oleh: Muhammad
Karim Amrullah
Tahun baru 2013
merupakan harapan baru bagi kita semua. Hal tersebut juga diiringi dengan
berbagai tantangan ke depan. Meskipun tanggal satu Januari sudah lewat beberapa
bulan yang lalu, kita masih bisa merasakan percikan semangat perayaan tahun
baru 2013 dalam kehidupan kita hingga saat ini. Semangat itulah yang menjadi
modal bagi kita untuk menghadapi berbagai tantangan baru ke depan, guna
menyongsong harapan baru yang lebih baik. Minimnya kesadaran perhatian maupun
pengakuan hak bagi kaum disabilitas oleh public dan pemerintah merupakan salah
satu tantangan terberat bagi kita.
Isu disabilitas
sebetulnya merupakan isu yang klasik dari tahun ke tahun ini, hanya saja sering
terlewatkan dan terabaikan. Hal inilah yang membuat kaum disabilitas terus menuntut
akan hak-hak mereka seperti manusia pada umumnya –bukan berarti meminta untuk
diistimewakan. Para pemerhati kaum disabilitas pun turut dalam perjuangan
mereka dengan berbagai cara, salah satunya dengan adanya kontes blogging dengan tema "Kartunet Kampanye Aksesibilitas tanpa Batas"
yang diadakan oleh Kartunet (http://www.kartunet.com/), bekerja sama dengan ASEAN Blogger Community dan didukung oleh XL Axiata (http://www.xl.co.id/). Isu disabbilitas sebenarnya termasuk dalam perjuangan mengenai hak asasi manusia, karena perjuangan HAM itu sendiri dimaksudkan untuk melindungi hak bagi setiap manusia tanpa terkecuali. Dari tahun ke tahun, isu terkait hak asasi manusia (HAM) menjadi pembicaraan
utama, hangat, dominan, bahkan HAM itu sendiri terkesan diagungkan di segala
penjuru dunia. Lebih dari 60 tahun telah berjalan komitmen bersama mengenai HAM.
Namun, relita kehidupan hingga saat ini tidak seindah yang dicita-citakan oleh
masyarakat internasional. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai
dunia. Hal ini cukup ironis, ditambah terlewatkannya isu mengenai kaum disabilitas.
Di dalam tulisan ini, pembicaraan kita terfokus pada akses pendidikan bagi kaum disabilitas. Namun tidak menutup kemungkinan untuk membicarakan terkait akses bagi kaum disabilitas di luar bidang pendidikan. Terkait permasalahan pada akses pendidikan bagi kaum disabilitas, saya terinspirasi salah satuntya
oleh Mukhanif Yasin Yusuf, teman saya yang menderita tuna rungu sejak umurnya
11 tahun. Semangat mahasiswa semester keempat Sastra Indonesia Universitas
Gadjah Mada (UGM) ini dalam memperjuangkan kaum difabel –istilah lain dari
disabilitas yang sering kami gunakan– di UGM diwujudkan salah satunya dengan menggagas sekaligus menjadi Ketua Forum Mahasiswa
Difabel dan Partner Universitas Gadjah Mada (FMDP UGM). Pada 22 Desember 2012
lalu, FMDP UGM mengadakan seminar nasional bertemakan “Menggugat Peran
Mahasiswa dalam Isu Pendidikan Difabel” yang bekerjasama dengan Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM. Satu hal yang sangat menarik bagi saya, dalam proposal seminar tersebut,
Mas Khanif –begitu sapaan saya kepadanya– menuliskan, ”Hal ini cukup ironis di
tengah masyarakat kita yang menggaungkan Hak Asasi Manusia (HAM). Lalu, apakah
yang mereka perjuangkan? Mengapa isu difabel terlewatkan?” Harapan kami setelah
diadakannya seminar ini agar terciptanya keterlibatan aktif mahasiswa difabel
maupun non-difabel serta civitas akademika kampus dalam menyikapi isu-isu
difabel terutama dalam hal pendidikan.
Salah satu hal
menarik yang dibahas pada diskusi seminar pertama FMDP UGM ini mengenai akses
bagi kaum disabilitas, tentu saja dalam hal pendidikan terutama. Permasalahan ini menjadi salah satu bukti masih minimnya perhatian maupun
pengakuan hak bagi kaum disabilitas oleh public dan pemerintah. Bapak Slamet
Tohari, salah satu pembicara dalam seminar, menceritakan pengalaman beliau
selama kuliah baik di dalam maupun di luar negeri terkait akses bagi kaum
disabilitas di kampus. Pendiri Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya ini menceritakan kurangnya akses bagi kaum disabilitas di
dalam kampus kala itu, mengingat beliau penyandang tuna daksa pada kaki. Begitu pula betapa
sulitnya birokrasi dan masih rendahnya perhatian terhadap isu disabilitas di lingkungan kampusnya menghambat upaya beliau dalam memperjuangkan mahasiswa disabilitas saat masih
kuliah guna menempuh gelar sarjana di Fakultas Filsafat UGM. Namun berbeda
ketika beliau kuliah untuk menempuh gelas master
di University of Hawaii. Saat baru masuk, civitas kampus di sana justru
bertanya kepada beliau, “What do you
need?” Beliau juga menceritakan pengalamannya di Amerika Serikat, meskipun
terdapat gedung-gedung kampus yang tidak mewah, namun akses bagi kaum disabilitas
di sana tergolong baik dan layak. Dari kasus di atas kita bisa merefleksikan
perbedaan perhatian terhadap kaum disabilitas di Indonesia dan di Amerika Serikat di bidang pendidikan.
Jika pembicaraan
mengenai akses bagi kaum disabilitas dalam hal pendidikan masih terlalu rumit
bagi Anda, mari kita lihat dari hal-hal yang sederhana mengenai akses bagi kaum
disabilitas di tempat public. Misalnya paving
block bagi tuna netra pada pedestrian
crossing (tempat pejalan kaki) dan jalur khusus bagi kaum disabilitas di
jalanan. Hal yang sangat menyedihkan, selain minimnya yang ada, juga kerap kali
saya lihat disalahgunakan oleh para pengendara kendaraan bermotor untuk sekedar
menerobos jalanan yang macet maupun untuk parkir kendaraan bermotor dan tempat angkringan. Karena kebetulan
saya penderita tuna daksa pada tangan sejak lahir dan scoliosis sejak masih
kecil, juga gemar bersepeda di jalanan, sehingga sangat saya rasakan permasalahan-permasalahan
terkait di atas.
Melalui tulisan
yang sederhana ini, saya berharap dapat menumbuhkan kesadaran perhatian maupun pengakuan hak
bagi kaum disabilitas oleh public dan pemerintah, terutama dalam akses dalam
pendidikan bagi kaum disabilitas. Sehingga ke depan meningkatnya kesadaran perhatian
maupun pengakuan hak bagi kaum disabilitas oleh public dan pemerintah, diiringi
dengan meningkatnya jumlah dan efektifitas akses bagi kaum disabilitas terutama
dalam hal pendidikan. Bukankah berbagai harapan di tahun baru ini merupakan harapan
bagi semua pihak, termasuk pula harapan bagi kami kaum disabilitas?
Muhammad
Karim Amrullah
Tuna
daksa pada tangan dan skoliosis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar