Permasalahan Penggunaan
Kekuatan sebagai Tindakan Hegemoni Keamanan Kolektif oleh Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa Dewasa Ini
Prof. Sir Michael Wood dalam legal opinion berjudul “The Security Council and the Use of Force”
mengkritik Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hal keamanan
kolektif. Dalam hal ini khususnya dibatasi pada bidang penggunaan kekuatan, atau
jus ad bellum, termasuk penggunaan
kekuatan dalam perang melawan terorisme, yang berujung pada pendapat perlunya reformasi
DK PBB. Sekalipun, Prof. Wood juga berpendapat bahwa DK PBB bersama dengan
organ pendukung ad hoc bernama International Criminal Tribunals telah
berkontribusi dalam banyak hal selama ini.
Prof. Wood mengatakan bahwa perkembangan
hukum internasional oleh dan di dalam DK PBB itu sendiri mengacu pada
setidaknya empat proses yang berbeda tetapi saling terkait. Pertama, DK PBB dapat meletakkan sendiri
hukumnya dengan cara yang disebut legislative
and quasi-judicial functions atau fungsi legislatif dan kuasi-yudisial. Kedua, DK PBB melalui tindakan tersebut
dapat menafsirkan dan mengembangkan (atau bahkan merubah) makna atau amanat Piagam
PBB, misalnya mengenai arti “concurring
votes of the permanent members” in
Article 27, atau “breach of the peace”
in Article 39 (“pemberian suara
anggota tetap” Pasal 27, atau “pelanggaran terhadap perdamaian” Pasal 39).
Ketiga, tindakan PBB yang semacam itu menstimulasi atau mendorong perkembangan hukum
internasional secara umum. Misalnya saja terkait “responsibility to protect” dalam hal Resolusi 794 Tahun 1992 di
Somalia, di mana DK PBB menyatakan bahwa mereka yang melakukan pelanggaran
hukum humaniter internasional harus bertanggung jawab secara individu. Keempat, DK PBB baik anggota tetap
maupun non-anggota tetap, may develop the
law through practice (dapat mengembangkan hukum melalui praktek).
Hal ini tidak hanya membahas mengenai
legitimasi atau kepatutan secara abstrak. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa
kekhawatiran atas pelanggaran penggunaan kekuatan, atau jus ad bellum, benar-benar terjadi selama dan setelah Perang
Dingin. Misalnya saja kegagalan menindak-lanjuti ancaman keamanan dewasa ini, seperti
terorisme dan senjata pemusnah massal, juga bencana kemanusiaan seperti di
Rwanda dan Darfur. Apa-apa yang telah terjadi di Afghanistan tahun 2001 dan
Iraq tahun 2003, misalnya, apakah dapat dikatakan intervensi terhadap
kemanusiaan, di mana Tentara Inggris terlibat begitu besar. Seolah tidak ada
yang bisa menolak atau membantah DK PBB dalam penggunaan kekerasan selama ini.
Prof. Wood kemudian mengkritik atas aturan
hukum tentang penggunaan kekerasan oleh DK PBB dalam Piagam PBB, juga dalam hal
mendefinisikan istilah-istilah tertentu. Begitu pula Prof. White dalam legal opinion berjudul “On the Brink of Lawlessness: The State of
Collective Security Law” juga mengkritik terminologi dalam peraturan yang
ada selama ini yang dianggap kurang memberikan kepastikan dan tidak ada
konsistensi dalam penerapan. Keamanan kolektif lebih bersifat politis,
kepentingan negara-negera tertentu yang kuat, berdampak pada hukum yang menjadi
dasar dilakukannya suatu hal.
Tindakan militer yang mengejutkan,
misalnya, tindakan militer (menyerbu) terhadap Irak setelah menginvasi Kuwait
tahun 1990, yang bagaimanapun kental akan kepentingan politik, dengan
legitimasi mendasarkan pada wewenang yang dimanatkan. Lain contoh, ketika tindakan
pemaksaan DK PBB terhadap Libya, kemudian Libya mempertanyakan legalitas
tindakan tersebut di hadapan Mahkamah Internasional. Berbagai isu mengenai
keamanan kolektif yang diambil oleh beberapa negara untuk seluruh negara,
memang terus menjadi persoalan, sebagai contoh dua kasus tersebut. Kepentingan
politik sangat mempengaruhi tindakan yang dianggap legal atau dilegalkan secara
hukum, memnjadikan kondisi keamanan itu sendiri tidak stabil karena berbagai
tindakan kekerasan yang diambil.
Dewasa ini, ada banyak organisasi
internasional, termasuk yang bergerak maupun terkait dengan isu keamanan
internasional, seperti di benua-benua tertentu OAS, EU, AU, atau sub-regional
seperti ECOWAS, atau yang khusus di bidang pertahanan seperti NATO. Akan
tetapi, PBB tetaplah sebagai satu-satunya aktor utama di bidang keamanan
kolektif secara global. DK PBB secara khusus memiliki atau diberi mandat untuk
bertanggung jawab dalam hal perdamaian dan keamanan internasional, yang bisa
saja mengesampingkan atau tidak mengindahkan, atau terlihat lebih kuat daripada
organ-organ lainnya di PBB. Tindakan DK PBB selama ini menimbulkan kekhawatiran
yang begitu besar bagi masyarakat internasional, seperti legalitas, legitimasi
dan selektivitas, disamping terdapat pengakuan atas efektivitas dan penegakan
hukum dalam hal peace and security secara
global selama ini.
Source:
White, N.D., 2002,
“On the Brink of Lawlessness: The State of Collective Security Law”, Legal Opinion, University of Hull, Hilaire
McCoubrey Memorial Lecture 15 May 2002.
Wood, Sir Michael,
2006, “The UN Security Council and International Law”, Legal Opinion, University of Cambridge, Hersch Lauterpacht Memorial
Lectures 7th – 9th November 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar