Minggu, 23 November 2014

Hukuman Mati Para Koruptor; Dilema HAM dan Kesejahteraan Rakyat



Hukuman Mati Para Koruptor: Dilema HAM dan Kesejahteraan Rakyat

Bahan Debat dan Hasil Diskusi
Kelompok Inanwatan Palapa UGM 2013

Teten Masduki, Mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), mendukung hukuman mati bagi koruptor. "Saya setuju hukuman mati terhadap para koruptor. Seorang megakoruptor lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran," cetus Teten di Media hukumonline. Di mata Teten, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis. Begitu pula, para koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancur perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut menanggung derita. Teten berpendapat, para koruptor yang harus dihukum mati adalah para koruptor yang 'merampok' uang negara miliaran rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri, seperti karyawan yang mencuri di kantornya. "Saya sudah muak. Jadi, sebaiknya para koruptor itu dihukum mati," tegas Teten.
Kegeraman Teten cukup beralasan. Banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah akhirnya divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko S. Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI bank Modern (Samadikun Hartono), Dana BPUI (Sudjiono Timan). Para koruptor itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum.

Dukungan Hukuman Mati
Hukumam mati untuk koruptor dinilai tidak melanggar nilai-nilai Pancasila, baik terkait sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maupun sila kedua Kemanusian yang Adil dan Beradab. Justru penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak kejahatan luar biasa tersebut sesuai dengan Pancasila demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian disampaikan Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Akhiar Salmi dalam dialog pilar negara “Penegakan Hukum Terhadap Koruptor” di Gedung MPR, Jakarta.
“Hukuman mati terhadap koruptor tidak bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maupun sila Kemanusian yang Adil dan Beradab. Justeru hukuman mati untuk korupsi bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Dengan hukuman mati, semua orang takut untuk korupsi. Dengan tidak ada korupsi, maka uang negara bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat,” tegas Akhiar. Pandangan dia itu menyikapi pandangan sejumlah kalangan selama ini bahwa hukuman mati bagi koruptor tidak sesuai dengan Pancasila, karena selain kejam dan tidak berperikemanusiaan juga melanggar hak Tuhan sebagai satu-satunya yang berhak mengambil nyawa seseorang. Menurut Akhiar, tidak ada satupun orang yang tidak takut dengan hukuman mati, terutama para koruptor. Sebab, pada dasarnya sifat korupsi itu adalah hedon (menyenangkan) dan  pelaku korupsi itu adalah orang yang ingin hidup bermewah-mewahan. Jika koruptor tahu akan dijatuhi hukuman mati, ia akan takut melakukan tindak penyelewengan jabatan untuk kepentingan pribadinya.
Dikatakan, Kejahatan korupsi lebih sadis daripada kejahatan teroris dan kriminal lainnya. Korbannya bukan saja seseorang, tapi generasi bangsa dan negara ke depan. “Tanpa hukuman mati, orang tidak akan takut melakukan korupsi. Pejabat Negara tidak akan pernah berhenti menyalahgunakan wewenang. Jadi saya yakin kalau hukuman mati diberlakukan, korupsi pasti akan hilang dengan sendirinya,” tegas dia.

Bertentangan dengan HAM
Namun, para aktivis di bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap para koruptor kakap sekalipun. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila.
Asmara Nababan, Mantan Direktur Eksekutif Demos, misalnya, mengusulkan agar hukuman mati dicabut. Alasannya, penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan internasional. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966 yang berlaku sejak 1976, antara lain menyebutkan larangan hukuman mati dan memberikan hak untuk hidup. Hingga 9 Desember 2002, tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi terhadap kovenan ini. Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula melakukan ratifikasi/aksesi terhadap Second Optional Protocol of  ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death Penalty.
Selain itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusian yang adil dan beradab." Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan Pasal 28A dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun. Menurut Asmara, ancaman hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan dendam kepada penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana lainnya. "Tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera di masyarakat," ujar mantan Sekjen Komnas HAM ini kepada hukumonline.

Tidak ada korelasi
Asmara juga tidak setuju jika para koruptor dihukum mati. "Belum terbukti, negara yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu korelasinya. Korelasinya adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban," katanya.
Bhatara Ibnu Reza, peneliti Imparsial, sependapat dengan Asmara bahwa tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Ia mencontohkan, Negeri China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati di China. Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling korupsi di dunia," katanya. Sejak 1999, Cina memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Pada akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.
Pada 9 Maret 2001 nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh MA. Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum mati setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti senilai AS$200.000. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina. "Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai," demikian semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu "Mr Clean".

Sulit dilaksanakan
Tampaknya, Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.  Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor. Belum lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Munarman dari YLBHI atau Munir dari Imparsial termasuk yang menolak hukuman mati. Bahkan, mengusulkan lebih baik Pemerintah mengefektifkan lembaga grasi sebagai alat untuk menolak penerapan pidana mati.
Ada ungkapan menarik dari Ketua Mahkamah Agung (MA) terhadap mereka yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan UUD 1945. "Bagus juga teman-teman kita ini berpikir seperti itu. Tapi kalau saya tidak salah,  orang-orang yang sama beberapa waktu lalu menyatakan koruptor harus diberi hukuman mati. Tapi sekarang, mereka  mengatakan hukuman mati bertentangan dengan UUD. Tapi tidak apa-apa, orang Indonesia kan dinamis berpikir," ungkap Bagir. Sayang, Bagir tidak menyebutkan orang-orang yang berubah pikiran. Bagir juga menyebutkan bahwa pengertian hak untuk hidup  dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena.
Penegakkan hukum di Indonesia pun tampak sangat pandang bulu dalam menentukkan hukuman bagi para koruptor. Ditambah lagi para hakim dan jaksa yang bisa disuap, saksi yang bisa dibeli menjadikan hukum seperti permainan yang skenarionya dapat diputarbalikkan. Hakim yang gajinya dinaikkan untuk menghindari kasus suap hakim ternyata tidak terlalu merubah wajah keadilan hukum di Indonesia. Padahal mereka adalah garda terdepan dalam penentuan keadilan pada setiap kasus korupsi dimana mereka harusnya punya idealisme keadilan dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Lalu, bagaimana dengan para koruptor yang telah melakukan kejahatan ekonomi. Pantaskah hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan masyarakat? Bagaimana pendapat Anda?

Debat: Aktivis HAM VS Kesejahteraan Rakyat (Aparat Penegak Hukum)
Kesimpulan: permasalahan penegakkan keadilan oleh aparat penegak hukum bukan semata-mata karena mereka tidak sejahtera, namun dikarenkan karakter dan mafia hukum yang sudah menggurita. Pelaksanaan hukuman mati bukanlah suatu yang asing bagi Indonesia, dahulu para pelaku PKI di hokum mati semua didepan masyarakat. Karena mereka mengancam kedaulatan dan persatuan Indonesia, tak ubahnya pelaku koruptor juga demikian, bahkan membuat Negara terus miskin terlilit hutang tidak jelas.
Solusi:
  1. Tegakkan keadilan sebenar-benarnya tanpa pandang bulu dengan membersihkan aparatur penegak hukum dari mafia hukum
  2. Memberikan batasan yang jelas bahwa hukum tidak sama dengan bisnis bahwa bisa diperjualbelikan seenaknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar