cara-cara analisis, yaitu bagaimana memanfaatkan yang merupakan penjelasan mengenai proses memanfaatkan data yang terkumpul untuk selanjutnya digunakan dalam menyelesaikan masalah penelitian. Dengan kata lain, analisis data merupakan penjelasan proses memanfaatkan data yang terkumpul untuk selanjutnya digunakan menyelesaikan masalah penelitian.[1] 
Analisis dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan studi lapangan pada perkawinan Saudara Dini dan Indra. Sehingga pendekatan melalui studi kasus ini layak diterapkan dalam penelitian ini. Metode pengolahan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku dan artikel-artikel, yang diolah serta dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian dipisahkan antara data yang relevan dengan yang tidak relevan. Selanjutnya, data yang relevan dikaitkan dengan judul, latar belakang masalah dan rumusan masalah. Metode kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu keterangan yang disampaikan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.[2]
 
PEMBAHASAN

A.      Tata Cara Perkawinan dari Bentuk Perkawinan Mentas
Untuk mengetahui tata cara perkawinan dari bentuk perkawinan mentas, kami mendatangi salah satu upacara pernikahan yang dilangsungkan di daerah Sleman, Yogyakarta. Kedua mempelai bernama Dini dan Indra. Proses pernikahan terbagi dalam dua hari. Yaitu hari pertama, pada Sabtu, 26 April 2014 serta hari kedua, Minggu, 27 April 2014.

A.1. Hari Pertama, Sabtu 26 April 2014
Di hari pertama proses pernikahan, dilangsungkan upacara Peningsetan dan Akad Nikah. Tahapan dari proses Peningsetan dan Akad Nikah adalah sebagai berikut:
1.        Pemantauan dan Penjemputan Naib[3]
2.        Naib hadir di tempat upacara akad nikah
3.        Upacara akad nikah
4.        Pasrah[4]
·      Menyerahkan peningset sebagai tanda tali asih
·      Menyerahkan calon pengantin putra untuk melaksanakan akad nikah
5.        Tampi[5]
·      Menerima peningset sebagai tanda tali asih
·      Menerima calon pengantin putri untuk melaksanakan akad nikah
6.        Penyerahan Peningset dan Angsul-Angsul[6]
·      Penyerahan peningset secara simbolis dari calon besan kepada ibu calon pengantin putri
·      Penyerahan angsul-angsul secara simbolis dari ibu calon pengantin putri kepada calon besan
7.        Calon pengantin putra menuju tempat duduk diiringi sholawatan
8.        Takzim[7] calon pengantin putri dengan orang tua, dengan calon pengantin putri tidak hadir di area akad
9.        Pembacaan ayat suci al-Quran
10.    Prosesi akad nikah dalam Islam
11.     Khotbah nikah dan pembacaan doa
12.     Ijab qobul
13.     Pembacaan sighat taklik[8]
14.     Penandatanganan akta nikah
15.     Calon pengantin putri menuju area akad nikah dan menandatangani akad nikah
16.     Penyerahan mahar
17.     Sungkeman
18.     Pemasangan cincin/kalpika
19.     Tauziah

A.2. Hari Kedua, Minggu, 27 April 2014
Di hari kedua proses pernikahan, dilangsungkan Upacara Panggih Pengantin dan Resepsi Pernikahan. Tahapan dari proses Upacara Panggih Pengantin dan Resepsi Pernikahan adalah sebagai berikut:
Pertama, Upacara Panggih Pengantin (Yogyakarta Hadiningrat), terdiri dari:
1.        Pengantin, kedua orang tua pengantin, saudara kandung pengantin persiapan untuk prosesi upacara panggih
2.        Iringan gamelan karawitan[9]
3.        Upacara Adat Panggih Pengantin gaya Yogyakarta Hadiningrat
4.        Pengantin putra hadir dengan pendamping diawali petugas pembawa pisang sanggan menuju tempat upacara
5.        Penyerahan pisang sanggan dari utusan besan kepada ibu pengantin putri
6.        Kembar mayang[10]
·      Kembang mayar dan cengkir mengawali perjalanan pengantin putri menuju tempat panggih
·      Kembang mayar disentuhkan pengantin putra dan selanjutnya diletakkan di depan kuncungan
7.        Balangan gantal: kedua pengantin saling melempar gantal/daun sirih yang digulung dengan tali benang putih
8.        Sesuci samparan/ ranupada: pengantin putri membasuh kaki pengantin putra
9.        Wiji dadi: telur disentuhkan ke dahi kedua pengantin, kemudian dipecah oleh juru paes pengantin
10.     Pengantin menuju pelaminan beserta pendamping
11.     Tampa kaya
·      Pengantin putra berdiri menuangkan uba rampe kacar-kucur
·      Diterima oleh pengantin putri
·      Kemudian diserahkan bersama kepada ibu pengantin putri
12.     Dhahar klimah
·      Pengantin putra mengepal nasi kuning sebanyak tiga kepala
·      Dan kemudian diserahkan kepada pengantin putri
13.     Besan mertuwi
·      Orang tua pengantin putri menyambut besan di tempat upacara dengan berjabat tangan
·      Kemudian menuju tempat duduk pelaminan
14.    Sungkeman pangabekten: pengantin sungkem kepada kedua orang tua untuk mohon doa restu
15.     Tumplak punjen: menandakan hajat mantu terakhir



Kedua, Upacara Resepsi Pernikahan yang terdiri dari:
1.        Pembukaan dan sambutan keluarga dilanjutkan doa
2.        Pelemparan hand bouqet
3.        Penutup
4.        Pengamana kotak tali asih/pundi dan kado

Kekentalan adat Jawa dapat kita lihat dalam proses perkawinan bentuk perkawinan mentas tersebut, contohnya saja dengan adanya penyerahan peningset pada hari pertama serta dalam jalannya upacra panggih pengantin di hari kedua proses pernikahan. Di hari kedua jalannya proses pernikahan, banyak sekali upacara-upacara adat jawa dengan beragam istilahnya. Ada Kembar Mayang, Balangan Gantal, Wiji Dadi, dan lain sebagainya.
Selain kental dengan adat jawanya, dapat kita lihat pula terdapat selipan-selipan tata cara pernikahan Islam yang dilakukan di hari pertama pernikahan. Yaitu adanya akad nikah, ijab-qabul, penyerahan mahar, sampai adanya tauziah di akhir acara. Hal tersebut membuktikan, eratnya ketentuan agama dengan prosesi upacara pernikahan adat. Hukum agama tidak dapat dikesampingkan dalam melangsungkan pernikahan adat. Apalagi bagi mereka yang beragama islam. Oleh karena itu, selain dipengaruhi oleh tata cara upacara adat Jawa, sistem perkawinan mentas juga dipengaruhi oleh ketentuan agama, dalam hal ini adalah agama islam seperti dalam contoh di atas.

B.       Konsekuensi Bentuk Perkawinan Mentas
Apabila seseorang melangsungkan perkawinan dengan menggunakan sistem perkawinan mentas, maka akan ada konsekuensi atau akan berpengaruh terhadap beberapa hal daripada sistem perkawinan itu sendiri. Adapun konsekuensi dari sistem perkawinan mentas itu sendiri antara lain:

a.        Kedudukan suami-isteri
Sistem perkawinan mentas adalah suatu perkawinan yang tidak membatasi setiap laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan hidupnya. Artinya dalam hal ini tidak ada kewajiban bagi pihak laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan dari clan nya maupun diluar clan nya seperti yang ada didalam masyarakat Batak dan Padang.
Sistem perkawinan mentas tidak mengenal adanya suatu prinsip dimana suami lebih tinggi kedudukannya dari pada isteri atau begitu pula sebaliknya. Sistem perkawinan ini juga umumnya hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa. Di dalam sistem perkawinan mentas juga memberi kebebasan kepada setiap pihak yang telah melangsungkan perkawinan untuk memilih tempat tinggal (domisili) masing-masing. Misalnya saja apabila seorang suami lebih kaya atau lebih banyak barang gawannya maka seorang isteri akan  mengikuti suaminya atau akan tinggal dikediaman suaminya, hal ini disekenal dengan istilah (ngomahi atau manggih kaya). Akan tetapi apabila seorang isteri lebih kaya atau lebih banyak gawannya, maka akan ada kemungkinan suaminya akan ikut atau akan tinggal di kediaman isterinya, hal ini dikenal dengan istilah (tut buri atau nyalindung kagelung), atau juga pasangan suami isteri ini menempati rumah atau kediaman yang baru, atau dikenal dengan istilah neolokal.
Dalam sistem perkawinan mentas, kedudukan suami-isteri adalah seimbang, dimana seorang suami dan seorang isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atau seimbang dengan suami baik dalam hal pengurusan anak, pengurusan rumah tangga, pengurusan harta maupun dalam hal kedudukannya sebagai ahli waris.
Dalam hal pengurusan anak, baik ayah atau ibu sama-sama mempunyai kewajiban yang sama untuk mengurus anak-anak yang ada didalam rumah tangganya itu sendiri baik terhadap anak hasil perkawinan yang sah maupun anak-anak yang diperoleh dari hasil penetapan pengadilan. Orang tua tersebut wajib memberikan pendidikan kepada anak-anaknya mulai dari pendidikan formal sampai pendidikan agama.
Selain memberikan pendidikan, orang tua juga wajib menjadi wali bagi anak-anaknya dalam melakukan perbuatan hukum dalam hal anak-anaknya belum dewasa. Misalnya apabila salah satu orang tuanya meninggal, maka orang tua yang masih hidup wajib mengurus harta warisan yang diperoleh anaknya dari pewaris.

b.        Kedudukan anak-anak
Sama halnya dengan kedudukan suami isteri, anak-anak dalam sistem perkawinan mentas juga mempunyai kedudukan yang seimbang baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Dalam sistem perkawinan mentas, tidak ada keistimewaan anatara anak-anak baik laki-laki maupun perempuan seperti yang ada didalam masyarakat Batak dan padang. Anak-anak dalam sistem perkawinan ini, mempunyai hak yang sama baik dalam hal kasih pengurusan maupun dalam hal warisan.
Sebagai contoh, mana kala salah seorang daripada orang tuanya meninggal dunia, maka anak-anak berhak untuk dipelihara oleh orang tua yang masih hidup. Mana kala kedua orang tuanya meninggal dunia, maka anak-anak tersebut memiliki hak untuk sama-sama dipelihara oleh kerabatnya baik oleh kerabat dari ibunya maupun oleh kerabat ayahnya. Dalam hal orang tuanya bercerai, maka anak-anak yang ada dalam sistem perkawinan ini berhak untuk memilih akan ikut dengan siapa baik dengan ayahnya maupun dengan ibunya. Berbeda dengan kedudukan anak-anak dalam sistem perkawinan jujur dan semenda yang mana kedudukan anak-anak dalam sistem perkawinan tersebut ada beberapa ketetentuan mengenai kedudukan anak-anak dalam sistem perkawinan tersebut. Seperti dalam sistem perkawinan jujur, anak-anak laki-laki baik yang tertua maupun yang termuda yang lebih diutamakan sedangkan dalam sistem perkawinan semenda anak-anak perempuan yang diutamakan, baik anak perempuan termuda maupun tertua.
Adapun keberadaan anak didalam sistem perkawinan mentas adalah untuk menuruskan keturunan, bukan semata-mata untuk menjaga harta yang ada didalam perkawinan itu sendiri seperti yang terjadi pada sistem perkawinan jujur dan semenda.

c.         Konsekuensi terhadap sistem pembagian warisan
Harta didalam suatu perkawinan mempunyai arti yang sangat penting, hal ini dikarenakan akan berakibat terhaap pembagian harta warisan kepada para ahli waris didalam sistem perkawinan itu sendiri. Adapun akibat daripada harta perkawinan itu akan timbul manakala pasangan suami isteri itu bercerai ataupun salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan telah meninggal dunia.
Didalam sistem perkawinan mentas mengenal juga sistem individu dalam pembagian harta warisan, yang berarti bahwa setiap individu yang berada didalam suatu rumah tangga tersebut berhak dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut pembagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati atau dialihkan (dijual) kepada sesama ahli waris, anggota kerabat, tetangga ataupun oranglain.
Kebaikan dari sistem pewarisan individual adalah bahwa dengan pemilikan secara individu, maka maka ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki bagiannya untuk dipergunakan sebagai modal kehidupannya lebih lanjut tanpa dipengaruhi anggota-anggota keluarga lainnya.
Kelemahan sistem ini pewarisan individu adalah pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai oleh suami-isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami-isteri, dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami-isteri yang bersangkutan.
Sesungguhnya harta perkawinan ini merupakan modal kekayaan yang dapat digunakanoleh suami-isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami-isteri dan anak-anaknya didalam satu “somah” (serumah),[11] didalam satu rumah tangga kecil (“gezin” Belanda) dan satu rumah tangga keluarga besar (“familie” Belanda) yang setidak-tidaknya dari rumah tangga kakek atau nenek. Kita tidak dapat begitu saja memisah-misahkan antara harta perkawinan”harta keluarga” dengan “harta kerabat”, oleh karena masyarakat adat itu ada yang bersendikan kekerabatan (kerukunan kerabat) ke-bapak-an atau ke-ibuan dan yang bersendikan kekeluargaan (kerukunan keluarga) semata-mata. Begitu pula ada suami isteri yang hanya bertanggung jawab atas kehidupan dengan anak-anaknya saja, tetapi ada juga suami isteri yang tidak semata-mata terikat bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak tetapi juga bertanggung jawab terhadap kemenakan.[12]

 
C.      Jenis Harta Perkawinan dalam Bentuk Perkawinan Mentas

Jenis harta perkawinan dalam bentuk perkawinan mentas terdiri atas:
a.        Harta Bawaan
Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan. Harta bawaan terdiri atas harta bawaan suami dan harta bawaan isteri yang diperoleh dari peninggalan, hasil warisan, hibah atau wasiat dan harta pemberian atau hadiah. Adapun penguasaan terhadap masing-masing harta diatas adalah sebagai berikut:
1.        Harta peninggalan yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris bersama, dikarenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris. Para ahli waris hanya mempunyai hak memakai.
2.        Harta warisan yang dimaksud adalah harta atau barang-barang  yang dibawa atau diperoleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga. Harta bawaan hasil dari warisan apabila salah satu pihaknya meninggal dunia atau cerai hidup tana meninggalkan anak, maka harta bawaan asal warisan itu harus kembali kepada keluarga asal.
3.        Harta hibah atau wasiat yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah atau wasiat anggota keluarga, misalnya hibah atau wasiat dari saudara-saudara ayah yang keturunannya putus. Harta bawaan ini dikuasi oleh suami atau isteri yang menerimanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga rumah tangga dan lainnya sesuai dengan “amanah”, Lampung; “weling “jawa” yang menyertai harta itu. Harta hibah atau wasiat ini dapat kemudian diteruskan pada ahli waris yang ditentukan menurut hukum adat setempat.
4.        Harta pemberian atau hadiah yang dimaksud adalah harta atau barang yang diperoleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah para anggota kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik. Harta bawaan yang berasal dari hasil pemberian atau hadiah dikuasi oleh ahli waris dari yang telah  wafat.

b.        Harta Pengahasilan
Di Jawa Tengah dalam bentuk perkawinan “manggih kaya” semua hasil pencaharian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah milik suami Harta Penghasilan adalah harta kekayaan baik berupa barang tetap maupun barang bergerak yang telah dikuasai dan dimiliki oleh suami atau isteri sebelum melangsungkan perkawinan yang didapat mereka dari hasil usaha dan tenaga dan pikiran sendiri yang termasuk juga hutang piutang perseorangannya. itu sendiri. Oleh karena suami seorang kaya sedangkan isteri orang miskin. Walaupun isteri ikut membantu suami dalam melaksanakan usaha itu, tetapi ia tidak berhak atas penghasilannya, ia hanya akan mendapat pemberian dari suami atas dasar belas kasih.

c.         Harta Pencaharian
Harta Pencarian adalah harta yang diperoleh suami atau isteri selama dalam ikatan perkawinan. Didalam sistem waris individu (perkawinan mentas), terhadap harta pencaharian ini akan ada pembagian tersendiri. Misalnya salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan meninggal dunia dan tidak mempunyai anak maka pembagiannya adalah ½ untuk janda atau duda nya, ½ untuk kerabat pihak yang meninggal dunia, mana kala bercerai tidak punya anak maka akan dibagi ½ terhadap kedua belah pihak. Apabila cerai punya anak harta akan dibagi rata yakni setiap pihak berhak mendapat ½ dari harta pencaharian mereka, serta anak-anak berhak memilih untuk ikut dengan ayah atau ibu nya dan anak-anak tersebut berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang telah dia pilih. Mana kala meninggal dan mempunyai anak, maka setiap individu yang ada dalam rumah tangga tersebut berhak mendapatkan warisan dari pewaris. Dalam hal harta bawaan, mana kala salah salah satu pihak yang memiliki harta bawaaan tersebut meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta bawaan akan kembali kepada kerabat yang telah memberikan harta tersebut. Manakala pihak yang mempunyai harta bawaan meninggal dan meningglkan ahli waris, maka harta bawaan dapat diwariskan kepada anak-anak yang ada didalam perkawinan tersebut, dan janda atau duda nya tidak berhak mewaris atas harta bawaan pewaris.



PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian keterangan dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan menjadi sebagai berikut:
1.        Tata cara perkawinan dalam bentuk perkawinan mentas kental dengan adat jawa yang kuat. Didalamnya terdapat upacara peningsetan dan  upacara panggih pengantin. Banyak sekali ritual-ritual adat jawa yang dilakukan di upacara tersebut. Seperti Kembar Mayang, Balangan Gantal, Wiji Dadi dll. Selain kental dengan adat jawanya, dewasa ini, tata cara perkawinan sistem perkawinan mentas tidak dapat terlepas dari ritual keagamaan. Apalagi bagi yang beragama islam. Ketentuan agama dalam pernikahan tidak dapat dilepaskan dari ketentuan adat. Dari contoh diatas dapat kita lihat adanya prosesi akad nikah, ijab kabul, penyerahan mahar, sampai adanya tauziah. Oleh karena itu dapat disimpulkan, selain dipengaruhi oleh tata cara upacara adat Jawa, sistem perkawinan mentas juga dipengaruhi oleh ketentuan agama yang dianut oleh kedua mempelai.
2.        Tiga konsekuensi dari bentuk perkawinan mentas yaitu, konsekuensi terhadap kedudukan suami-isteri, konsekuensi terhadap kedudukan anak-anak dan Konsekuensi terhadap sistem pembagian harta warisan
a.       Konsekuensi terhadap Kedudukan suami-isteri
Terhadap  kedudukan suami-isteri adalah seimbang, dimana seorang suami dan seorang isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atau seimbang dengan suami baik dalam hal pengurusan anak, pengurusan rumah tangga, pengurusan harta maupun dalam hal kedudukannya sebagai ahli waris.
b.      Konsekuensi terhadap Kedudukan anak-anak
Kedudukan seimbang antara anak laki-laki dan perempuan ( tidak ada keistimewaan ). seperti halnya didalam masyarakat Batak dan padang.
c.       Konsekuensi terhadap sistem pembagian harta warisan
Dalam perkawinan mentas dikenal sistem individu  yang berarti bahwa setiap individu yang berada didalam suatu rumah tangga tersebut berhak dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut pembagiannya masing-masing.


3.        Tiga jenis harta dalam perkawinan mentas yaitu harta bawaan, harta penghasilan, harta pencaharian

B.       Saran
Untuk mengetahui tata cara perkawinan dalam bentuk perkawinan mentas lebih lanjut hendaknya kita tidak mengacu hanya pada satu upacara perkawinan. Perlu dilakukan survei yang lebih banyak lagi terhadap upacara-upacara perkawinan mentas yang ada, karena terkadang terdapat perbedaan prosesi upacara antara upacara perkawinan mentas yang satu dengan upacara perkawinan mentas yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku
Prodjodikoro, Wirjono. 1966. Hukum Perkawinan Indonesia (cetakan kedua). Sumur Bandung: Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Sumardjono, Maria S. W., 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian: Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakrta
Wignjodipuro, Soerjono. 1993. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Alumni: Bandung.

B.       Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


[1]     Maria S. W. Sumardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian: Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakrta, hlm. 38.
[2]     Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 250.
[3] Penghulu urusan agama Islam, wakil orang yang menikahkan
[4] Pengikat, seserahan dari pihak pengantin lelaki pada pihak pengantin perempuan
[5] Menerima peningset
[6] Pemberian balasan dari pihak wanita kepada pihak pria, dan jumlahnya tidak boleh lebih dari seserahan yang di berikan kepada pihak wanita
[7]  Acara dengan unsur pengetahuan serta penghayatan atas kebesaran Allah dan kesadaran akan kehinaan dan keterbatasan diri sebagai makhluk
[8] Sighat taklik merupakan suatu janji secara tertulis yang ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah selesai prosesi akad nikah di depan penghulu, isteri, orang tua/wali, saksi-saksi dan para hadirin yang menghadiri akad perkawinan tersebut. Sighat Ta'lik ini diucapkan jika proses akad nikah telah selesai dan sah secara ketentuan hukum dan agama Islam.

[9] Gamelan karawitan di sini maksudnya musik gamelan bersistem nada nondiatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memilikia fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.

[10] Sepasang hiasan dekoratif simbolik setinggi setengah sampai satu badan manusia yang dilibatkan dalam upacara perkawinan adat Jawa, khususnya sejak sub-upacara midodareni sampai panggih. Kembar mayang dibawa oleh pria dan mendampingi sepasang cengkir gading yang dibawa oleh sepasang gadis. Setelah melaksanakan pernikahan, diharapkan mempelai berdua, dalam membangun rumah tangga, serta mencari nafkah, semoga dapat hidup sejahtera, semua yang direncanakan dapat terwujud
[11]    Soerjono Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, hlm. 195
[12]    Wirjono Prodjodikoro,  Hukum Perkawinan Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hlm. 90.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar