Selasa, 29 Desember 2015

Konflik Pembangunan Apartemen Uttara antara Warga Karangwuni dengan PT Bukit Alam Permata Ditinjau dari Asas Fungsi Sosial dan Asas Tata Guna Tanah dalam UUPA

Konflik Pembangunan Apartemen Uttara antara Warga Karangwuni dengan PT Bukit Alam Permata Ditinjau dari Asas Fungsi Sosial dan Asas Tata Guna Tanah dalam UUPA

Tugas Makalah Hukum Agraria


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Konflik penolakan telah berlangsung satu tahun terus berlanjutnya pembangunan apartemen
Berawal dari sikap tidak transparan oleh PT Bukit Alam Permata selaku sejak awal sosialisasi pertama pada 25 Oktober 2013

20 November 2013, Warga RT01/RW01 membuat petisi yang menyatakan penolakan

Kasus penolakan Warga Karangwuni terhadap pembangunan Apartemen Uttara yang didirikan PT Bukit Alam Permata terhitung telah berlangsung hampir satu tahun lamanya hingga saat ini, bersamaan dengan terus berlanjutnya pembangunan apartemen tersebut. RT 01/RW 01, Karangwuni, Caturtunggal, Sleman, DI Yogyakarta. Konflik ini berawal dari sikap tidak transparan oleh PT Bukit Alam Permata selaku sejak awal sosialisasi pertama pada 25 Oktober 2013 dengan mengundang perwakilan RT 01/RW 01 Karangwuni yang menjadi lokasi pembangunan apartemen, yang mengatakan akan membangun kos-kosan eksklusif, bukan apartemen. Petemuan-petemuan selanjutnya antara Warga Karangwuni dengan PT Bukit Alam Permata terus dilakukan, namun belum memperlihatkan adanya kesepahaman diantara kedua belah pihak. Sampai dengan saat ini, PT Bukit Alam Permata terus melanjutkan pembangunan dan mengembangkan Apartemen Uttara, sementara di saat yang sama Warga Karangwuni tetap menolak berdiri dan beroperasinya apartemen tersebut.
Penolakan secara tegas dimulai pada 20 November 2013, Warga RT01/RW01 yang menolak rencana pembangunan Apartemen Uttara membuat petisi yang menyatakan penolakan rencana pembangunan apartemen tersebut, sekaligus meminta kepada pejabat yang berwenang agar tidak mengizinkan pembangunan apartemen. Bahkan petisi tersebut pun dilayangkan kepada pejabat-pejabat seperti Gubernur DIY, Wakil Gubernur DIY, Bupati Sleman, Wakil Bupati Sleman, Ketua DPRD Sleman, Kepala Dinas Pekerjaan Umum DIY, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum DIY, Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DIY, Kepala Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah Sleman, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sleman, Kepala Dinas Kimpraswil Sleman, Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi Informatika DIY, dan Ketua Ombudsman DIY. Tidak hanya itu, penolakan tersebut juga terus dilakukan melalui cara-cara lain, seperti melalui tulisan pemikiran pembaca di salah satu koran, membuat situs web, pertemuan dengan pejabat-pejabat terkait, demonstrasi, pemasangan spanduk, dan lain sebagainya.
Dalam makalah ini, kami akan mengkaji dari sudut pandang hokum, khususnya dalam hal ini dilihat dari asas-asas hokum agrarian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Lebih spesifik lagi, kami mengkaji dari Asas Fungsi Sosial yang terdapat pada Pasal 6 UUPA serta Asas Tata Guna Tanah dalam Pasal 13, 14, dan 15 UUPA.



RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana proses pembangunan dan perizinan Apartemen Uttara dilihat dari asas fungsi social dalam hokum agrarian?


2.Bagaimana peran Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan kasus penolakan pembangunan Apartemen Uttara oleh Warga Karangwuni


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

APARTEMEN
Pengaturan mengenai apartemen diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Apartemen yang selanjutnya disebut sebagai rumah susun dalam pengertiannya adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. [1]
Adrian Sutedi memberikan uraian yang lebih rinci mengenai jenis rumah susun menurut fungsi penggunaannya, yaitu:
·         Rumah Susun Hunian, yatu rumah susun yang digunakan untuk akomodasi atau tempat tinggal, seperti perumahan, apartemen, town house, dan bangunan lainnya yang berfungsi untuk tempat tinggal.
·         Rumah Susun Komersial, adalah bangunan yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan komersial seperti pertokoan, perkantoran, pabrik, restoran, bank dan lain sebagainya.
·         Rumah Susun Industri, merupakan bangunan yang digunakan untuk kepentingan industri misalnya penyimpanan barang dalam jumlah besar atau tempat aktivitas pabrik dan industri lainnya.
·         Rumah Susun Keramahtamahan, misalnya hotel, motel, hostel dan sebagainya.[2]
Menurut UU Rumah Susun, pembangunan rumah susun atau dalam hal ini apartemen dapat dilakukan di atas tanah:
1.      Hak Milik
2.      Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah negara
3.      Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan.
Beberapa persyaratan yang harus ditempuh dalam pembangunan rumah susun, diamtaranya:
·         Persyaratan administratif, meliputi perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah susun.
·         Persyaratan teknis, adalah persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan dan lain-lain berhubungan dengan rancang bangunan, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan.
·         Persyaratan ekologis, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkungan.

IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung, yang dimaksud dengan Izin Mendirikan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administrative dan persyaratan teknis yang berlaku.
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 5 Tahun 2011 tentang Bangunan Gedung, Izin Mendirikan Bangunan atau IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas,mengurangi dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administrasi dan teknis yang berlaku.
Persyaratan Bangunan Gedung, meliputi:
a. Persyaratan Administratif
·         Status hak atas tanah atau izin pemanfaatan
·         Status kepemilikan bangunan gedung
·         Izin mendirikan bangunan gedung
·         Sertifikat laik fungsi
b. Persyaratan teknis bangunan gedung
·         Persyaratan tata bangunan, meliputi: persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, persyaratan arsitektur bangunan gedung dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.
·         Persyaratan keandalan bangunan gedung, meliputi: persyaratan keselamatan, persyaratan kesehatan, persyaratan kenyamanan, dan persyaratan kemudahan.
Adapun syarat-syarat permohonan Izin Mendirikan Bangunan (tetap) seperti yang dilangsir dalam website resmi Dinas Perizinan Kabupaten Sleman, yakni:
  • Formulir Permohonan IMB yang telah diisi, ditandatangani oleh Kepala Desa dan Camat, serta bermaterai Rp 6.000,-
  • Foto Copy KTP Pemohon / Pemilik
  • Gambar denah, tampak depan, tampak samping, tampak belakang, potongan memanjang, potongan melintang, rencana pondasi, rencana atap, jaringan sanitasi, situasi keci
  • Gambar konstruksi baja beserta perhitungannya
  • Gambar konstruksi beton beserta perhitungannya
  • Hasil penyelidikan tanah dan rekomendasi dari laboratorium mekanika tanah untuk bangunan bertingkat tiga atau lebih
  • Melampirkan IMB Sementara
  • Mengisi Formulir permohonan bermaterai
  • Surat Kuasa bermaterai Rp. 6000 kepada seorang penduduk DIY apabila pemohon berdomisili di luar DIY
  • Surat Perintah Kerja (SPK) apabila pekerjaan diborongkan
  • Surat keterangan tanah bermaterai Rp. 6000 dari pemilik tanah diketahui Lurah dan Camat apabila pemohon bukan pemilik tanah
  • Surat keterangan tanah/sertifikat
Sementara itu untuk prosedur permohonan Izin Mendirikan Bangunan (tetap) adalah sebagai berikut:
  1. Pemohon mengambil dan mengisi formulir di KPP atau download melalui internet
  2. Pemohon mengisi formulir dan menandatanganinya diatas materai Rp 6.000,-.
  3. Berkas permohonan kemudian diserahkan kembali ke KPP disertai persyaratan yang telah ditentukan.
  4. Berkas permohonan dikirim ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan untuk diproses.
  5. IMB jadi, pemohon melakukan pembayaran IMB
  6. IMB dikirim ke KPP dan pemohon mengambil surat izin

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
Dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya kesadaran melakukan pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup, perlu dijaga keserasian antar berbagai usaha dan/atau kegiatan. Oleh karena itu setiap usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup yang perlu dianalisis sejak awal perencanaannya sehingga langkah pengendalian dampak negatif maupun pengembangan atas dampak positif dari adanya suatu usaha dan/atau kegiatan dapat dipersiapkan sedini mungkin.
Pengertian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.[3] Dampak besar dan penting yang dimaksud disini merupakan suatu fenomena perubahan lingkungan hidup secara mendasar yang disebabkan karena adanya suatu usaha dan/atau kegiatan.
Amdal merupakan bagian dari studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, yang mana hasil analisis mengenai dampak lingkungan digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. [4] Penyusunan Amdal ini dapat dilakukan melalui pendekatan studi terhadap terhadap usaha dan/atau kegiatan yang bersifat tunggal, terpadu atau kegiatan yang ruang lingkupnya dalam suatu kawasan.

a.         Tujuan dan Fungsi Amdal
Tujuan Amdal secara umum adalah untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin.
Sedangkan Fungsi Amdal, diantaranya:
·         Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
·         Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan atau kegiatan
·         Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan atau kegiatan
·         Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelola dan pemantauan lingkungan hidup
·         Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak ditimbulkan dari suatu rencana usaha dann atau kegiatan
·         Awal dari rekomendasi tentang izin usaha
·         Sebagai Scientific Document dan Legal Document
·         Izin Kelayakan Lingkungan
·         Menunjukkan tempat pembangunan yang layak pada suatu wilayah beserta pengaruhnya
·         Sebagai masukan dengan pertimbangan yang lebih luas bagi perencanaan dan pengambilan keputusan sejak awal dan arahan atau pedoman bagi pelaksanaan rencana kegiatan pembangunan termasuk rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan

b.         Jenis-jenis Amdal
Berikut ini adalah jenis AMDAL yang dikenal di Indonesia:
1.      AMDAL Proyek Tunggal, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha/kegiatan yang diusulkan hanya satu jenis kegiatan.
2.      AMDAL Kawasan, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha atau kegiatan yang diusulkan dari berbagai kegiatan dimana AMDAL menjadi kewenangan satu sektor yang membidanginya.
3.      AMDAL Terpadu Multi Sektor, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha atau kegiatan yang diusulkan dari berbagai jenis kegiatan dengan berbagai instansi teknis yang membidangi.
4.      AMDAL Regional, adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha atau kegiatan yang diusulkan terkait satu sama lain.

c.         Jenis usaha dan/atau kegiatan wajib Amdal
Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL menurut Pasal 3 ayat 1 PP RI No. 27 Tahun 1999):
a.      Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam,
b.      Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun tidak.
c.       Proses dan kegiatan yang secara potensial menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan LH serta kemerosotan pemanfaatan SDA,
d.      Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi lingkungan alam, buatan dan sosial-budaya,
e.      Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi kelestarian konservasi SDA dan/atau perlindungan cagar budaya,
f.        Introduksi jenis tumbuhan, hewan dan jasad renik,
g.      Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati,
h.      Penerapan teknologi yang diperkirakan punya potensi besar untuk mempengaruhi LH,
i.        Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara.

d.         Dokumen Amdal
Dokumen AMDAL merupakan hasil kajian kelayakan lingkungan hidup dan merupakan bagian integral dari kajian kelayakan teknis dan finansial-ekonomis. Selanjutnya dokumen ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin usaha dari pejabat berwenang. Dokumen AMDAL terdiri dari beberapa dokumen sebagai berikut:
1.      Kerangka Acuan ANDAL (KA-ANDAL), adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan.
2.      Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), adalah telaah secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
3.      Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.      Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)


BAB II
PEMBAHASAN

ANALISIS KASUS
A.         Proses Pembangunan dan Perizinan Apartemen Uttara dilihat dari Asas Guna Tanah dalam Hokum Agraria

Di dalam UUPA berkaitan dengan asas guna tanah dinyatakan beberapa ketentuan di dalam Pasal 13 sampai Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13.
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.

Pasal 14.
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

Proses mengurus perizinan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gedung dapat dilakukan di Dinas Perizinan. Beberapa syarat umum yang dibutuhkan untuk proses pengajuan IMB Gedung. Adapun syarat umum yang dibutuhkan untuk proses pengajuan IMB Gedung yaitu:
1.      fotokopi identitas diri/KTP pemohon;
2.      surat kuasa dan fc KTP penerima kuasa apabila pengurusan diwakilkan
3.      fotokopi Sertifikat Tanah/bukti kepemilikan tanah dengan status tanah pekarangan atau non pertanian;
4.      surat pernyataan kerelaan, antara pemilik bangunan dengan pemilik tanah, apabila pemilik bangunan bukan pemilik tanah;
5.      surat pernyataan tidak berkeberatan dari tetangga yang berbatasan langsung;
6.      surat pernyataan membuat peresapan air hujan yang dapat menampung luapan curah hujan;
7.      gambar rencana bangunan yang meliputi: situasi, denah, tampak (depan, belakang dan samping), rencana (pondasi, atap, sanitasi), potongan (melintang dan memanjang) dengan skala 1:100 atau 1: 50.
8.      apabila bangunan menggunakan konstruksi baja, melampirkan gambar dan perhitungan konstruksi baja;
9.      apabila bangunan bertingkat dan menggunakan struktur beton, melampirkan gambar dan perhitungan beton; dan
10.  apabila bangunan bertingkat lebih dari 2 lantai / ketinggian lebih dari 12 m, melampirkan hasil tes sondir;
11.  untuk bangunan gedung kepentingan umum dan komersial dengan luasan ruang komersial > 54 m2 dilengkapi dengan SPPL/DPL;
12.  untuk selain bangunan rumah tinggal tidak bertingkat & selain bangunan gedung kepentingan umum / komersial dengan luasan ruang komersial > 54 m2 dilengkapi:
o    surat keterangan rencana kabupaten
o    dokumen perencanaan disahkan oleh Dinas Pekerjaan Umum
13.  untuk perumahan dilengkapi dengan pengesahan site plan dari Dinas Pekerjaan Umum;


Pembangunan boleh mulai dilaksanakan jika Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah keluar. Sebelum IMB: Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dan Surat Ketetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (SKTBL), Dokumen Perolehan Tanah, Dokumen Lingkungan, Dokumen RTB, Izin Gangguan, dan Izin Teknis.
Jika dicocokan dengan Peraturan Bupati Sleman Nomor 17 Tahun 2012, Apartemen Uttara sebenarnya belum diizinkan pembangunan.

Selain izin resmi pemerintah, persetujuan masyarakat untuk mendapatkan IPPT, investor harus melampirkan notulen sosialisasi terhadap warga sekitar

Rencana pembangunan Kabupaten Sleman yang dalam kasus ini bila dikaitkan dengan Asas Tata Guna Tanah yang diamanatkan oleh UUPA sangatlah bertolak belakang.
Bab IV Perda Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sleman Tahun 2006-2025: tujuan umum rencana pembangunan perumahan Kabupaten Sleman dalam jangka panjang:
opemenuhan standar umum perumahan yang sehat dan terjangkau;
opengembangan pembangunan perumahan vertikal guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan mengantisipasi tingginya harga tanah.
Menjadi celah bagi para pengembang untuk membangun apartemen, dibangun bukan diperuntukkan bagi masyarakat bawah

Pemkab Sleman tidak menyediakan payung hukum terkait mengendalikan pembangunan apartemen

Menurut peraturan pemerintah, pembangunan boleh mulai dilaksanakan jika Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah keluar. Sebelum memperoleh IMB, ada beberapa tahapan yang harus dilalui investor, yaitu Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dan Surat Ketetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (SKTBL), Dokumen Perolehan Tanah, Dokumen Lingkungan, Dokumen RTB, Izin Gangguan, dan Izin Teknis. Jadi, jika dicocokan dengan Peraturan Bupati Sleman Nomor 17 Tahun 2012, Apartemen Uttara sebenarnya belum diizinkan sama sekali untuk memulai pembangunan. Hal ini diperkuat dengan pasal 3 yang menjelaskan bahwa jenis izin yang diberikan sesuai dengan tahapan pemberian izin, dan izin yang diberikan sebelumnya menjadi prasyarat untuk penerbitan izin tahap berikutnya.
Kabupaten Sleman memang menjadi pilihan strategis para investor di bidang apartemen. Hal ini dibuktikan dengan jumlah pengajuan izin yang disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Sleman. Selama 2014, ada pengajuan izin 42 hotel dan 12 apartemen. Dari jumlah tersebut, hanya tujuh hotel dan tiga apartemen yang akhirnya memperoleh izin.
Selain izin resmi pemerintah, persetujuan masyarakat menjadi syarat penting yang harus diperoleh investor. Bahwa untuk mendapatkan IPPT, para investor harus melampirkan notulen sosialisasi yang telah dilakukan terhadap warga sekitar. Pada notulen itu, harus dijelaskan bahwa masyarakat menyetujui pendirian bangunan apartemen. “Pada sosialisasi tersebut, pihak investor harus menjelaskan visi dan misi pembangunan apartemen dan dampak pembangunan apartemen bagi masyarakat. Dengan begitu masyarakat jadi tahu.
Namun prosedur itu tidak sepenuhnya ditaati oleh pihak Uttara The Icon. Pembangunan apartemen yang berlangsung sejak 2014 ini mendapat banyak penolakan dari masyarakat Karangwuni. Menurut Sigit, warga RT 02 Dusun Karangwuni, Uttara The Icon sebenarnya sudah melakukan sosialisasi untuk warga sekitar, namun sosialisasi itu dilakukan setelah Apartemen Uttara mulai dibangun. Hal ini membuat masyarakat geram sebab bangunan mulai didirikan padahal belum mendapat izin dari masyarakat sekitar.
Dikaitkan dengan asas Tata Guna Tanah, kita perlu menelaah terlebih dahulu terkait rencana pembangunan yang dicanangkan oleh Kabupaten Sleman yang dalam kasus ini bila dikaitkan dengan Asas Tata Guna Tanah yang diamanatkan oleh UUPA sangatlah bertolak belakang. Pemkab Sleman sendiri memang telah memiliki perencanaan pembangunan wilayah Kabupaten Sleman baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Bab IV Perda Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sleman Tahun 2006-2025 menjelaskan tujuan umum dari rencana pembangunan perumahan Kabupaten Sleman dalam jangka panjang. Pemenuhan standar umum perumahan yang sehat dan terjangkau menjadi ujuan utama dalam pembangunan perumahan di Kabupaten Sleman, selain itu pengembangan pembangunan perumahan vertikal juga menjadi tujuan Pemerintah Kabupaten Sleman guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan mengantisipasi tingginya harga tanah. Hal ini yang menjadi celah bagi para pengembang untuk membangun apartemen di wilayah Kabupaten Sleman, realita yang terjadi di lapangan, apartemen yang dibangun bukan diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang jelas menyalahi rencana pembangunan jangka panjang yang telah diatur. Pengembang apartemen uttara mencoba merambah segmen pasar yang berpenghasilan tinggi tanpa ada timbal balik yang memadai kepada warga sekitar baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pemerintah Kabupaten Sleman sendiri tidak menyediakan payung hukum terkait pembangunan apartemen yang menyebabkan kegiatan pembangunan apartemen akan sangat sulit diredam seandainya telah merugikan warga Kabupaten Sleman, ini juga menjadi permasalahn besar di kabupaten dan kota di Indonesia yang seakan melegalkan pembangunan apartemen tanpa adanya batasan sesuai rencana pembangunan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah daerah sendiri cenderung memberikan celah kepada para pengembang, karena tidak dapat dipungkiri, keuntungan yang didapatkan oleh pemerintah daerah sangatlah besar dan dapat membiayai pembangunan lainnya

Ketersediaan air

Ketersediaan air
Pihak Apartemen Uttara mengatakan menggunakan air dari mata air kedalaman 60 m di bawah bangunan apartemen. Sedangkan, mata air yang digunakan masyarakat Karangwuni pada kedalaman 10 m.
Pihak apartemen  mengatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan mata air masyarakat yang berada di kedalaman 10 m dan hanya menggunakan mata air di kedalaman 60 m.
Konsepmemaksimalkan lahandibangun semaksimal mungkin ke atas (19 lantai ke atas) dan dibangun semaksimal mungkin ke bawah (3 lantai ke bawah untuk basement).
Tidak memaksimalkan untuk lahan resapan. Bagaimana mungkin mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60 m mendapatkan cukup air jika tidak ada lahan resapan?
Logika air: mengalir dari permukaan yang tinggi ke permukaan yang lebih rendah. Maka mata air masyarakat di kedalaman 10 m akan mengalir ke mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60 m.

Mengurangi ketersediaan air bagi masyarakat Karangwuni.

Pembangunan apartemen pasti membutuhkan ketersediaan air bagi penghuninya. Pihak Apartemen Uttara mengatakan bahwa mereka akan menggunakan air yang bersumber dari mata air pada kedalaman 60 m di bawah bangunan apartemen. Sedangkan, mata air yang digunakan masyarakat Karangwuni adalah pada kedalaman 10 m. Pihak apartemen  mengatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan mata air masyarakat yang berada di kedalaman 10 m dan hanya menggunakan mata air di kedalaman 60 m. Di sisi lain, konsep yang digunakan oleh Apartemen Uttara adalah “memaksimalkan lahan”. Konsep ini menjelaskan bahwa Apartemen Uttara dibangun semaksimal mungkin ke atas (19 lantai ke atas) dan dibangun semaksimal mungkin ke bawah (3 lantai ke bawah untuk basement). Dari konsep ini kita dapat melihat bahwa Apartemen Uttara tidak dapat memaksimalkan lahannya untuk lahan resapan. Kemudian, bagaimana mungkin mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60 m mendapatkan cukup air jika tidak ada lahan resapan? Logika air adalah mengalir dari permukaan yang tinggi ke permukaan yang lebih rendah. Jika kita menggunakan logika ini, maka mata air masyarakat di kedalaman 10 m akan mengalir ke mata air Apartemen Uttara di kedalaman 60 m. Tentunya hal ini akan mengurangi ketersediaan air bagi masyarakat Karangwuni. Apalagi letak Apartemen Uttara sangatlah berdekatan dengan pemukiman warga. Di sekitar lokasi Apartemen Uttara juga sudah sangat banyak ruko, kos-kost, dll yang menggali air dibawah. Secara konsep geologi, tidak mungkin bahwa lokasi apartemen yang sangat dekat pemukiman tidak akan mengganggu persediaan air warga.

Pembuangan limbah

Pembuangan limbah
Bangunan hampir 300 kamar beserta ruangan dan kegiatan lainnya pasti menghasilkan berbagai limbah, missal dapur sampai cucian. Padahal berada di tengah pemukiman warga Karangwuni. Dari pihak apartemen pun tidak ada kepastian mengenai mau dibuang ke mana limbah-limbah tersebut.
Dampak lain yang timbul
Seiring pembangunan ringroad membuat lahan resapan air semakin berkurang, membuat banjir dari air hujan di jalan raya ringroad mengalir ke selatanBanjir yang terjadi akan semakin parah, konsep pembangunan Apartemen Uttara tidak menyediakan lahan resapan air.
Apartemen Uttara: banyak mobil di dalam 3 lantai basement, dibangun persis di pinggir Jakal

Usaha Karangwuni menjaga norma kekeluargaan dan gotongroyong

Pembangunan apartemen dengan hampir 300 kamar ini tentunya akan menghasilkan berbagai limbah, baik limbah dapur sampai limbah cucian. Padahal, Apartemen Uttara berada di tengah pemukiman warga Karangwuni. Limbah ini mau tidak mau pasti akan mempengaruhi lingkungan warga Karangwuni. Dari pihak apartemen pun tidak ada kepastian mengenai mau dibuang ke mana limbah-limbah tersebut.
Banjir yang semakin parah seiring maraknya pembangunan yang dilakukan di sekitar jalan raya ringroad membuat lahan resapan air semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan banjir di pemukiman warga Karangwuni karena air hujan di jalan raya ringroad pasti akan mengalir ke selatan. Warga Karangwuni kemudian meninggikan pondasi rumah mereka, sehingga harapannya dapat terhindar dari banjir. Namun, dengan adanya Apartemen Uttara, masyarakat Karangwuni menjadi khawatir kembali apabila banjir yang terjadi akan semakin parah. Terlebih lagi, konsep pembangunan Apartemen Uttara tidak menyediakan lahan resapan air
Kemacetan Jalan Kaliurang sekarng sudah sangat padat. Setiap jam berangkat atau pulang kerja, Jalan Kaliurang tidak lepas dari kemacetan. Hal ini akan diperparah jika Apartemen Uttara benar-benar dibangun. Dapat dibayangkan akan ada berapa ratus mobil di dalam 3 lantai basement Apartemen Uttara. Terlebih lagi, Apartemen Uttara dibangun persis di pinggir Jalan Kaliurang. Tentunya, keberadaan Apartemen Uttara ini akan menambah kemacetan di Jalan Kaliurang. Tidak dapat dibayangkan semacet apa jalan Kaliurang nanti setelah pembangunan Apartemen Uttara ini
Hilangnya norma masyarakat dan muncul budaya hedon Masyarakat Yogyakarta, khususnya Karangwuni, masih menjaga norma kekeluargaan dan kegotongroyongan. Namun, dengan dibangunnya Apartemen Uttara, akan muncul individu-individu lain yang tidak mengenal norma-norma ini. Para penghuni apartemen biasanya cenderung bersifat individual dan perilakunya pun tidak dapat dikontrol.

B.         Peran Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan kasus penolakan pembangunan Apartemen Uttara oleh Warga Karangwuni

Dasar hukum mendirikan bangunan dijelaskan di Keputusan Bupati Sleman No 53/Kep.KDH/A/2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No 19 Tahun 2001: Bupati merupakan sentral pemberian izin terhadap penggunaan tanah di Kabupaten Sleman.
Sejalan dengan Perda No 19 Tahun 2001 Bab II tentang Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah Pasal 2 yang berbunyi:
Setiap orang pribadi dan atau badan yang menggunakan tanah untuk kegiatan pembangunan fisik dan atau untuk keperluan lain yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya dan lingkungan wajib memperoleh izin peruntukan penggunaan tanah dari Bupati.”

Perizinan yang bupati-sentris tertera di Peraturan Bupati Tahun 2003 Pasal 4 Poin “d” yang menyatakan bahwa tanah atau teritori yang telah ditetapkan secara khusus oleh bupati tak perlu lagi memperoleh izin lokasi. Pasal 9 terkait permukiman sampai perhotelan
Alasan diberikan izin pembangunan Uttara: karena Depok ditetapkan sebagai zona pembangunan ekonomi, sehingga pemerintah memprioritaskan pembangunan gedung di bidang perdagangan dan jasa. Tersebut tertera dalam pasal 26 E, Peraturan Bupati Tahun 2003
Dari segi yuridis, masalah utama: detail jenis peruntukkan tanah yang wajib memiliki izin, tidak menyebutkan apartemen baik Perda maupun PerBup. Sifat Perda cenderung bupati-sentris, kewenangan besar bupati memberikan perizinan yang dianggap mampu mendongkrak sektor-sektor sosial, budaya, dan ekonomi.

Dalam kasus pembangunan Apartemen Uttara, Bupati Sleman selaku jajaran eksekutif bertidak sebagai fasilitator antara PT. Bukit Alam Permata dengan masyarakat Padukuhan Karangwuni. Pada tanggal 11 Juni 2014, Bupati Sleman berusaha menengahi konflik kedua belah pihak. Bupati mengundang LBH yang mewakili warga atas nama Rita Dharani dalam acara pembahasan koordinasi aduan warga terhadap pembangunan apartemen. Dasar hukum dalam mendirikan bangunan sangat banyak dijelaskan di Keputusan Bupati Sleman No 53/Kep.KDH/A/2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No 19 Tahun 2001. Perda dan Perbup telah menyatakan bahwasanya bupati merupakan sentral pemberian izin terhadap penggunaan tanah di Kabupaten Sleman. Hal ini sejalan dengan Perda No 19 Tahun 2001 Bab II tentang Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah Pasal 2 yang berbunyi:
“Setiap orang pribadi dan atau badan yang menggunakan tanah untuk kegiatan pembangunan fisik dan atau untuk keperluan lain yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya dan lingkungan wajib memperoleh izin peruntukan penggunaan tanah dari Bupati.”
            Bukti yuridis lain yang dapat ditemui terkait dengan perizinan yang bupati-sentris adalah sebagaimana yang tertera di Peraturan Bupati Tahun 2003 Pasal 4 Poin D yang menyatakan bahwa tanah atau teritori yang telah ditetapkan secara khusus oleh bupati tak perlu lagi memperoleh izin lokasi. Di sisi lain, DPRD Komisi A, menolak adanya pembangunan apartemen disebabkan oleh belum adanya Perda yang mengatur tentang pembangunan apartemen. Sebagai bukti penolakan, DPRD Komisi A telah melayangkan surat kepada bupati karena telah memberikan Izin Pengguunaan Tanah (IPT). Izin untuk mendirikan bangunan banyak disebut dalam Peraturan Bupati Tahun 2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Daerah No 19 Tahun 2001, namun tidak secara spesifik menyebutkan apartemen sebagai jenis peruntukkan tanah yang wajib memiliki izin. Tertera di Pasal 9 Peraturan Bupati Tahun 2003 jika pada Poin “a” dan “d” sebagai berikut:
a. Permukiman:
1. Perumahan dengan ketentuan = 4 (empat) unit dalam 1 (satu) lokasi,
2. Pondokan dengan ketentuan = 10 (sepuluh) kamar tidur,
3. Rumah sewa dengan ketentuan = 4 (empat) unit dalam 1 (satu) lokasi.
d. Perhotelan dan sejenisnya dengan ketentuan  untuk semua keluasan.
Alasan diberikannya izin pembangunan terhadap korporasi Uttara dikarenakan kecamatan Depok ditetapkan sebagai zona pembangunan ekonomi, sehingga pemerintah memprioritaskan pembangunan gedung di bidang perdagangan dan jasa. Lebih detail, hal tersebut tertera dalam pasal 26 E, Peraturan Bupati Tahun 2003, sebagai berikut:
“Wilayah aglomerasi meliputi seluruh wilayah Kecamatan Depok, sebagian wilayah Kecamatan Gamping, Kecamatan Godean, Kecamatan Mlati, Kecamatan Ngaglik, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Berbah, Kecamatan Kalasan dan Kecamatan Sleman, dominasi peruntukan penggunaan tanah untuk:
1.      kegiatan pendidikan tinggi,
2.      kegiatan pengembangan jasa wisata,
3.      kegiatan perdagangan dan jasa,
4.      kegiatan industri kecil,
5.      kegiatan pengembangan perumahan dan permukiman, dengan koefisien dasar bangunan sebesar-besarnya 60 % (enam puluh persen).”
Dari pemaparan di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwasannya dari segi yuridis, masalah utama terletak pada detail jenis peruntukkan tanah yang wajib memiliki izin, yang di dalamnya secara jelas tidak menyebutkan apartemen baik dari segi Peraturan Daerah No 19 Tahun 2001 maupun Peraturan Bupati Tahun 2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari perda terkait. Sifat Perda juga cenderung bupati-sentris yang memberikan kewenangan besar kepada bupati untuk memberikan perizinan penggunaan tanah terutama yang mampu mendongkrak sektor-sektor sosial, budaya, dan ekonomi. Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD) Sleman juga megungkapkan bahwa PT. Bukit Alam Permata sudah memenuhi aspek legal formal karena mereka telah memenuhi syarat sesuai Perda 19/001 dan Perbup 11/2007.
Menurut DPPD Sleman, Pemkab tidak memilki alasan untuk menolak izin yang diajukan PT. Bukit Alam Permata. Kepala Kantor Perizinan Sleman memberikan tanggapan bahwa sebenarnya pembangunan tidak membutuhkan persetujuan dari warga sekitar, namun yang dibutuhkan adalah adanya sosialisasi kepada warga. Di sisi lain, DPRD Komisi A menolak dengan alasan daerah Karangwuni merupakan salah satu daerah konservasi. DPRD Komisi A menyarankan adanya daerah kawasan khusus pembangunan. DPRD juga menanyakan perihal belum adanya izin mengenai aturan tata ruang. Perda yang menjadi acuan pemberian izin Apartemen Uttara juga dipertanyakan oleh komisi A karena Perda 11/2007 tidak sesuai dengan izin yang diajukan. Seharusnya ada Perda baru yang dibuat dan itu setara dengan Perda 12/2012 tentang RT/RW. Seperti yang terlontar di sebuah artikel di Koran lokal Tribun Jogja tanggal 13 Mei 2014, Sleman belum mempunyai peraturan daerah yang mangatur jelas mengenai pembangunan apartemen, dan hal ini kemudian memicu konflik yang terjadi antara pihak apartemen dan masyarakat. 
Melalui penjabaran kami di atas, menurut analisis kami, pihak pemerintah dalam menanggapi konflik antara PT. Bumi Alam Permata dan padukuhan Karangwuni tersebut tidak berpendapat tunggal. Selain itu, dapat dilihat bahwa ada banyak kepentingan yang terwakilkan oleh pemerintah, terlihat dari bupati dan DPPD yang pro terhadap pembangunan dan pihak DPRD komisi A yang menolak pembangunan. Bupati sebenarnya sudah melakukan agenda koordinasi dalam penyelesaian konflik, dengan bertindak sebagai fasilitator antara kedua belah pihak. Namun, di satu sisi bupati terlihat lebih mewakili kepentingan pihak pengusaha. Keberpihakan bupati ini terlihat dari pemberian IPT yang dijadikan landasan oleh PT. Bumi Alam Permata dalam membangun apartemen. Pemberian izin IPT seharusnya ditinjau ulang karena belum terdapat alasan yang kuat mengenai perizinan tersebut. Hal itu diperkuat dengan tidak adanya Perda mengenai pembangunan apartemen yang digunakan untuk landasan pemberian IPT dan yang digunakan oleh bupati hanya sebatas Perda 11/2007. Dari berbagai pandangan pemerintah itu terlihat bahwa di tubuh pemerintah tersebut tidak ada satu suara. Hal ini menjadi salah satu penghambat penyelesaian yang seharusnya cepat diambil oleh pemerintah. Masyarakat juga geram dengan lambatnya penyelesian, akibatnya timbullah gerakan yang diinisiasi oleh masyarakat Karangwuni untuk menolak pembangunan Apartemen Uttara dan mendesak segera dicabutnya izin IPT.
Bupati Sleman seharusnya sadar dan bertindak cepat, bahwa pembangunan Apartemen Uttara tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Karena Kabupaten Sleman belum memiliki Perda mengenai pembangunan Apartemen dan RTRW yang jelas mengenai pusat pembangunan hunian bagi masyarakat kelas atas. Bupati Sleman beserta jajarannya tidaklah pantas meloloskan begitu saja izin-izin yang terkait Apartemen Uttara dengan alasan syarat telah terpenuhi, warga yang protes hanya sedikit, sudah terlanjur dipasarkan, dll. Sebagai pemilik peran paling strategis di sini, Bupati Sleman harus tegas. Bupati Sleman harus mencontoh sikap Walikota Surabaya ketika mendengar kabar pembangunan Pasar Turi tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan, Walikota langsung turun ke lapangan dan memaksa pengembang untuk membongkar bangunan sesuai desain awal yang disetujui.
Pada kasus Apartemen Uttara ini, kalaulah memang izin pihak pengembang kepada warga awalnya adalah kos eksklusif. Maka hal itu harus dipenuhi dan dikembalikan ke awal lagi. Jangan sampai pihak pengembang melanjutkan pembangunan apartemen tanpa warga sekitar memberikan persetujuan. LBH, Aktivis, masyarakat dan pihak-pihak lain yang menentang pembangunan Apartemen Uttara ini juga harus lebih luas dalam mengawasi dan mengawal pembangunan apartemen. Misal jika memang terjadi indikasi kuat pemberian izin yang tidak sesuai dengan syarat, namun dari dinas-dinas terkait tetap memberikanya. Maka hal tersebut dapat dicatat, dikumpulkan bukti-buktinya untuk kemudian di laporkan dan di blow up ke media. Kita harus mencurigai adanya permainan dan praktek KKN dalam perizinan Apartemen Uttara ini. Bagaimana mungkin kita harus percaya birokrat yang berkata bahwa Apartemen tidak membutuhkan izin dari warga, padahal untuk membangun toko usaha kecil saja harus ada izin gangguan dari warga sekitar.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Pembangunan Apartemen Uttara seharusnya ditinjau ulang perizinnya.
Karangwuni daerah konservasi, namun dibangun apartemen
Sleman belum memiliki peraturan jelas dan spesifik terkait pembangunan apartemen.
Bertentangan dengan asas tata guna usaha khususnya pasal 13 (1) UUPA: Pemerintah tidak bertindak cepat, cenderung memihak

Asas fungsi sosial: terpengaruh karena berkurangnya hak atas kehidupan yang layak

Pembangunan Apartemen Uttara seharusnya ditinjau ulang perihal izin-izinnya. Disamping izinnya yang belum jelas tersebut, sebenarnya Daerah Karangwuni pun merupakan daerah konservasi, namun oleh investor malah dibangun Apartemen Uttara. Kekeliruan dalam hal izin Apartemen Uttara, berdampak terhadap pembangunan Apartemen Uttara yang berlangsung lama. Di samping itu Daerah Sleman pun sebenarnya belum memiliki peraturan terkait pembangunan apartemen.
            Pada kasus ini tentu bertentangan dengan asas agraria yaitu asas tata guna usaha, dilihat dari pasal 13 (1) UUPA, dalam hal ini Pemerintah tidak bertindak cepat dalam penyelesaian pembangunan Apartemen Uttara, sehingga tidak dapat meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat, serta tidak menjamin Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga bagi setiap warganegara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya, justru pembangunan Apartemen Uttara yang berlangsung lama tersebut malah meresahkan masyarakat, menimbulkan konflik dengan masyarakat dikarenakan izin-izin beserta prosedur sosialisasi yang menyalahi aturan.
            Pemda yang merupakan representasi warga seharusnya dapat mengakomodasi tuntutan dari warga sebagai perwujudan fungsi Negara dalam memproteksi warganya. Pemda Kabupaten Sleman maupun Propinsi DIY harus memainkan peran yang jelas, antara mendukung pembangunan apartemen atau menolak secara tegas. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sleman harus mampu dan mau menindak tegas pelaku pengembangan apartemen yang telah menyalahi peraturan yang ada, disamping itu juga, Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman juga harus membuat payung hukum dan alur yang jelas dalam proses pembangunan, tidak hanya untuk apartemen saja, secaraumum seluruh bentuk bangunan tinggi yang ada di wilayah Kabupaten Sleman.
            Dampak yang ditimbulkan kemudian yang berkaitan dengan aspek fungsi social, mengingat daerah yang menjadi tempat tinggal Warga Karangwuni yang berhadapan langsung dengan Apartemen Uttara, yakni usaha Karangwuni menjaga norma kekeluargaan dan gotongroyong, berbenturan dengan apartemen yang jauh dari kedua norma tersebut karena sikap yang individualis dan tidak transparan. Hal ini diperparah dengan tempat tinggal Warga Karangwuni berpotensi mendapat kiriman banjir dari Ringroad Utara karena aliran air hujan yang turun dari utara menuju selatan, juga tidak adanya resapan air karena pembangunan Apartemen Uttara, bersamaan dengan semakin sulit mendapatkan air bersih, berpotensi berkurangnya hak Warga Karangwuni atas kehidupan yang layak, yangmana dapat berdampak negative dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan sebagai satu warga maupun tiap-tiap individunya.



[1] Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
[2] Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 160
[3] Pasal 1 angka 1 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Hidup
[4] Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hlm. 75

1 komentar:

  1. Ini bukan konflik, melainkan persaingan bisnis. Pemain lama merasa terusik.

    BalasHapus