“Difabel
Berhadapan dengan Hukum”
Dalam Acara MoU KY RI
dan SIGAB sekaligus Seminar “Difabel Berhadapan dengan Hukum” diselenggarakan
pada hari Kamis tanggal 13 Maret 2014 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta
Ditulis Oleh
Muhammad Karim Amrullah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Sekretaris Unit Kegiatan Mahasiswa Peduli Difabel
Universitas Gadjah Mada
PEMBICARA
Suparman Marzuki, Ketua KY RI
-
Negeri ini mundur berlangkah-langkah; negeri ini
menjadi sering ditertawakan; common sense kita tidak bisa menerima, bahkan
tidak bisa diterima bagi akalnya yang masih sehat! (tanggapan terhadap adanya
diskriminasi bagi difabel dalam SNMPTN 2014)
-
Terima kasih support dari berbagai LSM dan
organisasi, dalam hal ini SIGAB tentunya, juga AusAID dan Asia Foundation,
dalam advokasi kebijakan
-
Akses keadilan memiliki makna sekaligus tujuan:
1.
System hokum seharusnya dapat diakses semua
orang dari berbagai latar belakang
2.
System hokum seharusnya menghasilkan keputusan
yang adil baik bagi person maupun sekelompok atau badan
-
Kalau P’UU’an masih ada pengecualian, perlu
legal audit
-
Harapan dari akses keadilan itu sendiri:
1.
Jaminan terpenuhi kebutuhan dasar manusia
Hak pendidikan misalnya, jangan terulang lagi
diskriminasi bagi difabel. Hak politik dan sipil percuma tanpa pendidikan,
sehingga hak pendidikan sangat penting, fundamental. (Terkait pengadilan)
seharusnya ada mekanisme penyelesaian alternative, sayangnya setelah 1950
hilang. Penegak hokum sekarang overload, akurasi membaca pun menjadi kurang
(untuk membuat pertimbangan dan keputusan), sementara dikejar tugas dan
deadline terus menumpuk.
2.
Mekanisme yang baik
Banyak orang tidak mengerti ombudsman, padahal (ini)
bisa dimanfaatkan, (misalnya) kalau di daerah tidak ada loket/akses khusus untuk
difabel, itu sebenarnya mal-administrasi, dan bisa anda laporkan (keombudsman).
KY hanyalah bagian kecil, karena hanya mengawasi menjaga martabat hakim.
-
KY harus berspektif difabel dalam berbagai
policy
-
Hakim-hakim KY kuncinya dua: integritas dan
kompetensi
-
(Dalam menanggapi berbagai persoalan) jangan
hanya protes lalu (menuntut untuk) ganti pemimpin
-
Rekan-rekan hakim masih kurang pemahaman tentang
perspektif gender, apalagi difabel, harus ada training agar pemahaman dan
kesadaran meningkat
Imam Anshori Saleh, Ketua
Lembaga dan Layanan Informasi KY RI
-
Konvenan konvensional UNCRPD belum diratifikasi
(Pemerintah Indonesia) padahal penting juga karena produk hokum masih
menunjukkan diskriminatif (terhadap difabel)
-
Dulu saya staf khusus Presiden Gus Dur tahun
2000, diberi tugas pada pertengahan Ramadhan agar gerbong kereta aksesibel,
diteruskan ke Menteri Perhub, kemudian stasiun Gambir yang tadinya tidak ada
layanan difabel 2 minggu kemudian harus ada lift karena Gus Dur ingin naik
-
Perlu pemahaman utuh terhadap difabel. Deputi
bidang pendidikan dan keagamaan mengatakan pemenuhan (terhadap difabel) belum
menyeluruh. Misalnya pernah kejadian 2009 protes ke KPU tidak aksesibel untuk
memilih
-
Akan ada pelatihan hakim Jawa-Nusa Tenggara-Bali
pemahaman terhadap difabel
-
SLB seolah mengkotak-kotakan, harusnya inklusi
-
Ada yang aksesibel fisik, tapi proses
pengadilannya (mekanisme) masih diskriminatif, harus diakui Ke depan perlu ada
lembaga advokasi difabel (dari pemerintah) karena selama ini tidak ada yang
mendampingi. Yang “normal” saja melihat persidangan ribet banget
Riset SIGAB oleh M. Syaf’ie,
Purwanti, dan Mah
-
Persoalan biasanya sudah muncul di kepolisian
pas penyidikan, di pengadilan juga belum fair
-
Kasus pemerkosaan terhadap tuna grahita selama
ini tidak diterima karena dianggap suka sama suka. Karena penyidik belum
mengerti Bahasa korban, juga tuna grahita umurnya secara mental tidak sampai 22
tahun. Misalnya ada kasus seorang guru mencabuli Bunga (nama samaran). Ketika
ditanya penyidik “Kenapa anda mau digitukan; kenapa anda tidak melawan” tentu
saja mereka tidak paham.
-
Masalah (yang kerap ditemui) misalnya:
1.
Penerjemah, bagi tuna rungu dan/atau tuna
wicara, apakah kita atau polisi yang menyediakan? Ada pertentangan (dalam
menyediakan penerjemah) diinginkan orang yang dekat dan bisa memahami, dianggap
bertentangan dengan asumsi tidak akan bisa adil dan professional karena
mempunyai hubungan yang dekat dengan yang bersangkutan
2.
Kualifikasi tindak pidana anak atau dewasa? Jika
masih anak-anak kan bisa UU Perlindungan Anak, namun sayangnya penghitungan
umur masih pendekatan kalender, bukan mental, maka dalam prakteknya pakai
KUHPidana. Tuna grahita kan umurnya “tidak sampai 10 tahun”
3.
Proses kejaksaan, dalam penuntutan, yang dibuat
penyidik ditolak karena “kurang saksi” sdangkan masa penahanan pelaku (yang
diduga) hampir habis. Maka kita lapor Komnas HAM kirim surat ke Kejaksaan.
Beruntung entah gimana pada saat itu masa penahahan diperpnjang, jadi kita
masih ada kesempatan. Pas kita memperjuangkan kasus, Kejaksaan Sukoharjo sangat
akomodatif, tidak mempermasalahkan penerjemah orang dekat korban, dengan
pertimbangan bijak mereka ini tanggung jawab kami, karena (menurut kami) kalau
dari awal salah tunjuk penerjemah adalah awal kesalahan fatal kemudian
4.
Vonis yang dijatuhkan pada kasus yang kami perjuangkan
waktu itu di Sukoharjo, pelaku (terpidana) dijatuhi 8 tahun 6 bulan, meski yang
diterima adalah percabulan bukan pemerkosaan. Kami kurang puas” lalu banding,
menjadi 10 tahun.
-
Hal yang lucu misalnya, “gimana kesaksian anda
(bisa kami terima) wong anda sendiri tidak melihat langsung kejadian itu”
-
Dalam proses belum ada mekanisme yang aksesibel
bagi difabel. Tuna grahita seharusnya bisa pakai UU Perlindungan Anak kalau
pendekatan umur secara mental, tidak hanya secara kalender
Prof Eka Psikologi UGM tentang
Psikologis Difabel di Persidangan
-
Kedewasaan seharusnya tidak hanya pendekatan
secara kalender, namun juga secara mental
-
Biasanya “special need” diasumsikan “disable”
yang kemudian diartikan “cacat” ini salah
-
Tuna grahita berisiko kekerasan social dan/atau
susila, meski sebenarnya kecerdasan tinggi
·
Tidak mampu melindungi/membela diri
·
Kebersihan, kesehatan, kerapian kurang
·
Emosi datar, amat lugu, IQ 25-70 an
·
Penalaran kurang, tidak sadar perlakuan dengan
dampak ke depan. Inilah yang biasanya menjadi pendorong risiko kekerasan susila
·
Sehingga mereka tidak dipercaya, dipojokkan,
bahkan “dimanfaatkan”
-
Hambatan keraguan atas kesaksian, dianggap tidak
berbobot, pemeriksaan cenderung:
·
Menggiring jawaban, mengarahkan untuk menyetujui
·
Kemampuan bahasa kurang dan sangat terbatas
·
Kesulitan untuk memperagakan
·
Proses penyelidikan dan penyidikan saja sudah
menimbulkan takut/trauma, sehingga memengaruhi jawaban tidak konsisten bahkan
enggan menjawab
-
Terkait relevansi umur disabilitas:
·
Umur calendar: tidak menggambarkan kemampuan
mental
·
Umur berdasarkan domain:
o
Biological age: berdasarkan fungsi vital tubuh
o
Social age: berdasarkan kelakuan, ketrampilan
o
Psychological age: berdasarkan intelektual,
emosi, kematangan
o
Mental age: berdasarkan mental
-
Perlu diluruskan bahwa lulus S1 psikologi belum
tentu psikiater sebelum sertifikat, apalagi saksi ahli, tidak semuanya
-
Menjadi catatan bahwa, umur tuna grahita “tidak
sampai 10 tahun”
-
Menurut saya SLB penipuan public, kemampuan
dalam pendidikan tidak mampu seperti yang lainnya namun seolah “disetarakan
seperti yang lainnya” harusnya inklusi
Suwanjani, Dinas Polres
Sukoharjo, tentang Studi Kasus Difabel
-
Ini kasus riil pemerkosaan siswa oleh gurunya
sendiri di ruang kelas yang sedang direnovasi, (waktu itu) itu juga hambatan,
ditambah terhambat untuk mengingat.
-
Pemeriksaan 2 saksi termasuk ortu sebagai
pelapor, guru terdekat sebagai penerjemah
-
Tersangka (waktu itu) guru (dari awal kami
berpikir) tentu mengelak, maka (kami putuskan) dengan terpaksa penangkapan,
penahanan
-
Korban adalah tuna rungu sekaligus wicara,
hambatan
·
Tidak mau cerita karena takut, maka waktu itu
kita yakinkan “kita dipihak kamu”
·
Cepat jenuh, diam saja kalau ditanya, maka kami
beri waktu istirahat agar tidak marah
·
Tidak hanya penerjemah, kami juga butuh saksi
ahli seperti psikiater
-
Siswa difabel, dalam berbagai kasus:
·
Kalau bersekolah, didampingi guru terdekat
·
Kalau tidak sekolah, didampingi
ortu/keluarga/kerabat
Suhardi, Kejaksaan Sukoharjo
-
Biasa menghadapi berkas, (saksi yang tidak bisa
melihat atau mendengar, terkadang) jadi meragukan. Jadi lempar bola panas.
-
Tidak semua penegak hokum butuh/pentingnya
penerjemah, misalnya
-
Pernah ada kasus dengan seorang yang diduga
pelaku, dengan 6 peristiwa yang diuraikan pada tanggal yang berbeda, uraian
seperti co-pas. Malah saya curiga jangan-jangan rekayasa penerjemah yang kurang
kredibel. Memformulasikan 6 peristiwa dalam 1 berkas yang harusnya didakwakan
semuanya, setidak-tidaknya tanggal rumusan, (tindakan) “revolusioner” jaga-jaga
kalau ada yang lain
-
Pasal 294 KUHPidana, intinya mengurangi risiko
kalalu kurang terbukti pemaksaan, karena tidak mungkin mendasarkan pada
pendapat pribadi
-
Takut keterangan tidak konsisten dengan
pertanyaan yang biasanya (ditanyakan) berulang-ulang
-
Saya ajak kenalan dengan korban, kemudian
mengenalkan persidangan, missal ini baju yang dikenakan, dan sebagainya.
Seperti ngemong anak kecil, agar tidak kagol nantinya
-
Tersangka (pada waktu itu) nekat dengan ajukan
istrinya sebagai saksi, saya persilahkan namun tidak dibawah sumpah karena saya
meragukan
-
Rekayasa cerita (oleh tersangka kepada korban)
diajak sesuatu, tidak tahu nggak dong
-
Tuntutan persetubuhan, 11 tahun, yang signifikan
kan pada pemidanaan, jadi jangan terjebak “antara kotak KUHPidana dengan UU
Perlindungan Anak” mana yang digunakan, meski UU Perlindungan Anak lebih berat
-
Aparat penegak hokum bagaimanapun juga, tidak
boleh (melakukan) terobosan tanpa paying hokum, jangan sampai melanggar
P’UU’an, jangan kemudian diartika kami selalu corong UU
Agus
-
Pengalaman saya sewaktu menjadi Ketua Majelis PN,
awalnya saya melihat kasus ini perkara biasa (yang dihadapi sehari-hari),
padahal menyangkut korban difabel, belum nanti baca berkas
-
Seminggu sebelum sidang, audiensi SIGAB
mengatakan, intinya kami datang bukan untuk mendekte, melainkan mendorong efek
jera bagi pelaku dan keadilan bagi korban
-
Persidangan, JPU “tidak mampu ungkap bukti”,
kemudian majelis “coba cari fakta”
-
Meski dari awal sudah ada desakan agar pelaku
jangan sampai lepas, kami katakana intinya kami harus berjalan professional,
terhormat, dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, kami akan berusaha
semaksimal mungkin
-
Pertanyaan pengacara agar shock terapi mental
kepada korban, pertanyaan mutar-muter biar (kesaksian) bingung, biar majelis
tidak bisa melihat fakta sebenarnya. Tdak hanya itu, “kami juga ternacam” jika
pengacara kemudian kirim surat kemana-mana karena dianggap memihak
-
Undang penerjemah, penasihat minta “penerjemah
independen”, menurut kami dalam KUHAPidana penerjemah harus pandai bergaul dengan
yang bersangkutan
-
2 alat bukti yang sah:
·
Minimal 2 orang saksi, jika saksi difabel
menjadi hambatan, atau biasanya pemerkosaan siapa yang bakal menjadi saksi
minimal 2
·
Surat, visum hanya menunjukkan “telah terjadi
kerusakan karena benda tumpul” tidak bisa menunjukkan siapa pelaku
-
Pengalaman, difabel justru kejujuran lebih
tinggi daripada yang “normal”, mereka sulit untuk diajak merekayasa namun
cenderung menutup-nutupi, tidak mau cerita
-
Bedanya, kalau pencabulan itu “belum masuk”,
sedangkan persetubuhan “telah masuknya”
PESERTA
Bu Tumir, Guru SLB Bina
Upakara Solo
-
Tuna rungu sering dianggap bisu, maka kita ajak
agar bisa bicara
-
Ada anak kami (dari farmasi) inign menjadi
apoteker, tapi kita tidak tahu hokum. Biasanya tes tertulis berhasil, namun
begitu mau wawancara langsung ditolak. Atau ada yang sudah lulus, namun ingin
berprofesi apoteker ditolak.
Hadi Krmanal, LBH Malang
-
Permasalahan bagi difabel : kemampuan aparat
penegak hokum dan mekanisme beracara
-
Contoh kasus 2006 seorang dirut sekaligus guru SLB,
kemuian Polda menolak karena:
·
Kurang alat bukti
·
Pertanyaan aneh kepada korban, missal: kok mau
diperkosa; kok tidak teriak/melawan
-
Belum banyak yang memahami, seharusnya ada
kategori yang diatur KUHAPidana: intelektual, andibilitas, session, psiko social,
mobilitas
-
UU Pengadilan Anak, ada perlindungan dan
pendampingan khusus. Harusnya aa bagi difabel
-
Kita terlalu “legalistic dan positivism”
Sri Hartini, Jateng
-
Pengalaman 9.00-20.00 menjelang Ramadhan, sidang
kejar tayang, korban difabel memengaruhi psikologis
-
Harusnya ada unit khusus untuk difabel di
kepolisian dan kejaksaan, Pusat Pelayanan Terpadu baru untuk ibu, anak, dan
perempuan
Arif
-
Seorang saksi untuk mengerti apa yang terjadi
kan, tidak harus didasarkan bisa melihat atau mendengarkan saja, alat indra
lainnya bagaimana
-
Kesaksian menjadi terhambat hanya karena “satu
komponen tidak berfungsi”
Fuady, Surakarta
-
Setelah diskusi ini harus direalisasikan:
membangun perspektif difabel
-
Khusus anak yang sudah diatur saja masih
bermasalah: apalagi difabel
-
KY bisa tidak mendorong menyiapkan hakim di
setiap daerah, agar jangan “hilang” setelah pembekalan
Fanny, DAC Yogyakarta
-
Cerita pengalaman cari SIM C, saya tuna rungu
juga tuna wicara, dalam tahap yang dilalui:
·
Tes tertulis, lolos
·
Begitu tes wawancara tidak diberi kesempatan
-
Pertimbangan tidak bisa mendengarkan klakson
misalnya
-
Apakah sama saja sekalipun SIM D
-
Kalau ada pelanggaran hokum kami harus ke mana
sedangkan kami sulit berkomunikasi
Bu Fani, Makassar
-
Pengalaman dari awal penanganan tidak beres, di
tingkat persidangan tidak ada yang mendampingi
-
Kalaupun ada pelaku difabel, biasanya “pelaku
tidak murni”, dijebak misalnya
-
Enterpreneur awalnya hadir, kemudian tidak hadir
karena “tidak siap”, apalagi bagi difabelnya. Kemudian ditunda sampai semua siap
Jion, Yogyakarta
-
Difabel selama ini menjadi korban pelecehan
social dan/atau susila, penipuan
-
Pernah ada seorang tuna netra ditipu untuk
diajak pijat, justru diperkosa. Hambatan kemudian ditanya, “Ciri-ciri pelaku
apa?” misalnya. Kelemahan tersebut yang menjadi sudut diskriminasi
-
Harusnya:
·
Ada pendampingan khusus bagi difabel
·
Pembekalan penegak hokum untuk melayani difabel
·
Forum khusus bagi difabel di pengadilan
KESIMPULAN
·
Harus ada produk hokum yang khusus bagi
difabel untuk perlindungan
·
Aparat penegak hokum harus perspektif
difabel, dapat memahami kondisi mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar