MINI RESEARCH
HUKUM KEKERABATAN DAN PERJANJIAN ADAT
“ANALISIS
BENTUK PERKAWINAN MENTAS DI YOGYAKARTA”
2014
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pernikahan
di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Setelah
Undang-Undang ini diberlakukan, maka terjadi unifikasi hukum mengenai
perkawinan di Indonesia, maka aturan mengenai perkawinan yang berlaku bagi
orang Indonesia asli, orang Indonesia keturunan, orang timur asing mempunyai
dasar hukum yang sama yaitu UU Perkawinan. Dalam UU
Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan
masyarakat, urusan martabak dan urusan pribadi.
Selain
secara hukum nasional, di Indonesia juga masih berlaku ketentuan ketentuan adat
terkait dengan perkawinan. Menurut Ter Haar perkawinan dalam
hukum adat merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan
masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi antara satu dengan yang lain
dalam hubungan yang beranekaragam. Sebaagai kepentingan sanak-saudara yang
berupa kesatuan-kesatuan atau masyarakat hukum (bagian dari suku, kerabat)
perkawinan adalah suatu usaha untuk melestarikan golongan dengan tertib, yaitu
melahirkan angkatan baru yang meneruskan golongan itu. Dalam struktur
masyarakat adat kita menganut adanya tiga macam sistem kekerabatan, yaitu sistem
kekerabatan patrilineal, sistem kekerabatan matrilineal, dan sistem kekerabatan
parental.
Sistem
kekerabatan patrilineal salah satunya adalah di daerah Sumatera utara, dimana
bentuk perkawinannya adalah perkawinan jujur, istri akan masuk ke kerabat
suami. Sistem kekerabatan matrilineal dikenal di Sumatera Barat maka bentuk
perkawinannya adalah perkawinan semenda dimana
suami tidak akan masuk ke dalam kekerabatan istri, dia akan tetap di
dalam kerabatnya sendiri. Sedangkan untuk sistem kekerabatan parental dikenal
di Jawa, bentuk perkawinannya adalah perkawinan mentas. Perkawinan mentas
adalah perkawinan yang bersifat bebas, mempunyai akibat hukum antara kedudukan antara
laki-laki dan perempuan tidak dibedakan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah
tersebut di atas penulis tertarik untuk mengetahui tata
cara dari bentuk perkawinan mentas di DIY, bagaimana konsekuensi dari
bentuk perkawinan mentas dan Apa
saja jenis harta yang terdapat dalam bentuk perkawinan mentas. Di sini penulis hendak menyumbang suatu tulisan yang menelaah mengenai bentuk
perkawinan mentas di Yogyakarta.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasar pada latar belakang yang telah diuraikan di
atas, maka rumusan permasalahan yang menjadi fokus kajian ini adalah:
1.
Bagaimana tata cara
dari bentuk perkawinan mentas di Yogyakarta?
2.
Bagaimana konsekuensi
dari bentuk perkawinan mentas?
3.
Apa saja jenis harta
yang terdapat dalam bentuk perkawinan mentas?
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang
kami pakai adalah:
1. Survei
Yaitu mendapatkan data
dengan cara menghadiri langsung salah satu upacara pernikahan dalam bentuk
perkawinan mentas untuk mengetahui tata cara dan prosedur yang ada.
2. Metode
Pustaka
Yaitu metode yang
dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang
berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet.
3. Diskusi
Yaitu mendapatkan data
dengan cara bertanya secara langsung kepada Penanggung Jawab konsultasi dan
rekan-rekan yang mengetahui tentang informasi yang di perlukan dalam pembuatan
karya tulis.
A.
Jenis Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian normatif-empiris.
Hal ini dimaksudkan karena penulis tidak hanya tidak hanya mengumpulkan data
sekunder tetapi juga menggunakan data primer Dengan demikian, penelitian ini
diharapkan akan mampu memberikan hasil yang komperehensif yang mampu memadukan
aspek teoritis dan praksis.
B.
Bahan
Penelitian
Dalam penelitian normatif-empiris, penulis akan mengacu kepada dua
sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah
sekumpulan informasi yang dikumpulkan secara langsung oleh penulis dari
sumbernya. Dalam hal ini, data primer penulis dapatkan dari observasi langsung
di lapangan dan wawancara. Sementara itu data sekunder yang penulis gunakan
adalah dalam bentuk buku dan peraturan perundang-undangan terkait.
C.
Teknik
dan Alat Pengumpulan Data, Jalannnya Penelitian
Teknik pengumpulan
data yang akan dilakukan adalah studi lapangan dan kepustakaan yang mengumpulkan data primer dan
data sekunder.
Data
primer penulis dapakan melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara.
Obeservasi langsung di lapangan berlokasi di Jalan Kaliurang KM 5, Gg
Karangwuni, Blok G1, Sleman, DIY. Adapun yang dijadikan
subyek dalam penelitian ini terdiri dari responden yaitu Saudara Dini dan Indra
yang melangsungkan perkawinan dengan menggunakan adat DIY pada Hari Sabtu, 26
April 2014 dan Hari Minggu, 27 April 2014.
Data
sekunder dikumpulkan secara bersistem dan kemudian dikelompokkan secara logis
agar Peneliti memperoleh akses yang cepat kepada data-data sekunder ini.
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap: persiapan, pelaksanaan, dan
penyelesaian. Tahap persiapan dimulai dengan kegiatan pra penelitian yang
meliputi pengumpulan dan pemilihan bahan kepustakaan, serta studi awal bahan
kepustakaan tersebut. Selanjutnya, dalam tahap pelaksanaan dilakukan
pengumpulan data yang meliputi studi literatur.
Terakhir,
tahap penyelesaian. Pada tahap ini, dilakukan analisis data hasil penelitian dan
penyusunan laporan sementara. Hasil penelitian akan dipresentasikan untuk
memperoleh masukan dari teman-teman mahasiswa bagi perbaikan laporan akhir
hasil penelitian.
D.
Analisis Data
Analisis
data berisi uraian mengenai cara-cara analisis, yaitu bagaimana memanfaatkan
yang merupakan penjelasan mengenai proses memanfaatkan data yang terkumpul
untuk selanjutnya digunakan dalam menyelesaikan masalah penelitian. Dengan kata
lain, analisis data merupakan penjelasan proses memanfaatkan data yang
terkumpul untuk selanjutnya digunakan menyelesaikan masalah penelitian.[1]
Analisis
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan studi lapangan pada perkawinan
Saudara Dini dan Indra. Sehingga
pendekatan melalui studi kasus ini layak diterapkan dalam penelitian ini. Metode
pengolahan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data yang diperoleh
dari peraturan perundang-undangan, buku-buku dan artikel-artikel, yang diolah
serta dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang diperoleh dari
penelitian kemudian dipisahkan antara data yang relevan dengan yang tidak
relevan. Selanjutnya, data yang relevan dikaitkan dengan judul, latar belakang
masalah dan rumusan masalah. Metode kualitatif merupakan tata cara penelitian
yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu keterangan yang disampaikan
oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku nyata, diteliti
dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.[2]
PEMBAHASAN
A.
Tata
Cara Perkawinan dari Bentuk Perkawinan Mentas
Untuk
mengetahui tata cara perkawinan dari bentuk perkawinan mentas, kami mendatangi
salah satu upacara pernikahan yang dilangsungkan di daerah Sleman, Yogyakarta.
Kedua mempelai bernama Dini dan Indra. Proses pernikahan terbagi dalam dua
hari. Yaitu hari pertama, pada Sabtu, 26 April 2014 serta hari kedua, Minggu,
27 April 2014.
A.1. Hari Pertama, Sabtu 26 April 2014
Di
hari pertama proses pernikahan, dilangsungkan upacara Peningsetan dan Akad
Nikah. Tahapan dari proses Peningsetan dan Akad Nikah adalah sebagai berikut:
1.
Pemantauan dan
Penjemputan Naib[3]
2.
Naib hadir di tempat
upacara akad nikah
3.
Upacara akad nikah
4.
Pasrah[4]
· Menyerahkan
peningset sebagai tanda tali asih
· Menyerahkan
calon pengantin putra untuk melaksanakan akad nikah
5.
Tampi[5]
· Menerima
peningset sebagai tanda tali asih
· Menerima
calon pengantin putri untuk melaksanakan akad nikah
6.
Penyerahan Peningset
dan Angsul-Angsul[6]
· Penyerahan
peningset secara simbolis dari calon besan kepada ibu calon pengantin putri
· Penyerahan
angsul-angsul secara simbolis dari ibu calon pengantin putri kepada calon besan
7.
Calon pengantin putra
menuju tempat duduk diiringi sholawatan
8.
Takzim[7]
calon pengantin putri dengan orang tua, dengan calon pengantin putri tidak
hadir di area akad
9.
Pembacaan ayat suci
al-Quran
10. Prosesi
akad nikah dalam Islam
11. Khotbah nikah dan pembacaan doa
12. Ijab qobul
13. Pembacaan sighat taklik[8]
14. Penandatanganan akta nikah
15. Calon pengantin putri menuju area akad nikah
dan menandatangani akad nikah
16. Penyerahan mahar
17. Sungkeman
18. Pemasangan cincin/kalpika
19. Tauziah
A.2. Hari Kedua, Minggu, 27 April 2014
Di
hari kedua proses pernikahan, dilangsungkan Upacara Panggih Pengantin dan
Resepsi Pernikahan. Tahapan dari proses Upacara Panggih Pengantin dan Resepsi
Pernikahan adalah sebagai berikut:
Pertama, Upacara
Panggih Pengantin (Yogyakarta Hadiningrat), terdiri dari:
1.
Pengantin, kedua orang
tua pengantin, saudara kandung pengantin persiapan untuk prosesi upacara
panggih
2.
Iringan gamelan
karawitan[9]
3.
Upacara Adat Panggih
Pengantin gaya Yogyakarta Hadiningrat
4.
Pengantin putra hadir dengan
pendamping diawali petugas pembawa pisang sanggan menuju tempat upacara
5.
Penyerahan pisang
sanggan dari utusan besan kepada ibu pengantin putri
6.
Kembar mayang[10]
· Kembang
mayar dan cengkir mengawali perjalanan pengantin putri menuju tempat panggih
· Kembang
mayar disentuhkan pengantin putra dan selanjutnya diletakkan di depan kuncungan
7.
Balangan gantal: kedua
pengantin saling melempar gantal/daun sirih yang digulung dengan tali benang
putih
8.
Sesuci samparan/
ranupada: pengantin putri membasuh kaki pengantin putra
9.
Wiji dadi: telur
disentuhkan ke dahi kedua pengantin, kemudian dipecah oleh juru paes pengantin
10. Pengantin menuju pelaminan beserta pendamping
11. Tampa kaya
· Pengantin
putra berdiri menuangkan uba rampe kacar-kucur
· Diterima
oleh pengantin putri
· Kemudian
diserahkan bersama kepada ibu pengantin putri
12. Dhahar klimah
· Pengantin
putra mengepal nasi kuning sebanyak tiga kepala
· Dan
kemudian diserahkan kepada pengantin putri
13. Besan mertuwi
· Orang
tua pengantin putri menyambut besan di tempat upacara dengan berjabat tangan
· Kemudian
menuju tempat duduk pelaminan
14. Sungkeman
pangabekten: pengantin sungkem kepada kedua orang tua untuk mohon doa restu
15. Tumplak punjen: menandakan hajat mantu
terakhir
Kedua, Upacara Resepsi
Pernikahan yang terdiri dari:
1.
Pembukaan dan sambutan
keluarga dilanjutkan doa
2.
Pelemparan hand bouqet
3.
Penutup
4.
Pengamana kotak tali
asih/pundi dan kado
Kekentalan
adat Jawa dapat kita lihat dalam proses perkawinan bentuk perkawinan mentas
tersebut, contohnya saja dengan adanya penyerahan peningset pada hari pertama
serta dalam jalannya upacra panggih pengantin di hari kedua proses pernikahan.
Di hari kedua jalannya proses pernikahan, banyak sekali upacara-upacara adat
jawa dengan beragam istilahnya. Ada Kembar Mayang, Balangan Gantal, Wiji Dadi, dan
lain sebagainya.
Selain
kental dengan adat jawanya, dapat kita lihat pula terdapat selipan-selipan tata
cara pernikahan Islam yang dilakukan di hari pertama pernikahan. Yaitu adanya
akad nikah, ijab-qabul, penyerahan mahar, sampai adanya tauziah di akhir acara.
Hal tersebut membuktikan, eratnya ketentuan agama dengan prosesi upacara
pernikahan adat. Hukum agama tidak dapat dikesampingkan dalam melangsungkan
pernikahan adat. Apalagi bagi mereka yang beragama islam. Oleh karena itu,
selain dipengaruhi oleh tata cara upacara adat Jawa, sistem perkawinan mentas
juga dipengaruhi oleh ketentuan agama, dalam hal ini adalah agama islam seperti
dalam contoh di atas.
B.
Konsekuensi
Bentuk Perkawinan Mentas
Apabila
seseorang melangsungkan perkawinan dengan menggunakan sistem perkawinan mentas,
maka akan ada konsekuensi atau akan berpengaruh terhadap beberapa hal daripada
sistem perkawinan itu sendiri. Adapun konsekuensi dari sistem perkawinan mentas
itu sendiri antara lain:
a.
Kedudukan
suami-isteri
Sistem
perkawinan mentas adalah suatu perkawinan yang tidak membatasi setiap laki-laki
maupun perempuan untuk memilih pasangan hidupnya. Artinya dalam hal ini tidak
ada kewajiban bagi pihak laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan dari
clan nya maupun diluar clan nya seperti yang ada didalam masyarakat Batak dan
Padang.
Sistem
perkawinan mentas tidak mengenal adanya suatu prinsip dimana suami lebih tinggi
kedudukannya dari pada isteri atau begitu pula sebaliknya. Sistem perkawinan
ini juga umumnya hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa. Di dalam sistem
perkawinan mentas juga memberi kebebasan kepada setiap pihak yang telah
melangsungkan perkawinan untuk memilih tempat tinggal (domisili) masing-masing.
Misalnya saja apabila seorang suami lebih kaya atau lebih banyak barang
gawannya maka seorang isteri akan
mengikuti suaminya atau akan tinggal dikediaman suaminya, hal ini
disekenal dengan istilah (ngomahi atau manggih kaya). Akan tetapi apabila
seorang isteri lebih kaya atau lebih banyak gawannya, maka akan ada kemungkinan
suaminya akan ikut atau akan tinggal di kediaman isterinya, hal ini dikenal
dengan istilah (tut buri atau nyalindung kagelung), atau juga pasangan suami
isteri ini menempati rumah atau kediaman yang baru, atau dikenal dengan istilah
neolokal.
Dalam
sistem perkawinan mentas, kedudukan suami-isteri adalah seimbang, dimana
seorang suami dan seorang isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atau
seimbang dengan suami baik dalam hal pengurusan anak, pengurusan rumah tangga,
pengurusan harta maupun dalam hal kedudukannya sebagai ahli waris.
Dalam
hal pengurusan anak, baik ayah atau ibu sama-sama mempunyai kewajiban yang sama
untuk mengurus anak-anak yang ada didalam rumah tangganya itu sendiri baik
terhadap anak hasil perkawinan yang sah maupun anak-anak yang diperoleh dari
hasil penetapan pengadilan. Orang tua tersebut wajib memberikan pendidikan
kepada anak-anaknya mulai dari pendidikan formal sampai pendidikan agama.
Selain
memberikan pendidikan, orang tua juga wajib menjadi wali bagi anak-anaknya
dalam melakukan perbuatan hukum dalam hal anak-anaknya belum dewasa. Misalnya
apabila salah satu orang tuanya meninggal, maka orang tua yang masih hidup
wajib mengurus harta warisan yang diperoleh anaknya dari pewaris.
b.
Kedudukan
anak-anak
Sama
halnya dengan kedudukan suami isteri, anak-anak dalam sistem perkawinan mentas
juga mempunyai kedudukan yang seimbang baik anak laki-laki maupun anak
perempuan. Dalam sistem perkawinan mentas, tidak ada keistimewaan anatara
anak-anak baik laki-laki maupun perempuan seperti yang ada didalam masyarakat
Batak dan padang. Anak-anak dalam sistem perkawinan ini, mempunyai hak yang
sama baik dalam hal kasih pengurusan maupun dalam hal warisan.
Sebagai
contoh, mana kala salah seorang daripada orang tuanya meninggal dunia, maka
anak-anak berhak untuk dipelihara oleh orang tua yang masih hidup. Mana kala
kedua orang tuanya meninggal dunia, maka anak-anak tersebut memiliki hak untuk
sama-sama dipelihara oleh kerabatnya baik oleh kerabat dari ibunya maupun oleh
kerabat ayahnya. Dalam hal orang tuanya bercerai, maka anak-anak yang ada dalam
sistem perkawinan ini berhak untuk memilih akan ikut dengan siapa baik dengan
ayahnya maupun dengan ibunya. Berbeda dengan kedudukan anak-anak dalam sistem
perkawinan jujur dan semenda yang mana kedudukan anak-anak dalam sistem
perkawinan tersebut ada beberapa ketetentuan mengenai kedudukan anak-anak dalam
sistem perkawinan tersebut. Seperti dalam sistem perkawinan jujur, anak-anak
laki-laki baik yang tertua maupun yang termuda yang lebih diutamakan sedangkan
dalam sistem perkawinan semenda anak-anak perempuan yang diutamakan, baik anak
perempuan termuda maupun tertua.
Adapun
keberadaan anak didalam sistem perkawinan mentas adalah untuk menuruskan
keturunan, bukan semata-mata untuk menjaga harta yang ada didalam perkawinan
itu sendiri seperti yang terjadi pada sistem perkawinan jujur dan semenda.
c.
Konsekuensi
terhadap sistem pembagian warisan
Harta
didalam suatu perkawinan mempunyai arti yang sangat penting, hal ini
dikarenakan akan berakibat terhaap pembagian harta warisan kepada para ahli
waris didalam sistem perkawinan itu sendiri. Adapun akibat daripada harta
perkawinan itu akan timbul manakala pasangan suami isteri itu bercerai ataupun
salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan telah meninggal dunia.
Didalam
sistem perkawinan mentas mengenal juga sistem
individu dalam pembagian harta warisan, yang berarti bahwa setiap individu
yang berada didalam suatu rumah tangga tersebut berhak dapat menguasai dan atau
memiliki harta warisan menurut pembagiannya masing-masing. Setelah harta
warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing ahli waris dapat menguasai
dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati atau dialihkan
(dijual) kepada sesama ahli waris, anggota kerabat, tetangga ataupun oranglain.
Kebaikan
dari sistem pewarisan individual adalah bahwa dengan pemilikan secara individu,
maka maka ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki bagiannya untuk
dipergunakan sebagai modal kehidupannya lebih lanjut tanpa dipengaruhi
anggota-anggota keluarga lainnya.
Kelemahan
sistem ini pewarisan individu adalah pecahnya harta warisan dan merenggangnya
tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan
secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.
Menurut
hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang
dikuasai oleh suami-isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik
harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta
warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil
bersama suami-isteri, dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh
prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku
terhadap suami-isteri yang bersangkutan.
Sesungguhnya
harta perkawinan ini merupakan modal kekayaan yang dapat digunakanoleh
suami-isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami-isteri dan
anak-anaknya didalam satu “somah” (serumah),[11]
didalam satu rumah tangga kecil (“gezin” Belanda) dan satu rumah tangga
keluarga besar (“familie” Belanda) yang setidak-tidaknya dari rumah tangga
kakek atau nenek. Kita tidak dapat begitu saja memisah-misahkan antara harta
perkawinan”harta keluarga” dengan “harta kerabat”, oleh karena masyarakat adat
itu ada yang bersendikan kekerabatan (kerukunan kerabat) ke-bapak-an atau
ke-ibuan dan yang bersendikan kekeluargaan (kerukunan keluarga) semata-mata.
Begitu pula ada suami isteri yang hanya bertanggung jawab atas kehidupan dengan
anak-anaknya saja, tetapi ada juga suami isteri yang tidak semata-mata terikat
bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak tetapi juga bertanggung jawab
terhadap kemenakan.[12]
C.
Jenis
Harta Perkawinan dalam Bentuk Perkawinan Mentas
Jenis
harta perkawinan dalam bentuk perkawinan mentas terdiri atas:
a.
Harta
Bawaan
Harta
Bawaan adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau isteri sebelum
perkawinan. Harta bawaan terdiri atas harta bawaan suami dan harta bawaan isteri
yang diperoleh dari peninggalan, hasil warisan, hibah atau wasiat dan harta
pemberian atau hadiah. Adapun penguasaan terhadap masing-masing harta diatas
adalah sebagai berikut:
1.
Harta peninggalan yang
dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri
kedalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan
penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris
bersama, dikarenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli
waris. Para ahli waris hanya mempunyai hak memakai.
2.
Harta warisan yang
dimaksud adalah harta atau barang-barang
yang dibawa atau diperoleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang
berasal dari warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perorangan
guna memelihara kehidupan berumah tangga. Harta bawaan hasil dari warisan
apabila salah satu pihaknya meninggal dunia atau cerai hidup tana meninggalkan
anak, maka harta bawaan asal warisan itu harus kembali kepada keluarga asal.
3.
Harta hibah atau wasiat
yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau
isteri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah atau wasiat anggota keluarga,
misalnya hibah atau wasiat dari saudara-saudara ayah yang keturunannya putus.
Harta bawaan ini dikuasi oleh suami atau isteri yang menerimanya untuk
dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga rumah tangga dan lainnya sesuai dengan
“amanah”, Lampung; “weling “jawa” yang menyertai harta itu. Harta hibah atau
wasiat ini dapat kemudian diteruskan pada ahli waris yang ditentukan menurut
hukum adat setempat.
4.
Harta pemberian atau
hadiah yang dimaksud adalah harta atau barang yang diperoleh suami atau isteri
kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah para anggota kerabat
dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik. Harta bawaan yang berasal
dari hasil pemberian atau hadiah dikuasi oleh ahli waris dari yang telah wafat.
b.
Harta
Pengahasilan
Di
Jawa Tengah dalam bentuk perkawinan “manggih kaya” semua hasil pencaharian
suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah milik suami Harta
Penghasilan adalah harta kekayaan baik berupa barang tetap maupun barang
bergerak yang telah dikuasai dan dimiliki oleh suami atau isteri sebelum
melangsungkan perkawinan yang didapat mereka dari hasil usaha dan tenaga dan
pikiran sendiri yang termasuk juga hutang piutang perseorangannya. itu sendiri.
Oleh karena suami seorang kaya sedangkan isteri orang miskin. Walaupun isteri
ikut membantu suami dalam melaksanakan usaha itu, tetapi ia tidak berhak atas
penghasilannya, ia hanya akan mendapat pemberian dari suami atas dasar belas
kasih.
c.
Harta
Pencaharian
Harta
Pencarian adalah harta yang
diperoleh suami atau isteri selama dalam ikatan perkawinan. Didalam sistem
waris individu (perkawinan mentas), terhadap harta pencaharian ini akan ada
pembagian tersendiri. Misalnya salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan
meninggal dunia dan tidak mempunyai anak maka pembagiannya adalah ½ untuk janda
atau duda nya, ½ untuk kerabat pihak yang meninggal dunia, mana kala bercerai
tidak punya anak maka akan dibagi ½ terhadap kedua belah pihak. Apabila cerai
punya anak harta akan dibagi rata yakni setiap pihak berhak mendapat ½ dari
harta pencaharian mereka, serta anak-anak berhak memilih untuk ikut dengan ayah
atau ibu nya dan anak-anak tersebut berhak mendapatkan warisan dari orang tua
yang telah dia pilih. Mana kala meninggal dan mempunyai anak, maka setiap
individu yang ada dalam rumah tangga tersebut berhak mendapatkan warisan dari
pewaris. Dalam hal harta bawaan, mana kala salah salah satu pihak yang memiliki
harta bawaaan tersebut meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta bawaan
akan kembali kepada kerabat yang telah memberikan harta tersebut. Manakala
pihak yang mempunyai harta bawaan meninggal dan meningglkan ahli waris, maka
harta bawaan dapat diwariskan kepada anak-anak yang ada didalam perkawinan
tersebut, dan janda atau duda nya tidak berhak mewaris atas harta bawaan pewaris.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian keterangan dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan
menjadi sebagai berikut:
1.
Tata cara perkawinan
dalam bentuk perkawinan mentas kental dengan adat jawa yang kuat. Didalamnya
terdapat upacara peningsetan dan upacara
panggih pengantin. Banyak sekali ritual-ritual adat jawa yang dilakukan di
upacara tersebut. Seperti Kembar Mayang, Balangan Gantal, Wiji Dadi dll. Selain
kental dengan adat jawanya, dewasa ini, tata cara perkawinan sistem perkawinan
mentas tidak dapat terlepas dari ritual keagamaan. Apalagi bagi yang beragama
islam. Ketentuan agama dalam pernikahan tidak dapat dilepaskan dari ketentuan
adat. Dari contoh diatas dapat kita lihat adanya prosesi akad nikah, ijab
kabul, penyerahan mahar, sampai adanya tauziah. Oleh karena itu dapat
disimpulkan, selain dipengaruhi oleh tata cara upacara adat Jawa, sistem
perkawinan mentas juga dipengaruhi oleh ketentuan agama yang dianut oleh kedua
mempelai.
2.
Tiga konsekuensi dari
bentuk perkawinan mentas yaitu, konsekuensi terhadap kedudukan suami-isteri,
konsekuensi terhadap kedudukan anak-anak dan Konsekuensi terhadap sistem
pembagian harta warisan
a. Konsekuensi
terhadap Kedudukan suami-isteri
Terhadap kedudukan suami-isteri adalah seimbang,
dimana seorang suami dan seorang isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama
atau seimbang dengan suami baik dalam hal pengurusan anak, pengurusan rumah
tangga, pengurusan harta maupun dalam hal kedudukannya sebagai ahli waris.
b. Konsekuensi
terhadap Kedudukan anak-anak
Kedudukan seimbang
antara anak laki-laki dan perempuan ( tidak ada keistimewaan ). seperti halnya
didalam masyarakat Batak dan padang.
c. Konsekuensi
terhadap sistem pembagian harta warisan
Dalam perkawinan mentas
dikenal sistem individu yang berarti bahwa setiap individu yang
berada didalam suatu rumah tangga tersebut berhak dapat menguasai dan atau
memiliki harta warisan menurut pembagiannya masing-masing.
3.
Tiga jenis harta dalam
perkawinan mentas yaitu harta bawaan, harta penghasilan, harta pencaharian
B.
Saran
Untuk mengetahui tata cara
perkawinan dalam bentuk perkawinan mentas lebih lanjut hendaknya kita tidak
mengacu hanya pada satu upacara perkawinan. Perlu dilakukan survei yang lebih
banyak lagi terhadap upacara-upacara perkawinan mentas yang ada, karena
terkadang terdapat perbedaan prosesi upacara antara upacara perkawinan mentas
yang satu dengan upacara perkawinan mentas yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Prodjodikoro, Wirjono. 1966. Hukum Perkawinan Indonesia (cetakan kedua).
Sumur Bandung: Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta
Sumardjono, Maria S. W., 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian: Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka
Utama, Jakrta
Wignjodipuro, Soerjono. 1993. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.
Alumni: Bandung.
B.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[1] Maria S. W. Sumardjono, 2001, Pedoman
Pembuatan Usulan Penelitian: Sebuah
Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakrta, hlm. 38.
[2] Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 250.
[4] Pengikat, seserahan dari pihak pengantin lelaki pada pihak pengantin
perempuan
[6] Pemberian
balasan dari pihak wanita kepada pihak pria, dan jumlahnya tidak boleh lebih
dari seserahan yang di berikan kepada pihak wanita
[7] Acara dengan unsur pengetahuan serta penghayatan
atas kebesaran Allah dan kesadaran akan kehinaan dan keterbatasan diri sebagai
makhluk
[8] Sighat taklik merupakan suatu janji secara tertulis yang
ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah selesai prosesi akad nikah di
depan penghulu, isteri, orang tua/wali, saksi-saksi dan para hadirin yang
menghadiri akad perkawinan tersebut. Sighat Ta'lik ini diucapkan jika proses akad nikah telah selesai dan sah
secara ketentuan hukum dan agama Islam.
[9] Gamelan karawitan di sini
maksudnya musik gamelan bersistem nada nondiatonis (dalam laras slendro dan
pelog) yang menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memilikia fungsi,
pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran
yang indah didengar.
[10] Sepasang
hiasan dekoratif simbolik setinggi setengah sampai satu badan manusia yang
dilibatkan dalam upacara perkawinan adat Jawa, khususnya sejak sub-upacara
midodareni sampai panggih. Kembar mayang dibawa oleh pria dan mendampingi
sepasang cengkir gading yang dibawa oleh sepasang gadis. Setelah
melaksanakan pernikahan, diharapkan mempelai berdua, dalam membangun rumah
tangga, serta mencari nafkah, semoga dapat hidup sejahtera, semua yang
direncanakan dapat terwujud
[11]
Soerjono Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,
Alumni, Bandung, hlm. 195
[12]
Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Perkawinan Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hlm. 90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar