Konflik Pembangunan Apartemen Uttara antara Warga Karangwuni
dengan PT Bukit Alam Permata Ditinjau dari Asas Fungsi Sosial dan Asas Tata
Guna Tanah dalam UUPA
Tugas Makalah Hukum Agraria
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
•Konflik penolakan telah berlangsung satu tahun terus berlanjutnya pembangunan apartemen
•Berawal dari sikap tidak transparan oleh PT
Bukit Alam Permata selaku sejak awal sosialisasi pertama pada 25 Oktober 2013
•20
November 2013, Warga
RT01/RW01 membuat petisi yang
menyatakan penolakan
Kasus penolakan Warga Karangwuni terhadap pembangunan Apartemen
Uttara yang didirikan PT Bukit Alam Permata terhitung telah berlangsung hampir
satu tahun lamanya hingga saat ini, bersamaan dengan terus berlanjutnya
pembangunan apartemen tersebut. RT 01/RW 01, Karangwuni, Caturtunggal, Sleman,
DI Yogyakarta. Konflik ini berawal dari sikap tidak transparan oleh PT Bukit
Alam Permata selaku sejak awal sosialisasi pertama pada 25 Oktober 2013 dengan
mengundang perwakilan RT 01/RW 01 Karangwuni yang menjadi lokasi pembangunan
apartemen, yang mengatakan akan membangun kos-kosan eksklusif, bukan apartemen.
Petemuan-petemuan selanjutnya antara Warga Karangwuni dengan PT Bukit Alam
Permata terus dilakukan, namun belum memperlihatkan adanya kesepahaman diantara
kedua belah pihak. Sampai dengan saat ini, PT Bukit Alam Permata terus melanjutkan
pembangunan dan mengembangkan Apartemen Uttara, sementara di saat yang sama
Warga Karangwuni tetap menolak berdiri dan beroperasinya apartemen tersebut.
Penolakan secara tegas dimulai pada 20 November 2013, Warga
RT01/RW01 yang menolak rencana pembangunan Apartemen Uttara membuat petisi yang
menyatakan penolakan rencana pembangunan apartemen tersebut, sekaligus meminta
kepada pejabat yang berwenang agar tidak mengizinkan pembangunan apartemen.
Bahkan petisi tersebut pun dilayangkan kepada pejabat-pejabat seperti Gubernur
DIY, Wakil Gubernur DIY, Bupati Sleman, Wakil Bupati Sleman, Ketua DPRD Sleman,
Kepala Dinas Pekerjaan Umum DIY, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum
DIY, Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DIY, Kepala Dinas Pengendalian
Pertanahan Daerah Sleman, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sleman, Kepala Dinas
Kimpraswil Sleman, Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi Informatika DIY, dan Ketua
Ombudsman DIY. Tidak hanya itu, penolakan tersebut juga terus dilakukan melalui
cara-cara lain, seperti melalui tulisan pemikiran pembaca di salah satu koran,
membuat situs web, pertemuan dengan pejabat-pejabat terkait, demonstrasi,
pemasangan spanduk, dan lain sebagainya.
Dalam makalah ini, kami akan mengkaji dari sudut pandang hokum,
khususnya dalam hal ini dilihat dari asas-asas hokum agrarian berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria). Lebih spesifik lagi, kami mengkaji dari Asas Fungsi Sosial yang
terdapat pada Pasal 6 UUPA serta Asas Tata Guna Tanah dalam Pasal 13, 14, dan
15 UUPA.
RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana
proses pembangunan dan perizinan Apartemen Uttara dilihat dari asas fungsi
social dalam
hokum agrarian?
2.Bagaimana peran Pemerintah
Daerah dalam menyelesaikan kasus penolakan pembangunan Apartemen Uttara oleh Warga Karangwuni?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
APARTEMEN
Pengaturan mengenai apartemen diatur
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Apartemen yang
selanjutnya disebut sebagai rumah susun dalam pengertiannya adalah bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki
dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. [1]
Adrian Sutedi memberikan uraian yang lebih
rinci mengenai jenis rumah susun menurut fungsi penggunaannya, yaitu:
·
Rumah Susun Hunian, yatu rumah susun
yang digunakan untuk akomodasi atau tempat tinggal, seperti perumahan,
apartemen, town house, dan bangunan lainnya yang berfungsi untuk tempat
tinggal.
·
Rumah Susun Komersial, adalah
bangunan yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan komersial seperti
pertokoan, perkantoran, pabrik, restoran, bank dan lain sebagainya.
·
Rumah Susun Industri, merupakan
bangunan yang digunakan untuk kepentingan industri misalnya penyimpanan barang
dalam jumlah besar atau tempat aktivitas pabrik dan industri lainnya.
·
Rumah Susun Keramahtamahan, misalnya
hotel, motel, hostel dan sebagainya.[2]
Menurut UU Rumah Susun, pembangunan rumah
susun atau dalam hal ini apartemen dapat dilakukan di atas tanah:
1.
Hak Milik
2.
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas
tanah negara
3.
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di
atas Hak Pengelolaan.
Beberapa persyaratan yang harus ditempuh
dalam pembangunan rumah susun, diamtaranya:
·
Persyaratan administratif, meliputi
perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah
susun.
·
Persyaratan teknis, adalah
persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan
bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan dan lain-lain berhubungan dengan
rancang bangunan, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan.
·
Persyaratan ekologis, yaitu
persyaratan yang berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkungan.
IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan
Gedung, yang dimaksud dengan Izin Mendirikan Bangunan Gedung adalah perizinan
yang diberikan oleh pemerintah daerah kecuali untuk bangunan gedung fungsi
khusus oleh Pemerintah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru,
mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai
dengan persyaratan administrative dan persyaratan teknis yang berlaku.
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Kabupaten
Sleman Nomor 5 Tahun 2011 tentang Bangunan Gedung, Izin Mendirikan Bangunan
atau IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten kepada
pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas,mengurangi dan/atau
merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administrasi dan teknis yang
berlaku.
Persyaratan Bangunan Gedung, meliputi:
a. Persyaratan Administratif
·
Status hak atas tanah atau izin
pemanfaatan
·
Status kepemilikan bangunan gedung
·
Izin mendirikan bangunan gedung
·
Sertifikat laik fungsi
b. Persyaratan teknis bangunan gedung
·
Persyaratan tata bangunan, meliputi:
persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, persyaratan arsitektur
bangunan gedung dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.
·
Persyaratan keandalan bangunan
gedung, meliputi: persyaratan keselamatan, persyaratan kesehatan, persyaratan
kenyamanan, dan persyaratan kemudahan.
Adapun syarat-syarat permohonan Izin
Mendirikan Bangunan (tetap) seperti yang dilangsir dalam website resmi Dinas Perizinan
Kabupaten Sleman, yakni:
- Formulir
Permohonan IMB yang telah diisi, ditandatangani oleh Kepala Desa dan
Camat, serta bermaterai Rp 6.000,-
- Foto Copy
KTP Pemohon / Pemilik
- Gambar
denah, tampak depan, tampak samping, tampak belakang, potongan memanjang,
potongan melintang, rencana pondasi, rencana atap, jaringan sanitasi,
situasi keci
- Gambar
konstruksi baja beserta perhitungannya
- Gambar
konstruksi beton beserta perhitungannya
- Hasil
penyelidikan tanah dan rekomendasi dari laboratorium mekanika tanah untuk
bangunan bertingkat tiga atau lebih
- Melampirkan
IMB Sementara
- Mengisi
Formulir permohonan bermaterai
- Surat
Kuasa bermaterai Rp. 6000 kepada seorang penduduk DIY apabila pemohon
berdomisili di luar DIY
- Surat
Perintah Kerja (SPK) apabila pekerjaan diborongkan
- Surat
keterangan tanah bermaterai Rp. 6000 dari pemilik tanah diketahui Lurah
dan Camat apabila pemohon bukan pemilik tanah
- Surat
keterangan tanah/sertifikat
Sementara
itu untuk prosedur permohonan Izin Mendirikan Bangunan (tetap) adalah sebagai
berikut:
- Pemohon
mengambil dan mengisi formulir di KPP atau download melalui internet
- Pemohon
mengisi formulir dan menandatanganinya diatas materai Rp 6.000,-.
- Berkas
permohonan kemudian diserahkan kembali ke KPP disertai persyaratan yang
telah ditentukan.
- Berkas
permohonan dikirim ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan untuk diproses.
- IMB jadi,
pemohon melakukan pembayaran IMB
- IMB
dikirim ke KPP dan pemohon mengambil surat izin
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
Dalam rangka melaksanakan pembangunan
berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya kesadaran melakukan pembangunan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup, perlu dijaga
keserasian antar berbagai usaha dan/atau kegiatan. Oleh karena itu setiap usaha
dan/atau kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup
yang perlu dianalisis sejak awal perencanaannya sehingga langkah pengendalian
dampak negatif maupun pengembangan atas dampak positif dari adanya suatu usaha
dan/atau kegiatan dapat dipersiapkan sedini mungkin.
Pengertian Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL) adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.[3]
Dampak besar dan penting yang dimaksud disini merupakan suatu fenomena
perubahan lingkungan hidup secara mendasar yang disebabkan karena adanya suatu
usaha dan/atau kegiatan.
Amdal merupakan bagian dari studi
kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, yang mana hasil analisis
mengenai dampak lingkungan digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan
wilayah. [4]
Penyusunan Amdal ini dapat dilakukan melalui pendekatan studi terhadap terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang bersifat tunggal, terpadu atau kegiatan yang ruang
lingkupnya dalam suatu kawasan.
a. Tujuan
dan Fungsi Amdal
Tujuan
Amdal secara umum adalah untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan
hidup serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah
mungkin.
Sedangkan
Fungsi Amdal, diantaranya:
·
Bahan
bagi perencanaan pembangunan wilayah
·
Membantu
proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana
usaha dan atau kegiatan
·
Memberi
masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan atau
kegiatan
·
Memberi
masukan untuk penyusunan rencana pengelola dan pemantauan lingkungan hidup
·
Memberi
informasi bagi masyarakat atas dampak ditimbulkan dari suatu rencana usaha dann
atau kegiatan
·
Awal
dari rekomendasi tentang izin usaha
·
Sebagai
Scientific Document dan Legal Document
·
Izin
Kelayakan Lingkungan
·
Menunjukkan
tempat pembangunan yang layak pada suatu wilayah beserta pengaruhnya
·
Sebagai
masukan dengan pertimbangan yang lebih luas bagi perencanaan dan pengambilan
keputusan sejak awal dan arahan atau pedoman bagi pelaksanaan rencana kegiatan
pembangunan termasuk rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan
b. Jenis-jenis Amdal
Berikut
ini adalah jenis AMDAL yang dikenal di Indonesia:
1. AMDAL Proyek
Tunggal, adalah studi kelayakan lingkungan untuk
usaha/kegiatan yang diusulkan hanya satu jenis kegiatan.
2. AMDAL
Kawasan, adalah studi kelayakan lingkungan untuk
usaha atau kegiatan yang diusulkan dari berbagai kegiatan dimana AMDAL menjadi
kewenangan satu sektor yang membidanginya.
3. AMDAL
Terpadu Multi Sektor, adalah studi kelayakan lingkungan
untuk usaha atau kegiatan yang diusulkan dari berbagai jenis kegiatan dengan
berbagai instansi teknis yang membidangi.
4. AMDAL
Regional, adalah studi kelayakan lingkungan untuk
usaha atau kegiatan yang diusulkan terkait satu sama lain.
c. Jenis usaha dan/atau kegiatan wajib
Amdal
Jenis usaha dan/atau kegiatan yang
wajib AMDAL menurut Pasal 3 ayat 1 PP RI No. 27 Tahun 1999):
a. Pengubahan
bentuk lahan dan bentang alam,
b. Eksploitasi
sumber daya alam baik yang terbaharui maupun tidak.
c. Proses dan
kegiatan yang secara potensial menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan
LH serta kemerosotan pemanfaatan SDA,
d. Proses dan
kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi lingkungan alam, buatan dan
sosial-budaya,
e. Proses dan
kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi kelestarian konservasi SDA dan/atau
perlindungan cagar budaya,
f.
Introduksi
jenis tumbuhan, hewan dan jasad renik,
g. Pembuatan dan
penggunaan bahan hayati dan non hayati,
h. Penerapan
teknologi yang diperkirakan punya potensi besar untuk mempengaruhi LH,
i.
Kegiatan
yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara.
d. Dokumen Amdal
Dokumen
AMDAL merupakan hasil kajian kelayakan lingkungan hidup dan merupakan bagian
integral dari kajian kelayakan teknis dan finansial-ekonomis. Selanjutnya
dokumen ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin usaha
dari pejabat berwenang. Dokumen AMDAL terdiri dari beberapa dokumen sebagai
berikut:
1. Kerangka Acuan ANDAL (KA-ANDAL), adalah ruang lingkup kajian
analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan.
2. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), adalah telaah secara
cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan.
3. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
BAB II
PEMBAHASAN
ANALISIS KASUS
A. Proses Pembangunan
dan Perizinan Apartemen Uttara dilihat dari Asas Guna Tanah dalam Hokum Agraria
Di dalam UUPA
berkaitan dengan asas guna tanah dinyatakan beberapa ketentuan di dalam Pasal
13 sampai Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13.
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran
rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap
warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria
dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan
sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Pasal 14.
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2)
dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam
rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan
suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan
masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi
pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri,
transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan
mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk
daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal
ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden,
Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah
Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang
ekonomis lemah.
Proses mengurus perizinan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) Gedung dapat dilakukan di Dinas Perizinan. Beberapa
syarat umum yang dibutuhkan untuk proses pengajuan IMB Gedung. Adapun syarat
umum yang dibutuhkan untuk proses pengajuan IMB Gedung yaitu:
1.
fotokopi identitas diri/KTP pemohon;
2.
surat kuasa dan fc KTP penerima kuasa apabila pengurusan
diwakilkan
3.
fotokopi Sertifikat Tanah/bukti kepemilikan tanah dengan status
tanah pekarangan atau non pertanian;
4.
surat pernyataan kerelaan, antara pemilik bangunan dengan pemilik
tanah, apabila pemilik bangunan bukan pemilik tanah;
5.
surat pernyataan tidak berkeberatan dari tetangga yang berbatasan
langsung;
6.
surat pernyataan membuat peresapan air hujan yang dapat menampung
luapan curah hujan;
7.
gambar rencana bangunan yang meliputi: situasi, denah, tampak
(depan, belakang dan samping), rencana (pondasi, atap, sanitasi), potongan
(melintang dan memanjang) dengan skala 1:100 atau 1: 50.
8.
apabila bangunan menggunakan konstruksi baja, melampirkan gambar
dan perhitungan konstruksi baja;
9.
apabila bangunan bertingkat dan menggunakan struktur beton,
melampirkan gambar dan perhitungan beton; dan
10.
apabila bangunan bertingkat lebih dari 2 lantai / ketinggian lebih
dari 12 m, melampirkan hasil tes sondir;
11.
untuk bangunan gedung kepentingan umum dan komersial dengan luasan
ruang komersial > 54 m2 dilengkapi dengan SPPL/DPL;
12.
untuk selain bangunan rumah tinggal tidak bertingkat & selain
bangunan gedung kepentingan umum / komersial dengan luasan ruang komersial >
54 m2 dilengkapi:
o surat keterangan rencana kabupaten
o dokumen perencanaan disahkan oleh
Dinas Pekerjaan Umum
13.
untuk perumahan dilengkapi dengan pengesahan site plan dari Dinas
Pekerjaan Umum;
•Pembangunan
boleh mulai dilaksanakan jika Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) sudah keluar. Sebelum IMB:
Izin Peruntukan Penggunaan
Tanah (IPPT) dan Surat Ketetapan Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan
(SKTBL), Dokumen Perolehan
Tanah, Dokumen Lingkungan, Dokumen RTB,
Izin Gangguan, dan Izin Teknis.
•
•Jika dicocokan dengan Peraturan Bupati Sleman Nomor 17 Tahun
2012, Apartemen Uttara sebenarnya belum diizinkan pembangunan.
•
•Selain izin resmi pemerintah, persetujuan masyarakat untuk mendapatkan
IPPT, investor harus melampirkan notulen sosialisasi terhadap warga sekitar.
•Rencana pembangunan Kabupaten Sleman yang
dalam kasus ini bila dikaitkan dengan
Asas Tata Guna Tanah yang diamanatkan oleh UUPA sangatlah bertolak belakang.
•Bab IV Perda Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembangunan
Jangka Panjang Kabupaten Sleman Tahun 2006-2025: tujuan
umum rencana pembangunan perumahan Kabupaten Sleman dalam jangka panjang:
opemenuhan standar umum perumahan
yang sehat dan terjangkau;
opengembangan pembangunan perumahan vertikal guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan mengantisipasi tingginya harga tanah.
•Menjadi celah bagi para
pengembang untuk membangun apartemen, dibangun bukan diperuntukkan bagi masyarakat bawah
•Pemkab Sleman tidak menyediakan payung hukum terkait mengendalikan pembangunan apartemen
Menurut peraturan pemerintah, pembangunan boleh mulai dilaksanakan jika Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah keluar. Sebelum memperoleh IMB, ada beberapa tahapan yang harus dilalui investor, yaitu Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dan Surat Ketetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (SKTBL), Dokumen Perolehan Tanah, Dokumen Lingkungan, Dokumen RTB, Izin Gangguan, dan Izin Teknis. Jadi, jika dicocokan dengan Peraturan Bupati Sleman Nomor 17 Tahun 2012, Apartemen Uttara sebenarnya belum diizinkan sama sekali untuk memulai pembangunan. Hal ini diperkuat dengan pasal 3 yang menjelaskan bahwa jenis izin yang diberikan sesuai dengan tahapan pemberian izin, dan izin yang diberikan sebelumnya menjadi prasyarat untuk penerbitan izin tahap berikutnya.
Kabupaten Sleman memang menjadi pilihan strategis para investor di
bidang apartemen. Hal ini dibuktikan dengan jumlah pengajuan izin yang
disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Sleman. Selama 2014, ada pengajuan izin
42 hotel dan 12 apartemen. Dari jumlah tersebut, hanya tujuh hotel dan tiga
apartemen yang akhirnya memperoleh izin.
Selain izin resmi pemerintah, persetujuan masyarakat menjadi
syarat penting yang harus diperoleh investor. Bahwa untuk mendapatkan IPPT,
para investor harus melampirkan notulen sosialisasi yang telah dilakukan
terhadap warga sekitar. Pada notulen itu, harus dijelaskan bahwa masyarakat
menyetujui pendirian bangunan apartemen. “Pada sosialisasi tersebut, pihak
investor harus menjelaskan visi dan misi pembangunan apartemen dan dampak
pembangunan apartemen bagi masyarakat. Dengan begitu masyarakat jadi tahu.
Namun prosedur itu tidak sepenuhnya ditaati oleh pihak Uttara
The Icon. Pembangunan apartemen yang berlangsung sejak 2014 ini mendapat banyak
penolakan dari masyarakat Karangwuni. Menurut Sigit, warga RT 02 Dusun
Karangwuni, Uttara The Icon sebenarnya sudah melakukan sosialisasi untuk warga
sekitar, namun sosialisasi itu dilakukan setelah Apartemen Uttara mulai
dibangun. Hal ini membuat masyarakat geram sebab bangunan mulai didirikan
padahal belum mendapat izin dari masyarakat sekitar.
Dikaitkan dengan asas Tata Guna Tanah, kita perlu menelaah
terlebih dahulu terkait rencana pembangunan yang dicanangkan oleh Kabupaten
Sleman yang dalam kasus ini bila
dikaitkan dengan Asas Tata Guna Tanah yang diamanatkan oleh UUPA sangatlah
bertolak belakang. Pemkab Sleman sendiri memang telah memiliki perencanaan
pembangunan wilayah Kabupaten Sleman baik jangka pendek, menengah, maupun jangka
panjang. Bab IV Perda Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembangunan Jangka Panjang
Kabupaten Sleman Tahun 2006-2025 menjelaskan tujuan umum dari rencana
pembangunan perumahan Kabupaten Sleman dalam jangka panjang. Pemenuhan standar
umum perumahan yang sehat dan terjangkau menjadi ujuan utama dalam pembangunan
perumahan di Kabupaten Sleman, selain itu pengembangan pembangunan perumahan vertikal juga menjadi tujuan Pemerintah Kabupaten Sleman guna
mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan mengantisipasi tingginya harga tanah. Hal
ini yang menjadi celah bagi para pengembang untuk membangun apartemen di
wilayah Kabupaten Sleman, realita yang terjadi di lapangan, apartemen yang
dibangun bukan diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang jelas
menyalahi rencana pembangunan jangka panjang yang telah diatur. Pengembang
apartemen uttara mencoba merambah segmen pasar yang berpenghasilan tinggi tanpa
ada timbal balik yang memadai kepada warga sekitar baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Pemerintah Kabupaten Sleman sendiri tidak menyediakan payung hukum
terkait pembangunan apartemen yang menyebabkan kegiatan pembangunan apartemen
akan sangat sulit diredam seandainya telah merugikan warga Kabupaten Sleman,
ini juga menjadi permasalahn besar di kabupaten dan kota di Indonesia yang
seakan melegalkan pembangunan apartemen tanpa adanya batasan sesuai rencana
pembangunan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah daerah sendiri
cenderung memberikan celah kepada para pengembang, karena tidak dapat
dipungkiri, keuntungan yang didapatkan oleh pemerintah daerah sangatlah besar
dan dapat membiayai pembangunan lainnya
Ketersediaan air
Ketersediaan air
•Pihak Apartemen Uttara mengatakan menggunakan air dari mata air kedalaman 60 m
di bawah bangunan apartemen. Sedangkan, mata air
yang digunakan masyarakat Karangwuni pada kedalaman 10
m.
•Pihak apartemen mengatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan mata air masyarakat yang berada di kedalaman 10 m dan hanya menggunakan mata air di kedalaman 60 m.
•Konsep “memaksimalkan lahan” dibangun semaksimal mungkin ke atas (19 lantai ke atas) dan dibangun semaksimal mungkin ke bawah (3 lantai ke bawah untuk
basement).
•Tidak memaksimalkan untuk lahan resapan. Bagaimana mungkin mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60 m
mendapatkan cukup air jika tidak ada lahan resapan?
•Logika air:
mengalir dari permukaan yang
tinggi ke permukaan yang
lebih rendah. Maka mata air masyarakat di kedalaman 10 m
akan mengalir ke mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60
m.
•Mengurangi ketersediaan air bagi masyarakat Karangwuni.
Pembangunan apartemen pasti membutuhkan ketersediaan air bagi penghuninya. Pihak Apartemen Uttara mengatakan bahwa mereka akan menggunakan air yang bersumber dari mata air pada kedalaman 60 m di bawah bangunan apartemen. Sedangkan, mata air yang digunakan masyarakat Karangwuni adalah pada kedalaman 10 m. Pihak apartemen mengatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan mata air masyarakat yang berada di kedalaman 10 m dan hanya menggunakan mata air di kedalaman 60 m. Di sisi lain, konsep yang digunakan oleh Apartemen Uttara adalah “memaksimalkan lahan”. Konsep ini menjelaskan bahwa Apartemen Uttara dibangun semaksimal mungkin ke atas (19 lantai ke atas) dan dibangun semaksimal mungkin ke bawah (3 lantai ke bawah untuk basement). Dari konsep ini kita dapat melihat bahwa Apartemen Uttara tidak dapat memaksimalkan lahannya untuk lahan resapan. Kemudian, bagaimana mungkin mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60 m mendapatkan cukup air jika tidak ada lahan resapan? Logika air adalah mengalir dari permukaan yang tinggi ke permukaan yang lebih rendah. Jika kita menggunakan logika ini, maka mata air masyarakat di kedalaman 10 m akan mengalir ke mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60 m. Tentunya hal ini akan mengurangi ketersediaan air bagi masyarakat Karangwuni. Apalagi letak Apartemen Uttara sangatlah berdekatan dengan pemukiman warga. Di sekitar lokasi Apartemen Uttara juga sudah sangat banyak ruko, kos-kost, dll yang menggali air dibawah. Secara konsep geologi, tidak mungkin bahwa lokasi apartemen yang sangat dekat pemukiman tidak akan mengganggu persediaan air warga.
Pembuangan limbah
Pembuangan limbah
•Bangunan hampir 300 kamar beserta ruangan dan kegiatan lainnya pasti menghasilkan berbagai limbah,
missal dapur sampai cucian. Padahal berada di tengah pemukiman warga Karangwuni.
Dari pihak apartemen pun tidak ada kepastian mengenai mau dibuang ke mana limbah-limbah tersebut.
Dampak lain
yang timbul
•Seiring pembangunan ringroad membuat lahan resapan air semakin berkurang, membuat banjir dari air hujan di jalan raya ringroad mengalir ke selatan. Banjir yang terjadi akan semakin parah, konsep pembangunan Apartemen Uttara tidak menyediakan lahan resapan air.
•Apartemen Uttara: banyak mobil di dalam 3 lantai
basement, dibangun persis di pinggir Jakal
•Usaha
Karangwuni menjaga norma kekeluargaan dan gotongroyong
Pembangunan apartemen dengan hampir 300 kamar ini tentunya akan menghasilkan berbagai limbah, baik limbah dapur sampai limbah cucian. Padahal, Apartemen Uttara berada di tengah pemukiman warga Karangwuni. Limbah ini mau tidak mau pasti akan mempengaruhi lingkungan warga Karangwuni. Dari pihak apartemen pun tidak ada kepastian mengenai mau dibuang ke mana limbah-limbah tersebut.
Banjir yang semakin parah seiring maraknya pembangunan yang dilakukan
di sekitar jalan raya ringroad membuat lahan resapan air semakin berkurang. Hal
ini mengakibatkan banjir di pemukiman warga Karangwuni karena air hujan di
jalan raya ringroad pasti akan mengalir ke selatan. Warga Karangwuni kemudian
meninggikan pondasi rumah mereka, sehingga harapannya dapat terhindar dari
banjir. Namun, dengan adanya Apartemen Uttara, masyarakat Karangwuni menjadi
khawatir kembali apabila banjir yang terjadi akan semakin parah. Terlebih lagi,
konsep pembangunan Apartemen Uttara tidak menyediakan lahan resapan air
Kemacetan Jalan Kaliurang sekarng sudah sangat padat. Setiap jam
berangkat atau pulang kerja, Jalan Kaliurang tidak lepas dari kemacetan. Hal
ini akan diperparah jika Apartemen Uttara benar-benar dibangun. Dapat
dibayangkan akan ada berapa ratus mobil di dalam 3 lantai basement Apartemen
Uttara. Terlebih lagi, Apartemen Uttara dibangun persis di pinggir Jalan
Kaliurang. Tentunya, keberadaan Apartemen Uttara ini akan menambah kemacetan di
Jalan Kaliurang. Tidak dapat dibayangkan semacet apa jalan Kaliurang nanti
setelah pembangunan Apartemen Uttara ini
Hilangnya norma masyarakat dan muncul budaya hedon Masyarakat
Yogyakarta, khususnya Karangwuni, masih menjaga norma kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Namun, dengan dibangunnya Apartemen Uttara, akan muncul
individu-individu lain yang tidak mengenal norma-norma ini. Para penghuni
apartemen biasanya cenderung bersifat individual dan perilakunya pun tidak
dapat dikontrol.
B. Peran
Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan kasus penolakan pembangunan Apartemen
Uttara oleh Warga Karangwuni
•Dasar hukum mendirikan bangunan dijelaskan di Keputusan Bupati Sleman No
53/Kep.KDH/A/2003
yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan
Daerah Kabupaten Sleman No
19 Tahun
2001: Bupati merupakan sentral pemberian izin terhadap penggunaan tanah di Kabupaten Sleman.
•Sejalan dengan Perda No
19 Tahun 2001
Bab II tentang Izin Peruntukkan Penggunaan
Tanah Pasal 2
yang berbunyi:
•“Setiap
orang pribadi
dan
atau
badan
yang menggunakan
tanah
untuk
kegiatan
pembangunan
fisik
dan
atau
untuk
keperluan
lain yang berdampak
pada
struktur
ekonomi,
sosial
budaya
dan
lingkungan
wajib
memperoleh
izin
peruntukan
penggunaan
tanah
dari
Bupati.”
••Perizinan yang
bupati-sentris tertera di Peraturan Bupati Tahun 2003
Pasal 4 Poin “d”
yang menyatakan bahwa tanah atau teritori yang
telah ditetapkan secara khusus oleh bupati tak perlu lagi memperoleh izin lokasi. Pasal 9 terkait permukiman sampai perhotelan
•Alasan diberikan izin pembangunan Uttara: karena Depok ditetapkan sebagai zona pembangunan ekonomi, sehingga pemerintah memprioritaskan pembangunan gedung di bidang perdagangan dan jasa. Tersebut tertera dalam pasal 26
E, Peraturan Bupati Tahun 2003
•Dari segi yuridis, masalah utama:
detail jenis peruntukkan tanah yang
wajib memiliki izin, tidak menyebutkan apartemen baik Perda maupun PerBup. Sifat Perda cenderung bupati-sentris, kewenangan besar bupati memberikan perizinan yang
dianggap mampu mendongkrak sektor-sektor sosial, budaya, dan ekonomi.
Dalam kasus pembangunan Apartemen Uttara, Bupati Sleman selaku jajaran eksekutif bertidak sebagai fasilitator antara PT. Bukit Alam Permata dengan masyarakat Padukuhan Karangwuni. Pada tanggal 11 Juni 2014, Bupati Sleman berusaha menengahi konflik kedua belah pihak. Bupati mengundang LBH yang mewakili warga atas nama Rita Dharani dalam acara pembahasan koordinasi aduan warga terhadap pembangunan apartemen. Dasar hukum dalam mendirikan bangunan sangat banyak dijelaskan di Keputusan Bupati Sleman No 53/Kep.KDH/A/2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No 19 Tahun 2001. Perda dan Perbup telah menyatakan bahwasanya bupati merupakan sentral pemberian izin terhadap penggunaan tanah di Kabupaten Sleman. Hal ini sejalan dengan Perda No 19 Tahun 2001 Bab II tentang Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah Pasal 2 yang berbunyi:
“Setiap orang pribadi dan atau badan
yang menggunakan tanah untuk kegiatan pembangunan fisik dan atau untuk
keperluan lain yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya dan
lingkungan wajib memperoleh izin peruntukan penggunaan tanah dari Bupati.”
Bukti
yuridis lain yang dapat ditemui terkait dengan perizinan yang bupati-sentris
adalah sebagaimana yang tertera di Peraturan Bupati Tahun 2003 Pasal 4 Poin D
yang menyatakan bahwa tanah atau teritori yang telah ditetapkan secara khusus
oleh bupati tak perlu lagi memperoleh izin lokasi. Di sisi lain, DPRD Komisi A,
menolak adanya pembangunan apartemen disebabkan oleh belum adanya Perda yang
mengatur tentang pembangunan apartemen. Sebagai bukti penolakan, DPRD Komisi A
telah melayangkan surat kepada bupati karena telah memberikan Izin Pengguunaan
Tanah (IPT). Izin untuk mendirikan bangunan banyak disebut dalam Peraturan
Bupati Tahun 2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Daerah No
19 Tahun 2001, namun tidak secara spesifik menyebutkan apartemen sebagai jenis
peruntukkan tanah yang wajib memiliki izin. Tertera di Pasal 9 Peraturan Bupati
Tahun 2003 jika pada Poin “a” dan “d” sebagai berikut:
a. Permukiman:
1. Perumahan dengan ketentuan = 4 (empat) unit dalam 1 (satu)
lokasi,
2. Pondokan dengan ketentuan = 10 (sepuluh) kamar tidur,
3. Rumah sewa dengan ketentuan = 4 (empat) unit dalam 1 (satu)
lokasi.
d. Perhotelan dan sejenisnya dengan
ketentuan untuk semua keluasan.
Alasan diberikannya izin pembangunan terhadap korporasi Uttara
dikarenakan kecamatan Depok ditetapkan sebagai zona pembangunan ekonomi,
sehingga pemerintah memprioritaskan pembangunan gedung di bidang perdagangan
dan jasa. Lebih detail, hal tersebut tertera dalam pasal 26 E, Peraturan Bupati
Tahun 2003, sebagai berikut:
“Wilayah aglomerasi meliputi seluruh
wilayah Kecamatan Depok, sebagian wilayah Kecamatan Gamping, Kecamatan Godean,
Kecamatan Mlati, Kecamatan Ngaglik, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Berbah,
Kecamatan Kalasan dan Kecamatan Sleman, dominasi peruntukan penggunaan tanah
untuk:
1.
kegiatan pendidikan tinggi,
2.
kegiatan pengembangan jasa wisata,
3.
kegiatan perdagangan dan jasa,
4.
kegiatan industri kecil,
5.
kegiatan pengembangan perumahan dan permukiman, dengan koefisien
dasar bangunan sebesar-besarnya 60 % (enam puluh persen).”
Dari pemaparan di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwasannya
dari segi yuridis, masalah utama terletak pada detail jenis peruntukkan tanah
yang wajib memiliki izin, yang di dalamnya secara jelas tidak menyebutkan
apartemen baik dari segi Peraturan Daerah No 19 Tahun 2001 maupun Peraturan
Bupati Tahun 2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari perda terkait. Sifat
Perda juga cenderung bupati-sentris yang memberikan kewenangan besar kepada
bupati untuk memberikan perizinan penggunaan tanah terutama yang mampu
mendongkrak sektor-sektor sosial, budaya, dan ekonomi. Dinas Pengendalian
Pertanahan Daerah (DPPD) Sleman juga megungkapkan bahwa PT. Bukit Alam Permata
sudah memenuhi aspek legal formal karena mereka telah memenuhi syarat sesuai
Perda 19/001 dan Perbup 11/2007.
Menurut DPPD Sleman, Pemkab tidak memilki alasan untuk menolak
izin yang diajukan PT. Bukit Alam Permata. Kepala Kantor Perizinan Sleman
memberikan tanggapan bahwa sebenarnya pembangunan tidak membutuhkan persetujuan
dari warga sekitar, namun yang dibutuhkan adalah adanya sosialisasi kepada
warga. Di sisi lain, DPRD Komisi A menolak dengan alasan daerah Karangwuni
merupakan salah satu daerah konservasi. DPRD Komisi A menyarankan adanya daerah
kawasan khusus pembangunan. DPRD juga menanyakan perihal belum adanya izin
mengenai aturan tata ruang. Perda yang menjadi acuan pemberian izin Apartemen
Uttara juga dipertanyakan oleh komisi A karena Perda 11/2007 tidak sesuai
dengan izin yang diajukan. Seharusnya ada Perda baru yang dibuat dan itu setara
dengan Perda 12/2012 tentang RT/RW. Seperti yang terlontar di sebuah artikel di
Koran lokal Tribun Jogja tanggal 13 Mei 2014, Sleman belum mempunyai peraturan
daerah yang mangatur jelas mengenai pembangunan apartemen, dan hal ini kemudian
memicu konflik yang terjadi antara pihak apartemen dan masyarakat.
Melalui penjabaran kami di atas, menurut analisis kami, pihak
pemerintah dalam menanggapi konflik antara PT. Bumi Alam Permata dan padukuhan
Karangwuni tersebut tidak berpendapat tunggal. Selain itu, dapat dilihat bahwa
ada banyak kepentingan yang terwakilkan oleh pemerintah, terlihat dari bupati
dan DPPD yang pro terhadap pembangunan dan pihak DPRD komisi A yang menolak
pembangunan. Bupati sebenarnya sudah melakukan agenda koordinasi dalam
penyelesaian konflik, dengan bertindak sebagai fasilitator antara kedua belah
pihak. Namun, di satu sisi bupati terlihat lebih mewakili kepentingan pihak
pengusaha. Keberpihakan bupati ini terlihat dari pemberian IPT yang dijadikan
landasan oleh PT. Bumi Alam Permata dalam membangun apartemen. Pemberian izin
IPT seharusnya ditinjau ulang karena belum terdapat alasan yang kuat mengenai
perizinan tersebut. Hal itu diperkuat dengan tidak adanya Perda mengenai pembangunan
apartemen yang digunakan untuk landasan pemberian IPT dan yang digunakan oleh
bupati hanya sebatas Perda 11/2007. Dari berbagai pandangan pemerintah itu
terlihat bahwa di tubuh pemerintah tersebut tidak ada satu suara. Hal ini
menjadi salah satu penghambat penyelesaian yang seharusnya cepat diambil oleh
pemerintah. Masyarakat juga geram dengan lambatnya penyelesian, akibatnya timbullah
gerakan yang diinisiasi oleh masyarakat Karangwuni untuk menolak pembangunan
Apartemen Uttara dan mendesak segera dicabutnya izin IPT.
Bupati Sleman seharusnya sadar dan bertindak cepat, bahwa
pembangunan Apartemen Uttara tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Karena
Kabupaten Sleman belum memiliki Perda mengenai pembangunan Apartemen dan RTRW
yang jelas mengenai pusat pembangunan hunian bagi masyarakat kelas atas. Bupati
Sleman beserta jajarannya tidaklah pantas meloloskan begitu saja izin-izin yang
terkait Apartemen Uttara dengan alasan syarat telah terpenuhi, warga yang
protes hanya sedikit, sudah terlanjur dipasarkan, dll. Sebagai pemilik peran
paling strategis di sini, Bupati Sleman harus tegas. Bupati Sleman harus mencontoh sikap
Walikota Surabaya ketika mendengar kabar pembangunan Pasar Turi tidak sesuai
dengan izin yang dikeluarkan, Walikota langsung turun ke lapangan dan memaksa pengembang
untuk membongkar bangunan sesuai desain awal yang disetujui.
Pada kasus Apartemen Uttara ini, kalaulah memang izin pihak
pengembang kepada warga awalnya adalah kos eksklusif. Maka hal itu harus
dipenuhi dan dikembalikan ke awal lagi. Jangan sampai pihak pengembang
melanjutkan pembangunan apartemen tanpa warga sekitar memberikan persetujuan.
LBH, Aktivis, masyarakat dan pihak-pihak lain yang menentang pembangunan
Apartemen Uttara ini juga harus lebih luas dalam mengawasi dan mengawal
pembangunan apartemen. Misal jika memang terjadi indikasi kuat pemberian izin
yang tidak sesuai dengan syarat, namun dari dinas-dinas terkait tetap
memberikanya. Maka hal tersebut dapat dicatat, dikumpulkan bukti-buktinya untuk
kemudian di laporkan dan di blow up ke media. Kita harus mencurigai adanya
permainan dan praktek KKN dalam perizinan Apartemen Uttara ini. Bagaimana
mungkin kita harus percaya birokrat yang berkata bahwa Apartemen tidak
membutuhkan izin dari warga, padahal untuk membangun toko usaha kecil saja
harus ada izin gangguan dari warga sekitar.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
•Pembangunan
Apartemen Uttara seharusnya ditinjau ulang perizinnya.
•Karangwuni daerah konservasi, namun dibangun apartemen
•Sleman belum memiliki peraturan jelas dan spesifik terkait pembangunan apartemen.
•Bertentangan dengan asas tata guna usaha khususnya pasal 13
(1) UUPA: Pemerintah tidak bertindak cepat, cenderung memihak
•Asas fungsi sosial: terpengaruh karena berkurangnya hak atas kehidupan yang
layak
Pembangunan Apartemen Uttara seharusnya ditinjau ulang perihal izin-izinnya. Disamping izinnya yang belum jelas tersebut, sebenarnya Daerah Karangwuni pun merupakan daerah konservasi, namun oleh investor malah dibangun Apartemen Uttara. Kekeliruan dalam hal izin Apartemen Uttara, berdampak terhadap pembangunan Apartemen Uttara yang berlangsung lama. Di samping itu Daerah Sleman pun sebenarnya belum memiliki peraturan terkait pembangunan apartemen.
Pada kasus ini tentu bertentangan
dengan asas agraria yaitu asas tata guna usaha, dilihat dari pasal 13 (1) UUPA,
dalam hal ini Pemerintah tidak bertindak cepat dalam penyelesaian pembangunan
Apartemen Uttara, sehingga tidak dapat meninggikan produksi dan kemakmuran
rakyat, serta tidak menjamin Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam
lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga bagi setiap warganegara
Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya, justru pembangunan Apartemen Uttara yang
berlangsung lama tersebut malah meresahkan masyarakat, menimbulkan konflik
dengan masyarakat dikarenakan izin-izin beserta prosedur sosialisasi yang
menyalahi aturan.
Pemda yang merupakan representasi
warga seharusnya dapat mengakomodasi tuntutan dari warga sebagai perwujudan
fungsi Negara dalam memproteksi warganya. Pemda Kabupaten Sleman maupun
Propinsi DIY harus memainkan peran yang jelas, antara mendukung pembangunan apartemen
atau menolak secara tegas. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sleman harus mampu
dan mau menindak tegas pelaku pengembangan apartemen yang telah menyalahi
peraturan yang ada, disamping itu juga, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman juga
harus membuat payung hukum dan alur yang jelas dalam proses pembangunan, tidak
hanya untuk apartemen saja, secaraumum seluruh bentuk bangunan tinggi yang ada
di wilayah Kabupaten Sleman.
Dampak yang ditimbulkan kemudian
yang berkaitan dengan aspek fungsi social, mengingat daerah yang menjadi tempat
tinggal Warga Karangwuni yang berhadapan langsung dengan Apartemen Uttara,
yakni usaha Karangwuni menjaga norma kekeluargaan dan gotongroyong, berbenturan
dengan apartemen yang jauh dari kedua norma tersebut karena sikap yang
individualis dan tidak transparan. Hal ini diperparah dengan tempat tinggal
Warga Karangwuni berpotensi mendapat kiriman banjir dari Ringroad Utara karena
aliran air hujan yang turun dari utara menuju selatan, juga tidak adanya
resapan air karena pembangunan Apartemen Uttara, bersamaan dengan semakin sulit
mendapatkan air bersih, berpotensi berkurangnya hak Warga Karangwuni atas kehidupan
yang layak, yangmana dapat berdampak negative dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam kehidupan sebagai satu warga maupun tiap-tiap individunya.
[1]
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
[2]
Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Jakarta: Sinar Grafika, 2010,
hlm. 160
[3]
Pasal 1 angka 1 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Hidup
[4]
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup, Jakarta: Rineka Cipta, 2005,
hlm. 75
Ini bukan konflik, melainkan persaingan bisnis. Pemain lama merasa terusik.
BalasHapus