Hukuman Mati Para
Koruptor: Dilema HAM dan Kesejahteraan Rakyat
Bahan Debat dan Hasil Diskusi
Kelompok Inanwatan Palapa UGM 2013
Teten Masduki, Mantan Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW), mendukung hukuman mati bagi koruptor.
"Saya setuju hukuman mati terhadap para koruptor. Seorang megakoruptor
lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran," cetus Teten di Media
hukumonline. Di mata Teten, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar
biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan
pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM di berbagai tempat
meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis. Begitu pula, para
koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancur
perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut
menanggung derita. Teten berpendapat, para koruptor yang harus dihukum mati
adalah para koruptor yang 'merampok' uang negara miliaran rupiah, seperti kasus
dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri, seperti karyawan yang mencuri di kantornya.
"Saya sudah muak. Jadi, sebaiknya para koruptor itu dihukum mati,"
tegas Teten.
Kegeraman Teten cukup beralasan.
Banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah akhirnya
divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko S. Tjandra,
Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI bank Modern (Samadikun Hartono), Dana BPUI
(Sudjiono Timan). Para koruptor itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari
jerat hukum.
Dukungan Hukuman Mati
Hukumam mati untuk koruptor dinilai
tidak melanggar nilai-nilai Pancasila, baik terkait sila pertama Ketuhanan Yang
Maha Esa, maupun sila kedua Kemanusian yang Adil dan Beradab. Justru penerapan
hukuman mati terhadap pelaku tindak kejahatan luar biasa tersebut sesuai dengan
Pancasila demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Demikian disampaikan Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia
Akhiar Salmi dalam dialog pilar negara “Penegakan Hukum Terhadap Koruptor” di
Gedung MPR, Jakarta.
“Hukuman mati terhadap koruptor tidak
bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maupun sila Kemanusian yang
Adil dan Beradab. Justeru hukuman mati untuk korupsi bisa mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Dengan hukuman mati, semua orang
takut untuk korupsi. Dengan tidak ada korupsi, maka uang negara bisa digunakan
untuk kesejahteraan rakyat,” tegas Akhiar. Pandangan dia itu menyikapi
pandangan sejumlah kalangan selama ini bahwa hukuman mati bagi koruptor tidak
sesuai dengan Pancasila, karena selain kejam dan tidak berperikemanusiaan juga
melanggar hak Tuhan sebagai satu-satunya yang berhak mengambil nyawa seseorang.
Menurut Akhiar, tidak ada satupun orang yang tidak takut dengan hukuman mati,
terutama para koruptor. Sebab, pada dasarnya sifat korupsi itu adalah hedon
(menyenangkan) dan pelaku korupsi itu
adalah orang yang ingin hidup bermewah-mewahan. Jika koruptor tahu akan
dijatuhi hukuman mati, ia akan takut melakukan tindak penyelewengan jabatan
untuk kepentingan pribadinya.
Dikatakan, Kejahatan korupsi lebih
sadis daripada kejahatan teroris dan kriminal lainnya. Korbannya bukan saja
seseorang, tapi generasi bangsa dan negara ke depan. “Tanpa hukuman mati, orang
tidak akan takut melakukan korupsi. Pejabat Negara tidak akan pernah berhenti
menyalahgunakan wewenang. Jadi saya yakin kalau hukuman mati diberlakukan,
korupsi pasti akan hilang dengan sendirinya,” tegas dia.
Bertentangan dengan HAM
Namun, para aktivis di bidang
penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap para koruptor kakap
sekalipun. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM, UUD
1945, dan Pancasila.
Asmara Nababan, Mantan Direktur
Eksekutif Demos, misalnya, mengusulkan agar hukuman mati dicabut. Alasannya,
penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan internasional. Konvenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966 yang berlaku sejak 1976,
antara lain menyebutkan larangan hukuman mati dan memberikan hak untuk hidup. Hingga
9 Desember 2002, tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi terhadap
kovenan ini. Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula
melakukan ratifikasi/aksesi terhadap Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death
Penalty.
Selain itu, hukuman mati dinilai
bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusian yang adil dan
beradab." Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan Pasal 28A dan 28
I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun. Menurut
Asmara, ancaman hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan dendam
kepada penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun, hukuman mati tidak
akan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana lainnya. "Tidak
ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera di masyarakat,"
ujar mantan Sekjen Komnas HAM ini kepada hukumonline.
Tidak ada korelasi
Asmara juga tidak setuju jika para
koruptor dihukum mati. "Belum terbukti, negara yang menerapkan hukuman
mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu korelasinya. Korelasinya adalah
pada pengawasan dan pertanggungjawaban," katanya.
Bhatara Ibnu Reza, peneliti
Imparsial, sependapat dengan Asmara bahwa tidak ada korelasi langsung antara
hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Ia mencontohkan, Negeri
China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati di China. Tapi
buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling
korupsi di dunia," katanya. Sejak 1999, Cina memang mengkampanyekan
pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Pada akhir 2000, Cina telah
membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina
di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti
bersalah dan 11 orang dihukum mati.
Pada 9 Maret 2001 nasib buruk menimpa
Hu Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya
ditolak oleh MA. Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum mati setelah
terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti
senilai AS$200.000. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian
dijadikan semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina.
"Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai," demikian
semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM
Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu "Mr Clean".
Sulit dilaksanakan
Tampaknya, Indonesia belum akan
menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.
Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat
penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor. Belum
lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Munarman
dari YLBHI atau Munir dari Imparsial termasuk yang menolak hukuman mati.
Bahkan, mengusulkan lebih baik Pemerintah mengefektifkan lembaga grasi sebagai
alat untuk menolak penerapan pidana mati.
Ada ungkapan menarik dari Ketua
Mahkamah Agung (MA) terhadap mereka yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak
sesuai dengan UUD 1945. "Bagus juga teman-teman kita ini berpikir seperti
itu. Tapi kalau saya tidak salah, orang-orang
yang sama beberapa waktu lalu menyatakan koruptor harus diberi hukuman mati.
Tapi sekarang, mereka mengatakan hukuman
mati bertentangan dengan UUD. Tapi tidak apa-apa, orang Indonesia kan dinamis
berpikir," ungkap Bagir. Sayang, Bagir tidak menyebutkan orang-orang yang
berubah pikiran. Bagir juga menyebutkan bahwa pengertian hak untuk hidup dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang
untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena.
Penegakkan hukum di Indonesia pun
tampak sangat pandang bulu dalam menentukkan hukuman bagi para koruptor.
Ditambah lagi para hakim dan jaksa yang bisa disuap, saksi yang bisa dibeli
menjadikan hukum seperti permainan yang skenarionya dapat diputarbalikkan.
Hakim yang gajinya dinaikkan untuk menghindari kasus suap hakim ternyata tidak
terlalu merubah wajah keadilan hukum di Indonesia. Padahal mereka adalah garda
terdepan dalam penentuan keadilan pada setiap kasus korupsi dimana mereka
harusnya punya idealisme keadilan dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Lalu, bagaimana dengan para koruptor
yang telah melakukan kejahatan ekonomi. Pantaskah hukuman mati bagi mereka yang
telah menguras uang negara dan menyengsarakan masyarakat? Bagaimana pendapat
Anda?
Debat: Aktivis HAM VS Kesejahteraan Rakyat (Aparat Penegak Hukum)
Kesimpulan: permasalahan penegakkan keadilan oleh aparat penegak hukum
bukan semata-mata karena mereka tidak sejahtera, namun dikarenkan karakter dan
mafia hukum yang sudah menggurita. Pelaksanaan hukuman mati bukanlah suatu yang
asing bagi Indonesia, dahulu para pelaku PKI di hokum mati semua didepan
masyarakat. Karena mereka mengancam kedaulatan dan persatuan Indonesia, tak
ubahnya pelaku koruptor juga demikian, bahkan membuat Negara terus miskin
terlilit hutang tidak jelas.
Solusi:
- Tegakkan keadilan sebenar-benarnya tanpa pandang bulu dengan membersihkan aparatur penegak hukum dari mafia hukum
- Memberikan batasan yang jelas bahwa hukum tidak sama dengan bisnis bahwa bisa diperjualbelikan seenaknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar