Selasa, 12 Desember 2017

Permasalahan Penggunaan Kekuatan sebagai Tindakan Hegemoni Keamanan Kolektif oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dewasa Ini

Permasalahan Penggunaan Kekuatan sebagai Tindakan Hegemoni Keamanan Kolektif oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dewasa Ini

Prof. Sir Michael Wood dalam legal opinion berjudul “The Security Council and the Use of Force” mengkritik Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hal keamanan kolektif. Dalam hal ini khususnya dibatasi pada bidang penggunaan kekuatan, atau jus ad bellum, termasuk penggunaan kekuatan dalam perang melawan terorisme, yang berujung pada pendapat perlunya reformasi DK PBB. Sekalipun, Prof. Wood juga berpendapat bahwa DK PBB bersama dengan organ pendukung ad hoc bernama International Criminal Tribunals telah berkontribusi dalam banyak hal selama ini.
Prof. Wood mengatakan bahwa perkembangan hukum internasional oleh dan di dalam DK PBB itu sendiri mengacu pada setidaknya empat proses yang berbeda tetapi saling terkait. Pertama, DK PBB dapat meletakkan sendiri hukumnya dengan cara yang disebut legislative and quasi-judicial functions atau fungsi legislatif dan kuasi-yudisial. Kedua, DK PBB melalui tindakan tersebut dapat menafsirkan dan mengembangkan (atau bahkan merubah) makna atau amanat Piagam PBB, misalnya mengenai arti “concurring votes of the permanent membersin Article 27, atau “breach of the peacein Article 39 (“pemberian suara anggota tetap” Pasal 27, atau “pelanggaran terhadap perdamaian” Pasal 39).
Ketiga, tindakan PBB yang semacam itu menstimulasi atau mendorong perkembangan hukum internasional secara umum. Misalnya saja terkait “responsibility to protect” dalam hal Resolusi 794 Tahun 1992 di Somalia, di mana DK PBB menyatakan bahwa mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional harus bertanggung jawab secara individu. Keempat, DK PBB baik anggota tetap maupun non-anggota tetap, may develop the law through practice (dapat mengembangkan hukum melalui praktek).
Hal ini tidak hanya membahas mengenai legitimasi atau kepatutan secara abstrak. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kekhawatiran atas pelanggaran penggunaan kekuatan, atau jus ad bellum, benar-benar terjadi selama dan setelah Perang Dingin. Misalnya saja kegagalan menindak-lanjuti ancaman keamanan dewasa ini, seperti terorisme dan senjata pemusnah massal, juga bencana kemanusiaan seperti di Rwanda dan Darfur. Apa-apa yang telah terjadi di Afghanistan tahun 2001 dan Iraq tahun 2003, misalnya, apakah dapat dikatakan intervensi terhadap kemanusiaan, di mana Tentara Inggris terlibat begitu besar. Seolah tidak ada yang bisa menolak atau membantah DK PBB dalam penggunaan kekerasan selama ini.
Prof. Wood kemudian mengkritik atas aturan hukum tentang penggunaan kekerasan oleh DK PBB dalam Piagam PBB, juga dalam hal mendefinisikan istilah-istilah tertentu. Begitu pula Prof. White dalam legal opinion berjudul “On the Brink of Lawlessness: The State of Collective Security Law” juga mengkritik terminologi dalam peraturan yang ada selama ini yang dianggap kurang memberikan kepastikan dan tidak ada konsistensi dalam penerapan. Keamanan kolektif lebih bersifat politis, kepentingan negara-negera tertentu yang kuat, berdampak pada hukum yang menjadi dasar dilakukannya suatu hal.
Tindakan militer yang mengejutkan, misalnya, tindakan militer (menyerbu) terhadap Irak setelah menginvasi Kuwait tahun 1990, yang bagaimanapun kental akan kepentingan politik, dengan legitimasi mendasarkan pada wewenang yang dimanatkan. Lain contoh, ketika tindakan pemaksaan DK PBB terhadap Libya, kemudian Libya mempertanyakan legalitas tindakan tersebut di hadapan Mahkamah Internasional. Berbagai isu mengenai keamanan kolektif yang diambil oleh beberapa negara untuk seluruh negara, memang terus menjadi persoalan, sebagai contoh dua kasus tersebut. Kepentingan politik sangat mempengaruhi tindakan yang dianggap legal atau dilegalkan secara hukum, memnjadikan kondisi keamanan itu sendiri tidak stabil karena berbagai tindakan kekerasan yang diambil.
Dewasa ini, ada banyak organisasi internasional, termasuk yang bergerak maupun terkait dengan isu keamanan internasional, seperti di benua-benua tertentu OAS, EU, AU, atau sub-regional seperti ECOWAS, atau yang khusus di bidang pertahanan seperti NATO. Akan tetapi, PBB tetaplah sebagai satu-satunya aktor utama di bidang keamanan kolektif secara global. DK PBB secara khusus memiliki atau diberi mandat untuk bertanggung jawab dalam hal perdamaian dan keamanan internasional, yang bisa saja mengesampingkan atau tidak mengindahkan, atau terlihat lebih kuat daripada organ-organ lainnya di PBB. Tindakan DK PBB selama ini menimbulkan kekhawatiran yang begitu besar bagi masyarakat internasional, seperti legalitas, legitimasi dan selektivitas, disamping terdapat pengakuan atas efektivitas dan penegakan hukum dalam hal peace and security secara global selama ini.

Source:
White, N.D., 2002, “On the Brink of Lawlessness: The State of Collective Security Law”, Legal Opinion, University of Hull, Hilaire McCoubrey Memorial Lecture 15 May 2002.

Wood, Sir Michael, 2006, “The UN Security Council and International Law”, Legal Opinion, University of Cambridge, Hersch Lauterpacht Memorial Lectures 7th – 9th November 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar