Hadits Ahad dan Hadits
Mutawatir
Pembagian hadits
mutawatir dan hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits
dilihat dari segi sampainya kepada kita. Secara bahasa, mutawatir adalah isim
fa’il dari at-tawaatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut
istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut
kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir
sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap
tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat
untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam
meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti
pendengarannya dan semacamnya”. Ada empat
syarat satu hadits dikatakan mutawatir :
- Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak
- Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka: kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir. Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena yang terpenting bagi mereka adalah keshahihan dari riwayat.
- Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak
- Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka: kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir. Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena yang terpenting bagi mereka adalah keshahihan dari riwayat.
Hadits mutawatir ini
dibagi menjadi dua, yaitu :
·
Mutawatir Lafdhy
Adalah apabila lafadh dan maknannya mutawatir.
Misalnya hadits:
{هدعقم أوبتيلف ادمعتم يلع بذك نم رانلا نمم}
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku
(Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat
duduknya dari api neraka”
Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang
shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
·
Mutawatir
Ma’nawy
Adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya
tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits
ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan
ketika berdo’a. Dan setiap hadits
tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum
mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa
jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat
tangan ketika berdo’a.
Ahad menurut bahasa
mempunyai arti “satu”. Dan
khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan
Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat
mutawatir”. Hadits ahad terbagi menjadi
3 macam, yaitu :Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
1.
Masyhur
(atau juga dikenal dengan nama hadits
Mustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits
Masyhur adalah : “Hadits yang
diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan)
dan belum mencapai batas mutawatir”. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :
{دابعلا نم هعزتني اعازتنا ملعلا ضبقي ل هللا
نإ اولضأو اولضف ملع ريغب اوتفأف اولئسف لاهج اسوؤر سانلا ذختا املاع قبي مل اذإ ىتح
ءاملعلا ضبقب ملعلا ضبقي نكلو }
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil
ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan
ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang
yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu
memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan”
(HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi
2.
‘Aziz
Secara bahasa artinya : yang sedikit,
yang gagah, atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah :
“Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan
rawinya”. Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda :
{ نميعمجأ سانلاو هدلوو هدلاو نمم هميلإ بمحأ
نوكأ ىمتح ممكدحأ نممؤي ل }
“Tidaklah beriman salah seorang di
antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya,
serta serta seluruh manusia”
(HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad
yang tidak sama).
3.
Gharib
Secara bahasa berarti yang jauh dari
kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan
periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah)
periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan
bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak
mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut
hadits ini sebagai Al-Fard Hadits gharib dibagi menjadi dua :
a. Gharib Muthlaq, disebut juga: Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
b. Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu :
a. Gharib Muthlaq, disebut juga: Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
b. Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu :
”Bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup
kepala di atas kepalanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini hanya
diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi
karena
kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
Ringkasnya:
§ Hadits
mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa
sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta
bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah
penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat
mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40
orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara
dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan
ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap
riwayat)
§ Hadits ahad,
hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan
mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
§ Gharib, bila
hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu
penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
§ Aziz, bila
terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
§ Mashur, bila
terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu
lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Kesimpulanya adalah
bahwa perbedaanya: Hadits ahad merupakan hujjah dalam masalah ‘aqidah dan
hukum. Pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad hanyalah dikhususkan dalam
masalah hukum dan tidak berlaku untuk masalah aqidah adalah pendapat yang lemah
dan tidak mempunyai pijakan yang kuat, serta merupakan pendapat dari kalangan
yang menyimpang dari jalan Ahlus-Sunnah (Ashhaabul-Hadiits). Kalaupun ada ulama
Ahlus-Sunnah yang berpegang demikian, khilaf tersebut tidaklah mu’tabar dan
tidak mempengaruhi ijma’ Ahlus-Sunnah. Janganlah kita mudah terpengaruhi oleh
klaim-klaim pihak tertentu yang mengatakan bahwa permasalahan ini masih khilaf
di kalangan Ahlus-Sunnah (yang dikesankan seolah-oleh merupakan khilaf
mu’tabar). Kalangan Ahlus-Sunnah memang berbeda pendapat mengenai hadits ahad
apakah menghasilkan ilmu yaqin atau dhann (sebagaimana telah disinggung
sebelumnya). Namun mereka tidak berbeda pendapat tentang penerimaan dan
pengamalan hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum. Dan sekali lagi,
satu pembahasan hadits harus dikembalikan pada ulama hadits Ahlus-Sunnah. Bukan
selainnya. Wallaahu a’lam.
Hadist Sahih, Hadist
Hasan, dan Hadist Daif
Ringkasnya:
§ Hadits Shahih
Secara bahasa
Sahih berarti bersih dari cacat. Secara istilah ; Hadits Sahih adalah hadits
yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat Quran,
hadits mutawatir, atau ijmak, serta para rawinya adil dan dabit.Yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits.
Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Sanadnya bersambung;
2.
Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg
adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3.
Matannya tidak mengandung
kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak
nyata yg mencacatkan hadits .
§ Hadits Hasan
Menurut bahasa,
hasan berarti bagus atau baik. Menurut istilah ; Hadits Hasan adalah
hadits yang sanadnya baik, tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan
haditsnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat.Bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan
oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz
serta cacat.
§ Hadits Dhaif (lemah)
Menurut bahasa
daif berarti lemah, jadi hadits daif adalah hadits yang lemah, yakni ;
para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil/rendah) tentang benarnya hadits itu
berasal dari Rasulullah SAW. hadits ini tidak memenuhi persyaratan sebagai hadits
sahih maupun hasan.Ialah
hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas,
munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak
kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar