Musik tradisional NAD
Berikut ini adalah alat musik yang sudah diketahui yang berlaku dalam masyarakat Aceh dari zaman endatu sampai sekarang ada 10 macam :
Arbab
Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut : Go Arab. Instrumen ini memakai bahan : tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai
Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.
Bangsi Alas
Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa.
Serune Kalee (Serunai)
Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya : Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.
Geundrang (Gendang)
Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.
Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.
Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis :
Yang dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh pada masa silam dijumpai didaerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya.
Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.
Canang
Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.
Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.
Celempong
Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.
Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.
***
Musik tradisional NTT
Musik Foy doa
Kabupaten Ngada Flores yang beribukota Bajawa mempunyai banyak ragam kesenian daerah. antara lain musik Foy Doa.Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan-peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih.Mungkin musik ini biasanya digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran. Sistem penalaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa.Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan , sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan.Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara.Perkembangan Musik Foy Doa, Awal mulanya musik Foy Doa dimainkan seara sendiri, dan baru sekitar 1958 musisi di daerah setempat mulai memadukan dengan alat-alat musik lainya seperti: Sowito, Thobo, Foy Pai, Laba Dera, dan Laba Toka. Fungsi dari alat-alat musik tersebut di atas adalah sebagai pengiring musik Foy Doa.
Alat music tiup
Foy pay
Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa.Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.
Knobe khabetas
Masyarakat Dawan peraya bahwa alat musik Knobe Kbetas telah ada sejak nenek moyang mereka berumah di gua-gua. Bentuk alat musik ini sama dengan busur panah. Cara memainkannya ialah, salah satu bagian ujung busur ditempelkan di antara bibir atas dan bibir bawah, dan kemudian udara dikeluarkan dari kerongkongan, sementara tali busur dipetik dengan jari. Meripakan kebiasaaan masyarakat dawan di pedesaan apabila pergi berook tanam atau mengembala hewan mereka selalu membawa alat-alat musik seperti Leku, Heo, Knobe Kbetas, Knobe Oh, dan Feku. Sambil mengawasi kebun atau mengawasi hewan-hewan, maka musik digunakan untuk melepas kesepian. Selain digunakan untuk hiburan pribadi, alat musik ini digunakan juga untuk upacara adat seperti, Napoitan Li'ana (anak umur 40), yaitu bayi yang baru dilahirkan tidak diperkenankan untuk keluar rumah sebelum 40 hari. Untuk menyonsong bayi tersebut keluar rumah setelah berumur 40 hari, maka diadakan pesta adat (Napoitan Li'ana).
Knobe oh
Nama alat musik yang terbuat dari kilit bambu dengan ukuran panjang lebih kurang 12,5 cm. ditengah-tengahnya sebagian dikerat menjadi belahan bambu yang memanjang (semacam lidah) sedemikian halusnya, sehingga dapat berfungsi sebagai vibrator (penggetar). Apabila pangkal ujungnya ditarik dengan untaian tali yang terkait erat pada pangkalujung terseut maka timbul bunyi melalui proses rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.
Nuren
Alat musik ini terdapat di Solor Barat. Orang Talibura di Sikka Timur menyebut alat musik ini dengan nama Sason, apabula disebut seara puitis menjadi Sason Nuren. Secara etimologi Sason berarti jantan, dan Nuren berarti perempuan. Sason Nuren merupakan dua buha suling yang dimainkan oleh seorang sendirian, merupakan sebutan keramat, sakral, kesayangan, alat hiburan. Menurut cerita tua, seorang tokoh legendaris Solor Barat konon berkepala dua sekaligus memiliki rmulut dua. Orang Solor Barat menyebutnya dengan nama Edoreo sedangkan di bagian tengah Solor Barat menyebutnya dengan nama Labaama Kaha. Konon menurut erita ia pernah hidup 3-4 abad yang lalu. Konon menurut erita pula ia mampu meminkan Sason Nuren sekaligus, sehingga apabila sedang maminkan lat musik ini orang mengira ada dua pribadi yang sedang memainkan Sason Nuren. Menurut keperayaan penduduk setempat Sason Nuren merupakan suara para peri (nitun).
Sunding tongkeng
Nama alat musik tiup ini berhubungan dengan bentuk serta ara memainkannya, yaitu seruas bambu atau buluh yang panjangnya kira-kira 30 cm. Buku salah satu ujung jari dari ruas bambu dibiarkan. Lubang suara berjumlah 6 buah dan bmbu berbuku. Sebagian lubang peniutp dililitkan searik daun tala. Cara memainkan alat musik ini seperti memainkan flute. Karena posisi meniup yang tegak itu orang Manggarai menyebutnya Tongkeng, sedangkan sunding adalah suling., sehingga alat musik ini disebut dengan nama Sunding Tongkeng. Alat musik ini bisanya digunakan pada waktu malam hari sewaktu menjaga babi hutan di kebun. Memainkan alat musik ini tidak ada pantsngan, keuali lagu memanggil roh halus yaitu Ratu Dita
Prere
Alat bunyi-bunyian dari Manggarai ini terbuat dari seruas bambu keil sekeil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku ruaw bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar suaranya. Alat musik ini selain digunakan untuk hiburan pribadi, juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama alat ini disebut Prere.
Suling
Umumnya seluruh kabupaten yang ada di NTT memiliki instrumen suling bambu, seperti di Sumba terdapat suling hidung. Namanya demikian karena suling ini ditiup dari hidung. Kalau di Kabupaten Belu terdapat orkes suling dengan jumlah pemain ( 40 orang. Orkes suling ini terdiri dari suling pembawa melodi (suling keil), dan suling pengiring yang berbentuk silinder yaitu, suling alto, tenor, dan bass. Suling pengiring ini terdiri dari 2 bambu yang berbentuk silinder yaitu, bambu peniup berukuran keil dan bambu pengatur nada berbentuk besar.Suling melodi bernada 1 oktaf lebih, suling pengiring bernada 2 oktaf. Dengan demikian untuk meniptakan harmoni atau akord, maka suling alto bernada mi, tenor bernada sol, dan bass bernada do, atau suling alto bernada sol, tenor mi,dan dan bass bernada do.Cara memainkan : suling sopran atau pembawa melodi seperti memainkan suling pada umumnya, dan suling pengiring sementar bambu peniup dibunyikan, maka bambu pengatur nada digerakkan turun dan naik, yaitu sesuai dengan nada yang dipilih. Keualui pada sulign bass, bambu peniup yang digerakkan turun dan naik.Fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan hari-hari nasional.
Alat Musik Petik
Gambus
Alat musik diperkirakan masuk ke Flores Timur sejak masuknya agama Islam sekitar abad 15. Alat musik ini terbuat dari kayu, kulit hewan, senar, dan paku halus. Alat musik petik ini merupakan instrumen berdawai ganda yaitu, setiap nada berdawai dua/double snar. Dawai pertama bernada do, dawai kedua bernada sol. Dan dawai ketiga bernada re, atau dawai pertama bernada sol, dawai kedua bernada re, dan dawai ketiga bernada la. Fungsi alat musik ini untuk mengiringi lagu-lagu padang pasir.
Heo
Alat gesek (heo) terbuat dari kayu dan penggeseknya terbuat dari ekor kuda yang dirangkai menjadi satu ikatan yang diikat pada kayu penggesek yang berbentuk seperti busur (dalam istilah masyarakat Dawan ini terbuat dari usus kuskus yang telah dikeringkan). Alat ini mempunyai 4 dawai, dan masing-masing bernama :- dawai 1 (paling bawah) Tain Mone, artinya tali laki-laki- dawai 2 Tain Ana, artinya tali ana- dawai 3 Tain Feto, artinya tali perempuan- dawai 4 Tain Enf, artinya tali indukTali 1 bernada sol, tali 2 bernada re, tali tiga bernada la dan tali 4 bernada do.
Leko boko/ bijol
Alat musik petik ini terbuat dari labu hutan (wadah resonansi), kayu (bagian untuk merentangkn dawai), dan usus kuskus sebagai dawainya. Jumlah dawai sama dengan Heo yaitu 4, serta nama dawainya pun seperti yang ada pada Heo. Fungsi Leko dalam masyarakat Dawan untuk hiburan pribadi dan juga untuk pesta adat. Alat musik ini selalu berpasangan dengan heo dalam suatu pertunjukan, sehingga dimana ada heo, disitu ada Leko. Dalam penggabungan ini Lelo berperan sebagai pembei harmoni, sedangkan Heo berperan sebagi pembawa melodi atau kadang-kadang sebagai pengisi (Filter) Nyanyian-nyayian pada msyarkat Dawan umumnya berupa improvisasi dengan menuturkan tentang kejadian-kejadi an tang telah terjadi pda masa lampau maupun kejadian yang sedang terjadi (aktual).Dalam nyanyian ini sering disisipi dengan Koa (semaam musik rap). Koa ada dua macam yaitu, Koa bersyair dan Koa tak bersyair.
Sowito
Alat musik pukul dari bambu dari Kabupaten Ngada. Seruas bambu yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.
Reba
Alat musik ini berdawai tunggal ini, terbuat dari tempurung kelapa/labu hutan sebagai wadah resonansi yang ditutupi dengan kulit kambing yang ditengahnya telah dilubangi. Dawainya terbuat dari benang tenun asli yang telah digosok dengan lilin lebah. Penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang juga telah digosok dengan lilin lebah.Dalam pengembangannya alat ini dari jenis gesek menjadi alat musik petik, yang juga berdawai satu dimodifikasikan menjadi 12 dawai, serta dawainya pun diganti dengan senar plastik. Reba tiruan ini berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu daerah populer.
Mendut
Alat musik petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang 1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun salah satunya dilubangi.Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi empat dengan ukuran 5 x 4 m. Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang kemudian diganjal dengn batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai.Cara memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu kecil.
Ketadu mara
Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.
Sasando
Fungsi musik sasando gong dalam masyarakat pemiliknya sebagi alat musik pengiring tari, menghibur keluarga yang sedang berduka, menghibur keluarga yang sedang mengadakan pesta, dan sebagai hiburan pribadi. Sasando gong yang pentatonis ini mempunyai banyak ragam cara memainkannya, antara lain : Teo renda, Ofalangga, Feto boi, Batu matia, Basili, Lendo Ndao, Hela, Kaka musu, Tai Benu, Ronggeng, Dae muris, Te'o tonak.Ragam-ragam tersebut sudah merupakan ragam yang baku, namun dengan sedikit perbedaan ini dikarenakan :(a). Rote terdiri dalam 18 Nusak adat dan terbagi dalam 6 keamatan. Dengan sendirinya setiap nusak mempunyai gaya permainan yang berbeda-beda. (b). Perbedaan-perbendaan ini dipengaruhi oleh kemampuan musikalis dari masing-masing pemain sasando gong. (c). Belum adanya sistem notasi musik sasando gong yang baku.Perkembangan SansandoSasando pada mulanya menggunakan tangga nada pentatonis. Diperkirakan akhir abad ke-18 sansando mengalami perkembangan sesuai tuntutn zaman, yaitu menggunakan tangga nada diatonis. Sasando diatonis khusunya berkembang di Kabupaten Kupang.Jumlah dawai yang digunakan oleh sasando diatonis bervariasi yaitu, 24 dawai, 28 dawai, 30 dawai, 32 dawai, dan 34 dawai. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya yaitu kira-kira 1960 untuk pertam kalinya sasando menggunakan listrik. Ide ini datang dari seorang yang bernama Bapak edu Pah, yaitu salah seorang pakar pemain sasando di Nusa Tenggara Timur.
Alat Musik Bunyi-bunyian
Kerontang
Pada jaman lampau wilayah pulau komodo masih berhutan, karena itu masih banyak binatang buas perusak tanaman seperti Kera. Untuk mengusir binatang pengganggu tanaman, terciptalah alat musik ini. Alat musik bunyi-bunyian ini terbuat dari tiga belahan kayu bulat kering yang panjangnya 30 cm. Ketiga belahan kayu ini diletakkan di atas kaki pemain yang sedang duduk dan kemudian dipikul dengan batangan kayu sebesar jari tengah.
Tatabuang
Di Tanalein alat musik ini disebut Leto, di Desa Lamanole Flores Timur disebut Tatabuang. Rupanya mirip dengan nama Totobuang alat musik dari Maluku. Kemungkinan besar alat musik ini dibawa oleh suku Kera (Keraf) dari Maluku. Sebutan Tatabuang hanya terdapat di Lemonale, dan di desa ini banyak terdapat orang suku Kera yang menyebut dalam sejarah pelayaran menggunakan perahu kora-kora. Terdapat sebuah erita bahwa asal muasal alat musik ini dari seorang anak yang selalu mau mengikuti orang tuanya ke kebun. Setiap hari sang anak selalu menangis, dan ini sangat mengganggu kepergian mereka kek kebun. Untuk mengatasinya sang ayah membuat alat musik ini untuk sang anak.Di Lemonale permainan Tatabuang melalui dua cara, yaitu digantung seperti Leto dan yang lain diletakkan di atas pangkuan.Tatabuang dibuat dari batangan kayu Sukun yang digantung berbentuk bulat dan hati dari kayu tersebut dikeluarkan. Tatabuang yang digantung bernama Letor di Sikka dan yang dipangku bernama Preson di Wulanggintang.
***
Musik tradisional Merauke
Kunst mengelompokkan alat-alat musik tradisional di sini dalam empat kelompok utama. Berikut bagian-bagianya:
Idiofon
Kelompok ini mencakup alat musik yang sumber bunyinya diperoleh dari badannya sendiri. Ada lima jenis idiofon yang ditemukan di Merauke:
1. Instrumen yang menghasilkan bunyi kertak-kertuk, dibuat dari buah-buahan kering yang bergelantungan seperti mangga berukuran kecil dan diikat pada suatu tangkai atau batang atau dari beberapa kulit kerang yang dikaitkan melalui seutas tali kecil pada tali pengikat di badan, menghasilkan bunyi tadi ketika pemakainya barangkali menari; asal: Danau Sentani dan Teluk Humboldt.
2. Lonceng yang dibuat dari kerang Konus; ujungnya yang menjorok di bawahnya dibuat dari taring babi hutan; asal: Teluk Humboldt.
3. Balok kayu yang menghasilkan bunyi, bentuknya mirip badan perahu dengan buritan dan haluan yang tampak agak lancip dan bagian tengah dilubangi; asal: Teluk Humboldt.
4. Balokkayu yang menghasilkan bunyi seperti guruh, mirip janin dalam rahim pada posisi berbaring lurus dengan tangan dan kaki terlipat ke dalam, menghadap ke atas; asal: Teluk Humboldt.
5. HarpaYahudi, dibuat dari kulit sejenis pohon palma atau dari bambu, mirip sisir bambu berbentuk lonjong dan lancip di salah satu ujungnya, dimainkan di mulut; asal: Teluk Humboldt dan Sarmi.
Membranofon
Kelompok ini mencakup instrumen yang sumber bunyinya adalah membran (selaput), kulit, atau sejenisnya. Ada juga lima macam instrumen membranofon yang ditemukan di Merauke:
1. Tifa bundar, mirip gelas yang agak lonjong dan bergagang, rongga badan dan tangkainya bermotif, bagian yang dipukul dibuat dari kulit hewan yang dikeringkan; asal: pesisir Waropen dan pulau Yapen.
2. Tifa mirip gelas minum berbentuk piala bercampur bentuk silinder; permukaan bundar yang dipukul ditutup kulit hewan yang dikeringkan; asal: pesisir Waropen.
3. Tifa buluh berukuran besar, kulit yang dipukul di bundaran atasnya bergaris-garis sejajar yang rapat dan mengakibatkan tifa ini kelihatan seperti cendawan; asal: Teluk Humboldt.
4. Tifa berkaki dua berbentuk huruf V terbalik, kedua kaki untuk menyangga tifa yang bergagang setengah bundar, kulit yang dipukul di bagian atas datar, membundar ke luar dan bergaris-garis sejajar sepanjang tepinya, badan rongga tifa bermotif; asal: Danau Sentani.
5. Tifa berbentuk sambungan dua gelas minum lonjong secara terbalik dengan gagang bersiku yang panjang, bagian atas ditutupi kulit yang dipukul, bagian bawah bermotif; asal: Teluk Humboldt.
Kordofon
Kelompok alat musik ini menghasilkan sumber suaranya dari dawai atau senar. Tidak ada satu pun yang ditemukan atau dicatat Kunst dari Merauke kecuali tiga macam dari Papua New Guinea zaman kolonial. Gitar ukulele, kontra bas, dan gitar empat senar berbadan besar buatan sendiri dan dimainkan di daerah pedesaan di Merauke memang tergolong pada instrumen kordofon. Tapi instrumen ini tidak disebut Kunst karena adalah produk yang dipengaruhi kebudayaan Barat, bukan “asli” Papua.
Erofon
Kelompok instrumen musikal ini memakai udara sebagai sumber bunyinya. Ada 10 macam instrumen erofon yang ditemukan di Merauke:
1. Terompet kayu yang ditiup pada salah satu ujungnya, modelnya seperti botol gelas Sprite berukuran besar dengan leher berjenjang, ujungnya yang ditiup lebih kecil dari bagian bawah lehernya, bagian luar rongga di bawah lehernya bermotif; asal: Arso dan Danau Sentani.
2. Terompet yang ditiup dari samping, yaitu, dekat salah satu ujungnya, berbentuk kepala manusia yang jidatnya agak miring dan lancip ke ujungnya, bertangkai kecil di “leher” bentuk kepala ini, dari lubang ke arah bawah bundarannya agak melebar, ujung bawah berlubang; asal: Tobati, Jayapura.
3. Terompet buluh yang ditiup di salah satu ujungnya, bermotif; asal: Saberi.
4. Terompet kulit kerang besar yang lubangnya ditiup dari salah satu ujungnya; asal: pesisir Waropen.
5. Terompet kulit kerang besar yang lubangnya ditiup dari samping; asal: pesisir Waropen.
6. Okarina yang dibuat dari sebuah batok kelapa yang kecil, diberi satu lubang kecil di salah satu ujungnya, tempat tali diikat supaya alat itu bisa dipegang, satu lubang agak besar sedikit di atas bagian tengah batok kelapa itu, dan lubang berbentuk mulut ikan di ujungnya yang lain; asal: pesisir selatan Merauke. (Okarina modern adalah suatu alat bunyi-bunyian sebesar kepalan tangan yang dibuat dari tanah liat, porselin, atau sejenisnya, punya lubang-lubang untuk memainkan sampai sebanyak 8 nada dengan warna bunyi mirip suara angsa.)
7. Suling bambu bermotif dengan satu lubang bundar dekat salah ujungnya yang memanjang seperti ujung tombak bersiku simetris, tertutup di atas, terbuka di bawahnya; ada berbagai model suling ini, termasuk yang lubangnya segi empat atau melebar seperti mulut orang yang tertawa; asal: Teluk Humboldt dan pesisir utara (Beko, Arso, Waabe, Tobati, Kaptiau).
8. Suling bambu yang pendek, terbuka pada kedua ujungnya, dengan lubang untuk ditiup bersebelahan di tengah; asal: pesisir utara.
9. Suling buluh vertikal tanpa lubang untuk ditutupi jari, salah satu ujungnya yang ditiup dilubangi dan dipotong sebagian besar; asal: pesisir utara (Nacheibe, Ujang, dan Mande).
10. Pan-pipe, suatu istilah bahasa Inggris yang mengacu pada serangkaian pipa vertikal yang pendek dan sederhana yang saling berdempetan untuk menghasilkan suatu tangganada ketika ditiup. Kunst memakai istilah ini untuk mengacu pada tiga batang buluh dengan ukuran yang berbeda – dari yang paling panjang ke yang paling pendek – yang diikat oleh tali dan ditiup secara bergantian pada lubang di salah satu ujungnya. Asal: Merauke.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar