Rabu, 04 Juli 2012

Beberapa Pernikahan Adat di Indonesia dan Deskripsinya

Pernikahan Adat di Jawa

Proses pernikahan adat Jawa dimulai dengan Siraman yang dilakukan sebagi proses pembersihan jiwa dan raga yang dilakukan sehari sebelum ijab kabul.
Ada 7 Pitulungan (penolong) yang melakukan proses siraman. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari yang jika memungkinkan diambil dari 7 mata air. Diawali siraman oleh orangtua calon pengantin, acara siraman ditutup oleh siraman pemaes yang kemudian memecahkan kendi.
Beranjak malam, acara dilanjutkan dengan Midodareni, yaitu malam kedua mempelai melepas masa lajang. Dalam acara Midodareni yang digelar di kediaman perempuan ini, ada acara nyantrik untuk memastikan pengantin laki-laki akan hadir pada ijab kabul dan kepastian bahwa keluarga mempelai perempuan siap melaksanakan perkawinan dan upacara panggih di hari berikutnya.
Usai acara akad nikah dilakukan upacara Panggih, di mana kembang mayang dibawa keluar rumah dan diletakkan di persimpangan dekat rumah yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Setelah itu pengantin perempuan yang bertemu pengantin laki-laki akan melanjutkan upacara dengan melakukan :
  1. Balangan suruh
Melempar daun sirih yang melambangkan cinta kasih dan kesetiaan
  1. Wiji dadi
Mempelai laki-laki menginjak telur ayam hingga pecah, kemudian mempelai perempuan akan membasuh kaki sang suami dengan air bunga. Proses ini melambangkan seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya.
  1. Pupuk
Ibu mempelai perempuan mengusap mempelai mantu laki-laki sebagai tanda ikhlas menerimanya sebagai bagian dari keluarga.

  1. Sinduran
Berjalan perlahan-lahan dengan menyampirkan kain sindur sebagai tanda bahwa kedua mempelai sudah diterima sebagai keluarga.
  1. Timbang
Kedua mempelai duduk di pangkuan bapak mempelai perempuan sebagai tanda kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besarnya.
  1. Kacar-kucur
Kacar-kucur yang dituangkan ke pangkuan perempuan sebagai simbol pemberian nafkah.
  1. Dahar Klimah
Saling menyuapi satu sama lain yang melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam susah maupun senang.
  1. Mertui
Orangtua mempelai perempuan menjemput orangtua mempelai laki-laki di depan rumah untuk berjalan bersama menuju tempat upacara.
  1. Sungkeman
Kedua mempelai memohon restu dari kedua orangtua.

Pernikahan Adat di Papua

Suku Biak merupakan salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di kabupaten Biak Numfor. Turun temurun, setiap kegiatan yang terkait dengan alur kehidupan mereka berjalan berdasarkan aturan adat yang berasal dari para leluhur suku Biak yang diyakini sebagai tetua adat. Salah satu aturan adat yang harus dijalani yakni prosesi adat sebelum warga Biak melangsungkan pernikahan. Bagaimana prosesi ritual adat itu?
Sebelum melangsungkan pernikahan, pihak keluarga dari lelaki Biak yang ingin menikah diwajibkan untuk melamar wanita calon pendamping. Di Biak, terdapat dua cara untuk melamar calon pengantin wanita.
  1. Sanepen
Pinangan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki sewaktu anak lelaki mereka ataupun anak gadis yang akan dilamar masih berusia anak-anak.
  1. Fakfuken
Orang tua lelaki melamar gadis yang akan menjadi pengantin setelah kedua anak mereka berumur minimal 15 tahun.
Pada saat melamar, pihak lelaki membawa Kaken (tanda perkenalan) seperti gelang ataupun kalung dari manik-manik. Tidak ada ketentuan berapa banyak kaken yang harus diserahkan maupun jenisnya, yang didasarkan pada kemampuan materi dari pihak keluarga lelaki. Jika orang tua dari pihak perempuan menerima lamaran itu, mereka juga memberikan kaken kepada pihak lelaki. Sama halnya dengan tanda perkenalan yang diberikan oleh pihak lelaki, pihak perempuan memberikan kaken sesuai dengan kemampuannya.
Jika kedua belah pihak telah setuju untuk menyelenggarakan pernikahan, mereka menentukan mas kawin yang nantinya diberikan pihak lelaki kepada pihak wanita. Dulu, mas kawin itu umumnya berupa Kamfar yakni gelang dari kulit kerang. Jika lelaki yang akan menikah itu berasal dari keluarga terpandang, ia memberikan sebuah perahu layar sebagai mas kawin. Namun seiring dengan perkembangan jaman, suku Biak mengganti jenis mas kawin itu dengan gelang yang terbuat dari perak. Setelah penentuan mas kawin, kedua orang tua dari kedua belah pihak pergi menuju rumah tetua adat suku Biak. Bagi suku Biak, tetua adat memiliki peran yang sangat penting. Begitu pentingnya peran tetua adat itu, pihak keluarga akan menyelenggarakan pernikahan pada hari yang oleh tetua adat dianggap sebagai hari baik. Sementara itu, segala macam kebutuhan pernikahan mulai dipersiapkan satu minggu menjelang hari pernikahan dilaksanakan.
Pernikahan adat suku Biak mulai dilaksanakan satu hari sebelum hari pernikahan tiba. Kedua calon mempelai yang akan menikah mengawali tradisi ini dengan acara makan bersama dengan semua saudara lelaki dari pihak ibu kedua mempelai. Keesokan harinya, keluarga wanita mulai menghias sang gadis sesuai adat. Setelah dianggap tampil sempurna, barulah calon pengantin wanita dibawa menuju rumah pengantin lelaki. Di rumah pihak lelaki itulah, puncak acara dalam pernikahan adat suku Biak dilaksanakan. Ketika menikah, lelaki ataupun wanita Biak mengenakan pakaian adat Papua yang bentuknya hampir sama. Mereka juga memakai gelang, kalung, serta ikat pinggang dari manik-manik.
Acara puncak pernikahan adat suku Biak diawali dengan penyerahan seperangkat senjata berupa tombak, panah, serta parang. Penyerahan itu diawali dari pihak keluarga wanita kepada pihak lelaki yang menjadi simbol bahwa keluarga wanita telah sepenuhnya menyerahkan anak gadis mereka kepada keluarga lelaki. Setelah diterima oleh wakil dari pihak lelaki, pihak keluarga lelaki menyerahkan pemberian yang bentuknya sama kepada pihak perempuan. Kali ini, pemberian ini menjadi simbol, keluarga lelaki telah menerima anak gadis itu dan menjaganya seperti anak mereka sendiri. Setelah itu, barulah kepala adat mulai mengawali inti acara pernikahan.
Inti acara pernikahan adat diawali dengan pemberian sebatang rokok yang tampak seperti cerutu. Rokok itu wajib dihisap oleh pengantin lelaki kemudian diisap oleh pengantin wanita. Tak lama kemudian, tetua adat memberikan dua buah ubi yang telah dibakar di atas bara api kepada kedua mempelai. Ketika itu, setiap pengantin memperoleh sebuah ubi. Doa dan mantera yang dibacakan oleh sang tetua adat mengiringi prosesi pemberian ubi itu kepada kedua mempelai.
Dalam tradisi ini, doa merupakan permohonan restu kepada Tuhan agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan. Setelah doa selesai dibacakan, kedua mempelai melaksanakan tradisi saling menyuapi ubi. Seluruh rangkaian acara pernikahan adat suku Biak ini diakhiri dengan makan bersama dengan seluruh keluarga dari kedua pihak dan para tamu undangan. Dengan berakhirnya tradisi makan bersama itu, usai sudah seluruh rangkaian acara pernikahan adat suku Biak di kabupaten Biak Numfor, Papua.
Imam Zenit jadilah.com

Pernikahan Adat di Minangkabau

Tradisi perhelatan pernikahan menurut adat Minangkabau lazimnya melalui sejumlah prosesi yang hingga kini masih dijunjung tinggi untuk dilaksanakan serta melibatkan keluarga besar kedua calon mempelai, terutama dari keluarga pihak wanita. Berikut beberapa tradisi dan upacara adat yang biasa dilakukan baik sebelum maupun setelah acara pernikahan:
  1. Maresek
Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan sesuai dengan sopan santun budaya timur. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga.
  1. Meminang dan Bertukar Tanda
Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila tunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua atau ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak.
Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano atau kampla yaitu tas yang terbuat dari daun pandan. Menyuguhkan sirih diawal pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Selain itu juga disertakan oleh-oleh kue-kue dan buah-buahan. Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Benda-benda ini akan dikembalikan dalam suatu acara resmi setelah berlangsung akad nikah.
Tata caranya diawali dengan juru bicara keluarga wanita yang menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga pihak laki-laki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan lamaran resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing. Selanjutnya berembug soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.
  1. Mahanta / Minta Izin
Calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu rencana pernikahan kepada mamak-mamaknya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih.
Bagi calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (namun saat ini sedah digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita ritual ini menyertakan sirih lengkap.
Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.
  1. Babako-Babaki
Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah.
Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), antaran barang yang diperlukan calon mempelai wanita seperti seperangkat busana, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya.
Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.
  1. Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita. Tumbukan ini akan meninggalkan bekas warna merah cemerlang pada kuku. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita.
Busana khusus untuk upacara bainai yakni baju tokoh dan bersunting rendah. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai dan kursi untuk calon mempelai.
Calon mempelai wanita dengan baju tokoh dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh kembang oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.
  1. Manjapuik Marapulai
Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa.
Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan datangnya secara beradat, pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk pauk, kue-kue serta buah-buahan. Untuk daerah pesisir Sumatera barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang.
Rombongan utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan. Setelah prosesi sambah mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.
  1. Penyambutan di Rumah Anak Daro
Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih.
Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan.
Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang Adat timbal balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.
  1. Tradisi seusai akad nikah
Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan seusai akad nikah. Yaitu memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan bermain coki.
a.      Memulangkan tanda
Setelah resmi sebagai suami istri maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran dikembalikan oleh kedua belah pihak.
b.      Mengumumnkan gelar pengantin pria
Gelar sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai pria lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya.
c.       Mengadu Kening
Pasangan mempelai dipimpin oleh para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai didudukkan saling berhadapan dan diantara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas, lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling bersentuhan.
d.      Mangaruak Nasi Kuning
Prosesi ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning.
e.      Bermain Coki
Coki adalah permaian tradisional Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang, papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta kemesraan.

Pernikahan Adat di NTT

Salah satu suku di pedalaman NTT terdapat peradaban suku Sikka, berikut ini tersaji upacara pernikahannya, sebagai bentuk kepedulian bangsa dalam melestarikan suku budaya dalam konteks perkawinan. Agar nilai nilai luhur budaya dapat diwariskan kepada generasi secara utuh.
Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan:
“Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar” (Pertalian ke krabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun).
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dlam bahasa hukum adat yang disebut Naruk dua-moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya. Ungkapannya antara lain :
“Dua naha nora ling, nora weling. Loning dua utang ling labu weling. Dadi ata lai naha letto-wotter.” (Setiap wanita mempunyai nilai, punyai harga, sedangkan sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga, sehingga setiap lelaki harus membayar)
“Ine io me tondo. Ame io paga saga. Ine io kando naggo. Ame io pake pawe” (Ibulah yang memelihara dan membesarkannya. Ayah yang menjaga dan mendewasakannya. Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan. Ayah memberikannya sandang).
Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu maka pihak klen penerima wanita Ata lai harus membayar sejumlah belis kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu baru dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah.
Di Sikka/Krowe umumnya bentuk perkawinan adalah patrilinial, sedangkan yang matrilinial hanya terjadi di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura. Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya memperhatikan incest dan perkawinan yang tidak dilarang itu maka ditempulah beberapa tahapan:

1.      Masa pertunangan.
Semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka selalu disebut dengan unkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual anak/saudari).
Seorang gadis dibelis dalam enam bagian: Kila, belis cicin kawin; djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta).
2.      Perkawinan
Sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi api-ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:
Ena tei au wotik weli miu, (hari ini ku beri kamu makan) wawi api ara pranggang, (daging rebus dan nasi masak) miu ruang dadi baa nora, (jadikanlah kamu istri lai, dan suami) lihang baa nora lading, (dan terikatan seluruh keluarga) gae weu (eung) miu ara, (makanlah kamu nasi ini pranggang, agar menjadikan istri dan) dadi baa wai nora lain, (suami minulah saus daging) minu eung wawi api, (ini agar eratlah) genang lihang nora ladang, (seluruh keluarga).
Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada kedua mempelai. Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkpan di atas tetap dipakai namun proses penikahan sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh pastor.
Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka/Krowe:
  1. Kela narang
Pendaftaran nama calon pengantin di kantor paroki yang dihantar oleh orang tua masing-masing bersama dengan keluarga.
  1. A Wija/A Pleba
Keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara bersama-sama dengan keluarga.

Dipihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue tradisional yaitu bolo pagar dan mendirikan tenda pesta. Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima wanita atau ata lai bertugas menjaga kamar pengatin. Tung /tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi kedua ipar masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan nasehat kalau sudah ada di kamar bicara perlahan-lahan. Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari keluarga ata lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum semerbak bagi kedua pengantin.

Pernikahan Adat di Batak

Berikut sedikit ulasan mengenai urut-urutan pra sampai pasca pernikahan adat Na Gok, Batak :
  1. Mangarisika.
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
  1. Marhori-hori Dinding/marhusip.
Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.
  1. Marhata Sinamot.
Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
  1. Pudun Sauta.
Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari:
a.      Kerabat marga ibu (hula-hula)
b.      Kerabat marga ayah (dongan tubu)
c.       Anggota marga menantu (boru)
d.      Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
  1. Martumpol (baca : martuppol)
Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).
  1. Martonggo Raja atau Maria Raja.
Adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk:
a.      Mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknis
b.      Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan.
c.       Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.
  1. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
Pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen)
  1. Pesta Unjuk (lihat detail)
Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar:

a.      Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.
b.      Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
  1. Mangihut di ampang (dialap jual)
Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.
  1. Ditaruhon Jual.
Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.
  1. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria  (Daulat ni si Panganon)
Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria. Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru
  1. Paulak Unea.
Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.
  1. Manjahea.
Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.

  1. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)
Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur)


Pernikahan Adat di Bali

UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut "Mekala-kalaan" (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan "Kala Bhucari" sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata "kala" yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam "sebel kandel".
Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.
Peralatan Upacara Mekala-kalaan:
  1. Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.

  1. Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
  1. Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
  1. Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
  1. Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
  1. Tegen -tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala.
  1. Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengmbangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
  1. Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
  1. Sapu lidi (3 lebih)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.
  1. Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.
Telor bebek simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
  1. Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan "angelus wimoha" yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra.
Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar