Sabtu, 22 Maret 2014

Difabel Berhadapan dengan Hukum



“Difabel Berhadapan dengan Hukum”
Dalam Acara MoU KY RI dan SIGAB sekaligus Seminar “Difabel Berhadapan dengan Hukum” diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 13 Maret 2014 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta

Ditulis Oleh
Muhammad Karim Amrullah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Sekretaris Unit Kegiatan Mahasiswa Peduli Difabel Universitas Gadjah Mada


PEMBICARA
Suparman Marzuki, Ketua KY RI
-          Negeri ini mundur berlangkah-langkah; negeri ini menjadi sering ditertawakan; common sense kita tidak bisa menerima, bahkan tidak bisa diterima bagi akalnya yang masih sehat! (tanggapan terhadap adanya diskriminasi bagi difabel dalam SNMPTN 2014)
-          Terima kasih support dari berbagai LSM dan organisasi, dalam hal ini SIGAB tentunya, juga AusAID dan Asia Foundation, dalam advokasi kebijakan
-          Akses keadilan memiliki makna sekaligus tujuan:
1.       System hokum seharusnya dapat diakses semua orang dari berbagai latar belakang
2.       System hokum seharusnya menghasilkan keputusan yang adil baik bagi person maupun sekelompok atau badan
-          Kalau P’UU’an masih ada pengecualian, perlu legal audit
-          Harapan dari akses keadilan itu sendiri:
1.       Jaminan terpenuhi kebutuhan dasar manusia
Hak pendidikan misalnya, jangan terulang lagi diskriminasi bagi difabel. Hak politik dan sipil percuma tanpa pendidikan, sehingga hak pendidikan sangat penting, fundamental. (Terkait pengadilan) seharusnya ada mekanisme penyelesaian alternative, sayangnya setelah 1950 hilang. Penegak hokum sekarang overload, akurasi membaca pun menjadi kurang (untuk membuat pertimbangan dan keputusan), sementara dikejar tugas dan deadline terus menumpuk.
2.       Mekanisme yang baik
Banyak orang tidak mengerti ombudsman, padahal (ini) bisa dimanfaatkan, (misalnya) kalau di daerah tidak ada loket/akses khusus untuk difabel, itu sebenarnya mal-administrasi, dan bisa anda laporkan (keombudsman). KY hanyalah bagian kecil, karena hanya mengawasi menjaga martabat hakim.
-          KY harus berspektif difabel dalam berbagai policy
-          Hakim-hakim KY kuncinya dua: integritas dan kompetensi
-          (Dalam menanggapi berbagai persoalan) jangan hanya protes lalu (menuntut untuk) ganti pemimpin
-          Rekan-rekan hakim masih kurang pemahaman tentang perspektif gender, apalagi difabel, harus ada training agar pemahaman dan kesadaran meningkat

Imam Anshori Saleh, Ketua Lembaga dan Layanan Informasi KY RI
-          Konvenan konvensional UNCRPD belum diratifikasi (Pemerintah Indonesia) padahal penting juga karena produk hokum masih menunjukkan diskriminatif (terhadap difabel)
-          Dulu saya staf khusus Presiden Gus Dur tahun 2000, diberi tugas pada pertengahan Ramadhan agar gerbong kereta aksesibel, diteruskan ke Menteri Perhub, kemudian stasiun Gambir yang tadinya tidak ada layanan difabel 2 minggu kemudian harus ada lift karena Gus Dur ingin naik
-          Perlu pemahaman utuh terhadap difabel. Deputi bidang pendidikan dan keagamaan mengatakan pemenuhan (terhadap difabel) belum menyeluruh. Misalnya pernah kejadian 2009 protes ke KPU tidak aksesibel untuk memilih
-          Akan ada pelatihan hakim Jawa-Nusa Tenggara-Bali pemahaman terhadap difabel
-          SLB seolah mengkotak-kotakan, harusnya inklusi
-          Ada yang aksesibel fisik, tapi proses pengadilannya (mekanisme) masih diskriminatif, harus diakui Ke depan perlu ada lembaga advokasi difabel (dari pemerintah) karena selama ini tidak ada yang mendampingi. Yang “normal” saja melihat persidangan ribet banget

Riset SIGAB oleh M. Syaf’ie, Purwanti, dan Mah
-          Persoalan biasanya sudah muncul di kepolisian pas penyidikan, di pengadilan juga belum fair
-          Kasus pemerkosaan terhadap tuna grahita selama ini tidak diterima karena dianggap suka sama suka. Karena penyidik belum mengerti Bahasa korban, juga tuna grahita umurnya secara mental tidak sampai 22 tahun. Misalnya ada kasus seorang guru mencabuli Bunga (nama samaran). Ketika ditanya penyidik “Kenapa anda mau digitukan; kenapa anda tidak melawan” tentu saja mereka tidak paham.
-          Masalah (yang kerap ditemui) misalnya:
1.       Penerjemah, bagi tuna rungu dan/atau tuna wicara, apakah kita atau polisi yang menyediakan? Ada pertentangan (dalam menyediakan penerjemah) diinginkan orang yang dekat dan bisa memahami, dianggap bertentangan dengan asumsi tidak akan bisa adil dan professional karena mempunyai hubungan yang dekat dengan yang bersangkutan
2.       Kualifikasi tindak pidana anak atau dewasa? Jika masih anak-anak kan bisa UU Perlindungan Anak, namun sayangnya penghitungan umur masih pendekatan kalender, bukan mental, maka dalam prakteknya pakai KUHPidana. Tuna grahita kan umurnya “tidak sampai 10 tahun”
3.       Proses kejaksaan, dalam penuntutan, yang dibuat penyidik ditolak karena “kurang saksi” sdangkan masa penahanan pelaku (yang diduga) hampir habis. Maka kita lapor Komnas HAM kirim surat ke Kejaksaan. Beruntung entah gimana pada saat itu masa penahahan diperpnjang, jadi kita masih ada kesempatan. Pas kita memperjuangkan kasus, Kejaksaan Sukoharjo sangat akomodatif, tidak mempermasalahkan penerjemah orang dekat korban, dengan pertimbangan bijak mereka ini tanggung jawab kami, karena (menurut kami) kalau dari awal salah tunjuk penerjemah adalah awal kesalahan fatal kemudian
4.       Vonis yang dijatuhkan pada kasus yang kami perjuangkan waktu itu di Sukoharjo, pelaku (terpidana) dijatuhi 8 tahun 6 bulan, meski yang diterima adalah percabulan bukan pemerkosaan. Kami kurang puas” lalu banding, menjadi 10 tahun.
-          Hal yang lucu misalnya, “gimana kesaksian anda (bisa kami terima) wong anda sendiri tidak melihat langsung kejadian itu”
-          Dalam proses belum ada mekanisme yang aksesibel bagi difabel. Tuna grahita seharusnya bisa pakai UU Perlindungan Anak kalau pendekatan umur secara mental, tidak hanya secara kalender

Prof Eka Psikologi UGM tentang Psikologis Difabel di Persidangan
-          Kedewasaan seharusnya tidak hanya pendekatan secara kalender, namun juga secara mental
-          Biasanya “special need” diasumsikan “disable” yang kemudian diartikan “cacat” ini salah
-          Tuna grahita berisiko kekerasan social dan/atau susila, meski sebenarnya kecerdasan tinggi
·         Tidak mampu melindungi/membela diri
·         Kebersihan, kesehatan, kerapian kurang
·         Emosi datar, amat lugu,  IQ 25-70 an
·         Penalaran kurang, tidak sadar perlakuan dengan dampak ke depan. Inilah yang biasanya menjadi pendorong risiko kekerasan susila
·         Sehingga mereka tidak dipercaya, dipojokkan, bahkan “dimanfaatkan”
-          Hambatan keraguan atas kesaksian, dianggap tidak berbobot, pemeriksaan cenderung:
·         Menggiring jawaban, mengarahkan untuk menyetujui
·         Kemampuan bahasa kurang dan sangat terbatas
·         Kesulitan untuk memperagakan
·         Proses penyelidikan dan penyidikan saja sudah menimbulkan takut/trauma, sehingga memengaruhi jawaban tidak konsisten bahkan enggan menjawab
-          Terkait relevansi umur disabilitas:
·         Umur calendar: tidak menggambarkan kemampuan mental
·         Umur berdasarkan domain:
o   Biological age: berdasarkan fungsi vital tubuh
o   Social age: berdasarkan kelakuan, ketrampilan
o   Psychological age: berdasarkan intelektual, emosi, kematangan
o   Mental age: berdasarkan mental
-          Perlu diluruskan bahwa lulus S1 psikologi belum tentu psikiater sebelum sertifikat, apalagi saksi ahli, tidak semuanya
-          Menjadi catatan bahwa, umur tuna grahita “tidak sampai 10 tahun”
-          Menurut saya SLB penipuan public, kemampuan dalam pendidikan tidak mampu seperti yang lainnya namun seolah “disetarakan seperti yang lainnya” harusnya inklusi

Suwanjani, Dinas Polres Sukoharjo, tentang Studi Kasus Difabel
-          Ini kasus riil pemerkosaan siswa oleh gurunya sendiri di ruang kelas yang sedang direnovasi, (waktu itu) itu juga hambatan, ditambah terhambat untuk mengingat.
-          Pemeriksaan 2 saksi termasuk ortu sebagai pelapor, guru terdekat sebagai penerjemah
-          Tersangka (waktu itu) guru (dari awal kami berpikir) tentu mengelak, maka (kami putuskan) dengan terpaksa penangkapan, penahanan
-          Korban adalah tuna rungu sekaligus wicara, hambatan
·         Tidak mau cerita karena takut, maka waktu itu kita yakinkan “kita dipihak kamu”
·         Cepat jenuh, diam saja kalau ditanya, maka kami beri waktu istirahat agar tidak marah
·         Tidak hanya penerjemah, kami juga butuh saksi ahli seperti psikiater
-          Siswa difabel, dalam berbagai kasus:
·         Kalau bersekolah, didampingi guru terdekat
·         Kalau tidak sekolah, didampingi ortu/keluarga/kerabat

Suhardi, Kejaksaan Sukoharjo
-          Biasa menghadapi berkas, (saksi yang tidak bisa melihat atau mendengar, terkadang) jadi meragukan. Jadi lempar bola panas.
-          Tidak semua penegak hokum butuh/pentingnya penerjemah, misalnya
-          Pernah ada kasus dengan seorang yang diduga pelaku, dengan 6 peristiwa yang diuraikan pada tanggal yang berbeda, uraian seperti co-pas. Malah saya curiga jangan-jangan rekayasa penerjemah yang kurang kredibel. Memformulasikan 6 peristiwa dalam 1 berkas yang harusnya didakwakan semuanya, setidak-tidaknya tanggal rumusan, (tindakan) “revolusioner” jaga-jaga kalau ada yang lain
-          Pasal 294 KUHPidana, intinya mengurangi risiko kalalu kurang terbukti pemaksaan, karena tidak mungkin mendasarkan pada pendapat pribadi
-          Takut keterangan tidak konsisten dengan pertanyaan yang biasanya (ditanyakan) berulang-ulang
-          Saya ajak kenalan dengan korban, kemudian mengenalkan persidangan, missal ini baju yang dikenakan, dan sebagainya. Seperti ngemong anak kecil, agar tidak kagol nantinya
-          Tersangka (pada waktu itu) nekat dengan ajukan istrinya sebagai saksi, saya persilahkan namun tidak dibawah sumpah karena saya meragukan
-          Rekayasa cerita (oleh tersangka kepada korban) diajak sesuatu, tidak tahu nggak dong
-          Tuntutan persetubuhan, 11 tahun, yang signifikan kan pada pemidanaan, jadi jangan terjebak “antara kotak KUHPidana dengan UU Perlindungan Anak” mana yang digunakan, meski UU Perlindungan Anak lebih berat
-          Aparat penegak hokum bagaimanapun juga, tidak boleh (melakukan) terobosan tanpa paying hokum, jangan sampai melanggar P’UU’an, jangan kemudian diartika kami selalu corong UU

Agus
-          Pengalaman saya sewaktu menjadi Ketua Majelis PN, awalnya saya melihat kasus ini perkara biasa (yang dihadapi sehari-hari), padahal menyangkut korban difabel, belum nanti baca berkas
-          Seminggu sebelum sidang, audiensi SIGAB mengatakan, intinya kami datang bukan untuk mendekte, melainkan mendorong efek jera bagi pelaku dan keadilan bagi korban
-          Persidangan, JPU “tidak mampu ungkap bukti”, kemudian majelis “coba cari fakta”
-          Meski dari awal sudah ada desakan agar pelaku jangan sampai lepas, kami katakana intinya kami harus berjalan professional, terhormat, dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, kami akan berusaha semaksimal mungkin
-          Pertanyaan pengacara agar shock terapi mental kepada korban, pertanyaan mutar-muter biar (kesaksian) bingung, biar majelis tidak bisa melihat fakta sebenarnya. Tdak hanya itu, “kami juga ternacam” jika pengacara kemudian kirim surat kemana-mana karena dianggap memihak
-          Undang penerjemah, penasihat minta “penerjemah independen”, menurut kami dalam KUHAPidana penerjemah harus pandai bergaul dengan yang bersangkutan
-          2 alat bukti yang sah:
·         Minimal 2 orang saksi, jika saksi difabel menjadi hambatan, atau biasanya pemerkosaan siapa yang bakal menjadi saksi minimal 2
·         Surat, visum hanya menunjukkan “telah terjadi kerusakan karena benda tumpul” tidak bisa menunjukkan siapa pelaku
-          Pengalaman, difabel justru kejujuran lebih tinggi daripada yang “normal”, mereka sulit untuk diajak merekayasa namun cenderung menutup-nutupi, tidak mau cerita
-          Bedanya, kalau pencabulan itu “belum masuk”, sedangkan persetubuhan “telah masuknya”

PESERTA
Bu Tumir, Guru SLB Bina Upakara Solo
-          Tuna rungu sering dianggap bisu, maka kita ajak agar bisa bicara
-          Ada anak kami (dari farmasi) inign menjadi apoteker, tapi kita tidak tahu hokum. Biasanya tes tertulis berhasil, namun begitu mau wawancara langsung ditolak. Atau ada yang sudah lulus, namun ingin berprofesi apoteker ditolak.

Hadi Krmanal, LBH Malang
-          Permasalahan bagi difabel : kemampuan aparat penegak hokum dan mekanisme beracara
-          Contoh kasus 2006 seorang dirut sekaligus guru SLB, kemuian Polda menolak karena:
·         Kurang alat bukti
·         Pertanyaan aneh kepada korban, missal: kok mau diperkosa; kok tidak teriak/melawan
-          Belum banyak yang memahami, seharusnya ada kategori yang diatur KUHAPidana: intelektual, andibilitas, session, psiko social, mobilitas
-          UU Pengadilan Anak, ada perlindungan dan pendampingan khusus. Harusnya aa bagi difabel
-          Kita terlalu “legalistic dan positivism”

Sri Hartini, Jateng
-          Pengalaman 9.00-20.00 menjelang Ramadhan, sidang kejar tayang, korban difabel memengaruhi psikologis
-          Harusnya ada unit khusus untuk difabel di kepolisian dan kejaksaan, Pusat Pelayanan Terpadu baru untuk ibu, anak, dan perempuan

Arif
-          Seorang saksi untuk mengerti apa yang terjadi kan, tidak harus didasarkan bisa melihat atau mendengarkan saja, alat indra lainnya bagaimana
-          Kesaksian menjadi terhambat hanya karena “satu komponen tidak berfungsi”

Fuady, Surakarta
-          Setelah diskusi ini harus direalisasikan: membangun perspektif difabel
-          Khusus anak yang sudah diatur saja masih bermasalah: apalagi difabel
-          KY bisa tidak mendorong menyiapkan hakim di setiap daerah, agar jangan “hilang” setelah pembekalan

Fanny, DAC Yogyakarta
-          Cerita pengalaman cari SIM C, saya tuna rungu juga tuna wicara, dalam tahap yang dilalui:
·         Tes tertulis, lolos
·         Begitu tes wawancara tidak diberi kesempatan
-          Pertimbangan tidak bisa mendengarkan klakson misalnya
-          Apakah sama saja sekalipun SIM D
-          Kalau ada pelanggaran hokum kami harus ke mana sedangkan kami sulit berkomunikasi

Bu Fani, Makassar
-          Pengalaman dari awal penanganan tidak beres, di tingkat persidangan tidak ada yang mendampingi
-          Kalaupun ada pelaku difabel, biasanya “pelaku tidak murni”, dijebak misalnya
-          Enterpreneur awalnya hadir, kemudian tidak hadir karena “tidak siap”, apalagi bagi difabelnya. Kemudian ditunda sampai semua siap

Jion, Yogyakarta
-          Difabel selama ini menjadi korban pelecehan social dan/atau susila, penipuan
-          Pernah ada seorang tuna netra ditipu untuk diajak pijat, justru diperkosa. Hambatan kemudian ditanya, “Ciri-ciri pelaku apa?” misalnya. Kelemahan tersebut yang menjadi sudut diskriminasi
-          Harusnya:
·         Ada pendampingan khusus bagi difabel
·         Pembekalan penegak hokum untuk melayani difabel
·         Forum khusus bagi difabel di pengadilan

KESIMPULAN
·         Harus ada produk hokum yang khusus bagi difabel untuk perlindungan
·         Aparat penegak hokum harus perspektif difabel, dapat memahami kondisi mereka
·         Mekanisme pengadilan juga infrastruktur yang mendukung bagi difabel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar