Minggu, 11 Desember 2011

Ketabahan Guritno

(Resensi Buku)



Judul Buku : Bunga Bunga Hari Esok
Pengarang : Sasmito
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, 2000
Tebal Buku : 124 Halaman
Ukuran Buku : 141 mm x 206 mm

MILIK NEGARA
TIDAK DIPERDAGANGKAN

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itulah yang dirasakan oleh Guritno dan Pucung, adiknya. Bahkan lebih dari itu! Namun, Tuhan itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Tuhan akan selalu mendengar permohonan hamba-Nya, dan akan dikabulkan bila disertai kesungguhan, serta tidak mudah putus asa. Karenanya, nasib seseorang bisa saja berubah.
Kepergian ibunya ibunya dirasakan sangat berat bagi mereka, Guritno dan Pucung. Sedangkan ayahnya, telah meninggal tiga tahun yang lalu. Sekarang, keduanya adalah anak yatim-piatu. Apalagi mereka masih bocah. Masih sangat membutuhkan uluran tangan dan bimbingan orang tua tercinta. Asmaradhana, yang sering disapa Mas As, turut merasakan kesedihan mereka yang begitu mendalam. Apalagi, Pucung adalah muridnya sendiri di SD Merbuh II. Namun, semua itu tidak membuat mereka putus asa begitu saja. Setelah mereka merelakan kepergian ibunda tercinta. Setelah mereka berusaha melupakan kesedihan mereka. Setelah mereka bersandar pada yang Maha Pencipta. Serta dukungan dari orang-orang terdekat. Itulah yang membuat mereka tetap tegar menghadapi pahitnya kenyataan hidup.
Gurit, begitulah ia disapa. Setiap harinya, ia menjadi pangon (orang yang merawat hewan ternak) di tempat Bu Pangkur, janda yang kaya dan baik hati. Bagaimana tidak? Biaya sekolah Pucung beliau yang membiayai. Selain itu, ia juga harus mengambil air untuk Bu Parijoto. Juga menjadi penggembala kambing dan membajak sawah di desa Merbuh. Ia hanya bisa bangga, melihat adiknya mendapat nilai yang memuaskan di sekolah. Pernah suatu ketika, Pucung mendapatkan nilai 10 ulangan matematika, saat masih kelas III. Tentu saja, ia ikut senang. Meski ia tak tahu apa itu matematika. Ya, Gurit adalah seorang anak yang buta huruf, juga tak mengenal angka. Kecuali dalam menghitung uang. Sampai akhirnya, ia ditawarkan Mas As untuk sekolah di KBPD, artinya Kelompok Belajar Pendidikan Dasar, yang bisa menampung segala umur. Kira-kira, saat Gurit berumur 16 tahun.
Salah satu keunikan buku fiksi ini ialah, ketika sang penulis menggambarkan rasa ‘cinta’ Gurit kepada Mbak Kinanti, seorang sarjana muda dari TKS atau Tenaga Kerja Sukarela, yang nantinya ikut mengurusi dan mengajar di KBPD. Yang ditunjukkan dari sikap Gurit yang gagap dan rikuh, kala melihat pertama kali sosok bertubuh ramping itu. Juga rambutnya yang panjang dan hitam bergelombang. Sesuatu yang ia sendiri tak dapat menceritakannya.
Semenjak bersekolah di KBPD, Gurit selalu bersungguh-sungguh. Tekadnya sangat kuat untuk mengubah dirinya, yang tadinya hanyalah seorang buta huruf dan buta angka. Semua itu tidak luput dari duungan Mas As, Mbak Kinanti, Pak Bayan (Pak Lurah desa Merbuh), juga Mbak Slendro. Selain bersekolah, Gurit juga mempunyai usaha sampingan, yaitu usaha minyak tanah dan membuat batu merah. Gurit sendiri belajar membuat batu merah dari Pak Sinom dan Mas Kumambang. Usaha sampingannya tak membuat belajar Gurit terganggu. Yang pada akhirnya, ia memperoleh STBS, yaitu Surat Tanda Serta Belajar, sampai akhirnya bisa mengikuti ujian persamaan. Bahkan, bersama Bawang temannya, ia memperoleh penghargaan siswa KBPD berprestasi. Juga memenangkan lomba cerdas tangkas P4 se-kecamatan Singorojo, bersama Bawang dan Slendro.
Ia pun juga membenah tempat tinggalnya itu, dengan ditanami berbagai tumbuhan dan bunga yang indah, serta merenovasi bangunan tua itu. Kebetulan, rumahnya juga mendapat bantuan untuk membuat pagar, seperti beberapa rumah lainnya. Tak hanya itu, Gurit juga sangat membantu dalam pembangunan di desa Merbuh. Gurit juga menjadi ketua KBU atau Kelompok Belajar Usaha, yang berkembang menjadi KUB atau Kelompok Usaha Bersama. KUB itu nantinya memenangkan lomba kelompok belajar usaha tingkat kecamatan. Keberhasilannya selama ini, membuat Gurit , juga Bawang, yang akhirnya mendapat beasiswa untuk bersekolah di SMFA, yaitu Sekolah Farming Menengah Atas. Usaha Gurit berupa minyak tanah dan membuat batu merahpun juga berkembang pesat. Yang membuatnya juga menjadi usahawan muda.
Sampai pada akhirnya, datanglah SK atau Surat Keputusan yang memerintahkan Mas As dan Mbak Kinanti untuk kembali ke asalnya. Sebelumnya, mereka membuat kenang-kenangan terakhir dengan mendaki bersama ke Gunung Ungaran. Yang beranggotakan Mbak Kinanti, Mas As, Mas Laras, Mas Kumambang, Megatrug, Gurit, Bawang, Pucung, serta Mbak Slendro dan teman sekolahnya, yaitu Titi, Dewi, juga seorang pemuda bernama Galuh.
Sisi kelebihan buku yang ditulis oleh Sasmito ini ialah, ketika menggambarkan suasana kesejukan di desa, yang jarang bahkan tak pernah dinikmati di kota. Juga suasana di siang maupun malam hari, serta menggambarkan keadaan cuaca disekitar sana. Melalui rangkaian kata-kata yang sangat indah. Amanat yang terkandungpun sangat besar artinya. Namun terdapat beberapa kata yang salah penulisannya seperti: mBak, Yokyakarta, tarap, dan hurup.
Amanat yang sangat besar itu, disampaikan melalui nasihat mbak Kinanti kepada Gurit dan Bawang di dalam buku:
“Tapi harus kalian ingat… keberhasilan kalian tidak begitu saja datang. Harus didahului perjuangan yang ulet. Kemauan dan kemampuan yang tinggi, serta kesadaran untuk maju. Coba seandainya semua orang yang putus sekolah, atau belum sama sekali sekolah seperti kalian dahulu, meniru cara kalian yang sekarang ini. Sungguh! Keluhan pengangguran tidak akan terdengar atau meskipun ada, akan sangat kecil sekali.”
Ya, seandainya saja setiap pemuda di seluruh Tanah Air ini, mempunyai kesadaran yang tinggi seperti Gurit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar