Telah banyak pintu terbuka yang saya lihat, dan beberapa diantaranya telah saya ketuk, mencoba untuk masuk atau sekadar tau saja. Sejauh ini, semua itu hanya khayalan saja. Ada pintu yang dengan ramah, mempersilahkan untuk masuk, yang tetiba lenyap. Ada pintu yang mengundang, yang kemudian mengundang yang lain juga dan mengundang saya untuk keluar. Ada pintu yang diam-diam mengajak kemari, yang diam-diam pula menyimpan segudang pilihan. Ada pintu yang rapuh, yang menanti secara tersirat untuk diperbaiki, tetapi tidak konsisten, penuh kebiasan.
Sempat ada pintu yang membukakan kepada diri ini. Awalnya saya tidak coba masuk karena ragu, taktik cupu maju-mundur saat saya coba ketuk pada mulanya. Awal-awal tidak ada respon. Selanjutnya memang mengundang, mengajak masuk, memberi ruang berteduh di tengah hujan lebat. Seiring berjalannya waktu, nampaknya meyakinkan. Akan tetapi, ternyata bukan, berusaha menghilang begitu saja. Yang justru menambah trauma, dan seakan ingin berkata bahwa, lebih baik waktu itu diri ini dihujam kehujanan, daripada berteduh secara semu.
Terakhir yang saya coba sejauh ini, ada pula pintu yang banyak diburu. Saya ingat waktu itu setidaknya ada beberapa orang dengan jumlah kurang-lebih sebanyak hitungan jari tangan pada satu sisi, yang saling berebut di depan, untuk sekadar masuk, memperkenalkan diri. Dengan bodohnya saya nyelenong masuk begitu saja, siapa tau inilah yang selama ini saya cari, saya pikir waktu itu. Bahkan untuk yang satu ini, saya sempat membentuk majelis tertutup, mengundang orang-orang pilihan terpercaya untuk menuntun dan tempat berkonsultasi. Ternyata hanya berlangsung singkat, mungkin serasa tiga detik, terpental. Untung saya sudah cukup kebal, atau setidaknya tidak terlalu rapuh untuk merasakan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Karenanya, ini bukan upaya yang terkahir untuk mencari pintu apa lagi.
Dan, ada banyak jenis pintu yang tidak bisa saya ingat. Setiap pintu memiliki teka-teki tersendiri, sulit untuk dipahami. Namun, setidaknya ada pelajaran yang bisa dipetik. Pun, setidaknya telah ada upaya, inisiatif dari diri sendiri. Sekalipun menyakitkan semua, apapaun namanya, penolakan tetaplah penolakan. Kembali lagi di tengah-tengah keramaian yang terasa sepi. Melihat banyak pintu yang terasa menggoda, dengan melihat banyak orang yang tergoda di depannya. Melihat banyak pintu yang telah dimasuki dan tertutup untuk selamanya, tampaknya, dengan hiasan yang menunjukkan penuh kebahagiaan di dalamnya. Ya, ikut bahagia dan tidak boleh syirik tentunya.
Namun demikian, ada juga pahit pintu lain yang saya lihat. Dan saya juga tidak ingin mentertawakannya, dan tidaklah bijak saya berlaku seperti itu. Hanya saja, lucunya, saya dengan pengalaman memasuki pintu yang tergolong minim, tidak jarang diri ini menjadi tempat curhat bagi orang yang memiliki pintu kerap gagal membuka bagi orang yang menanti ataupun dinanti, atau orang yang kerap gagal memasuki pintu yang ternyata pintu bagi orang lain. Yang saya lakukan hanya memehami, mendengar saja. Entah yang diceritakan salah atau benar, yang penting saya tidak merecoki. Bahkan, sejahat-jahatnya orang pun, butuh tempat curhat yang berganti-ganti. Apalagi seseorang yang terluka begitu parah, yang sayapnya terobek-robek, menjadikannya terombang-ambing serasa tanpa makna. Disitu kadang saya merasa tidak sendiri, hehehe.
Mulanya saya khawatir, saya tidak lekas menemukan pintu yang seharusnya pintu yang saya masuki, pintu yang tercipta untuk saya. Toh, itu manusiawi. Setiap insan yang masih menyendiri tentu merasakan hal yang sama. Kekhawatiran yang mendalam dalam kesendirian. Boleh jadi, selama ini saya telah berjuang malang-melintang mencari pintu. Akan tetapi, saya kemudian berpikir, jangan-jangan cara saya dan sudut pandang saya dalam menemukan pintu selama ini salah. Salah-salah, inilah yang selama ini terjadi. Jadi, ada kekhawatiran yang lebih filosofis yang timbul dalam benak dan rasa saya: saya belum berupaya memantaskan diri bagi pintu yang terbaik.
Saya tidak mungkin mengizinkan diri sendiri untuk jatuh ke lubang yang sama, melakukan kesalahan yang sama. Yang bukan berarti tidak mau menghadapi kembali penolakan, melainkan memperbaiki cara dalam menempuh jalan. Menyadari bahwa manusia ini penuh dengan kekhilafan dan kelemahan, sedangkan yang baik-baik itu semata-mata karena Tuhan menutupi aib seseorang. Pun, Tuhan dengan kuasa-Nya menggariskan bahwa yang terbaik akan dijodohkan bagi yang terbaik pula. Seperti pepatah bahwa seseorang akan memetic apa yang ia tanam, yang dalam konteks kegalauan ini dapat diperluas maknanya, bahwa seseorang akan menemukan pintu yang selama ini ia cari. Jika caranya baik, pintu yang terbaik akan menantinya dan tidak bagi yang lain, dan begitu pula sebaiknya.
Memantaskan diri bagi pintu yang terbaik, menyadari diri ini bukanlah siapa-siapa, yang harus banyak belajar dari jalan-jalan yang pernah ditempuh, maupun dari yang dapat disaksikan oleh diri sendiri. Jadi, kali ini saya harus menahan diri, tidak boleh teruru-buru, grusa-grusu, kesusu. Berharap menemukan pintu yang tepat, dan untuk terakhir kalinya keluar ditengah rimba. Hanya saja, masih terbenak akan penasaran pintu mana yang menanti saya. Apakah pintu yang masih jauh adanya, yang masih dijaga dan dirahasiakan oleh waktu yang belum memperkenankan untuk berjumpa. Atau ternyata pintu yang selama ini saya kenal, yang tidak pernah disadari bahwa ia terbuka untuk diri ini, yang menantiku dalam diam sampai detik ini. Wahai pintu terakhir, semoga dirimu menanti diri ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar