Rabu, 04 Juli 2012

Perbedaan Antar Hadist


Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir dan hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita. Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawaatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.  Ada empat syarat satu hadits dikatakan mutawatir :
- Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak
- Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka: kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir. Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena yang terpenting bagi mereka adalah keshahihan dari riwayat.
Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :
·         Mutawatir Lafdhy
Adalah apabila lafadh dan maknannya mutawatir. Misalnya hadits:
{هدعقم أوبتيلف ادمعتم يلع بذك نم رانلا نمم}
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”
Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
·         Mutawatir Ma’nawy
Adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.  Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”.  Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”.  Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu :Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
1.      Masyhur
(atau juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur  adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :
{دابعلا نم هعزتني اعازتنا ملعلا ضبقي ل هللا نإ اولضأو اولضف ملع ريغب اوتفأف اولئسف لاهج اسوؤر سانلا ذختا املاع قبي مل اذإ ىتح ءاملعلا ضبقب ملعلا ضبقي نكلو }
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan”
 (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi
2.      ‘Aziz
Secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda :
{ نميعمجأ سانلاو هدلوو هدلاو نمم هميلإ بمحأ نوكأ ىمتح ممكدحأ نممؤي ل }
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia”
(HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
3.      Gharib
Secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard Hadits gharib dibagi menjadi dua :
a. Gharib Muthlaq, disebut juga: Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
b. Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu :
”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi
karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
Ringkasnya:
§  Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
§  Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
§  Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
§  Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
§  Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Kesimpulanya adalah bahwa perbedaanya: Hadits ahad merupakan hujjah dalam masalah ‘aqidah dan hukum. Pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad hanyalah dikhususkan dalam masalah hukum dan tidak berlaku untuk masalah aqidah adalah pendapat yang lemah dan tidak mempunyai pijakan yang kuat, serta merupakan pendapat dari kalangan yang menyimpang dari jalan Ahlus-Sunnah (Ashhaabul-Hadiits). Kalaupun ada ulama Ahlus-Sunnah yang berpegang demikian, khilaf tersebut tidaklah mu’tabar dan tidak mempengaruhi ijma’ Ahlus-Sunnah. Janganlah kita mudah terpengaruhi oleh klaim-klaim pihak tertentu yang mengatakan bahwa permasalahan ini masih khilaf di kalangan Ahlus-Sunnah (yang dikesankan seolah-oleh merupakan khilaf mu’tabar). Kalangan Ahlus-Sunnah memang berbeda pendapat mengenai hadits ahad apakah menghasilkan ilmu yaqin atau dhann (sebagaimana telah disinggung sebelumnya). Namun mereka tidak berbeda pendapat tentang penerimaan dan pengamalan hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum. Dan sekali lagi, satu pembahasan hadits harus dikembalikan pada ulama hadits Ahlus-Sunnah. Bukan selainnya. Wallaahu a’lam.
Hadist Sahih, Hadist Hasan, dan Hadist Daif
Ringkasnya:
§  Hadits Shahih
Secara bahasa Sahih berarti bersih dari cacat. Secara istilah ; Hadits Sahih adalah hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat Quran, hadits mutawatir, atau ijmak, serta para rawinya adil dan dabit.Yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Sanadnya bersambung;
2.      Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3.      Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
§  Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut istilah ; Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya baik, tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat.Bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
§  Hadits Dhaif (lemah)
Menurut bahasa daif berarti lemah, jadi hadits daif adalah hadits yang lemah, yakni ; para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil/rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW. hadits ini tidak memenuhi persyaratan sebagai hadits sahih maupun hasan.Ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.


Sumber:







Tidak ada komentar:

Posting Komentar